1. KOMPETENSI DASAR
A. MATERI
Sako adalah merupakan gelar kebesaran adat, dimana gelar tersebut diterima turun
temurun menurut garis ibu lurus ke bawah. Warisan gelar dan sako sepanjang adat hanya
berlaku kepada kemenakan laki-laki yang mempunyai hubungan darah (waris nasab), tidak
boleh kepada yang tidak mempunyai hubungan darah.Sedangkan Pusako adalah harta pusaka
tinggi yang diterima secara turun temurun.
Hak pakai dari pusaka tinggi ini antara lain adalah hak membuka tanah, memungut hasil,
mendirikan rumah dan hak mengembala. Jika berupa air (tabek) maka hak pakainya
adalah memanfaatkan air dan menangkap ikan.
Disamping harta pusaka tinggi, masih ada harta pusaka lain yang dimiliki oleh
masyarakat Minang seperti tanah ulayat nagari dan tanah ulayat suku, tetapi status tanah
seperti ini sudah punah dan jarang ditemukan di Minang karena perkembangan
penduduk dan sosial ekonomi.Harta pusaka tinggi tidak boleh dijual dan hanya boleh
digadaikan. Menggadaikan harta pusaka tinggi hanya dapat dilakukan setelah
dimusyawarahkan dengan petinggi kaum, menggadaikan biasanya mengutamakan
kepada suku yang sama, namun tetap dapat digadaikan dengan suku lain. Tergadainya
pusaka tinggi karena 4 hal, yaitu :
a. Gadih gadang indak balaki (perawan tua yang tak bersuami)Jika tidak ada biaya untuk
mengawinkan anak wanita, sedangkan umurnya sudah semakin tua.
b. Mayik tabujua di ateh rumah (mayat terbujur di atas rumah) Jika tidak ada biaya untuk
mengurus jenazah yang harus segera dikuburkan.
c. Rumah gadang katirihan (rumah besar bocor) Jika tidak ada biaya untuk renovasi
rumah, sementara rumah sudah rusak dan lapuk sehingga perlu untuk diperbaiki.
d. Mambangkik batang tarandam (menaikkan derajat menjadi lebih baik) Jika tidak ada
biaya untuk pesta pengangkatan Penghulu (Datuk) atau biaya untuk menyekolahkan
seorang anggota kaum ke tingkat yang lebih tinggi.
Bila salah satu dari empat perkara itu terjadi, terlebih dahulu harus diatasi dari hasil harta
pusaka tersebut dan bila tidak memungkinkan juga barulah boleh menggadaikan harta pusaka.
Penghulupun tidak memiliki hak untuk menggadai harta tanpa bermufakat dengan anak
kemenakan. Pepatah Minangkabau menyebutkan “bulek buliah digolongkan, picak buliah
dilayangkan”, setelah ada kesepakatan bersama barulah harta pusaka boleh digadaikan.
Sebelum menggadai atau menjual harta pusaka tinggi, terlebih dahulu harus dicari jalan
keluar yang lain, karena sedapat mungkin harta pusaka tinggi jangan sampai tergadai. Hal ini
sesuai dengan pepatah adat yang berbunyi “Ndak ado kayu janjang dikapiang, indak ado
rotan akapun jadi”. Demikian kokoh dan tertibnya penjagaan harta pusaka tinggi dan
seharusnya dipatuhi bersama-sama ketentuan ada tersebut.
Tujuan pengaturan adat Minang terhadap harta pusaka tinggi bertujuan baik, yakni agar
keluarga besar kaum tidak melarat dan mempunyai bekal ketika ahli waris meninggal, juga
untuk membentengi tanah-tanah Minang dari penguasaan orang-orang dari luar Minang.
Tetapi tujuan baik ini jangan sampai mengabaikan syara’ yang menjadi landasan Minang.
Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Jadi tak selayaknya harta pusaka tinggi yang
harusnya untuk jaminan kesejahteraan kaum, malah menjadi hal pemecah kaum hanya karena
mengikuti nafsu dunia.
Meski memiliki pengertian berbeda, harta pusaka tetap menyimpan artian khusus. Menjual
tanah pusaka bukan kebiasaan masyarakat Minang. Apalagi alasan jual adalah untuk
bermewah-mewahan.
Sumatera Barat adalah salah satu Provinsi yang menjunjung tinggi dan menghormati
Adat istiadatnya yang bersistem kekerabatan matrilineal. Adat isitiadat Minangkabau juga
dikenal dengan pepatah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah merupakan suatu
falsafah yang dalam bahasa Indonesia berarti "Adat berdasarkan syariat, syariat berdasarkan
kitab Allah". Agama dalam hal ini bisa diartikan sebagai agama Islam karena agama sebagian
besar orang Minangkabau adalah Islam, sementara itu, kitab Allah yang dimaksudkan adalah
Al-quran. Masyarakat Minangkabau telah mengatur kehidupan baik secara sosial maupun
pemerintahan , ini terlihat dengan masih tetap bertahan dan eksisnya Peradilan Adat dalam
menyelesaikan sengketa tanah Adat di Minangkabau yang dikenal dengan Peradilan Adat
Nagari, walaupun di Indonesia telah ada Peradilan Negeri yang menyelesaikan sengketa.
Dalam adat Minangkabau, Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat secara
genealogis dan historis. Dalam Pasal 5 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7
Tahun 2018 tentang Nagari, menyebutkan Kelembagaan Nagari terdiri atas:
a. Kerapatan Adat Nagari
b. Pemerintahan Nagari; dan
c. Peradilan Adat Nagari
Permasalahan harta pusaka di Minangkabau sudah menjadi hal yang biasa kita lihat di
masa sekarang. Banyak sesama keluarga, tetangga, sesuku, bahkan sekampung bisa pecah
karena masalah harta pusaka. Bukan hanya di Minangkabau, di luar Minangkabau pun ini hal
yang telah menjadi konflik yang biasa terlihat di masyarakat.
Penyelesaian sengketa Adat di Minangkabau melalui Peradilan Adat Nagari
berwenang menyelesaikan dua masalah Adat yaitu sako dan pusako. Sako merupakan
sengketa mengenai gelar, sedangkan pusako merupakan sengketa mengenai harta di suatu
kaum atau suku. Dalam rangka penyelesaian konflik sesuai Pasal 15 Peraturan Daerah
Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari, pada setiap Nagari, Kerapatan
Adat Nagari membentuk Peradilan Adat Nagari, sebagai lembaga penyelesaian sengketa
masyarakat tertingi di Nagari sesuai Adat salingka Nagari. Dalam praktiknya, ketika terjadi
sebuah sengketa Adat, maka Karapatan Adat Nagari akan membentuk Peradilan Adat Nagari
yang beranggotakan ninik mamak, panghulu, cadiak pandai, serta pemuka Adat lain yang
berkompetensi untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul sebagai majelis hakim Adat.
Konflik yang sering terjadi di Minangkabau adalah konflik harta pusako tinggi antara
mamak dan kemenakan, antara suku satu dengan suku yang lain, atau kaum satu dengan kaum
yang lain. Terjadinya konflik tersebut sering disebabkan oleh beberapa hal, misalnya yang
paling sering ditemui adalah,
(1) batas tanah pusako yang tidak jelas akibat pagang gadai yang diartikan dalam bahasa
Indonesia seperti halnya proses menggadaikan barang;
(2) Mamak Kepala Waris atau Datuk menjual tanah pusako tinggi tanpa sepengetahuan
Sanak kemenakan; dan
(3) karena pembagian harta warisan yang tidak jelas. Dalam Masyarakat Minangkabau,
yang dimaksud Harta Pusako Tinggi salah satunya adalah hak ulayat yang terdiri dari
tanah ulayat Nagari, suku, kaum, dan rajo. Hal lain yang termasuk Harta Pusaka
Tinggi adalah properti atau tanah komunal seperti sawah, ladang, kuburan, dan rumah
gadang.kehidupan masyarakat, yaitu karena sifatnya dan karena faktanya. Dalam kasus
terjadinya konflik dan sengketa atas tanah Adat di Minangkabau khususnya tanah
pusako tinggi, harus terlebih dahulu diusahakan penyelesaian itikad baik antara kedua
belah pihak, sesuia dengan Peraturan Provinsi Sumatra Barat No 7 tahun 2018 tentang
Nagari Pasal 15 ayat 1, seperti musyawarah pada tingkat keluarga, Paruik (orang yang
paling dekat), kaum atau suku secara bajajang naik batanggo turun, agar permasalahan
dapat diselesaikan secara kekeluargaan, sehingga terjadi kesepakatan dan Perdamaian
di antara kedua belah pihak. Ketika prinsip dan cara musyawarah ini gagal
menyelesaikan suatu permasalahan pusako tinggi, barulah perkara dapat dimasukkan
dalam Peradilan Adat Nagari. Dalam Adat Minangkabau dikenal konsep tidak lapuk
karena hujan dan tahan terhadap panas (indak lapuak dek hujan, indak lakang dek
paneh), artinya Adat, termasuk penyelesaian sengketa ini, akan selalu dipertahankan
oleh masyarakat Minangkabau.
Secara umum, konflik Adat yang terjadi di Sumatera Barat banyak diselesaikan
melalui Peradilan Adat Nagari yang di bentuk oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) . Proses
mengatasi dan menyelesaikan berbagai macam konflik Adat yang timbul di Sumatera Barat
melalui Peradilan Adat Nagari dinilai cukup efektif karena berbagai konflik yang terjadi
dapat diseselaikan dengan cepat serta sesuai dengan Adat-istiadat yang berlaku umum di
Sumatera Barat. Sengketa pada dasarnya merupakan cerminan dari watak dan kemauan di
antara manusia yang tidak akan bisa seragam. dalam masyarakat bila terjadi sengketa pada
umumnya diselesaikan dengan berbagai cara. Masing-masing pendekatan memakai
pradigma yang berbeda sesuai dengan tujuan, budaya atau nilai-nilai yang diyakini oleh
masing- masing pihak yang bersengketa
B. RANGKUMAN
Sako adalah merupakan gelar kebesaran adat, dimana gelar tersebut diterima turun
temurun menurut garis ibu lurus ke bawah. Warisan gelar dan sako sepanjang adat hanya
berlaku kepada kemenakan laki-laki yang mempunyai hubungan darah (waris nasab), tidak
boleh kepada yang tidak mempunyai hubungan darah.Sedangkan Pusako adalah harta pusaka
tinggi yang diterima secara turun temurun.
4. EVALUASI
Tambo Alam Minangkabau tatanan adat warisan nenek moyang orang Minang, Karya
Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tahun 2009
Tambo Minangkabau budaya dan hukum adat di Minangkabau, Karya Ir. Edison MS., SH,
M. Kn, Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tahun 2010
Adat Minangkabau, karya H. Suarman, S.H, Bustanul Arifin, BA, Syahrial Chan DT.
Bandaro Hitam, BA, Tahun 2000