Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu keistimewaan dari adat Minangkabau adalah karena adanya

harta pusaka tinggi dan diakuinya tanah ulayat sebagai satu kesatuan yang tidak

dapat dipisahkan dari kesatuan suku maupun kaum dalam kekerabatan Matrilinial

yang mengikat satu sama lainnya menurut garis keturunan sang ibu. Harta pusaka

tinggi dan tanah ulayat bukanlah harta yang diperoleh melalui usaha, kerja dan

pencarian seorang ayah yang dapat dibagikan dan diwarisakan kepada anak

istrinya.

Harta pusaka tinggi adalah harta yang diperoleh dari hasil kerjasama,

gotong royong antara mamak dan kemenakan dalam suatu suku ataupun kaum

pada masa lalu yang diperuntukan bagi saudara dan kemenakan perempuan

menurut garis keturunan ibu. Sedangkan tanah ulayat didapat dari pembagian

wilayah kekuasaan antara penghulu dalam suatu nagari menurut jumlah masing-

masing suku yang ada dalam nagari pada zaman dahulunya. Harta pusaka tinggi

maupun tanah ulayat bukanlah milik pribadi yang dapat diperjualbelikan atau

dipindah tangankan oleh seseorang kepada orang lain tanpa persetujuan bersama.

Fungsi harta pusaka tinggi dan tanah ulayat untuk melindungi kaum yang

lemah yang mana didalamnya termasuk perempuan dan ini sudah teradat dari

dahulu makanya adat Minagkabau mengambiul garis pesukuan dalam ranji

menurut garis keturunan ibu, berbeda halnya dengan harta pusaka rendah yang

1
mana didapatkan dari hasil kerja seorang ayah dan ibu yang bias diwariskan

kepada anak. (Amir ,2003:44)

Sangatlah dilarang bagi seorang mamak penghulu membawa harta pusaka

tinggi maupun tanah ulayat untuk anak istrinya apalagi menggadaikannya atau

dijual untuk kepentingan anak istrinya. Seorang mamak penghulu dapat

memanfaatkan harta pusaka tinggi atau tanah ulayat untuk keperluan hidupnya

bila sudah mendapat persetujuan dari sanak saudara dan anak kemenakan yang

memang diperuntukan bagi mamak yang menjabat gelar penghulu adat atau

keperluan yang sangat mendesak .

Harta pusaka tinggi dan tanah ulayat dalam nilainya memang tidak dapat

digadai maupun dijual, namun ada toleransi bila terjadi seperti hal berikut ini :

1. Maik tabujua ateh rumah

Apabila ada keluarga yang meningal dunia namun tidak ada keluarga atau

orang kampong yang membantu untuk menyelenggarakan jenazah namun

dalam agama islam itu wajib hukumnya, maka boleh menggadaikan harta

pusaka untuk mengupahan orang menyelenggarakan jenazah.

2. Gadih atau rando indak balaki

Anak gadis atau janda dan tidak ada orang yang mau menikahinya

sedangkan usia sudah lanjut maka boleh menggadaikan harta pusaka untuk

membayar laki-laki untuk menikahinya, karena aib di Minangkabau kalau

ada perempuan yang tidak punya suami apabila sudah sampai waktunya.

3. Rumah gadang katirisan

2
Apabila rumah gadang rusak berat seperti bocor, dinding yang lapuk,

tangga yang runtuh namun tdak ada laki-laki yang kuat untuk

memperbaikinya maka supaya rumah gadang jangan runtuh maka boleh

menggadaikan harato pusako maupun tanah ulayat untuk memperbaikinya

karena rumah gadang merupakan simbol kesatuan suku yang kuat dan

kokoh.

4. Mambangkik batang tarandam

Apabila ada gelar penghulu adat dalam suku yang tidak terpasang

sedangkan anak kemenakan semakin kembang memerlukan bimbingan

seseorang penghulu adat sementara penghulu adat atau datuknya sudah

terbenam, sementara anak kemenakan tidak punya biaya untuk

menyelenggarakan upacara penobatan gelar penghulu maka boleh

menggadai secukupnya untuk pelaksanaan upacara pengangkatan sako.

Harta pusaka dibagi menjadi harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah.

Harta pusaka tinggi (harto pusako tinggi) adalah hak milik bersama dari pada

suatu kaum yang mempunyai pertalian darah dan diwarisi secara turun temurun

dari nenek moyang terdahulu, dan harta ini berada di bawah pengelolahan mamak

kepala waris (lelaki tertua dalam kaum). Proses pemindahan kekuasaan atas harta

pusaka ini dari mamak kepada kemenakan dalam istilah adat disebut juga dengan

“pusako basalin”. Dalam hal warisan memerlukan persetujuan penghulu kaum

untuk berarti bahwa harta pusaka tinggi tidak boleh dijual. Sebagai pusaka

mengubah statusnya, umpamanya untuk mengadaikannya. Persetujuan penghulu

3
dan seluruh ahli waris sangat diperlukan sebelum warisan tersebut digadaikan.

Harta pusaka rendah (harto pusako randah) adalah warisan yang ditinggalkan

oleh seseorang pada generasi pertama, karena ahli warisnya masih sedikit itulah

statusnya masih dipandang rendah. Mereka dapat melakukan kesepakatan bersama

untuk memanfaatkannya, baik dijual atau dibagi-bagi antara mereka. Pusaka

rendah berarti harta pencaharian suami istri dalam rumah tangga. Dengan kata lain

harta pusaka rendah merupakan segala harta hasil pencaharian dari bapak bersama

ibu (suami-istri) sewaktu masih hidup dalam ikatan perkawinan, ditambah dengan

pemberian mamak dan tungganai dari hasil pencaharian mamak dan tungganai itu

sendiri (Akbar, 2010: 14).

Dalam masyarakat Minangkabau, harta pusaka sebagai warisan

memerlukan persetujuan penghulu kaum dalam pelepasannya. Akan tetapi dalam

mendapatkan persetujuan tentu tidak akan mudah karena diperlukan persetujuan

dari ahli waris (Navis, 1984: 163)

Pewarisan harta pusaka di Minangkabau dapat dibedakan menjadi waris

nasab dan waris sabab. Waris nasab adalah warisan yang diterima berdasarkan

pertalian darah aau berdasarkan keturunan ibu. Waris sabab maksudnya pewarisan

harta pusaka tidak berdasarkan pertalian darah melainkan karena adanya sebab,

waris sebab terjadi karena bertali ada, bertali buat dan bertali budi. Waris sebab

hanya menyangkut harta pusaka.

4
Dalam masyarakat Minangkabau, salah satunya konflik terkait dengan

harta pusaka tinggi yang terjadi, adalah pertentangan antara datuk dengan

kemenakannya. Hal ini juga terjadi di Kaum Nan IV Tapi Tompo Jorong IV

Pagaruyung Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar. Konflik yang

terjadi dalam kelompok kekerebatan kaum Nan IV Tapi Tompo yang mana

terbagi dalam IV (empat) nama kampung yang pertama Kampung Melayu Tapi

Tompo ( yang mana terbagi juga atas Tapi Tompo Rumah Atas dan Tapi Tompo

Rumah Bawah ), yang kedua Kampung Melayu Karang Bayur, yang ketiga

Kampung Melayu Kamalakang dan Kampung Melayu Tapi Balai..Konflik ini

berawal ketika Datuk Rajo Lelo menjual sebagian tanah pusaka tinggi dan

menyewakannya pada pihak pemerintah untuk pembangunan terminal Guguak

Ketitiran dan pembanguan tower telekomunikasi. Bukan hanya itu, Dt. Rajo Lelo

mensertifikatkan tanah kaum yang digunakan sebagai tempat pemukiman bagi

warga sekitar. Dt. Rajo Lelo dalam pimpinan kaum mengambil keputusan sepihak

dalam pensertifikatan tanah kaum. Hal lain adalah pertentangan antara Dt. Rajo

Lelo dan kemenakannya tentang tanah yang digunakan pembangunan Tower

Telekomunikasi oleh PT. SATELINDO. Menurut anggota kaum, Dt. Rajo Lelo

tidak melakukan musyawarah dengan para ninik mamak dan anak kemenakan

keika mengambil persetujuan pensertifikatkan tanah kaum. Lain halnya dengan

penyewaan tanah pusaka oleh Pemerintahan Daerah maupun pihak luar dalam

penggunaan tanah pusaka tinggi milik kaum, walaupun para ninik mamak

diikutsertakan bermusyawarah dalam mengambil keputusan, namun dalam

permasalahan jumlah uang ditetapkan sendiri oleh pihak Dt. Rajo Lelo. Oleh

5
karena itu Dt. Rajo Lelo dianggap oleh anggota kaumnya menutup-nutupi jumlah

uang yang diberikan atas sewa tanah di atas tanah kaum (Wawancara dengan

cadiak pandai kaum Nan IV Tapi Tompo pada tanggal 10 Mei 2015).

Oleh karena banyaknya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan dalam

kepemimpinannya, anggota kaum mencopot gelar datuk sebagai pemimpin kaum.

Hal inilah yang membuat keadaan semakin memanas, timbulnya pro dan kontra

dalam permasalahan pencabutan gelar kepemimpinan Dt. Rajo Lelo. Pada tahun

2005, Dt. Rajo Lelo membawa kasus itu ke pengadilan, tapi bukan menyangkut

hak atas kepemilikan tanah yang telah disertifikatkan, namun atas kasus

pencemaran nama baik. Dt. Rajo Lelo mengadukan Nirwan selaku cadiak pandai

anggota kaum dan utusan yang dipercayai oleh anggota kaum yang lainnya ke

Pengadilan Negeri di Batusangkar (Wawancara dengan cadiak pandai kaum Nan

IV Tapi Tompo pada tanggal 10 Mei 2015).

Ada dua alasan mengapa konflik di atas penting untuk diteliti. Pertama,

Dt. Rajo Lelo membawa penyelesaian masalah ke Pengadilan Negeri, bukannya

penyelesaian dalam kaum dan dalam nagari. Kedua, Dt.Rajo Lelo lebih

mengedepankan permasalahan pencemaran nama baik oleh kemenenakannya,

ketimbang menyelesaikan soal harta pusaka tinggi.

6
1.2 Perumusan Masalah

Peristiwa konflik antara Dt. Rajo Lelo dengan anggota kaumnya telah

diusahakan diselesaikan dalam kaum, tetapi upaya penyelesaiannya gagal

menghasilkan kesepkatan perdamaian. Lalu kasus itu dibawa ke KAN (Kerapatan

Adat Nagari).

KAN juga tidak berhasil menyelesaikan peristiwa konflik antara Dt. Rajo

Lelo dengan anggota kaumnya, para pihak kemudian menggunakan peradilan

negri nuntuk menyelesaikan masalah mereka. Atas dasar permasalahan di atas

maka rumusan masalah penelitian yaitu “apakah penyebab tidak berhasilnya

anggota Kaum Nan IV dan KAN menyelesaikan konflik antara kelompok

Dt. Rajo Lelo dengan anggota kaumnya” ?

1.3 Tujuan penelitian

Berangkat dari perumusan masalah yang dikemukakan di atas maka tujuan

dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

A. Tujuan umum :

1. Mendeskripsikan penyebab tidak berhasilnya kaum dan KAN

menyelesaikan peristiwa konflik .

B. Tujuan khusus :

1. Mendiskripsikan kronologi konflik dalam kelompok kekerabatan.

2. Mendiskripsikan cara yang dilakukan oleh Kaum Nan IV dan KAN dalam

menyelesaikan konflik kelompok kekerabatan.

7
3. Mendiskripsikan kesulitan yang dialami oleh Kaum Nan IV dan KAN

dalam penyelesaian konflik.

1.4 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara akademis berguna untuk menambah pengetahuan mengenai konflik

dalam kelompok kekerabatan.

2. Secara praktis sebagai bahan masukan bagi kelompok kekerabatan dalam

menyelesaikan konflik kekerabatan.

3. Secara empiris sebagai acuan bagi penelitian yang lebih lebih lanjut agar

dapat lebih baik memperdalam dan memperbaiki kekurangan-kekurangan

dalam penelitian

1.5 Tinjauan Pustaka

1.5.1 Tinjauan Sosiologis

Konflik menurut ahli psikologi Pruitt dan Rubin adalah “persepsi

mengenai perbedaan kepentingan (percieved divergence of interest) atau suatu

kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai

secara simultan”. Kepentingan dapat bertentangan hanya apabila diterjemahkan

menjadi aspirasi yang mempunyai tujuan dan aspirasi tersebut mestilah dianggap

oleh salah satu pihak tidak sesuai dengan aspirasi pihak lain (Pruitt dan Rubin,

2004:9-10).

Dalam pandangan sosiologi, konflik juga diartikan sebagai pertentangan

kepentingan antar pihak. Menurut Afrizal dan Indrizal (2010) konflik adalah

“Pertentangan kepentingan antara individu dengan individu, individu dengan

8
kelompok, dan kelompok dengan kelompok dan antara suatu kelas sosial-ekonomi

dan kelas sosial-ekonomi yang lainnya”. Lebih lanjut Afrizal dan Indrizal juga

menjelaskan mengenai pertentangan kepentingan yang terjadi dapat berkembang

menjadi sebuah perjuangan dimana perjuangan tersebut dilakukan untuk

mewujudkan kepentingannya dan membela kelompoknya, dan untuk

mewujudkan kepentingan persebut kelompok yang berjuang melawan pihak lain

(Afrizal dan Indrizal, 2010; i).

Lewis Coser mendefinisikan konflik dengan cara membedakan konflik

menjadi dua macam yaitu konflik realistis dan non-realistis. Konflik realisitis

adalah konflik yang berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus

yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para

partisipan dan yang ditujukan pada objek yang dianggap mengecewakan. Dipihak

lain konflik yang tidak realistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-

tujuan saingan yang antagonistis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan

ketegangan paling tidak disalah satu pihak (Poloma, 2007: 110).

Dalam penelitian ini konflik diartikan sebagai kepentingan antara para

pihak. Kedua belah pihak berusaha mewujudkan kepentingannya dengan

memperjuangkan kepentingannya melawan kepentingan pihak lain. Peristiwa

konflik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah konflik manifes

Konflik adalah gejala yang lumrah terjadi dalam kehidupan sosial

kapanpun dan dimanapun (Afrizal dan Indrizal; 2010). Terkait dengan itu para

ahli menyatakan manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus), yaitu

makhluk yang terlibat dalam perbedaan, pertentangan dan persaingan baik

9
sukarela maupun terpaksa. Inilah yang menyebabkan konflik menjadi gejala sosial

yang lumrah di dalam masyarakat (Susan,2008: 4). Menurut Simmel, konflik

adalah bagian dari interaksi sosial. Konflik dapat menciptakan batasan antar

kelompok dengan menciptakan kesadaran internal, yang menjadikan kelompok itu

beda dari kelompok lain dan dengan mudah dipisahkan dengan kelompok lain

(Susan, 2008 : 42).

Coser menjelaskan bahwa konflik sebagai unsur interaksi yang penting

dan sama sekali tidak boleh dikatakan bahwa konflik selalu tidak baik atau

memecah belah atau merusak. Justru sebaliknya konflik dapat menyumbangkan

banyak kelestarian kelompok dan mempererat hubungan antar anggotanya.

Selanjutnya Coser menjelaskan bahwa jika suatu masyarakat tidak ada berkonflik

hal itu tidak bisa dikatakan dengan kestabilan dalam hubungan masyarakat.

Konflik yang terjadi didalam masyarakat adalah merupakan salah satu hubungan

yang hidup, sedangkan kalau hubungan tenang-tenang saja, berkemungkinan

besar suatu hari akan terjadi suatu kekacauan (Poloma, 2007: 112-113).

Menurut Afrizal dan Indrizal konflik yang terjadi tidak seharusnya

dipandang sebagai suatu hal yang buruk dan membuat persepsi untuk menghindari

atau menekan konflik agar konflik itu tidak terjadi. Lebih lanjut mereka

menyatakan konflik yang ditekan dan dihindari akan menjadi sesuatu hal yang

buruk seperti kerusuhan, revolusi dan gejolak pemberontakan (Afrizal dan

Indrizal, 2010; i).

Konflik berkepanjangan menurut Pruit dan Rubbin merupakan akibat dari

sikap yang berkelanjutan dan persepsi negatif terhadap pihak lawan. Keyakinan

10
negatif akan memvalidkan perasaan negatif, perasaan negatif akan membuat

keyakinan negatif terasa benar (Pruitt dan Rubin, 2011: 252).

Sikap negatif dan kecurigaan yang timbul dikedua belah pihak yang

disebabkan oleh perselisihan yang mendorong dilakukannya tindakan-tindakan

yang menghasilkan isu-isu baru dan penggunaan taktik-taktik yang lebih berat lagi

untuk memperoleh kemenangan atas isu-isu tersebut (Pruitt dan Rubin, 2011:

281).

Keberlanjutan konflik akibat dari kegagalan taktik penyelesaian dimana

taktik penyelesaian yang dipakai tidak bisa menyelesaikan konflik disebabkan

oleh banyaknya ancaman yang dilakukan, komitmen yang dibuat tidak dapat

dibatalkan, atau ketidak percayaan dari pihak yang berkonflik. Selain itu berkaitan

dengan terkurasnya sumber daya yang diperlukan. Sehingga hilangnya dukungan

sosial seperti dukungan sosial yang diberikan kepada negosiator serikat buruh.

Dan yang terakhir biaya yang tidak tertanggungkan oleh pihak yang bertikai,

namun pihak tersebut masih berkeinginan pihak lawan kalah atau hancur (Pruitt

dan Rubin, 2011: 286-288).

11
1.5.2 Teori Penyelesaian Konflik

Menurut Pruitt dan Rubin (2004), strategi penyelesaian peristiwa konflik

adalah faktor yang berpengaruh terhadap penyelesaian konflik diluar pengadilan.

Strategi pertama adalah contending (bertanding). Satu pihak berusaha menerapkan

solusi yang lebih disukainya. Dengan strategi ini salah satu pihak menurunkan

aspirasi pihak dan menemukan solusi dengan mengorbankan orang lain. Kata

Pruit dan Rubbin contending merupakan “segala macam usaha untuk

menyelesaikan konflik menurut kemauan seseorang tanpa mempedulikan

kepentingan pihak lain”. Hal yang terjadi adalah “masing-masing pihak tetap

mempertahankan aspirasinya dan membujuk pihak lain untuk mengalah. Satu

pihak mengeluarkan ancaman, menjatuhkan penalti atau hukuman, melumpuhkan

lawan, atau melakukan tindakan-tindakan yang mendahului pihak lain untuk

memperoleh aspirasi tersebut tanpa sepengetahuan pihak lawan.

Kedua adalah yielding (mengalah). Salah satu pihak menurunkan aspirasi

sendiri dan bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya diinginkan. Kata

Pruitt dan Rubbin masing-masing pihak bersedia menerima kurang dari yang

sebetulnya mereka inginkan untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima

kedua belah pihak.

Ketiga adalah problem solving (pemecahan masalah). Dalam hal ini kedua

belah pihak mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak.

Dalam implementasinya, problem solving meliputi berbagai aktifitas berikut :

a. Masing-masing pihak (wakilnya) harus bicara dengan bebas dan terbuka

b. bertukar informasi tentang kepentingan dan prioritas masing-masing

12
c. Mengidentifikasi isu-isu yang memisahkan mereka

d. Mencari alternatif untuk menjembatani kepentingan masing-masing

e. Secara kolektif mengevaluasi alternatif-alternatif tersebut dari sudut

pandang keuntungan bersama

Keempat adalah withdrawing (menarik diri). Salah satu pihak memilih

meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis. Withdrawing

melibatkan pengabaian terhadap kontroversi, sedangkan di dalam ketiga strategi

yang lain terkandung upaya mengatasi konflik yang berbeda satu sama lain.

Adapun strategi kelima adalah inaction (diam), artinya masing-masing pihak diam

dan tidak melakukan apa pun.

Lebih lanjut Pruitt dan Rubin (2004) menjelaskan bahwa “walaupun

memperbedakan kelima penyelesaian untuk mengatasi konflik ini bermanfaat dari

segi konsep”, tetapi peneliti ingin menambah beberapa catatan yang berisi

penjelasan dan peringatan. Pertama, kebanyakan situasi konflik, baik itu berupa

pertikaian bersenjata, aksi mogok, perundingan internasional, atau pertentangan

diam-diam di antara dua pengemudi mobil yang berebut posisi pada sebuah

persimpangan jalan yang tidak bertanda lalu lintas, menuntut diterapkannya

kombinasi dari beberapa strategi di atas. Sangat jarang hanya digunakan satu

macam strategi secara ekslusif. Teori Pruitt dan Rubbin hanya menjelaskan kedua

belah pihak sebagai faktor yang mempengaruhi terjadinya pengalihan peristiwa

konflik.

13
1.5.3 Faktor Keberhasilan Pihak Ketiga

Masuknya pihak ketiga mengubah struktur konflik dan menimbulkan

sebuah pola komunikasi yang berbeda, memungkinkan pihak ketiga menyaring

atau melihat sikap dan perilaku pihak-pihak yang berkonflik. Pihak ketiga yang

memiliki kekuasaan dapat mengubah strukur komunikasi dan keseimbangan

kekuasaan. Pihak ketiga dapat mengubah perilaku para pihak yang terlibat

disamping juga komunikasi mereka dengan penggunaan yang bijaksana terhadap

imbalan dan hukuman. Ketiga dapat menjadi arbiter atau menfasiliasi negosiasi

dan mediator antara para pihak yang terlibat secara paksaan atau tanpa paksaan

(Miall, Rambsbotham, Woodhouse 2002 ; 15-16 )

1.5.4 Kelompok Kekerabatan Minangkabau

Minangkabau menganut sistim matrilineal, suatu system yang mengatur

kehidupan dan ketertiban suatru masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan

keturunan garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan garis

keturunan dari perkauman ibu.

Menurut Radjab (1969) sistim matrilineal mempunyai ciri-ciri :

a. Keturunan dihitung menurut garis keturunan ibu.

b. Suku terbentuk menurut garis keturunan ibu.

c. Tiap orang diharuskan kawin/ menikah dengan orang diluar sukunya

(exogami)

d. Pembalasan dendam merupakan suatu kewaiban bagi seluruh suku.

e. Kekuasaan dalam suku terletak ditangan ibu, tetapi jarang sekali

digunakan

14
f. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya.

g. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunungi rumah

istrinya.

h. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya

(saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan).

Pada dasarnya sistim matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau

memperkuat peranan perempuan, tetapi untuk menjaga, melindungi harta pusaka

suatu kaum dari kepunahan, baik itu rumah gadang, tanah pusaka dan sawah

lading. Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat,

memelihara dan menyimpan. Dan dalam penentuan perundangan-undangan adat,

perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan

kewajiban didalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh ninik mamak.

Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki untuk

mengatur dan mempertahankannya.

1.5.5 Penelitian Relevan

Dengan banyaknya konflik antar nagari di Sumatra Barat mendorong

peneliti tertarik untuk meneliti hal ini. Karna penelitian tentang konflik antar

warga kampung masih minim dilakukan oleh mahasiswa FISIP. Adapun studi

yang menyangkut masalah konflik antar kampung ini telah dilakukan oleh Mora

Dingin (2010) “Konflik Tapal Batas antara Nagari Sumpur dengan Nagari Bungo

Tanjuang Kab. Tanah Datar”. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa konflik

antar kedua nagari tersebut dipicu oleh perebutan potensi ekonomi yang terdapat

diperbatasan antara kedua nagari dan belum tercapai kesepakatan antara kedua

15
belah pihak. Penelitian yang dilakukan hanya sedikit membahas tentang penyebab

timbulnya konflik dan penelitian lebih menitik beratkan kepada resolusi konflik

yang sudah dilakukan oleh kedua nagari. Ira Arista (2009) yang berjudul yang

berjudul “Proses Resolusi Konflik Perluasan Areal Cadangan Eksplorasi Tambang

Batu Kapur PT. Semen Padang Seluas 412 Ha”. Penelitian ini berfokus pada

proses resolusi yang diupayakan para pihak yang berkonflik di luar peradilan.

Selanjutnya, resolusi konflik juga pernah diteliti oleh Mila Selvia (2010) yang

berjudul “Resolusi Konflik antara Karyawan dengan Perusahaan Bunda Medical

Center (BMC)”. Penelitian ini berfokus pada proses resolusi konflik antara

karyawan dan perusahaan Bunda Medical Center (BMC) serta peran Dinsosnaker

sebagai mediator. Penelitian Muhammad Tariq (2010) yang berjudul “Peran

Kerapatan Adat Nagari Pagaruyung dalam Pengelolaan Tanah Ulayat. Penelitian

ini berfokus pada peran KAN dalam mengelola permasalahan tanah ulayat nagari.

Hampir sama dengan penelitian sebelumnya yang membahas tentang penyelesaian

konflik, peran pihak ketiga dalam penyelesaian konflik, pertentangan kepentingan

aktor dalam konflik. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan lebih kepada

konflik kelompok kekerabatan Minangkabau dalam perebutan tanah pusaka

tinggi.

16
1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Pendekatan Kualitatif.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, penggunaan metode

penelitian kualitatif disebabkan oleh beberapa pertimbangan yaitu : penggunaan

metode kualitatif untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ingin menjabarkan

secara lebih mendalam mengenai fenomena yang diteliti. Kemudian metode ini

memungkinkan penulis untuk menyajikan suatu topik secara lebih detail dan

terperinci, serta dapat meneliti subjek penelitian dalam latar yang alamiah

(Herdiansyah, 2011:15-16). Metode kualitatif memungkinkan penyajian secara

lebih detail mengenai resolusi konflik dalam kelompok kekerabatan.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian

deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang mendeskripsikan suatu

fenomena atau kenyataan sosial yang berkenaan dengan masalah dan unit diteliti.

Penggunaan metode ini memberikan peluang kepada peneliti untuk

mengumpulkan data-data yang bersumber dari wawancara, catatan lapangan, foto-

foto, dokumen pribadi, catatan dan memo guna mengambarkan penelitian subjek

penelitian (Meleong, 1998:6).

Tipe penelitian deskriptif berusaha untuk mengambarkan dan menjelaskan

secara terperinci mengenai masalah yang diteliti yaitu tentang konflik dalam

kelompok dalam kelompok kekerabatan kaun Nan IV Tapi Tompo

1.6.2 Informan Penelitian

Dalam suatu penelitian kualitatif, informan adalah salah satu unsur pokok

dalam suatu penelitian, dari informan bisa didapatkan sebuah informasi yang

17
dapat memudahkan dalam melakukan penelitian. Informan penelitian adalah

orang yang memberikan informasi baik tentang dirinya ataupun orang lain atau

suatu kejadian atau suatu hal kepada peneliti atau pewawancara mendalam

(Afrizal, 2014:139). Informan penelitian adalah orang yang dimanfaatkan untuk

memberikan informasi tentang situasi dan latar penelitian. Jadi, ia harus

mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian. Ia berkewajiban secara

sukarela menjadi anggota tim walaupun hanya bersifat informal (Meleong,

2010:132). Informan juga diartikan sebagai responden penelitian yang berfungsi

untuk menjaring sebanyak-banyaknya data dan informasi yang berguna bagi

pembentukan konsep dan proposisi sebagai temuan penelitian (Bungin,

2001:206). Informan dalam penelitian ini adalah aktor-aktor yang terlibat dalam

konflik kelompok kekerabatan.

18
Jadi informan terdiri dari anggota kaum Nan IV yang terlibat langsung

dalam konflik kelompok kekerabatan termasuk didalamnya anak kemenakan dan

niniak mamak kaum. Perwakilan dari tokoh masyarakat Nagari Pagarayung

(Niniak Mamak, Bundo Kanduang), dan anggota KAN sendiri.

Tabel 1.1

Identitas Informan

No Nama Umur Keterangan

1 Dt. Simarajo 63 Tahun Ketua KAN yang menjabat pada saat

teradinya permasalahan Kaum Nan

IV Tapi Tompo

2 Junaidi 54 Tahun Ketua KAN yang menjabat sekarang

3 M.J.Dt. Mangkuto 60 Tahun Niniak Mamak

4 Jasmaniar 79 Tahun Bundo Kanduang

5 Nirwan 50 Tahun Anggota Kaum

6 Opandi 30 Tahun Anggota Kaum

Pemilihan informan penelitian diatas ditetapkan melalui teknik purposive

sampling. Teknik purposive sampling sendiri adalah penentuan informan sebelum

melakukan penelitian, peneliti menetapkan kriteria tertentu yang mesti dipenuhi

oleh orang yang dijadikan sebagai informan (Afrizal, 2014:140)

1. Dua orang yang dipilih dari kaum karena mereka terlibat langsung

dalam penyelesaian konflik.

19
2. Dua orang yang dipilih dari tokoh masyarakat menjadi informan

karena mereka juga berasal dari kaum yang sama dan mengetahui

kronologi konflik.

3. dua orang yang dipilih dari perwakilan KAN adalah menjabat sebagai

ketua KAN pada saat konflik terjadi

1.6.3 Data Yang Akan Diambil

Sumber data adalah salah satu vital dalam penelitian. Kesalahan dalam

menggunakan atau memahami sumber data, maka data yang diperoleh juga akan

berbeda dari yang diharapkan. Dalam penelitian untuk mendapatkan data atau

informasi data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder (Bungin,

2001 :129)

1. Data primer adalah data yang diperoleh dilapangan saat proses

penelitian berlangsung. Semua data primer diperoleh ketika melakukan

wawancara mendalam dengan informan (Umar, 2001 :42). Adapun

data yang diambil adalah wawancara dengan para pihak yang terlibat

dalat konflik kelompok kekerabatan Kaum Nan IV Tapi Tompo.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalu studi kepustakaan

yaitu dengan mempelajari bahan-bahan tertulis, literature, hasil

penelitian, website. Data sekunder yang dimaksud yaitu semua data

yang diperoleh melalui berkas-berkas pertemuan dan hasil dari

persidangan dalam konflik kelompok kekerabatan Kaum Nan IV Tapi

Tompo.

20
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data Yang digunakan

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini melalui

observasi dan wawancara mendalam yang kedua teknik ini saling mendukung dan

saling melengkapi. Berdasarkan metode penelitian yang dipakai yaitu metode

penelitian kualitatif, maka peneliti akan menggunakan metode:

1. Wawancara

Pada penelitian kualitatif, wawancara mendalam menjadi alat utama

yang dikombinasikan dengan observasi. Wawancara adalah proses percakapan

dengan maksud untuk mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian, kegiatan,

organisasi, motivasi, perasaan dan sebagainya, yang dilakukan oleh dua pihak

yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang

diwawancarai (Bungin, 2010:155)

Seorang peneliti tidak melakukan wawancara berdasarkan jumlah

pertanyaan yang telah disusun dengan mendetail dengan alterntif jawaban yang

telah dibuat sebelum melakukan wawancara, malainkan berdasarkan pertanyaan

umum yang kemudian didetailkan dan dikembangkan ketika melakukan

wawancara atau setelah wawancara berikutnya (Afrizal, 2014:20-21).

Wawancara dilakukan oleh peneliti dengan cara langsung mendatangi

informan yang berada di Nagari Pagaruyung yaitu anggota Kerapatan Adat Nagari

(KAN), tokoh masyarakat yang ada disana. Wawancara yang dilakukan di Nagari

Pagaruyung dua sampai empat kali wawancara. Wawancara dilakukan dirumah

informan.

Dalam penelitian ini menggunakan alat pengumpulan data berupa:

21
1. Daftar pedoman wawancara digunakan sebagai pedoman dalam

mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada informan.

2. Buku catatan dan pena digunakan untuk mencatat seluruh keterangan

yang di berikan oleh informan.

3. Handphone digunakan untuk merekam sesi wawancara yang sedang

berlangsung.

4. Kamera digunakan untuk mendokumentasikan seluruh peristiwa yang

terjadi selama proses penelitian.

Kendala yang ditemukan dalam proses wawancara yaitu terkadang pada

saat sedang melakukan wawancara terkadang informan yang akan dijadikan

sumber data tidak berada dirumahnya dan terpaksa peneliti melakukan janji

dengan informan untuk melakukan wawancara.

Selain itu, kendala yang ditemukan pada saat wawancara yaitu sulitnya

menggali informasi dari informan, informan tidak terlalu terbuka untuk

memerikan informasi dikarenakan ini menyangkut kaum mereka sendiri dan yang

akan menjelekan nama dari anggota kaum mereka.

Selanjutnya, untuk menvalidkan dan mendalami data maka peneliti

melakukan triangulasi, triangulasi bukanlah alat atau strategi pembuktian,

melainkan suatu alternatif pembuktian. Kombinasi yang dilakukan melalui multi-

metode dalam hal bahan-bahan empiris, sudut pandang dan pengamatan yang

teratur tampaknya menjadi suatu strategi yang baik untuk menambah kekuatan,

keluasan dan kedalaman suatu penelitian (Salim, 2006:35). Triangulasi data

berfungsi untuk mengecek kevaliditasan data, maka orang- orang yang dimintai

22
informasi dalam penelitian ini yaitu para pihak yang ikut terlibat dalam konflik

kelompok kekrabatan.

1.6.5 Unit Analisis

Unit analisis adalah satuan yang digunakan dalam menganalisa data.. Unit

analisis berguna untuk memfokuskan kajian yang dilakukan atau dengan

pengertian lain objek yang diteliti ditentukan kriterianya sesuai dengan

permasalahan dan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini unit analisisnya adalah

kelompok atau Kaum Nan IV Tapi Tompo.

1.6.6 Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif mengandung arti pengujian

sistematis terhadap data. Pengujian sistematis dilakukan untuk menentukan

bagian-bagian dari data yang telah dikumpulkan, hubungan diantara bagian-

bagian data yang telah dikumpulkan serta hubungan antara bagian-bagian data

tersebut dengan mengkategorisasi informasi yang telah dikumpulkan dan

kemudian mencari hubungan antara kategori-kategori yang telah dibuat (Spradley,

1997:117-119). Analisis data dalah mereduksi data, menyajikan data dan menarik

kesimpulan. Reduksi data adalah sebagai kegaiatan pemilihan data penting dan

tidak penting dari data yang terkumpul, sedangkan penyajian data merupakan

informasi yang tersusun dan kesimpulannya (Afrizal, 2014:174).

Analisis data dalam penulisan laporan yaitu melakukan konseptualisasi

data dan mencari hubungan antara konsep ketika menulis laporan. Analisis data

dalam penelitian kualitatif juga merupakan suatu proses yang sistematis untuk

menentukan bagian-bagian dan saling keterkaitan antara bagian-bagian dan

23
keseluruhan dari data yang telah dikumpulkan guna menghasilkan klasifikasi atau

tipologi (Afrizal, 2014:174- 176).

Sesuai dengan penelitian ini, maka seluruh data yang telah dikumpulkan

oleh peneliti dari wawancara dan pengumpulan dokumen yang dilakukan dalam

proses penacarian informasi disusun secara sistematis dan disajikan secara

deskriptif serta dianalisa secara kualitatif untuk mendeskripsikan proses resolusi

konflik dalam kelompok kekerabatan kaum Nan IV Tapi Tompo.

1.6.7 Lokasi Penelitian

Daerah yang dijadikan sebagai lokasi penelitian dalam penelitian ini

adalah kaum nan IV Tapi Tompo Jorong IV Pagaruyung Kecamatan Tanjung

Emas Kabupaten Tanah Datar. Peneliti memilih sebagai lokasi karena adanya

konflik dalam kelompok kekerabatan kaum Nan IV Tapi Tompo.

1.6.8 Proses Penelitian

Dalam penelitian ini penulis membagi tiga tahap yang dilalu dari awal

sampai akhir penilitian. Tahap-tahap tersebut adalah tahap pra lapangan, tahap

dilapangan, dan yang terakhir tahap pasca lapangan (analisis data ).

Pada tahap pra lapangan diawali dengan pembuatan dan penyusunan

rancangan penelitian atau disebut juga proposal penelitian, namun sebelum

menyusun proposal peneliti sudah mengadakan survey kelapangan dikarenakan

juga tidak terlalu jauh dari rumah peneliti. Setelah bimbingan dari kedua dosen

pembimbing maka pada bulan Juni 2015, proposal tersebut diseminarkan. Setelah

lulus ujian proposal penulis mengurus surat-surat penelitian untuk turun

24
kelapangan pada akademik fakultas. Sebelum turun kelapangan, terlebih dahulu

penulis mendiskusikan dengan dosen pembimbing untuk mempersiapkan

pertanyaan penelitian dan menyusun daftar data yang dibutuhkan serta car

pengambilannya. Dari daftar tersebut diperoleh gambaran bahwa ada data yang

dipeoleh dari kantor wali nagari pagaruyung dan dari pihak yang terkait dalam

masalah peneliti. Penelitian lapangan dimulai semenjak tanggal 9 Oktober sampai

dengan pertengahan Desember sambil menyusun laporan penelitian.

Pengambilan data sekunder juga beriringan dengan penelitian lapangan,

data yang diambil berupa arsip dari nagari pagaruyung pada tanggal 5 oktober

2015, pengambilan data sekunder ini dilanjutkan dengan wawancara mengenai

lokasi yang dijadikan penelitian lapangan.

Peneliti melakukan penelitian lapangan kepada informan dengan memulai

percakapan yang lebih santai dan sekedar basa-basi. Wawancara yang dilakukan

penulis berkisar dari 30 menit sampai 2 jam dalam setiap pertemuan dengan

informan. Peneliti tidak melakukan penelitian lapangan setiap hari, ini disebabkan

oleh kesibukan yang dimilik oleh informan.

Dalam pemilihan informan penulis tetapkan berdasarkan kebutuhan

penelitian dan kejenuhan data. Selama penelitian , penulis selalu menjaga dan

membentengi diri agar tetap netral dan tidak menimbulkan keberpihakan kepada

salah satu pihak. Hal tersebut peneliti lakukan dengan berusaha agar tidak terlalu

terlbat dalam masalah penelitian dan tidak mudah simpatik terhadap pihak

manapun karena peneliti menyadari tujuan penelitian ini untuk melihat konflik

25
dalam kelompok kekerabatan memperebutkan tanah pusaka tinggi, penulis hanya

menjaring informasi data sebanyak-banyaknya untuk mendapat jawaban dalam

menjawab tujuan peneltian tersebut.

Tahap terakhir adalah tahap pasca lapangan, tahap ini merupakan tahap

yang rumit dan memakan waktu paling lama. Di sini penulis mengklasifikasikan

atau mengelompokkan data-data yang telah diperoleh di lapangan. Setelah

dikelompokkan dan dianalisis, penulis membuat suatu kesimpulan sebagai

jawaban dari permasalahan yang diteliti. Kemudian hasil yang diperoleh disajikan

dalam bentuk tulisan ilmiah yang melalui perbaikan-perbaikan dan arahan dari

kedua dosen pembimbing yang akhirnya menjadi sebuah skripsi.

26
1.6.9 Jadwal Penelitian

Tabel 1.2. Jadwal Penelitian

Uraian
N Bulan
Aktifitas 2015 2016
M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N
A P E U U G E K O E A E A P E U U G E K O
R R I N L S P T V S N B R R I N L S P T V
Survei
1
awal dan
Tor
penelitian
Keluar
2 SK
pembimbi
ng
Bimbingan
3
Proposa
Seminar
4
proposal
Perbaikan
5
proposal
Pengurusu
6
san Surat
Izin
Penelitan
Penelitian
7
Bimbingan
8
Skripsi
Analisis
9
Data
Ujian
1
Skripsi

27
BAB II

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

2.1 Gambaran Umum Nagari

2.1.1 Perkembangan Nagari Pagaruyung

Nama nagari ini berasal dari suatu peristiwa masa silam. Dahulunya di

dataran ini mengalir sebuah sungai yang bernama Batang Selo yang berhulu dari

Gunung Sago. Di sungai inilah penduduk mandi dan pada saat itu banyak terdapat

buaya yang menganggu dan menakutkan bagi rakyat. Oleh karena itu timbullah

pikiran dari raja untuk memberi pagar sungai tersebut agar buaya tidak dapat naik

lagi ketempat pemukiman penduduk. Diambilah sebangsa kayu yang diberi nama

ruyuang untuk pemagar sungai pada bagian hilirnya, yaitu disebuah nagari yang

bernama kumanis dan menurut cerita buaya-buaya ini disumpahi raja tidak boleh

melampaui pagar tersebut. Oleh karena itu ruyuang tersebut berasal dari nagari

Tanjung Bungo, pada saat itu diubahlah nama negeri itu menjadi Pagaruyung

( Tariq : 2010).

Berdasarkan sejarah dan Tambo alam Minangkabau, Pagaruyung dulunya

adalah pusat Kerajaan Minangkabau yang berasal dari Nagari Padang Panjang

bersamaan dengan didirikannya Kerajaan Minangkabau ketika Adityawarman

memerintah sekitar abad ke-13. Asal-usul pendatang baru setelah kemerdekaan

Republik Indonesia datang orang-orang bekas Romusha Jepang kurang lebih 40

keluarga dari pulau Jawa pada tahun 1946.

28
Setelah tidak ada lagi kerajaan kurang lebih tahun 1912, maka Pagaruyung

merupakan suatu Kecamatan yang bernama Kecamatan Pagaruyung yang mana

didalmnya termasuk 13 keselarasan. Pusat Kecematan adalah Pagaruyung,

sedangkan Nagari Pagauyung sendiri merupakan suatu keselarasan pula yang

diperintah oleh Tuanku Lareh yang diangkat oleh Belanda untuk menerima

langsung perintah Demang. Kemudian Lareh ini dihapuskan oleh perintah

Belanda Pagauyung menjadi order districk yang dikepalai oleh Hoff Onder

District (asisten demang). Karena jauhnya jarak antara keselarasan-keselarasan

yang termasuk dalam kecematan pagaruyung maka atas 2 kecematan :

1. Kecamatan Sungayang

2. Kecamatan Tanjung Emas

Onder Distrik pagaruyung termasuk dalam Kecamatan Tanjung Emas,

setelah kemerdekaan Republik Indonesia onder distrik Pagauyung menjadi suatu

kenagarian yang diperintah oleh seorang wali nagari dan pusat kecamatan ke

Saruaso yaitu daerah pertengahan dari kecamatan untuk memudahkan jalannya

pemerintahan. (Thaib :1967:13)

Sebagaimana nagari-nagari lainya di Kabupaten Tanah Datar, dalam

pelaksanaan sistim pemerintahan nagari di Pagaruyung mengikuti pelaksanaan

sistim penyelenggaraan pemerintahan nagari dibawah paying hokum yang

ditetapkan oleh Negara Indonesia dan daerah yang tercantum dalam Perda

Kabupaten Tanah Datar tentang pemerintahan nagari.

29
Luas nagari Pagaruyung sebesar 2987 hektar dan terdiri dari tujuh jorong,

jorong terluas adalah Jorong Padang Datar dan yang terkecil adalah Jorong Balai

Janggo.

Table 2.1 Luas Nagari Pagaruyung

No Nama Jorong Luas Jorong

1 Padang Datar 600 Ha

2 Mandailing 570 Ha

3 Gudam 481 Ha

4 Nan Ampek (IV) 460 Ha

5 Nan Sambilan 277 Ha

6 Kampung Tangah 240 Ha

7 Balai Janggo 359 Ha

(Sumber Data : Profil Nagari Pagaruyung, 2008.)

Dari tahun 1948 telah ada sebanyak delapan orang wali nagari pagaruyung,

 Mansyur Usman (1948-1950)

 Djamin Kari Datuak Marajo (1950-1958),

 M. Zein Malin Malano (1958-1965),

 Syamsudin Hamid Datuk Simarajo (1965-1972),

 Bais Kari Mudo (1972-1974),

 Syamsudin Hamid Datuk Simarajo(1974-1985)

 Datuak Rajo Malano 2002-2007,

 Jamaris Malin Sutan (2009-2015).

30
Tidak didapatkan data tentang pejabat Wali Nagari Pagaruyung selama

tahun 2007-2009. Menurut masyarakat Nagari Pagaruyung pada tahun 2007-2009

Wali Nagari di jabat oleh Penjabat Sementara (PJS) yang bernama Zulkifli Idris

dikarenakan Wali Nagari sebelumnya meninggal dunia saat masih menjabat Wali

Nagari. Pada tahun 2010, pemerintahan nagari dibantu oleh 15 staf kenagarian, di

antaranya adalah Riri Marsanti, Nasrul, Hafni Yeni, Helmi Laila, Rama Deni,

Azwandi, Marlis, Novera Yos Putra, Jum Hardi,A. Malin Parmato, Syafni,

Mulyadi, dan Atri Mulyani.

2.1.2 Kondisi Geografis

Nagari Pagaruyung terletak di dataran tinggi Luhak Nan Tuo dengan

ketinggian 450-900 mdpl. Nagari yang terdiri dari lembah dan perbukitan serta

memiliki curah hujan 3100 melimeter per tahunnya, yang berlangsung selama 7

bulan dalam waktu yang tidak berurutan. Panjang jalan desa yang telah diaspal di

nagari Pagaruyung adalah 20 kilometer, jalan makadam 15 kilometer, dan jalan

tanah sepanjang 5 kilometer. Sementara jalan aspal antar desa kecamatan berjarak

15 kilometer. Jalan desa yang terbentang di Nagari Pagaruyung dihubungkan oleh

empat unitjembatan beton dan 8 unit jembatan kayu, seperti jembatan Lubuk

Tapuk dan jembatan Sinandang. Letak astronomis nagari Pagaruyung adalah pada

garis lintang 0°27' adalah 271o Lintang Selatan dan 100° 191' B T - 100° 511' B T.

Secara administratif Nagari Pagaruyung memiliki batas wilayah sebagai berikut :

 Sebelah Barat berbatasan dengan Nagari Baringin

 Sebelah Timur berbatasan dengan Nagari Saruaso

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Saruaso

31
 Sebelah Utara berbatasan dengan nagari Minangkabau

Mata pencaharian penduduk Nagari Pagaruyung umumnya adalah petani,

pedagang, PNS/TNI?POLRI. sesuai dengan table :

Tabel 2.2 Mata Pencaharian Penduduk Nagari Pagaruyung

NO Jenis Mata Pencaharian Jumlah (Orang)

1 Petani 2563

2 Pedagang 489

3 PNS/TNI-POLRI 447

4 Pengusaha -

5 Jasa 320

6 Dan lain-lain 397

Sumber data : Profil Nagari Pagaruyung 2008

2.1.3 Pendidikan

Melihat dari kemampuan penduduk Pagaruyung yang bermata pencaharian

dalam bidang pertanian, pedagang, PNS/TNI-POLRI, kemudian usaha pertanian

terutama pertanian tanah sawah, maka inipun sangat berpengaruh pada tingkat

pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat Nagari Pagaruyung kedepan. Hal ini

sangat penting bagi tingkat pendidikan masayarakat pagaruyung dan budaya

merantau yang sudah lama berkembang dan hidup ditengah-tengah masyarakat.

Dengan budaya merantau, masayarakat yang diperantauan dapat lebih maksimal

berupaya meningkatkan pendidikan keluarganya.

32
Disamping hasil pendapatan yang berpenagaruh kuat pada tingkat

pendidikan yang tidak kalah pentingnya adalah tingkat penyedia sarana

pendidikan yang terdapat di Nagari Pagaruyung. Sarana pendidikan tersebut

diperlukan sebagai basis yang kuat untuk memulai peningkatan pendidikan

masayarakat.

Kondisi penyedia sarana pendidikan ini telah memotivasi berbagai

kalangan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ketingkat pendidikan yang

lebih tinggi. Hal ini tentu saja mempengaruhi tingakat kualitas sumber daya

manusia yang dimiliki oleh Nagari Pagaruyung

Tabel 2.3 Tingkat Pendidikan Masyarakat Nagari Pagaruyung

NO Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang)

1 Tidak Tamat SD 127

2 Tamat SD 321

3 Tidak Tamat SLTP 225

4 Tamat SLTP 557

5 Tidak Tamat SLTA 437

6 Tamat SLTA 1420

7 Tamat Perguruan Tinggi 2157

Sumber Data: Profil Nagari Pagaruyung 2008

Dari tabel dapat dijelaskan bahwa tingkat kualitas pendidikan di Nagari

Pagauyung cukup memadai untuk melaksanakan pembangunan dan diharapkan

dapat memberikan kontribusi yang selayaknya bagi perkembangan nagari.

33
Kondisi ini jelas merupakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat potensial

sebagai modal untuk melaksanakan pembangunan di Nagari Pagaruyung.

2.1.4 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana pendukung yang sangat berpenagaruh terhadap

perkembangan Nagari Pagauyung, adapun sarana dan prasarana yang dimiliki

oleh pemerintah Nagari Pagaruyung

Tabel 2.4 Jumlah Sarana dan Prasarana Pemerintahan

NO Jenis Sarana Prasarana Jumlah (Unit)

1 Kantor Nagari 1

2 Kantor Wali Jorong 7

3 Kantor KAN 1

4 Kantor Pemuda Nagari 1

5 Kantor BPRN 1

6 PUSKESMAS 1

Sumber Data: Profil Nagari Pagaruyung 2008

Dari table terlihat untuk Kantor Pemerintahan Nagari berjumlah 1 unit,

kemudian Kantor Wali Jorong 7 unit, Kantor KAN 1 unit, Kantor BPRN 1 unit,

Kantor Pemuda 1 unit dan PUSKESMAS 1 unit.

34
Untuk menunjang tingkat pendidikan Nagari Pagaruyung terdapat sarana

dan prasarana yang dapat mendukung mutu pendidikan masyarakat Nagari

Pagaruyung seperti dalam tabel.

Tabel 2.5 Jumlah Sarana dan Prasarana Pendidikan

NO Sarana Pendidikan Jumlah (Unit)

1 SLTA -

2 SLTP 1

3 SD 3

4 TK 1

Sumber Data : Profil Nagari Pagaruyung 2008

Dari tabel dapat dilihat bahwa sarana dan prasarana pendidikan yang ada

di Nagari Pagaruyung SLTP 1 unit, SD 3 unit dan Taman Kanak-kanak sebanyak

1 unit. Terlihat untuk sarana tersebut belum dapat menampung lulusan berbagai

tingkat pendidikan untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Untuk melanjutkan ke tingkat SLTA dari SLTP anak didik menyambung ke

nagari lain .

35
Kemudian untuk sarana dan prasarana umum yang dimilik oleh Nagari

Pagaruyung terlihat dalam table :

Tabel 2.6 Jumlah Sarana dan Prasarana Umum

No Jenis Sarana Umumn Jumlah (Unit)

1 Mesjid 8

2 Mushollah 29

3 Surau 13

4 Lapangan Bola Kaki 1

5 Lapangan Bola Voli 4

6 Lapangan Bulu Tangkis 3

Sumber Data : Profil Nagari Pagaruyung 2008

2.1.5 Sistem Kekerabatan Nagari Pagaruyung

Sistem kekerabatan yang dianut oleh nagari pagaruyung seperti

kebanyakan sistem kekerabatan yang ada di Sumatera Barat adalah sistem

Matrinilial yang mana pewarisan menurut garis keturunan ibu(perempuan). Yang

mana dalam ahli waris atau pewarisan harta menurut garis keturunan ibu. Nagari

pagaruyung memilik beberapa suku :

1. Suku Malayu

2. Suku Kutianyia

3. Suku Piliang

4. Suku Simabu

36
5. Suku Korong Panjang

6. Suku Korong Malintang

7. Suku Dalimo

8. Suku Mandaliko

9. Suku Tapi Tompo

10. Suku Sungai Santu

11. Suku Subarang Labuah

12. Suku Payo Badar

13. Suku Korong Bayua

Sebagai kesatuan masyarakat minangkabau yang pada umumnya

menganut agama islam dan masyarakat adatnya bersifat genealogis-matrilineal,

yang merupakan kesatuan-kesatuan keluarga kecil yang disebut paruik sebagai

bagian dari kesatuan suku atau kampuang (kampung) sebagai tempat kediaman.

Dalam sebuah kampung terdiri dari beberapa paruik atau suku yang berbeda-beda.

Sehingga ada kemungkinan kesatuan keluarga paruik dari satu kesatuan suku

mendiami kampung yang berlainan. Kesatuan yang formal adalah Suku yang

dipimpin oleh seorang penghulu suku dan kampung yang dipimpin oleh penghulu

andiko atau datuak kampuang. Jadi sudah jelas bagi kita bahwa penghulu tersebut

berkedudukan di dalam suku dan sekaligus menjadi pemimpin dalam sukunya.

37
BAB III

KONFLIK KELOMPOK KEKERABATAN MEMPEREBUTKAN TANAH

PUSAKA TINGGI

Pada bab ini, berisi pembahasan temuan data hasil penelitian yang

diperoleh selama penelitian. Hasil ini berupa data dianalisis dan dipaparkan dalam

bentuk narasi deskripsi, dan informan yang lebih rinci sesuai dengan kebutuhan

penelitian.

3.1 Kronologi Konflik

Pengangkatan gelar Dt. Rajo Lelo ( Azinar Zainal ) setelah meninggal

dunianya pemegang gelar, yang dipegang oleh Idris. Pengangkatan gelar

dilakukan pada tahun 1984. Namun dalam pengangkatan gelar Dt. Rajo Lelo ini,

Azinar Zainal yang bukan kaum asli dari kaum Tapi Tompo, namun sudah lama

menetap dalam lingkungan kaum dan sudah di anggap sebagai anggota kaum itu

sendiri. Azinar mengajukan permohonan kepada niniak mamak kaum Tapi tompo

untuk dapat memakai gelar Dt. Rajo Lelo karena menimbang dan memikirkan

kepentingan kaum yang mana setelah sepeninggalnya Dt. Rajo Lelo sebelumnya.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Yusniati Ahmad selaku wali nagari

pada masa itu:

“ Demi mempertahankan supayo indak tajadi konflik dalam kaum ambo


nan manandatangani surek iko tapi ambo takuik pulo untak
manandatangani surek iko. Jadi ambo manelepon Dt. Simarajo nan
manjabek sebagai ketua KAN pado maso itu. Ambo nan manandatangani
surek yan isinyo bawahsanya gala ko indak turun manurun sebab gala ko
yang keceknyo dipinjam oleh Azinar Zainal”

38
Bahasa Indonesia :
“demi mempertahankan supaya tidak terjadi konflik dalam kaum, saya
yang menandatangani surat ini. Tapi saya juga takut untuk
menandatangani surat ini. Jadi saya mehubungi Dt. Simarajo yang
menjabat sebagai ketua KAN pada masa itu, saya tanda tangani surat yang
isinya bahwa gelar(sako) ini tidak secara turun temurun sebab gelar ini
dipinjam oleh saudara Azinar Zainal”
Dalam pengangkatan sako ini menimbang dan memutuskan saudara

Azinar sebagai pimpinan baru dalam kaum atau juga disebut sebagai niniak

mamak pucuak namun terdapat 2 persetujuan yang harus di ingat oleh anggota

kaum sendiri :

1. Sako yang dipakai hanya seumur hidupnya, dan ketika Azinar

meninggal dunia sako harus dikembalikan lagi pada kaum. Sako tidak

boleh dinasabkan pada keturunannya.

2. Mengenai pusaka dah hal-hal yang berkaitan dengan fungsi adat harus

selalu melakukan musyawarah dengan niniak mamak empat jinih

dalam kaum tapi tompo.

Saudara Azinar meninggal tahun 1992 dan menurut keluarganya sako

tersebut harus dipegang oleh anggota dari keluarga Azinar. Yang ditunjuk oleh

pihak keluarga adalah Drs. Mufit Emizar yang harus memakai gelar Dt. Rajo

Lelo. Namun dalam pengangkatan gelar Dt. Rajo Lelo terdapat pertentangan

dalam kaum Tapi Tompo yang di ajukan oleh pewaris sah pemegang gelar Dt.

Rajo Lelo (Zarmidaz Dt. Lelo ) dalam surat permohonan yang di ajukan pada

L.K.A.A.M Tanah Datar yang mana isi dalam surat permohonan pembatalan

pengangkatan gelar Penghulu kaum :

39
1. Pengangkatan atas nama saudara tersebut tidak sah menurut ketentuan

adat, karena gelar pusaka tersebut tidak ada bertali darah dengan

keturunannya ( lah balain tunggua jo panabangan )

2. Setelah beberapa kali gugatan dan dakwaan kami yang diajukan

kepada ketua KAN Pagaruyung, ternyata tidak ada tanggapan, dan

untuk itu bantahan kami ajukan pada L.K.A.A.M.

3. Pengangkatan gelar ini adalah terlepas dari kami selaku penghulu

kaum beserta ahli waris Dt. Lelo yang sah dan tidak ada sangkut

pautnya dengan kami.

4. Atas segala hukum adat dan silang sengketa yang akan ditimbulkan

oleh pengangkatan ini terelepas dari tanggung jawab kami.

5. Penyalahgunaan pemakaian gelar pusaka kaum ini, dapat kami

buktikan secara otomatik, baik berupa saksi hidup, ataupun benda mati

beserta pusaka kaum, sesuai dengan sejarah kaum Tapi Tompo yang

asli, melalui sidang Kerapatan Adat ditingkat manapun jika diperlukan

atau forum-forum lain yang dirasa perlu ( bagalanggang mato rang

banyak, basuluah matohari).

Setelah melalui pedebatan yang sangat panjang dalam anggota kaum,

niniak mamak dalam kaum sepakat untuk mengangkat Drs. Mufti Muzar menjadi

Dt. Rajo Lelo karena menimbang dan memutuskan dan dirasa yang layak menjadi

kriteria menjadi seorang pemimpin kaum harus mempunyai pendidikan yang

layak agar bisa mengambil keputusan yang bijaksana dan adil dalam kaum. Dt.

40
Rajo Lelo di angkat pada tahun 1993 setelah disetujui dan disepakati oleh

sebagian besar dalam anggota kaum Tapi Tompo.

Gambar 3.2. Surat peminjaman gelar

Sumber Data : Arsip Kaum Nan IV

3.1.2 Konflik Internal Dalam Kaum

Dengan adanya seorang pimpinan baru dalam kaum yang diharapkan oleh

seluruh anggota kaum supaya bisa dapat memimpin dan menjalankan amanat

yang telah diberikan kepadanya, Drs.Mufti Muzar mulai menjalani kehidupan

dengan sako yang disandang oleh dirinya sebagai Datuak Pucuak kaum yang

bergelar Dt. Rajo Lelo.

Jika dilihat dari artinya, kata penghulu berasal dari kata “Hulu” yang

artinya pangkal. Dari penjelasan diatas sudah jelas bagi kita semua bahwa

penghulu berarti kepala kaum. Semua penghulu bergelar datuk. Datuk artinya

41
orang berilmu (datu-datu) yang dituakan. Kedudukan penghulu dalam nagari tidak

sama atau kedudukan penghulu bertingkat-tingkat seperti di keselarasan Koto-

Piliang dan ada juga kedudukan penghulu yang sama seperti keselarasan bodi-

caniago. Dalam pepatah adat disebutkan :

“Luhak-bapanghulu”

“Rantau-barajo”

Hal ini berarti bahwa penguasa tertinggi pengaturan masyarakat adat

didaerah luhak nan tigo, berada ditangan para penghulu. Jadi penghulu memegang

peranan utama dalam kehidupan masyarakat adat. Peranan penghulu sebagai

berikut :

1. Sebagai pemimpin yang diangkat bersama oleh kaumnya sesuai rumusan adat:

“jadi penghulu sakato kaum,

Jadi rajo sakato alam”

2. Sebagai pelindung bagi semua kaumnya.

3. Sebagai hakim yang memutuskan semua masalah dan silang sengketa dalam

kaum, (Amir, 1980:34)

Namun dalam pimpinan Dt. Rajo Lelo adanya masalah yang menyangkut

tentang hak milik dari tanah ulayat atau tanah pusaka yang mana adalah milik kaum

dari kaum Tapi Tompo sendri. Masalah yang paling fatal dilakukan oleh Drs. Mufit

Emizar Rustam yang melakukan kerjasama penyewaan tanah ulayat milik kaum Tapi

Tompo dengan PT. SATELINDO untuk pembangunan Tower Pemancar Gelombang

Microwave setinggi 100 m yang berlokasi di belakang benteng, jorong Kampung

Baru Kenagarian Baringin, Kecamatan V kaum, Kabupaten Tanah Datar.

42
Karena menurut Nirwan apa yang telah dilakukan oleh Dt. Rajo Lelo tidak

diketahui oleh ninik mamak 4 jinih dan anak kemenakan kaum tapi tompo.

“Sapangatahuan ambo yang ma karajosamo antaro 2 pihak ko indak


dikathui oleh niniak mamak 4 jiniah, jo anak kemenakan suku nan IV, nan
ma suku nan ampek ko tabagi dalam 4 kampuang, nan partamo
Kampuang Melayu Tapi Tompo( dibagi lo manjadi Tapi Tompo Rumah
Ateh jo Tapi Tompo Rumah Bawah ) nan kaduo Kampuang Melayu
Karang Bayur, nan katigo Kampuang Melayu Kamalakang jo Kampuang
Melayu Tapi Balai. Pas masalah ko dimusyawarahan dek niniak mamak,
jo anak kemenakana Drs. Mufti Emizar Rustam ko indak mamacik gala
Dt. Rajo Lelo sababnyo baliau tu galanyo alah dicabuik dek niniak mamak
dek baliau indak bisa manjadi panutan sebagai pimpinan adat dalam suku
ko”

Bahasa Indonesia “
“ Sepengetahuan saya yang mana kerjasama antara 2 pihak ini tidak diketahui
oleh ninik mamak 4 jinih dan anak kemenakan suku nan IV, yang mana suku
nan IV terbagi dalam 4 kampung. Yang pertama Kampung Melayu Tapi
Tompo ( yang mana terbagi juga atas Tapi Tompo Rumah Atas dan Tapi
Tompo Rumah Bawah ), yang kedua Kampung Melayu Karang Bayur, yang
ketiga Kampung Melayu Kamalakang dan Kampung Melayu Tapi Balai. Saat
masalah ini dimusyawarahkan oleh niniak mamak 4 jinih dan anak kemenakan
Drs. Mufit Emizar Rustam tidak lagi memegang gelar Dt. Rajo Lelo sebab
gelar yang dia pakai telah dicabut oleh niniak mamak karena beliau tidak bias
menjadi panutan sebagai pimpinan adat dalam suku”.

Pada tanggal 1 juli 2002 menurut keterangan sumber sekunder berupa surat

keputusan tentang pencabutan gelar soko Dt. Rajo Lelo yang berbunyi :

1. Saudara Mufit Emizar Rustam selaku pemakai soko kaum Tapi Tompo

atau pucuk adat dengan gelar Dt. Rajo Lelo yang dipinjamkan kepada

yang bersangkutan atas permohonan sendiri tidak lagi atau telah ingkar

dari janji sebelum soko dipinjamkan seperti tertuang dalam surat

permohonan Pemakaian Gelar Soko Kaum Tapi Tompo.

43
2. Saudara Mufit Emizar Rustam tidak lagi menghargai ninik mamak, cerdik

pandai serta anak kemenakan dalam mengambil keputusan yang

seharusnya berdasarkan musyawarah dan mufakat.

3. Saudara Mufit Emizar Rustam, dalam setiap keputusan dan kebijaksanaan

yang dikeluarkannya selaku pemakai gelar pucuk adat kaum Tapi Tompo

selalu merugikan kaum Tapi Tompo.

Untuk itu ninik mamak, cerdik pandai dan seluruh ana kemanakan kaum

Tapi Tompo berkesimpulan : “ Sasek diujuang jalan, baliak kapangka jalan.

Sasek diujuang kato, baliak kapangka kato “. Sehingga berdasarkan hasil

musyawarah dan mufakat ninik mamak, cerdik pandai, dan seluruh anak

kemenakan kaum Tapi Tompo tanggal 1 juli 2002, diambil kesepakatan untuk :

1. Mencabut gelar soko pucuk adat yang dipinjamkan kepada saudara Mufit

Emizar Rustam.

2. Dengan telah dicabutnya kembali gelar soko pucuk adat ini, maka kaum

Tapi Tompo kembali dibawah naungan Bapak J. Dt. Rajo Mangkuto

selaku mamak kepala kaum

3. Orang yang akan memakai gelar soko pucuk adat kaum Tapi Tompo ( Dt.

Lelo ) selanjutnya akan ditentukan dikemudian hari berdasarkan

musyawarah dan mufakat seluruh ninik mamak, cerdik pandai, dan seluruh

anak kemenakan kaum Tapi Tompo.

4. Dengan telah dicabutnya kembali gelar soko pucuk adat ini, maka seluruh

harta pusaka ( ulayat ) dan sawah singguluang Panghulu Dt. Lelo yang

44
selama ini dikelola oleh saudar Mufit Emizar Rustam diambil alih kembali

( dikembalikan ) kepada yang berhak ( kaum Tapi Tompo )

Karena penghulu atau datuak pucuak adalah seorang pemimpin di dalam

kaumnya maka sebagai seorang penghulu tersebut harus memiliki sifat-sifat

penghulu. Sifat-sifat penghulu itu ada empat macam yaitu :

1) Saddiq artinya penghulu itu bersifat benar.

2) Amanah artinya penghulu dipercayai lahir batin.

3) Fathanah artinya penghulu itu cerdas (cadiak)

4) Tablig artinya penghulu itu menyampaikan.

Di luhak nan tigo, penghulu itulah yag melaksanakan pemerintahan,

menyelesaikan pertikaian. Penghulu dalam hal ini di ibaratkan :

Kayu Gadang ditangah Padang


Tampek Balinduang Kapanehan
Tampek Balindug Kaujanan
Ureknyo Tampek Baselo
Batangnyo Tampek Basanda
Pai Tampek Batanyo
Pulang Tampek Bababrito

Dilihat dari pepatah diatas, dapat dijelaskan bahwa Fungsi dari Penghulu

itu ada dua yaitu :

1) Memerintah dan membimbing anak kemanakan ( Fungsi Kepamongan)

2) Menyelesaikan perselisihan dalam Kaumnya (fungsi Hakim)

Tapi dalam nagari, penghulu ini dapat dikatakan sebagai dewan nagari dan

dewan hakim dalam nagari.

45
Melihat hal-hal diatas, sudah jelas bagi kita bahwa peran dan fungsi

penghulu ini sangat besar sekali dalam kepemimpinan di dalam kerapata adat

minangkabau. Oleh sebab itu yang menjadi seoarang penghulu tersebut adalah

bukan orang sembarangan. Untuk menjadi seorang penghulu harus memenuhi

beberapa syarat yakni :

1. Baliq berakal.

2. Berbudi baik.

3. Beragama islam.

4. Dipilih oleh ahli waris menurut tali ibu (tali darah menurut adat sepakat

ahli waris), nan salingkuang cupak adat, nan sapayuang sapak tagak.

5. Mewarisi gelar sako, dan mempunyai harta pusaka.

6. Sanggup mengisi adat manuang limbago menurut adat nagari setempat,

badiri penghulu sepakat waris, badiri adat sapakat nagari.

7. Pancasilais sejati.

Dan ada juga ditambah syarat-syarat ini menurut adat senagari-nagari yang

dibuat dengan kata mufakat. Menurut adat nan teradatkan di nagari setempat,

(Hakimy, 1986:81).

Mufit selaku pemakai gelar soko Dt. Rajo Lelo dalam masa fungsi dan

perannya sebagai datuk pucuk pimpinan kaum Tapi Tompo. Dalam memegang

mandat yang diberikan tentang menjaga dan memelihara harta pusaka tinggi yang

mana sebagian besar harta pusaka tinggi milik kaum berupa tanah ulayat atau

yang sering disebut sebagai tanah kaum. Mufit banyak melakukan pelanggaran

dalam hal tatacara dalam penggunaan harta pusaka yang mana harus disetujui oleh

46
sebagaian besar ninik mamak dan anak kemenakan dalam kaum itu sendiri.

Seperti contohnya daam hal pembangunan perumahan guru yang berlokasi di

SDN 26 Batusangkar. Memang Sekolah tersebut termasuk dalam tanah ulayat

kaum dan sudah disetujui oleh para ninik mamak sebelumnya bahwasanya tanah

tersebut disewakan kepada sekolah. Namun yang membuat janggal adalah

berdirinya perumahan guru yang berlokasi di dalam sekolah. Menurut data

sekunder berupa gugatan yang ada dalam agenda peradilan tahun 2003.

Bahwasanya bangunan tersebut tidak diketahui oleh sebagian besar anggota kaum

dari Tapi Tompo. Mereka hanya mengetahui setealah bangunan tersebut siap.

Seharusnya sebelum dan sesudah pembangunan dilakukan harus ada musyawarah

dengan para anggota kaum. Namun Dt. Rajo Lelo tidak melakukan hal tersebut

dan hanya melakukan kerjasama tersebut antara dirinya dan pihak yang akan

mendirikan bangunan.

3.2 Resolusi Konflik

3.2.1 Penyelesaian Konflik dari Kaum Nan IV

3.2.1.1 Cara Penyelesaian dalam Kaum

Banyaknya penyelewengan mengenai harta pusaka milik kaum yang

dilakukan oleh Dt. Rajo Lelo, hal ini menimbulkan kekecewaan dan keresahan

dalam kaum itu sendiri. Memang harta tersebut tidak ada yang dijual kepada

pihak pemerintah daerah maupun kepada perseorangan. Namun dalam hal

penyewaan yang dilakukan seharusnya dana penyewaan dimasukan kedalam

tabungan milik kaum yang dipegang oleh anggota kaum yang dipercayai.

47
Dugaan yang disampaikan oleh anggota kaum yang mana menurut bundo

kanduang

“ba’a urang ka indak curiga jo datuak ko.dari sabanyak tanah kaum yang
basewaan ka urang jo ka pamarintah. Nan untuang dek kaum buliah bisa
di ituang, tapi iko manuruik ambo sajo, kakayaan datuak ko samakin
manambah bantuaknyo”
Bahasa Indonesia
“bagaimana orang tidak curiga dengan datuk, dari sekian banyak tanah
kaum yang disewakan ke orang dan pemerintah. Keuntungan untuk
kepentingan kaum bisa dihitung, tapi ini menurut saya, kekayaan datuk ini
semakin bertambah”

Gambar 3.3. Wawancara dengan Bundo Kanduang

Sumber : Dokumentasi Penelitian

Dari dugaan-dugaan inilah yang menimbulkan rasa tidak percaya kepada

pimpinan kaum. Rasa tidak percaya dan kecewa atas apa yang telah dilkukan oleh

48
seorang pimpinan. Dari dugaan-dugaan penyelewengan kekuasaan dan tidak lagi

menghargai niniak mamak dan anak kemenakan yang mana dalam mengambil

keputusan tidak mengikutsertakan ninik mamak dan anak kemenakan. Maka

diambilah keputusan untuk mencabut gelar datuk pucuk pimpinan adat yang

dipegang oleh Mufit Emizar Rustam pada tanggal 19 februari 2003 yang mana

dalam surat pemberitahuan yang telah disepakati oleh segenap anggota kaum.

Gambar 3.4. Surat hasil keputusan hasil musyawarah ninik mamak

Sumber Data : Arsip Kaum Nan IV

Pruit dan Rubin berbicara mengenai persepsi mengenai kekuasaan yang

menyiratkan bahwa konflik khususnya akan mncul ketika terdapat ambiguitas

mengenai sifat kekuasaan, sedemikian rupa sehingga masing-masing pihak dapat

49
menyimpulkan melalui proses pemikiran yang penuh harap bahwa pihaknya lebih

kuat dibandingkan pihak lain. (Pruit dan Rubin: 30).

3.2.1.2 Kesulitan Kaum

Hal berbeda disampaikan oleh Dt. Simarajo selaku ketua KAN yang

menjabat pada saat itu

“ Dalam proses pencabutan gala yang dilakukan dek anggota kaum Tapi
Tompo ko samo se ndak maharagoi ambo selaku ketua KAN. Baa kok
bisa-bisanyo kaum Tapi Tompo mamutuskan pencabutan gala datuak
pimpinan pucuak kaum tanpa sepengatahuan ambo selaku ketua KAN.
Samantaro manuruik ambo gala datuak ko buliah dicabuik apabila datuk
tersebut melanggar norma-norma agama, norma adat dll. Pencabutan
gelar seorang datuk harus ada kesepakatan dari KAN dan pergantian
seorang datuak harus ada setelah yang bersangkutan meninggal (patah
tumbuah ilang baganti)
Bahasa Indonesia :
“ Dalam proses pencabutan gelar yang dilakukan oleh anggota kaum Tapi
Tompo ini sama saja tidak menghargai saya selaku ketua KAN. Kenapa
bisa-bisanya kaum Tapi Tompo memutuskan pencabutan gelar datuk
pimpinan pucuk kaum tanpa sepengatahuan saya selaku ketua KAN.
Sementara menurut saya gelar datuk ini boleh dicabut apabila datuk
tersebut melanggar norma-norma agama, norma adat dll. Pencabutan gelar
seorang datuk harus ada kesepakatan dari KAN dan pergantian seorang
datuk harus ada setelah yang bersangkutan meninggal (patah tumbuh ilang
baganti).

Hal yang berbeda disampaikan oleh Dt. Mangkuto :

“ pencabutan gelar seorang datuak iyo memang kalau datuak melanggar


norma agama jo norma adat, tapi kalau untuak mancabuik gala datuak ko
indak harus ado pasatujuan dari KAN, dek a soboknyo gala sako pucak
adat ko dipakai dek salah seorang dalam suatu kaum merupakan hak
sepenuhnya dari kaum. Sadangkan KAN tugasnya cuman untuak
mangatahui sajo. Baitu pulo sabaliaknyo, hak untuak mancopot gala
seorang datuak itu hak panuah dari kaum dan KAN hanya mangatahui”
Bahasa Indonesia ;
“ Pencabutan gelar gelar datuk memang benar kalau seorang datuk
tersebut melanggar norma adat dan norma agama, tapi kalau untuak
mancabut gelar datuk tidak harus ada persetujuan dari KAN. Karena gelar
sako pucuk adat yang dipakai seseorang oleh suatu kaum merupakan hak
sepenuhnyadari kaum. Sedangkan KAN hanya tugasnya mengetahui saja.

50
Begitupula sebaliknya, hak untuk mencopot gelar seorang datuk itu hak
sepenuhnya dalam kaum dan KAN hanya mengetahui’

Setelah dicabutnya gelar pimpinan gelar pimpinan datuk pucuk kaum,

bukan berarti segala permasalahan kaum yang telah terjadi terselesaikan. Masalah

yang paling kompleks yang belum terselesaikan dengan pihak PT. SATELINDO

dalam proses pembangunan yang berada dalam lingkungan tanah kaum. Karena

permasalahan kerjasama yang tertera dalam surat kerjasama antara pihak PT.

SATELINDO dengan Drs. Mufit Emizar Rustam, pihak kaum tidak dapat

berbicara banyak dalam perjanjian kerjasama yang dilakukan. Karena rasa

ketidakpuasan yang terjadi dalam lingkungan kaum, maka yang mana Nirwan

selaku cadiak pandai membeberkan kasus ini ke media cetak seperti yang ia

utarakan “

Bahasa minang :

“ iyo ambo indak maraso pueh maliek keputusan yang model iko, makonyo
ambo sepakat jo anggota kaum untuak mambuek barita ko di media cetak
singgalang yang makasuik ambo ko elok untuak kepentingan kaum, dek a
soboknyo dek tanah yang sadang dibangun itu tanah kaum ambo.
Samantaro datuak tu urang nan malakok baa kok bisa-bisanyo mambuek
karajo samo jo pihak PT tanpa sapangatahuan ambo jo niniak mamak
yang lain”

Bahasa Indonesia
“ ya saya tidak merasa puas melihat keputusan yang model ini, makanya
saya sepakat dengan anggota kaum untuk membuat berita ini di media
cetak singgalang yang mana maksud saya ini baik untuk kepentingan
kaum, karena tanah yang sedang dibangun diatas tanah kaum saya.
Sementara datuak itu urang yang malakaok (pendatang) kenapa bisa-
bisanya dia membuat kerjasama dengan PT tanpa sepengatahuan saya
dengan dengan niniak mamak yang lain”

51
Dengan adanya pemberitaan di media cetak Singgalang yang memuat

tentang permasalahan kaum Tapi Tompo. Terjadilah pro dan kontra yang terjadi

dalam anggota kelompok kaum. Ini dibuktikan dengan adanya pengaduan

pencemaran nama baik dari pihak Mufit. Mufit yang mana selaku pemegang gelar

Dt. Rajo Lelo merasa dirugikan atas pemberitaan di media cetak Singgalang.

Disini pihak dari Mufit mengadukan saudara Nirwan sebagai orang yang telah

membeberkan permasalahan kaum ke media cetak. Namun dalam hal ini peneliti

tidak mengetahui tentang isi pemberitaan di media cetak dikarenakan peneliti

tidak menemukan sumber berita yang didalamnya memuat permasalahan dari

kaum Tapi Tompo.

Atas pemberitaan yang dilakukan oleh Nirwan, pihak keluarga menuntut

Nirwan ke pengadilan atas pencemaran nama baik dari Mufit Emizar. Namun

menurut keterangan Nirwan mengekspos berita tersebut bertujuan untuk :

“ Supayo PEMDA Tanah Datar tidak lagi membuat suatu kebijakan yang
dapat merugikan pihak-pihak tertentu nan dapek menimbulkan keresahan
pado masyarakat banyak nan khususnyo kan ka kaum Tapi Tompo, nan
kaduo dimueknyo barita ko, kami berkeyakinan PT. Satelindo nan
marupoan parusahaan ko untuak bapikia ulang untuak malanjuikan
pembangunan tower pemancar gelombang sabalum adonyo kesepakatan
antaro pihak nan batikai, nan katigo agar pihak katigo indak namua
mambuek kesepakatan kerjasama dengan datuak ko nan
mangatasnamakan sebagai kapalo suku kaum Tapi Tompo dengan
memakai gelar Dt. Rajo Lelo yang ma gala datuak ko alah dicabuik
sabalumnyo”
Bahasa Indonesia
“ Supaya PEMDA Tanah Datar tidak lagi membuat suatu kebijakan yang
dapat merugikan pihak-pihak tertentu yang dapat menimbulkan keresahan
pada masyarakat banyak yang khususnya kaum Tapi Tompo, yang kedua
dimuatnya berita ini, kami berkeyakinan PT. SATELINDO yang
merupakan perusahaan untuk berpikir kembali untuk melanjutkan
pembangunan tower pemancar gelombang sebelum adanya kesepakatan
antara pihak yang bertikai, yang ketiga agar pihak ketiga tidak membuat
kesepakatan kerjasama dengan datuak yang mengatasnamakan sebagai

52
kepala suku kaum Tapi Tompo dengan memakai gelar Dt. Rajo Lelo yang
mana gelar datuk ini telah dicabut sebelumnya “

Setelah melalui proses pengadilan pada tanggal 13 juli 2004, kasus ini

dapat diselesaikan dengan dimenangkan oleh pihak saudara Mufit selaku korban

namun melalui bukti-bukti yang valid ditunjukan oleh pihak kaum Tapi Tompo

Nirwan hanya mendapatkan hukuman percobaan bukan hukum pidana atas

pencemaran nama baik.

Dari hasil perkara pengadilan atas pencemaran nama baik, diperolehlah

hasil bahwa korban selaku Mufit dan Nirwan selaku terlapor mendapatkan hasil

yang cukup memuaskan. Nama saudara Mufit Emizar Rustam kembali baik di

mata hukum dan tidak adanya pencemaran nama baik dan bagi Nirwan hanya

diberikan hukuman percobaan bukan hokum pidana yang terdapat dalam Pasal

310 KUH Pidana :

a. Barang siapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang

dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud

yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan

hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-

banyaknya Rp. 4.500,000-“

b. Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,

dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu

dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-

53
lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.

4.500,000-

http://konsultasi-hukum-online.com/2013/07/pasal-pasal-terkait-pencemaran-

nama-baik/ di akses pada tanggal 22 april 2016

Dari hasil persidangan ini kedua belah telah sepakat untuk berdamai

karena tujuan dari aspirasi mereka telah tercapai. Sebagaimana kesepakatan

sebelumnya gelar soko datuk pucuk adat Dt. Rajo Lelo telah dicabut dan harta

pusaka yang selama ini dijaga dan dipegang oleh Mufit harus dikembalikan ke

tangan kaum Tapi Tompo dan mengenai kasus pembangunan tower pemancar

gelombang oleh PT. SATELINDO yang telah berjalan akan dilanjutkan kerjasama

dengan pihak anggota kaum Tapi Tompo yang bersangkutan.

3.2.2 Resolusi KAN

3.2.2.1 Cara Penyelesaian KAN

KAN atau Kerapatan Adat Nagari mempunyai daerah kerja Salingka

Nagari yang mmpunyai batas-batas tertentu dan meliputi Ulayat nagari

Pagaruyung yang berlaku secara turun-temurun. KAN Pagaruyung berazazkan

falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, Pancasila dan dalam

pelaksanaannya musyawarah mufakat guna mencapai tujuan dan tidak

berafialisasi dengan salah satu partai. KAN Pagaruyung mempunyai tujuan :

54
a. Mengorganisir semua Niniak Mamak Pamangku Adat, Alim Ulama,

Cadiak Pandai, dan Bundo Kanduang dalam Nagari.

b. Menyelesaikan sengketa adat, sako jo pusako salingka Nagari Pagaruyung.

c. Membina dan mngembangkan serta memelihara kelesatarian Adat Istiadat

dalam Nagari.

Dalam pengelolaan tanah ulayat yang sedang bermasalah seharusnya dapat

diselesaikan oleh KAN sebagai sebuah lembaga yang telah diformalkan oleh

pemerinah dalam mengurusi masalah-masalah adat, sebagaimana tertuang dalam

Perda No.2 Tahun 2007 dalam Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari yang terdapat

pada Bab 1 Pasal 1, Ketentuan Umum yang isinya Kerapatan Adat Nagari yang

selanjutnya disebut KAN adalah kerapatan Ninik Mamak yang telah ada dan

diwarisi secara turun-temurun sepanjang adat dan berfungsi memelihara

kelestarian adat serta menyelesaikan perselisihan sako dan pusako. Dalam UU no.

32 tahun 2004 Propinsi Sumatera Barat Pasal 1 dalam Poin 8 juga dijelakan

bahwa tanah ulayat nagari adalah tanah ulayat beserta sumber daya alam yang ada

diatas dan didalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak dan

dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari.

Dalam pengelolaan tanah ulayat di nagari pagaruyung KAN mempunyai

kebijakan tersendiri, seperti pertama adalah dalam mengajukan gugatan tanah

ulayat harus ditandatangani oleh datuak pucuak atau mamak kepala waris dalam

sebuah kaum atau suku. Kedua adalah proses mediasi harus diwadahi oleh KAN

setelah perkara ini sampai ke Pengadilan Negri dengan tujuan untuk menghormati

55
hakim adat yang telah ada dalam KAN. Sehingga perkara ini dapat diselesaikan

dengan jalan damai.

Seperti mana yang disampaikan oleh Junaidi selaku Ketua KAN pada saat ini:

“misalnyo ado pengaduan dari masyarakat siko atau dari urang nan sadang
bamasalah tu kami akan maimbau kaduo pihak nan sadang basangketo,
tamasuak pimpinan kaumnyo, katiko urang tulah takumpua kami malakuan
proses mediasi untuak mancaharian jalan kalua sacaro baelok-elok
sahinggo sangketa iko bisa salasai ditingkek nagari se ndak paralu sampai
bana ka pangadilan”

Bahasa Indonesia :

“misalnya ada pengaduan dari masyarakat disini atau orang yang sedang
bermasalah,terus kami yang akan memanggil kedua belah pihak yang sedang
bersengketa, termasuk pimpinan kaumnya. Ketika orang itu telah berkumpul
maka kami melakukan proses mediasi untuk mencarikan jalan keluar secara
baik-baik sehingga sengketa ini bisa selesai ditingkat nagari tidak perlu
sampai ke pengadilan”

3.3 Penyebab Gagalnya KAN Menyelesaikan Konflik

3.3.1 Faktor Keanggotaan didalam struktur organisasi KAN

Salah satu penyebab KAN tidak berperan dengan baik dalam mengurusi

masalah adat terutama dalam masalah tanah ulayat dikarenakan pengurus KAN

yang ada tidak sesuai dengan struktur adat yang ada. Banyak anggota KAN tidak

memenuhi kriterian kepenghuluan, hal ini menyebabkan tidak adanya pengakuan

dari pihak kemenakan didalam wilayah perkauman. Sebagaimana yang dijelaskan

oleh Nirwan

56
“urang-urang nan duduak dalam pangurus KAN ko ndak sasuai jo
semestinyo, saharusnyo yang berhak untuak manjadi pangurus KAN adolah
urang-urang nan mamangku sebagai panghulu”

Bahasa Indonesia

“orang-orang yang duduk dalam pengurus KAN tidak sesuai dengan


semestinya, seharusnya yang berhak untuk menjadi pengurus KAN adalah
orang-orang yang menjabat sebagai penghulu”

Dari penjelasan dapat ditarik kesimpulan bahwa pengurus KAN dalam

memaknai perannya tidak berjalan sesuai dengan harapan-harapan masyarakat

yang ditujukan kepada mereka. Pada dasarnya pengurus KAN memiliki jabatan

sosial yang terhormat baik didalam kaum maupun dilembaga kerapatan adat.

Banyak perkara tanah ulayat tidak dapat diselesaikan oleh KAN tidak terlepas

dari keberadaan KAN beserta pengurusnya. Seperti yang diungkapkan bapak

Junaidi salah seorang pengurus KAN :

“KAN dinagari pagaruyuang kok indak jaleh bana perannyo,salamo ko


banyak tanah di nagari bamasalah tapi jalan kalua yang dicarian oleh KAN
dak talok dikarajoan dek urang-urang tu, syarat-syaratnyo tu datuak pucuak
dalam nagari harus manandotangani surek gugatan, timbua masalah katiko
yang terlibat dalam masalah tanah ulayat ko antaro mamak jo
kamanakannyo. Bantuak kajadian datuak lelo jo kamanakannyo. Ambo jo
pangurus KAN ndak bisa maagiahan surek gugatan.”

Bahasa Indonesia

“KAN dinagari pagaruyung ini tidak jelas perannya, selama ini banyak tanah
dinagari bermasalah tapi jalan keluar yang dicarikan oleh KAN tidak kuat
dikerjakan oleh orang-orang. Syarat-syaratnya harus datuak pucuak dalam
nagari harus menandtangani surat gugatan. Muncul masalah ketika yang
terlibat dalam masalah tanah ulayat antara ninik mamak dan kemenakannya/
seperti masalah datuak lelo dengan kemenakannya, saya sebagai pengurus
KAN tidak bisa memberikan surat gugatan”

57
3.3.2 Kepentingan Kelompok Tertentu dalam KAN

KAN adalah lembaga yang terdiri dari perwakilan penghulu yang

mewakili suku atau kaum. KAN lebih mengutamakan musayawarah dan mufakat

dalam penyelesain masalah adat. Jika ada anggota dan pengurus KAN memiliki

agenda-agenda tersembunyi maka lembaga tersebut tidak dapat memenuhi

tuntutan dari masyarakat.

Adanya kepentingan suatu kelompok telah mempengaruhi pengurus KAN

dalam bertindak seperti yang disampaikan oleh bapak Junaidi :

“urang dikampuang awak ko ado nan kayo ado nan bapangakek dirantau.
Urang kok alah banyak pitihnyo dirantau kok nio malagak dikampuang inyo
mambuek rumah gadang nan indak sasuai jo aturan nan ado untuak mabuek
rumah gadang. Dek banyak pitihnyo tadi mulai dari acara peresmian rumah
gadang jo palewaan datuaknyo di adoan gadang-gadang. Tapi baalah awak
urang kampuang tapaso se manuruik. Urang minang kan kalau jo urang-urang
kayo agak tunduak saketek paliang kok ka maupek dibelakang se bisanyo.
Kok dimuko ndak talok do.”

Bahasa Indonesia

“Orang dikampung saya ini ada yang kaya, ada yang mempunyai jabatan
dirantau. Orang kalau sudah banyak uangnya dirantau kalau mau bergaya
dikampungnya membuat rumah gadang yang tidak sesuai dengan aturan yang
ada untuk membuat rumah gadang. Karna banyak uangnya tadi mulai dari
acara peresmian rumah gadang sampai palewaan datuknya di adakan acara
besar-besaran. Tapi mau bagaimana lagi saya orang kampung terpaksa
menurut. Orang minang kalau dengan orang-orang kaya agak tunduk sedikit,
palingan kalau mau menghujat cumin berani dibelakang.”

Sesungguhnya KAN dapat menjalankan tugas dan fungsinya dalam

pelaksanaan tugas yang telah dimandatkan. Namun karena adanya kepentingan

dari individu atau kelompok tertentu didalam lembaga maka mereka melanggar

aturan-aturan yang telah dimandatkan kepada KAN.

58
Sebagaimana yang diungkapkan Junaidi

“dulu pihak KAN pernah mangkek urang kampuang awak yang indak punyo
ahli warih manjadi panghulu yang tujuan nyo untuak mambuek sapadan
dalam masalah tanah tapi kami juo nan mangaluan surek bantahan tentang
masalah itu.”

Bahasa Indonesia

“dulu pihak KAN pernah mengangkat orang kampong saya yang tidak punya
ahli waris menjadi penghulu yang tujuannya untuk membuat sepadan dalam
masalah tanah tapi kamu juga yang mengeluarkan surat bantahan tentang
masalah itu”

Dari yang disampaikan oleh pengurus KAN, memang dalam pengangkatan Dt.

Lelo tidak memenuhi syarat ahli waris untuak menjadi seorang penghulu namun

pengangkatan tersebut bertujuan untuk menyelesaikan yang terjadi dahulunya

namun KAN jugalah yang memberikan surat bantahan tentang masalah tersebut.

59
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa peran KAN dalam

memperjuangkan kepentingan kaum tidak berjalan sebagaimana mestinya seperti

yang diinginkan oleh masyarakat maupun oleh KAN itu sendiri. Gagalnya KAN

menyelesaikan permasalahan adat di nagari Pagaruyung disebabkan oleh beberapa

factor :

1. Peran Kerapatan Adat Nagari (KAN) dinagari dalam pengelolaan tanah

ulayat dari hasil penelitian yang dilakukan terlihat bahwa KAN dalam

menjalankan kebijakannya tidak beralan sesuai mestinya, ini terlihat dari

gagalnya KAN menyelesaikan permasalahan Kaum Nan IV Tapi Tompo

sehingga permasalahan adat ini harus diselesaikan di meja pengadilan

2. Struktur keanggotaan KAN sendiri tidak sesuai sebagaimana yang telah

ditetapkan dan tercantum pada Perda No.2 Tahun 2007 Tentan Pokok-

Pokok Pemerintahan Nagari. Keanggotan KAN sendiri tidak dari niniak

mamak 4 jinih sendiri melainkan di isi oleh masyarakat yang tidak terlalu

mengenal adat itu sendiri.

3. Kebijakan KAN dalam pengelolaan tanah ulayat adalah untuk sekadar

sebagai sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengetahui proses-proses

60
adat yang ada di nagari Pagaruyung terutama yang berkaitan dengan tanah

ulayat termasuk didalamnya proses penyerahan tanah antara suatu kaum

dengan pihak-pihak lain.

4.2 Saran

Diharapkan kepada ninik mamak yang menjadi anggota KAN dapat

memahami fungsinya dan perannya sehingga KAN sebagai sebuah lembaga adat

yang telah diformalkan oleh pemerintah menjadi sebuah lembaga yang mampu

menyelesaikan berbagai macam persoalan dalam adat. Bagi masyarakat

Minangkabau dalam menyangkut tanah ulayat atau harta pusaka tinggi hendaklah

digunakan sebagaimana mestinya fungsi dari harta pusaka tinggi itu sendiri.

61

Anda mungkin juga menyukai