Anda di halaman 1dari 27

MATA KULIAH

FILSAFAT

“MANUSIA MENURUT FILSAFAT


MODERN”

DOSEN PENGAMPUH :

Pdt. DEAVY TUMUJU, M.Th

DI SUSUN OLEH :

KARSTEN NOEL SARIRA

NIM: 2022.11.007

PROGRAM STUDI S1 TEOLOGI (S.Th)

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI TIBERIAS JAKARTA

2022
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang.........................................................…………………..…2

I.2. Rumusan Masalah……………….............……………………………….3

BAB II LANDASAN TEORI

II.1. Filsafat Modern dan Sejarah Terbentuknya…………............………….4

II.2. Aliran Pemikiran Filsafat Modern Serta Tokoh – Tokohnya…..............4

II.2.1 Rasionalisme…………….....................…..............…………...............4

II.2.2.Empirisme………………………….................…………………….....7

II.2.3. Kritisme……………………....................………………………….....8

II.2.4. Idealisme……………………...................………………………........9

II.2.5.Positivisme…………….....................................…………………….....9

II.2.6. Evolusionisme…………………………………………......................11

II.2.7. Materialisme…………………………………………………........…12

II.2.8. Neo-Kanitalisme…...............................…….....................…………..13

II.2.9. Fenomenologi…………………………………..............…………...13

II.2.10. Eksistensialisme………………………………………..........…….14

II.2.11. Pragmatisme……………………....................................…………..15

II.2.12. Filsafat Hidup…………………………………………...............…17

BAB III. MANUSIA MENURUT FILSAT MODERN

III.1. Eksistensi Manusia Menurut Eksistensialisme….……...................….19

III.2. Eksistensialisme Kristen …………………….............................…….20

III.3. Aliran – Aliran Dalam Eksistensialisme.....................................21

Daftar Pustaka.....................................................................................26

1
BAB 1. PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Pada masa modern terjadi perkembangan yang pesat pada bidang ekonomi. Hal
ini terlihat dari kota-kota yang berkembang menjadi pusat perdagangan,
pertukaran barang, kegiatan ekonomi monoter, dan perbankan. Kaum kelas
menengah melakukan upaya untuk bangkit dari keterpurukan dengan
mengembangkan suatu kebebasan tertentu. Kebebasan ini berkaitan dengan
syaratsyarat dasar kehidupan Segala macam barang kebutuhan bisa dibeli dengan
uang. Makanisme pasar pun sudah mulai mengambil peranan penting untuk
menuntut manusia untuk rajin, cerdik, dan cerdas. Dari sudut pandang sosio-
ekonomi menjelaskan bahwa individu berhadapan dengan tuntutan-tuntutan baru
dan praktis yang harus dijawab berdasarkan kemampuan akal budi yang mereka
miliki. Kemampuan ini tanpa harus mengacu kepada otoritas lain, entah itu dari
kekuasaan gereja, tuntutan tuan tanah feodal, maupun ajaran muluk-muluk dari
para filsuf.

Dari sudut pandang sejarah Filsafat Barat melihat bahwa masa modern
merupakan periode dimana berbagai aliran pemikiran baru mulai bermunculan
dan beradu dalam kancah pemikiran filosofis Barat. Filsafat Barat menjadi
penggung perdebatan antar filsuf terkemuka. Setiap filsuf tampil dengan gaya dan
argumentasinya yang khas. Argumentasi mereka pun tidak jarang yang bersifat
kasar dan sini, kadang tajam dan pragmatis, ada juga yang sentimental. Sejarah
filsafat pada masa modern ini dibagi ke dalam tiga zaman atau periode, yaitu:
zaman Renaissans (Renaissance), zaman Pencerahan Budi (Aufklarung), dan
zaman Romantik, khususnya periode Idealisme Jerman.

Ada beberapa tokoh yang menjadi perintis yang membuka jalan baru menuju
perkembangan ilmiah yang modern. Mereka adalah Leonardo da Vinci (1452-
1519), Nicolaus Coperticus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-1630) dan
Galileo Galilei (1564-1643). Sedangkan Francis Bacon (1561-1623) merupakan
filsuf yang meletakkan dasar filosofisnya untuk perkembangan dalam bidang ilmu
pengetahuan. Dia merupakan bangsawan Inggris yang terkenal dengan karyanya
yang bermaksud untuk menggantikan teori Aristoteleles tentang ilmu pengetahuan
dengan teori baru.

Sekalipun demikian, Rene Descartes merupakan filsuf yang paling terkenal pada
masa filsafat modern ini. Rene Descartes (1596-1650) diberikan gelar sebagai
bapa filsafat modern. Dia adalah seorang filsuf Perancis. Descartes belajar filsafat
pada Kolese yang dipimpin Pater-pater Yesuit di desa La Fleche. Descartes
menulis sebuah buku yang terkenal, yaitu Discours de la method pada tahun 1637.
Bukunya tersebut berisi tentang uraian tentang metode perkembangan
intelektuilnya. Dia dengan lantang menyatakan bahwa tidak merasa puas dengan
filsafat dan ilmu pengetahuan yang menjadi bahan pendidikannya. Dia juga

2
menjelaskan bahwa di dalam dunia ilmiah tidak ada sesuatu pun yang
dianggapnya pasti. Segala sesuatu dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya
memang dipersoalkan juga.

Eksistensialisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang terutama diasosiasikan


dengan beberapa filsuf Eropa abad ke-19 dan ke-20 yang sepaham (meskipun
banyak perbedaan doktrinal yang mendalam) bahwa pemikiran filsafat bermula
dengan subjek manusia—bukan hanya subjek manusia yang berpikir, tetapi juga
individu manusia yang melakukan, yang merasa, dan yang hidup.

I.2. RUMUSAN MASALAH

a) Bagaimana latar belakang munculnya filsafat modern dan kaitannya


dengan manusia?
b) Apa saja macam-macam aliran pemikiran tentang manusia dalam filsafat
modern dan tokoh-tokohnya?

BAB II LANDASAN TEORI

II.1. Filsafat Modern dan Sejarah Terbentuknya

Filsafat zaman modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang
disebut dengan “Renaissance” dan dimatangkan oleh “gerakan” Aufklaerung
di abad ke-18 itu, didalamnya mengandung dua hal yang sangat penting.
Pertama, semakin berkurangnya kekuasaan Gereja, kedua, semakin
bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan. Pengaruh dari gerakan
Renaissance dan Aufklaerung itu telah menyebabkan peradaban dan
kebudayaan zaman modern berkembang dengan pesat dan semakin bebas
dari pengaruh otoritas dogma-dogma Gereja. Terbebasnya manusia barat
dari otoritas Gereja dampak semakin dipercepatnya perkembangan filsafat
dan ilmu pengetahuan. Sebab pada zaman Renaissance dan Aufklaerung
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan tidak lagi didasarkan pada
otoritas dogma-dogma Gereja, melainkan didasarkan atas kesesuaiannya
dengan akal. Sejak itu kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan
atas kepercayaan dan kepastian intelektual (sikap ilmiah) yang kebenarannya
dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan, dan pemikiran yang dapat
diuji. Kebenaran yang dihasilkan tidak bersifat tetap, tetapi dapat berubah
dan dikoreksi sepanjang waktu. Kebenaran merupakan “ a never ending
process”, bukan sesuatu yang berhenti, selesai dalam kebekuan normatif atau
dogmatis.

3
Pada umumnya, para sejarawan sepakat bahwa zaman modern lahir sekitar
tahun 1500-an di Eropa. Peralihan zaman ini ditandai dengan semangat anti
Abad Pertengahan yang cenderung mengekang kebebasan berpikir. Sesuai
dengan istilah “modern” yang memiliki arti baru, sekarang, atau saat ini,
filsafat modern merupakan sebuah pemikiran yang menganalis tentang
kekinian, sekarang, 6 subjektivitas, kritik, hal yang baru, kemajuan, dan apa
yang harus dilakukan pada saat ini. Semangat kekinian ini tumbuh sebagai
perlawanan terhadap cara berpikir tradisional Abad Pertengahan yang
dianggap sudah tidak relevan.

II.2. Aliran Pemikiran Filsafat Modern dan Tokoh – Tokohnya

II.2.1. RASIONALISME (DESCARTES – SPINOZA – LEIBNIZ)

Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason)


adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes
pengetahuan. Rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh
dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau
kaidah-kaidah logika.

 Descartes (1596-1650)

 Tentang Kesadaran

Dengan konsep dan metode pengetahuannya yang rasional dan baru, Rene
Descartes dijuluki Bapak Filsafat Modern, Ia meyakini bahwa sumber
pengetahuan yang benar adalah rasio, bukan mitos, prasangka, omongan
orang, ataupun wahyu seperti yang diyakini pada Abad Pertengahan. Ia
sangat yakin pada kemampuan rasio untuk mencapai kebenaran, lantaran di
luar rasio mengandung kelemahan atau kesangsian. Atas keyakinannya pada
rasio tersebut, ia membangun pemikiran filsafatnya.

 Metode Keraguan

Descartes menjelaskan pencarian kebenaran melalui metode keragu-raguan.


Karyanya, A Discourse on Methode. mengemukakan empat hal berikut :

1. Kebenaran baru dinyatakan sahih jika telah benar-benar indrawi dan


realitasnya telah jelas dan tegas (clearly and distincictly.
2. Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sampai sebanyak
mungkin, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu
merobohkannya.

4
3. Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang
sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada
yang paling sulit dan kompleks.
4. Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus
dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta
pertimbanganpertimbangan yang menyeluruh, sehingga diperoleh
keyakinan bahwa tidak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan
dalam penjelajahan itu. (Atang Abdul Hakim, 2008: 251)

 Tiga Realitas

Descartes menegaskan adanya tiga realitas atau substansi bawaan (ide-ide


bawaan). Adapun ketiga realitas tersebut adalah :

1. Realitas pikiran atau kesadaran (res cogitan). Descartes menyebutkan


bahwa pikiran sebagai ide bawaan sudah ada sejak kita dilahirkan.
Selain itu, pikiran adalah kesadaran yang tidak mengambil tempat dan
tak dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil. Sebab, pikiran
bukanlah materi, melainkan jiwa yang berbeda dengan materi.
2. Realitas perluasan atau materi (res extensa). Materi merupakan
keluasan yang mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi serta tidak
memiliki kesadaran. Bagi Descartes, walaupun terkadang
menampakkan kesan yang menipu dan tidak selalu sempurna atau
berubah, tetapi materi sudah ada sejak semula. Karena itu, materi
menunjukkan sebuah ide bawaan.
3. Realitas Tuhan. Tuhan merupakan wujud yang seluruhnya sempurna.
Adanya realitas Tuhan ini dikarenakan adanya kesadaran memiliki ide
tentang yang sempurna, dan ketidaksempurnaan materi mengandalkan
adanya yang sempurna. Yang sempurna itu adalah Tuhan. Karena itu,
Tuhan termasuk ide bawaan.

 Spinoza (1632-1677)

1. Tentang Substansi Tunggal


Baruch de Spinoza menolak tiga realitas atau substansi yang dipercayai
oleh Descartes. Penolakannya itu didasarkan pada definisi mengenai
substansi. Ia mendefinisikan substansi adalah sesuatu yang berdiri
sendiri tanpa membutuhkan sebab yang lain, atau ada dengan dirinya
sendiri, bahkan tidak tergantung pada yang lain.
2. Tuhan atau Alam (Deus suve Natura)
Menurut Spinoza, substansi tunggal itu adalah Tuhan. Bagi Spinoza,
sebagaimana substansi, Tuhan itu tunggal, abadi, tidak terbatas

5
(universal), tidak tergantung pada yang lain, mutlak, dan utuh. Spinoza
mengajarkan, apabila Tuhan sebagai satu-satunya substansi, maka
harus dikatakan bahwa segala sesuatu, baik yang bersifat materi (tubuh,
pohon, batu, planet, dan materi laninnya) maupun jiwa (pemikiran,
kesadaran, perasaan, dan kehendak), berasal dari Tuhan. Sebab, materi
dan jiwa tidak berdiri sendiri dan bukanlah substansi, tetapi berasal dari
serta tergantung pada substansi tunggal, yaitu Tuhan.

 Leibniz (1646-1716)

Gottfried Wilhelm von Leibniz tidak meyakini adanya tiga substansi seperti
yang diyakini Descartes. Ia juga tidak percaya dengan satu substansi
sebagaimana yang dipercaya Spinoza. Baginya, tidak hanya ada satu atau
tiga substansi di alam ini, tetapi ada banyak substansi, atau substansi itu
jumlahnya tidak terhingga. , sebagai substansi yang nonmaterial, monad
memiliki beberapa sifat, diantaranya :

1. Abadi, artinya tidak bisa dihasilkan ataupun dimusnahkan.


2. Tidak bisa dibagi (ini bertentangan dengan substansi keluasan
Descartes yang bisa dibagi-bagi).
3. Berdiri sendiri atau individual. Artinya, monad yang satu dengan
monad yang lain tidak identik atau tidak sama (ini bertentangan dengan
substansi Spinoza yang mengidentikkan antara Tuhan dan alam).
4. Tertutup. Mengenai sifat ini, menunjuk pada kata-kata Leibniz sendiri.
Ia mengatakan bahwa monad-monad itu “tidak berjendela yang
membuat sesuatu bisa masuk atau keluar.”
5. Memiliki hasrat dan keinginan yang muncul dalam dirinya sendiri.

II.2.2. EMPIRISME (LOCKE – HUME)

 John Locke (1632 – 1704)

Buku Locke, Essay Concerning Human Understanding (1689), ditulis


berdasarkan satu premis, yaitu semua pengetahuan datang dari pengalaman.
Ini berarti tidak ada yang dapat dijadikan ide atau konsep tentang sesuatu
yang berada di belakang pengalaman. Sebab, sebelum manusia mengalami
sesuatu, pikiran atau rasio seperti tabula rasa (kertas putih kosong). Dengan
contoh lain, bagi Locke, pikiran ibarat papan tulis yang masih polos dan
kosong sebelum guru masuk kelas.

6
 David Hume (1711 – 1776)

Hume menolak anggapan kaum rasionalis yang meyakini bahwa manusia


mempunyai ide-ide bawaan. Baginya, manusia tidak memiliki ide-ide
bawaan. Pengetahuan atau kesadaran yang terbentuk dalam diri manusia
berasal dari pengalaman indrawi. Tak ada pengetahuan yang tidak berasal
dari pengalaman indrawi. Menurutnya, pengetahuan yang berasal dari
pengalaman indrawi diperoleh melauli persepsi, yang terdiri dari dua unsur,
yaitu :

1. Kesan (impressions). Kesan diperoleh melalui pengalaman langsung


(ketika sedang terjadi). Kesan ini sifatnya jelas, hidup, dan kuat.
Misalnya, ketika tangan menyentuh api, maka tangan akan langsung
terasa panas. Inilah yang dimaksud kesan itu jelas, hidup dan kuat.
2. Gagasan (ideas). Gagasan lahir karena adanya penggabungan,
persekutuan atau pertautan antara kesan-kesan yang telah didapatkan
sebelumnya. Dengan demikian, “gagasan” diperoleh secara tidak
langsung dari pengalaman yang berbentuk “kesan”. Dengan kata lain,
“kesan-kesan” yang ditangkap melalui pengalaman langsung
selanjutnya diproses di dalam akal lewat refleksi, berpikir,
menghubungkan, mengingat, membandingkan, berfantasi dan lain
sebagainya, sehingga membentuk sebuah “gagasan”.

Rasionalisme memahami bahwa pada setiap benda, terdapat substansi.


Misalnya, pada manusia, substansinya disebut “pikiran”. Namun, menurut
Hume, “pikiran” bukanlah substansi, karena “pikiran” pada dasarnya
hanyalah sekumpulan kesan yang datang silih berganti dan terus menerus.
Pernyataan Hume tersebut bermakna bahwa “pikiran” tidak dapat
dikatakan sebagai substansi, karena “pikiran” bukanlah subjek yang berdiri
sendiri. Dikatakan demikian karena ”pikiran” baginya hanyalah
sekumpulan kesan belaka, seperti perasaan sedih, sakit, dingin, panas,
takut, bahagia dan lainnya.

II.2.3. KRITISME

Aliran ini muncul abad ke-18. Suatu zaman baru dimana seorang ahli pikir
yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dan
empirisme. Zaman baru ini disebut zaman Pencerahan (Aufklarung).
Zaman pencerahan ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum
dewasa (dalam pemikiran filsafatnya). Akan tetapi, setelah Kant
mengadakan penyelidikan (kritik) terhadap peran pengetahuan akal.
Setelah itu, manusia terasa bebas dari otoritas yang datangnya dari luar

7
manusia, demi kemajuan atau peradaban manusia. Sebagai latar
belakangnya, manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu
pasti, biologi, filsafat, dan sejarah) telah mencapai hasil yang
menggembirakan. Di sisi lain, jalanya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu
diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu
pengetahuan alam. Isaac Newton (1642-1772) memberikan dasar-dasar
berpikir dengan induksi, yaitu pemikiran yang bertitik tolak pada gejala-
gejala dan mengembalikan kepada dasar-dasar yang sifatnya umum.

Seorang ahli pikir Jerman Immanuel Kant (1724-1804) mencoba


menyelesaikan persoalan diatas. Pada awalnya, Kant mengikuti
rasionalisme, tetapi kemudian terpengaruh oleh empirisme (Hume).
Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah menrimanya karena ia
mengetahui bahwa empirisme terkandung skep-tisisme. Untuk itu, ia tetap
mengakui kebenaran ilmu, dan dengan akal manusia akan dapat mencapai
kebenaran. Akhirnya, Kant mengakui peranan akal dan keharusan empiri,
kemudian dicobanya menggunakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan
bersumber pada akal (rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul dari
benda (empirisme). Ibarat burung terbang harus mempunyai sayap (rasio)
dan udara (empirii). Jadi, metode berpikirnya disebut metode kritis.
Walaupun ia mendasarkan diri pada nilai yang tinggi dari akal, tetapi ia
tidak mengingkari adanya persoalanpersoalan yang melampaui akal.
Sehingga akal mengenal batas-batasnya. Karena itu aspek irrasionalitas
dari kehidupan dapat diterima kenyataanya.

II.2.4. IDEALISME

Idealisme adalah salah satu aliran filsafat yang berpaham bahwa


pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide. Semua bentuk realita
adalah manifestasi dalam ide. Karena pandangannya yang idealis itulah
idealisme sering disebut sebagai 16 lawan dari aliran realisme. Tetapi,
aliran ini justru muncul atas feed back realisme yang menganggap realitas
sebagai kebenaran tertinggi.

Pelopor Idealisme J.G. Fichte (1762-1814), F.W.J. Scheling (1775-1854),


G.W.F Hegel (1770-1831), Schopenhauer (1788-1860).

Apa yang dirintis oleh Kant mencapai puncak perkembanganya pada


Hegel. Pengaruhnya begitu besar sampai luar Jerman. Menjadi profesor
ilmu filsafat sampai meninggal. Setelah ia mempelajari pemikiran Kant, ia
tidak puas tentang ilmu pengetahuan yang dibatasi secara kritis. Menurut
pendapatnya, segala peristiwa didunia ini hanya dapat dimengerti jika suatu

8
syarat dipenuhi, yaitu jika peristiwa-peristiwa itu sudah secara otomatis
mengandung penjelasanpenjelasanya. Ide yang berpikir itu sebenarnya
adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Artinya, gerak yang
menimbulkan tesis, kemudian menimbulkan anti tesis (gerak yang
bertentangan). Kemudian timbul sintesis yang merupakan tesis baru, yang
nantinya menimbulkan antitesis dan seterusnya. Inilah yang disebutnya
sebagai dialetika. Proses dialetika inilah yang menjelaskan segala
peristiwa.

II.2.5. POSITIVISME

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu


alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan
menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. August Comte
(1798-1857) adalah pendiri aliran Positivisme ini, ia adalah seorang
filsuf dari Perancis yang sering kali disebut sebagai peletak dasar bagi
ilmu Sosiologi dan dia pula-lah yang memperkenalkan nama
'Sociology'. Dalam bidang ilmu sosiologi , antropologi , dan bidang ilmu
sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan
istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste
Comte pada abad ke-19.
Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa
filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang
dapat dialami sebagai suatu realitas. Ini berarti, yang disebut sebagai positif
bertentangan dengan sesuatu yang hanya ada di dalam angan-angan
(impian), atau terdiri dari sesuatu yang hanya merupakan konstruksi atas
kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia. Dapat disimpulkan
bahwa pengertian positivisme secara terminologi berarti suatu paham yang
dalam "pencapaian kebenaran"-nya bersumber dan berpangkal pada
kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal di luar itu, sama sekali tidak
dikaji dalam positivisme.

Tokoh pendiri aliran positivism Auguste Comte ini lahir di Montpellier,


Perancis pada 19 Januari 1798, ia adalah anak seorang bangsawan yang
berasal dari keluarga berdarah katolik. Namun, diperjalanan hidupnya Comte
tidak menunjukan loyalitasnya terhadap kebangsawanannya juga kepada
katoliknya dan hal tersebut merupakan pengaruh suasana pergolakan sosial,
intelektual dan politik pada masanya. Ketika berusia 14 tahun ia menyatakan
bahwa ia telah berhenti percaya kepada Tuhan. Setelah belajar di Paris ia
mencari biaya hidupnya dengan memberikan les matematika. Tahun 1826
Comte mulai memberikan kuliah pribadi tentang filsafat barunya. Comte
percaya bahwa sejarah umat manusia menyatakan tiga tahap utama
perkembangan yaitu, teologikal atau fiksi, metafisikal atau abstrak, dan

9
ilmiah atau positif. Berikut tiga tahap penjabaran perkembangan manusia
menurut Comte:

1. Tahapan Teologis
Tahap teologis adalah tahapan dimana manusia masih beranggapan bahwa
semua benda di dunia ini memiliki kekuatan supranatural. Pemikiran inilah
yang digunakan masyarakat sebelum tahun 1300 M untuk menjelaskan
segala fenomena yang terjadi sehingga terkesan tidak rasional. Dalam tahap
teologis terdapat tiga kepercayaan yang dianut masyarakat yakni pertama
fetisisme, kedua dinamisme dan ketiga animisme. Fetisisme adalah
kepercayaan akan adanya kekuatan sakti dalam benda tertentu. Dinamisme
adalah kepercayaan yang menganggap alam semesta ini mempunyai jiwa
sedangkan animisme adalah kepercayaan yang mempercayai dunia sebagai
kediaman roh-roh atau bangsa halus. Ada juga pandangan lain soal
politeisme dan monoteisme. Politeisme adalah bentuk kepercayaan yang
mengakui adanya lebih dari satu Tuhan atau menyembah dewa (banyak
dewa) sedangkan monoteisme kepercayaan bahwa Tuhan adalah
satu/tunggal dan berkuasa penuh atas segala sesuatu. Sebagai ilustrasi yakni
Ketika ada fenomena gerhana bulan masyarakat pada tahap teologis ini
mengangap bulan telah dimakan Butho (Raksasa Jahat).
2. Tahap metafisik
Tahap metafisik adalah tahapan dimana masyarakat percaya bahwa
kekuatan abstrak menentukan kejadian di dunia. Tahapan metafisik
merupakan hasil pergesaran dari tahapan teologis dan terjadi kira-kira
1300-1800 M. Pada tahap metafisik ini mulai muncul konsep-konsep
abstrak atau kekuatan abstrak selain Tuhan yakni alam. Tahapan ini
mempercayai bahwa segala kejadian di muka bumi adalah hukum alam
yang tidak dapat diubah dan masyarakat mencari penjelasan atas fenomena
yang dialami dengan konsep impersonal abstrak. Sebagai ilustrasi salah
satunya adalah banyak orang yang sudah berpendidikan tinggi namun dia
masih percaya pada peramal atau dukun.
3. Tahap Positiv
Tahapan positivisme mempercayai bahwa semua gejala alam atau
fenomena yang terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan
peninjauan, pengujian dan dapat dibuktikan secara empiris. Tahapan ini
mempercayai bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid dan
fakta-fakta sejarah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau
subyek di belakang fakta. Menolak segala penggunaan metode diluar yang
digunakan untuk menelaah fakta. Tahap ini menjadikan ilmu pengetahuan
berkembang dan segala sesuatu menjadi lebih rasional. Alhasil tercipta
dunia yang lebih baik karena orang cenderung berhenti melakukan
pencarian sebab mutlak karena Tuhan atau alam. Orang-orang di zaman
positivisme lebih berkonsentrasi pada penelitian terhadap dunia sosial. Pada
tahap positif yang mana akal manusia telah mencapai puncak ilmu
pengetahuan dan teknologi berkembang, orang tidak lagi mencari

10
pengetahuan absolut tentang sebab-sebab akhir tapi menanyakan kaitan
statis dan dinamis gejala-gejala. Sebagai ilustrasi adalah jika sakit dan
berobat kerumah sakit maka yang menyembuhkan adalah obat, makan dan
istirahat teratur bukan karena dewa atau dukun.
II.2.6. EVOLUSIONISME

Aliran dipelopori oleh seorang Zoologi yang mempunyai pengaruh sampai


saat ini yaitu, Charles Robbets Darwin (1809-1882). Pada tahun 1938
membaca bukunya Malthus An Essay on the Prinsiple of Population. Buku
tersebut memberikan inspirasi kepada Darwin untuk membentuk kerangka
berpikir dari teorinya. Menurut Malthus, manusia akan cenderung meningkat
jumlahnya (deret ukur), diatas batas bahan-bahan makanan (deret ukur).
Dengan demikian, Darwin memberikan kesimpulan bahwa untuk mengatasi
hal tersebut manusia harus bekerja sama, harus berjuang diantara sesamanya
untuk mempertahankan hidupnya. Karena itu hanya hewan yang ulet yang
mampu untuk menyesaikan diri dengan iklim sekitarnya.

Dalam pemikirannya, ia mengajukan konsepnya tentang perkembangan


tentang segala sesuatu termasuk manusia yang di atur oleh hukum-hukum
mekanik, yaitu survival of the fittest dan struggle for life.

II.2.7. MATERIALISME

Munculnya positivisme dan evolusionisme menambah terbukanya


pintu pengingkaran terhadap aspek kerohanian. Perbedaan antara
materialisme dengan positivisme adalah bahwa positivisme membatasi diri
pada fakta-fakta. Yang ditolaknya ialah tiap-tiap keterangan yang
melampaui fakta-fakta. Karena alasan itulah dalam rangka positivisme tidak
ada tempat untuk metafisika. Materialisme mengatakan bahwa realitas
seluruhnya tediri dari materi. Itu berarti bahwa tiap-tiap benda atau kejadian
dapat dijabarkan kepada materi atau salah satu proses material/ kiranya
sudah jelas bahwa materialisme mengakui kemungkinan metafisika, karena
materialisme sendiri berdasarkan suatu metafisika.

Aliran filsafat materialisme memandang bahwa realitas seluruhnya adalah


materi belaka. Tokoh aliran ini adalah Ludwig Freuerbach (1804-1872 M).
Menurutnya hanya alamlah yang ada dan manusia merupakan bagian dari

11
alam Dalam pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah
benda seperti halnya kayu dan batu.

Aliran-aliran dalam materialisme

1. Materialisme mekanik (mekanisme)


Dalam arti sempit, materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa
semua bentuk dapat diterangkan menurut hukum yang mengatur materi
dan gerak. Bagi seorang pengikut aliran materialisme mekanik, semua
perubahan dunia, baik perubahan yang menyangkut atom atau
perubahan yang menyangkut manusia, semuanya bersifat kepastian
semata-mata. Terdapat suatu rangkaian sebab-musabab yang dijelaskan
dengan prinsip-prinsip sains alam semata-mata. Materialisme mekanik
merupakan doktrin yang mengatakan bahwa alam itu diatur oleh
hukum-hukum alam yang dapat diruangkan dalam bentuk-bentuk
matematika jika data-datanya telah terkumpul. Seorang pengikut aliran
materialisme mekanik berpendirian bahwa semua fenomena dapat
dijelaskan dengan cara yang dipakai dalam sains fisik.
2. Materialisme dialektika
Materialisme dialektika merupakan ajaran Karl Marx. Materialisme
dialektik timbul dari perjuangan sosial yang hebat, yang muncul
sebagai akibat dari Revolusi Industri

3. Materialisme historis
Perkembangan sejarah manusia dan masyarakat pun tunduk dan
mempunyai watak yang materialistik idealektis. Oleh sebab itu, bila
teori itu diterapkan pada gejala masyarakat, tumbullah apa yang
dinamakan metarialisme historis. Disini pikiran dasar ialah bahwa arah
yang ditempuh sejarah sama sekali ditentukan oleh perkembangan
sarana-sarana produksi yang material. Jika sebagai contoh kita memilih
pengolahan tanah maka perkembangan sarana-sarana produksi adalah
umpamanya : tongkat, pacul, bajak, mesin. Biarpun sarana-sarana
produksi sendiri merupaakan buah hasil pekerjaan manusia. Namun
arah sejarah tidak tergantung dari kehendak manusia.

II.2.8. NEO- KANTIALISME

Setelah materialisme pengaruhnya merajalela, para murid Kant mengadakan


gerakan lagi. Banyak filosof Jerman yang tidak puas terhadap Materialisme,
Positivisme, dan Idealisme. Gerakan ini disebut Neo-Kantialisme. Tokohnya

12
antara lain Wilhelm Windelband (1848-1915), Herman Cohen (1842-1918),
Paul Natrop (1854-1924), Heinrich Reickhart (1863-1939).

II.2.9. FENOMENOLOGI

Fenomenologi berasal dari kata fenomen yang artinya gejala, yaitu suatu hal
yang tidak nyata dan semu. Kebalikannya kenyataan juga dapat diartikan
sebagai ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indra. Misalnya,
penyakit flu gejalanya batuk, pilek. Dalam filsafat fenomenologi, arti di atas
berbeda dengan yang dimaksud, yaitu bahwa suatu gejala tidak perlu harus
diamati oleh indra, karena gejala juga dapat dilihat secara batiniah, dan tidak
harus berupa kejadiankejadian. Jadi, apa yang kelihatan dlam dirinya sendiri
seperti apa adanya.

Tokohnya : Edmund Husserl (1874-1928).

Edmund Husserl (1839-1939) lahir di Wina. Ia belajat ilmu alam, ilmu


falak, matematika, kemudian filsafat. Akhirnya menjadi guru besar di Halle,
Gottingen, Freiburg.

Pemikirannya, bahwa objek atau benda harus diberi kesempatan untuk


berbicara, yaitu dengan cara deskriptif fenomenologis yang didukung oleh
metode deduktif. Tujuannya adalah untuk melihat hakikat gejala-gejala
secara intuitif. Sedangkan metode deduktif artinya mengkhayalkan gejala-
gejala dalam berbagai macam yang berbeda.nsehingga akan terlihat batas
invariable dalam situasi yang berbeda-beda. Sehingga akan muncul unsure
yang tidak berubah-ubah yaitu hakikat. Inilah yang dicarinya dalam metode
variasi eidetis

II.2.10. EKSISTENSIALISME

Kata eksistensialisme berasal dari kata eks = ke luar, dan sistensi atau sisto =
berdiri, menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam keberadaannya
itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan
oleh akunya. Karena manusia selalu terlihat di sekelilingnya, sekaligus
sebagai miliknya. Upaya untuk menjadi miliknya itu manusia harus berbuat
menjadikan sampai merencanakan, yang berdasar pada pengalaman yang
konkret.

 Martin Heidegger (1905 M)

13
Menurut Martin Heidegger, keberadaan hanya akan dapat dijawab melalui
jalan ontologi, artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan
dicari artinya dalam hubungan itu. Metode untuk ini adalah metodologi
fenomenologis. Jadi, yang penting adalah menemukan arti keberadaan itu.
Satu-satunya yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah keberadaan
manusia.

 J.P. Sartre

Jean Paul Sartre lahir di Paris pada tahun 1905 M dan meninggal pada tahun
1980 M. Ia belajar pada Ecole Normale Superieur pada tahun 1924-1928 M.
Setelah 30 tamat dari sekolah itu, pada tahun 1929 M, ia mengajarkan
filsafat di beberapa Lycees, baik di paris maupun tempat lain. Dari tahun
1933 sampai tahun 1935, ia menjadi mahasisiwa peneliti pada institut
Francais di berlin dan di universitas Preiburg. Pada tahun 1938 M, terbit
novelnya yang berjudul La Nausee, sedangkan Le Mur terbit pada tahun
1939 M. Sejak itu, muncullah karya-karyanya yang lain dalam bidang
filsafat. Menurut Sartre, eksistensi manusia mendahului esensinya.

 Gabriel Marcel

Dalam filsafatnya, ia menyatakan bahwa manusia tidak hidup sendirian,


tetapi bersama-sama dengan orang lain. Akan tetapi, manusia mmiliki
kebebasan yang bersifat otonom. Dalam hal itu, ia selalu dalm situasi yang
ditentukan oleh kejasmaniaannya. Dari luar, ia dapat menguasai jasmaninya,
tetapi dari dalam ia dikuasai oleh jasmaninya. Didalam pertemuannya
dengan manusia lain, manusia mungkin bersifat dua macam. Yang lain itu
merupakan objek baginya, jadi sebagian dia mungkin juga merupakan yang
ada bagi aku. Aku ini membentuk diri terutama dalam hubungan aku-engkau
ini. Dalam hubungan ini kesetiaan lah yang menentukan segalagalanya. Jika
aku percaya kepada orang lian, setialah aku terhadap orang lin itu, dan
kepercayaan ini menciptakan diri aku itu. Setia itu hanya mungkin karena
orang merupakan bagian dikau yang mutlak(Tuhan) kesetiaan yang
menciptakan aku ini pada akhirnya berdasarkan atas partisipasi manusia
kepada Tuhan.

Manusia bukanlah manusia yang statis, sebab ia senantiasa menjadi


(berproses).ia selalu menghadapi objek yang harus diusahakan, seperti yang
tampak dalam hubungannya dengan orang lain. Perjalanan manusia ternyata
akan berakhir pada kematian, pada yang tidak ada. Perjuangan manusia
sebenarnya terjadi di daerah perbatasan antara tidak berada. Oleh karena itu,
manusia menjadi gelisah, menjadi putus asa dan takut kepada kematian.

14
Namun, sebenarnya kemenangan kematian itu hanyalah semu saja, sebab
hanya cinta kasih dan kesetiaan itulah yang memberi harapan untuk
mengatasi kematian. Di dalam cinta kasih dan kesetian ada kepastian bahwa
ada Engkau yang tidak dapat mati. Harapan itulah yang menerobos
kematian. Adanya harapan menunjukkan bahwa kemenangan kematian
adalah semu. Ajaran tentang harapan 32 ini menjadi puncak ajara Marcel.
Harapan ini menunjukkkan adanya Engkau Yang Tertinggi, yang tidak dapat
dijadikan objek manusia. Engkau Tertinggi inilah Allah, yang hanya dapat
ditemukan di dalam penyerahan seperti halnya kita menemukan Engkau atas
sesama kita dalam penyerahan dan dalam keterbukaan dan pertisipasi dalam
berada yang sejati.

II.2.11. PRAGMATISME

Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan


bahwa kebenaran dari segala sesuatu berdasarkan kepada manfaat yang
diberikannya. Sesuatu hal ini dinilai dari kebergunaannya
bagi tindakan manusia untuk kehidupannya. Pernyataannya dapat berbentuk
ucapan, dalil atau teori. Pragmatisme muncul sebagai tradisi pemikiran yang
berasal dari dunia Barat dan berkembang khususnya di Amerika. Kehadirannya
sebagai suatu pemikiran yang berusaha menjawab persoalan kehidupan manusia.
Pragmatisme digolongkan sebagai salah satu aliran filsafat abad ke-19
dalam sejarah filsafat Barat. Pelopor pemikiran pragmatisme adalah seorang filsuf
asal Amerika Serikat yang bernama Chales Sanders Peirce (1839–1914).Tokoh
yang berpengaruh dalam pemikiran pragmatisme antara lain William
James (1842–1910) dan John Dewey (1859–1952).
Gagasan mengenai pragmatisme dikemukakan pertama kali oleh Charles
Sanders Peirce pada awal periode 1870-an pada pertemuan sebuah kelompok
filsafat bernama Metaphysical Club. Pertemuan tersebut diadakan di Cambridge,
Massachusetts secara tidak formal. Hasil diskusi dari pertemuan tersebut
dituliskan oleh Peirce menjadi dua buah artikel berjudul The Fixation of
Belief (1877) dan How to Make Our Ideas Clear (1878). Kedua artikel ini
dipublikasikan pada majalah bernama Popular Science Monthly.
Istilah "pragmatisme" berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata pragma.
Kata ini memiliki banyak arti antara lain fakta, benda, materi, urusan,
usaha,sesuatu yang dibuat, kegiatan, tindakan-tindakan, akibat atau pekerjaan.
Dari kumpulan arti tersebut, pragmatisme diberi pengertian sebagai pemikiran
yang menguatamakan fungsi gagasan di dalam tindakan. Hal itu dapat
dihubungkan dengan slogan seperti “ Kebenaran adalah yang berlaku” dan “Iman
didalam kenyataan menolong menciptakan kenyataan”. Sebagai istilah teknis,
filosofis, kata ini di ciptakan oleh Charles Sanders Pierce menunjuk kepada usaha
untuk menggarap teori mengenai arti bahwa suatu konsepsi yang adalah makna
rasional dari suatu kata atau ekspresi lainnya, terletak hanya pada kemampuan

15
konsepsi tersebut mempengaruhi tingkah laku. Konsep sedemikian membawa kita
pada pandangan bahwa satu-satunya ujian kebenaran itu adalah berdasarkan
konsekuensi praktisnya. Oleh karena itu, kebenaran bersifat relative. Ketika
diterapkan dalam Agama, itu berarti bahwa Agama ataupun aspek-aspek
didalamnya tidak dapat dinilai dari dirinya sendiri, tetapi tergantung pada akibat
psikologi dan moralnya.

Di sisi lain, istilah "pragmatisme" diperoleh oleh Charles Sanders Peirce


dari pemikiran filsafat Immanuel Kant. Di dalam pemikiran Kant terdapat dua
kata yang mirip dengan arti yang berbeda, yaitu praktisch dan pragmatisch.
Kedua kata ini berasal dari bahasa Yunani yaitu praktikos dan pragmatikos.
Istilah praktisch diartikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk kepentingan
dirinya sendiri. Jenis tindakan ini tidak ditemukan dalam pengalaman secara
nyata, melainkan hanya ada pada akal dan budi. Sedangkan
isitlah pragmatisch diartikan sebagai gerak yang dihasilkan oleh kehendak
manusia guna memberikan suatu tujuan definitif sebagai tahapan penting untuk
menjelaskan pemikiran secara benar. Pragmatisme akan menguji suatu
pengetahuan dan akan mengetahui kebenaran pengetahuan tersebut melalui
konsekuensi dari pelaksanaan pengujiannya. Dengan demikian, aliran
pragmatisme tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyan seputar
kebenaran yang bersifat metafisik.

Dalam Pragmatism, A New Name for Some Old Ways of Thinking (1907)
William James berdalih bahwa jika hipotesa pekerjaan Tuhan memuaskan dalam
pengertian kata itu yang paling luas, itu benar. Dalam The Will to Believe (1897)
ia melanjutkan doktrin Voluntarisme bahwa didalam kondisi-kondisi tertentu
kebenaran dapat ditemukan hanya melalui tindakan kemauan. Lebih jauh lagi,
James meminta perhatian akan aspek penting kepercayaan agamawi ketika ia
menekankan elemen pemilihan. Tetapi iman Kristen tidak pernah merupakan
pilihan buta. Iman Kristen tergantung pada kesadaran hati nurani yang terdalam
akan Tuhan yang mendahului semua keputusan, tetapi terus semakin mendalam
sebagai suatu perkembangan seseorang dalam mengikut Kristus.

Charles sandre piere

(1839) Charles berpendapat bahwa apapun yang berpengaruh bila dikatan praktis.
Dibeberapa waktu yang lain ia juga mengutarakan bahwa pragmatisme bukanlah
sebuah filsafat, bukan teori kebenaran, dan bukan metafisika, melainkan adalah
suatu cara untuk manusia dalam memecahkan masalah.

16
John Dewey

salah satu tokoh yang berpengaruh besar dalam pemikiran


pragmatisme. Pemikiran pragmatisme yang dikembangkan oleh Dewey dikenal
juga sebagai eksperientalisme. Penamaan ini berasal dari pemikirannya yang
menyatakan bahwa pertumbuhan manusia merupakan tujuan dari pendidikan.

William James

salah satu tokoh yang mengkaji mengenai cara manusia dalam mengatasi
permasalahan kehidupan berupa industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Tokoh
lain yang mengkaji permasalahan yang sama ialah Karl Marx (1818–1883) yang
kemudian menjadi pelopor sosialisme. Pragmatisme ini diartikan sebagai sebuah
kepraktisan dan kegunaan sehingga kriteria dari kebenaran diberikan untuk segala
hal yang dapat menjadikan segala sesuatu dapat dikerjakan. James meyakini
bahwa manusialah yang menciptakan kebenaran sehingga kebenaran itu berada di
dalam diri manusia.

II.2.12. FILSAFAT HIDUP

Menurut Bergson, hidup adalah suatu tenaga eksplosif yang telah ada
sejak awal dunia, yang berkembang dengan melawan penahanan atau penentangan
materi 35 (yaitu sesuatu yang lamban yang menentang gerak dan dipandang oleh
akal sebagai materi atau benda). Manakala gerak perkembangan hidup itu
digambarkan sebagai gerak ke atas, materi adalah gerak ke bawah yang menahan
gerak ke atas itu. Dalam perkembangannya sebagai gerak ke atas, hidup
mempunyai penahanan gerak ke bawah. Hal ini mengakibatkan hidup terbagi-bagi
menjadi arus yang menuju banyak jurusan, yang sebagian ditundukkan oleh
materi, sedangkan sebagian lainnya teta memiliki kecakapannya untuk berbuat
secara bebas dan dengan terus berjuang keluar dari genggaman materi.

Bergson yakin akan adanya revolusi, tetapi tidak seperti yang diajarakan
Darwin. Evolusi yang menggambarkan evolusi sebagai perkembangan linear
(segaris), yang satu sesudah yang lain dengan manusia sebagai puncaknya.
Menurut Bergson, evolusi adalah suatu perkembangan yang menciptakan, yang
meliputi segala kesadaran, segala hidup, segala kenyataan, yang dalam
perkembangannya terus-1menerus menciptakan bentuk baru dan menghasilkan
kekayaan baru.

 Naluri

Naluri adalah tenaga bawaan kelahiran guna memanfaatkan alat-alat organis


tertentu dengan cara tertentu. Kerja naluri terjadi otomatis, tanpa memberi tempat

17
pada spontanitas atau pembaharuan. Naluri semata-mata diarahkan pada
kepentingan kelompok atau rumpunnya. Oleh karena itu, sifat individual
ditaklukkan kepada sifat kelompok.

 Akal

Akal yang dimiliki manusia merupakan kecakapan untuk menciptakan alat kerja
bagi dirinya dan secara bebas mengubah-ubah pembuatan alat kerja itu. Akal
mencakapkan manusia untuk menyadarkan diri akan kepentingan individu. Akan
tetapi, akal tidak dapat dipakai untuk menyelami hakikat yang sebenarnya dan
segala kenyataan. Sebab, akal adalah hasil perkembangan, yaitu perkembangan
dalam rangka proses hidup. Akal itu timbul karena penyesuaian manusia.

 Intuisi

Intuisi diperlukan untuk menyelami hakikat segala kenyataan. Intuisi adalah


tenaga rohani, suatu kecakapan yang dapat melepaska diri dari akal, kecakapan
untuk menyimpulkan serta meninjau dengan sadar. Atau Intuisi merupakan naluri
yang telah mendapat kesadaran diri , yang telah dicakapkan untuk memikirkan
sasarannya serta memperluas sasaran itu menurut kehendak sendiri tanpa batas.

 Agama

Bergson membagi agama pada dua macam: pertama, agama statis, dan kedua,
agama dinamis.

 Agama statis ialah agama yang timbul karena hasil karya perkembangan.
Dalam perkembangan ini, alam telah memberikan kepada manusia
kecakapan untuk menciptakan dongeng-dongeng yang dapat mengikat
manusia yang seorang dengan yang lain dan dapat mengikat manusia
dengan hidup. Karena akalnya, manusia tahu bahwa ia harus mati. Karena
akalnya juga, manusia tahu bahwa ada rintangan-rintangan yang tak
terduga sehingga menghalangi usahanya untuk mencapai tujuannya.
 Agama yang dinamis adalah agama yang diberikan oleh intuisi. Dengan
perantaraan agama inilah, manusia dapat berhubungan dengan asas yang
lebih tinggi yang lebih berkuasa dari pada dirinya sendiri. Bentuk agama
yang paling tinggi adalah mistik yang secara sempurna terdapat dalam
agama kristen. Itulah filsafat hidup Bergson yang besar sekali
pengaruhnya di perancis. Ketika ia membahas agama kristen, yang berarti
sebagai pegangan hidup karena ia agama yang paling tinggi.

18
BAB III MANUSIA MENURUT FILSAFAT MODERN

III.1. Eksistensi Manusia Menurut Eksistensialisme

Menurut Kierkegaard dianggap sebagai bapak eksistensialisme, seorang Denmark


Soren Kierkegaard (1813-1855). Ia sebenarnya bukan seorang ahli filsafat teolog
dan Kierkegaart sendiri “menjadi ayah filsafat eksistensi, yang baru berkembang
lima puluh tahun setelah kematiannya. Manusia menurutnya tidak bias
dibicarakan pada umumnya atau menurut hakekatnya, karena manusia pada
umumnya sebenarnya tidak ada, yang ada hanyalah orang-orang kongkret, yang
semua berbeda, namun semua berdiri dihadapan tuhan. Agar manusia ada
menurutnya, maka harus bereksistensi.

Menurutnya ada 3 stadia (tingkatan) manusia untuk bereksistensi atau tiga sikap
terhadap hidup:

1. Sikap estesis, dalam sikap ini manusia haruslah memilih terus menerus
dengan menikmati atau meloncat ketingkat yang lebih tinggi melalui suatu
pilihan yang bebas.
2. Sikap etis, sikap etis yang dikemukakan Kierkegaard berbeda dengan sikap
etis Socrates,. Etis disini menerima kepentingan suara hati. Ciri khas sikap
ini manusia-manusia sudah mengakui kelemahannya belum bisa
mengatasinya.
3. Sikap religious, dimana keberadaan manusia kepercayaan kepada Allah yang
abadi dan memperlihatkan diri sendiri pada satu waktu kepada tuhan.

Manusia akan tetap dikatakan manusia, maka seharusnya merasa bersalah dan
berdosa terhadap tuhan tanpa merasa berdosa manusia tidak bereksistensi. Tuhan
yang dimaksud tersebut adalah Kristus, maka untuk menghilangkan rasa takut dan
putusasa haruslah percaya kepada Tuhan Kristus, namun demikian untuk
kepercayaan pada kristus harus sanggup menanggung segala-galanya.

Yang jelas kierkegaart tidak sedikitpun membicarakan tentang manusia sebagai


khalifah, namun membicarakan tentang kedudukan manusia, setatus manusia
secara global. Misalnya merasa berdosa, bersalah, iman dan mengakui adanya
tuhan walaupun pengertian tuhannya berbeda.

Dalam filsafat “bertanya secara baru mengenai apa makna adanya”. Kita akan
menemukan diri kita walau kita merasa ada sehingga keberadaan manusia karena
ajal (ingat mati) sehingga akan ditemukan eksistensi manusia

19
Haidegger juga berbicara tentang manusia, bahwa kedudukan, status manusia
berbeda dengan benda-benda termasuk didalamnya menurut hemat penulis adalah
benda dengan binatang. Yang memang kadang-kadang manusia sendiri
dikendalikan benda

Menurut Karl Jaspers tugas filsafat ialah mencari jawaban mengenai makna hidup,
serta mencari kejelasan mengenai hidup yang harus dipilih. Manusia tidak akan
memperoleh keterangan makna hidup melalui jalan pengetahuan, kendatipun 41
jalan ini sudah disempurnakan oleh ilmu-ilmu. Jawaban harus dicari melalui
eksistensi. Yang jelas manusia eksistensi manusia berada pada kehidupannya
(makna hidup) namun makna hidup tersebut sesungguhnya tidak akan ketemu
kalau tidak bereksistensi.

Eksistensi ini dalam bahasa mistik disebut jiwa dan Allah, sementara dalam
filsafat disebutnya eksistensi. Eksistensi/keberadaan manusi serba
memungkinkan. Kemungkinan yang dimaksud adalah mungkin ada di dunia tapi
adanya belum merupakan eksistensi. Sebab eksistensi itu sesuatu panggilan untuk
mengisi karunia kebebasan kita. Dalam waktu manusia harus memutuskan
bagaimana ia mau menjadi secara abadi.

Tanpa ada bantuan dari manusia yang lain tentunya kita hidup ini akan hampa,
kendatipun dalam kehidupan serba ada tapi seakan-akan adanya satu kekosongan
yang belum lengkap dimiliki oleh manusia yakni hubungan timbale balik antara
yang satu dengan yang lainnya.

Tegasnya manusia adalah ciptaan tuhan, dengan kedudukannya sebagai makhluk


tuhan maka ia adalah makhluk social yang kerap kali membutuhkan manusia satu
dengan lainnya. Nah karena kapasitasnya ciptaan tuhan pada suatu ketika manusia
membutuhkan yang menciptakan itu sehingga dengan demikian butuh pula
ajarannya bahkan wahyu-Nya.

III.2. Eksistensialisme Kristen

Eksistensialisme yang kita saksikan saat ini berakar paling jelas dalam
tulisan-tulisan Soren Kierkegaard, dan sebagai konsekuensinya, dapat dikatakan
bahwa eksistensialisme modern mulai pada dasarnya bersifat kristiani, yang
kemudian berubah menjadi bentuk-bentuk lain.

Sebuah pertanyaan sentral dalam tulisan Kierkegaard adalah bagaimana individu


manusia dapat menerima eksistensi mereka sendiri, karena keberadaan itulah yang
merupakan hal paling penting dalam kehidupan setiap orang.

20
Ini menghasilkan keputusasaan dan kesedihan, tetapi di tengah-tengah "penyakit
metafisis" kita akan menghadapi "krisis", krisis yang tidak dapat diputuskan
akalbudi dan rasionalitasnya.

Mereka yang telah mengembangkan tema-tema Kristen eksistensialisme


Kierkegaard secara eksplisit memusatkan perhatian pada gagasan bahwa lompatan
iman yang kita buat harus menjadi salah satu yang menyebabkan kita
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan daripada bersikeras untuk terus
mengandalkan alasan kita sendiri.

Kita dapat melihat perspektif ini dengan sangat jelas dalam tulisan-tulisan
Karl Barth, seorang teolog Protestan yang berada di antara yang paling setia
terhadap niat religius Kierkegaard dan yang dapat dipandang sebagai titik awal
eksistensialisme Kristen secara eksplisit di abad ke-20.

Menurut Barth, yang menolak teologi liberal masa mudanya karena


pengalaman Perang Dunia I, kesedihan dan keputusasaan yang kita alami di
tengah-tengah krisis eksistensial mengungkapkan kepada kita realitas Allah yang
tak terbatas.

Paul Tillich adalah seorang teolog Kristen yang menggunakan banyak ide
eksistensialis, tetapi dalam kasusnya dia lebih mengandalkan Martin Heidegger
daripada Søren Kierkegaard. Sebagai contoh, Tillich menggunakan konsep
Heidegger tentang "Being," tetapi tidak seperti Heidegger, dia berpendapat bahwa
Tuhan adalah "Being-itself," yang mengatakan kemampuan kita untuk mengatasi
keraguan dan kecemasan untuk membuat pilihan yang diperlukan untuk
berkomitmen pada cara atas hidup.

Mungkin perkembangan paling luas tema-tema eksistensialis untuk teologi


Kristen dapat ditemukan dalam karya Rudolf Bultmann, seorang teolog yang
berpendapat bahwa Perjanjian Baru menyampaikan pesan yang benar-benar
eksistensialis yang telah hilang dan / atau ditutupi selama bertahun-tahun.

III.3. Aliran – Aliran Dalam Eksistensialisme

Karena banyaknya para pemikir yang berbeda dalam mendefinisikan


tentang eksistensialisme ini, tentunya muncul pula beragam varian-varian
serta bentuk-bentuk pemikiran dalam aliran ini. Ada yang melihat
eksistensialisme dari sudut fungsinya, yakni penggunaan konsep- konsep
eksistensialistik sebagai model suatu pemikiran. Dari sudut fungsinya ini,
eksistensialisme dibedakan menjadi dua. Eksistensialisme metodis dan
eksistensialisme ideologis.

21
 Eksistensialisme metodis adalah bentuk pemikiran yang
menggunakan konsep-konsep dasar eksistensialitas manusia, seperti ;
pengalaman personal, sejarah situasi individu, kebebasan, sebagai
alat atau sarana untuk membahas tematema khusus dalam kehidupan
manusia.
 Sedangkan eksistensialsme ideologis merupakan kebalikannya.
Dengan arti suatu bentuk pemikiraneksistensialisme yang
menempatkan kategoi-kategori atau konsep-konsep dasar
eksistensialitas manusia sebagai satu-satunya ukuran yang sahih
dalam membahas setiap problema hidup dan kehidupan manusia
pada umumnya.

Tokoh yang biasanya selalu menjadi rujukan bila membahas


eksistensialisme theistik adalah Soren Kierkegaard. Ia menyatakan bahwa
eksistensi manusia bersifat konkrit dan individual. Jadi, pertama yang
penting bagi manusia adalah keadaannya sendiri atau eksistensinya sendiri.

Apa yang semula berada sebagai sebuah kemungkinan, berubah atau


bergerak menjadi sebuah kenyataan. Perpindahan atau perubahan ini adalah
suatu perpindahan yang bebas, yang terjadi dalam kebebasan dan keluar dari
kebebasan, yaitu karena pemilihan manusia. Jadi eksistensi manusia adalah
suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti
bereksistensi dalam suatu perbuatan yang harus dilakukan tiap orang bagi
dirinya sendiri. Maka dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa
bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan hidup.
Jika ia tidak berani mengambil keputusan, maka ia tidak bereksistensi dalam
arti yang sebenarnya. Eksistensi manusia di sini berarti manusia merealisir
dirinya, mengikat dii dengan bebas, mempraktekkan keyakinannya, dan
mengisi kebebasannya. Satu intinya, eksistensi manusia tidak dapat
dipahami jika ia dilepaskan dari keterarahan pada Tuhan.

Sementara Karl Jasper, menguraikan bahwa eksistensi manusia pada


dasarnya adalah suatu panggilan untuk mengisi kaunia kebebasannya.
Dengan demikian, “ada“nya manusia itu belum merupakan
eksistensi.Menurut Jaspers, bila kita menyadari adanya batasan dalam segala
hal, dalam hidup, dalam dunia, dalam wilayah pengetahuan, semakin jelas
juga bahwa ada sesuatu diseberang batas-batas ini. Inilah yang disebut oleh
Jaspers dengan istilah “transendensi“ atau “keilahian“. Keilahian ini selalu
berbicara melalui simbol-simbol tertentu atau chiffer-chiffer. Chiffer-chiffer
inilah yang menjadi penengah antara eksistensi dan transendensi. Keilahian

22
ini tetap tersembunyi, namun manusia dapat membaca bahasa yang ditulis
oleh keilahian, sejauh ia menjadi eksistensi.

Sedangkan, Gabriel Marcel dan Martin Buber memiliki perspektif


yang sama tentang eksistensi manusia. Bagi keduanya, eksistensi manusia
hanya dapat dihayati melalui komunikasi dialogis terhadap sesama manusia.

Menurut Buber, manusia mempunyai dua relasi yang fundamental berbeda :

di satu pihak relasi dengan benda-benda, dan di lain pihak relasi dengan
sesama manusia dan Allah.

Bagi Marcel dan Buber, refleksi tentang kehadiran orang lain


menghantarkan kita kepada kehadiran dari “Yang Lain“ secara istimewa
yaitu Tuhan. Menurut Gabriel Marcel, kehadiran Tuhan termasuk suasana
misteri.

Sedangkan eksistensialisme atheistik adalah oientasi pemikiran


eksistensialistik yang memiliki implikasi menuju penolakan adanya realitas
ketuhanan. Bentuk pemikiran eksistensialistik ini pada dasarnya diletakkan
pada asumsi bahwa untuk menegaskan eksistensi manusia, maka keberadaan
Tuhan harus disingkirkan atau diingkari. Jean Paul Sertre adalah salah satu
gembong tokoh filsafat yang mengingkari keberadaan Tuhan demi eksistensi
manusia.

Dalam filsafatnya, Sartre menyatakan dengan tegas bahwa manusia


modern harus menghadapi fakta bahwa Tuhan tidak ada. Dunia dan benda-
benda yang membentuknya adalah benda-benda yang ada tanpa suatu alasan
ataupun tujuan apapun. Karena dunia tidak mempunyai alasan untuk ada,
Sartre menyebutnya sebagai Yang Absurd. “Saya tahu itulah dunia, dunia
telanjang yang tiba-tiba memunculkan diri sendiri, dan saya telah menjadi
gusar dengan kehidupan kotor dan absurd ini“ demikian teriakan Sartre yang
terdengar lantang dan menggoncangkan iman.

Sartre mengajarkan bahwa manusia berbeda dari mahlkuk yang lain


karena kebebasannya.. Dunia di bawah manusia hanya sekedar ada,
disesuaikan, diberikan, sedangkan manusia menciptakan dirinya sendiri
dalam pengertian bahwa ia menciptakan hakikat keberadaannya sendiri.
Karena manusia benar-benar menjadi manusia hanya pada tingkat di mana ia
menciptakan dirinya sendiri dengan tindakan-tindakan bebasnya
sebagaimana Sartre mengekspresikannya, “Manusia bukanlah sesuatu yang
lain kecuali bahwa ia menciptakan dirinya sendiri“.

23
Pandangan eksistensialisme atheistic yang menyatakan bahwa eksistensi
manusia adalah pilihan bebas hanya dapat terlaksana bila manusia posisinya
tidak dalam tersubordinasi oleh kekuasaan atau kekuatan lain yang
mengatasinya, 52 misalnya Tuhan. Sebab jika ia masih dibawah kekuasaan
atau kekuatan tersebut berarti ia tidak bebas menentukan maknanya.Dalam
memilih untuk dirinya sendiri, tiap-tiap manusia mengalami suatu perasaam
bebas yang memuakkan karena tidak ada ukuran yang diikuti, tidak ada
petunjuk yang membantu. Setiap orang adalah miliknya sendii, ia bebas
sekaligus sedih.

Jadi, sebagaimana dikatakan Sartre, hakekat manusia adalah


memilih. Bahkan bila ia tidak memilihpun itu juga adalah pilihannya. Oleh
karena itu ia bertanggung jawab atas pilihannya, atas semua yang ia lakukan.
Ia dengan bebas membuat dirinya sendiri menjadi manusia apa adanya dan
dengan bebas pula menerima semua kesalahan semua manusia bila ia
memutuskan untuk hidup bersama mereka.

Eksistensi manusia sekali lagi diidentikkan dengan pilihannya,


dengan keputusan dan kebebasan. Karena tanggung jawab yang menyeluruh
dalam kebebasan ini, eksistensi lebih banyak digambarkan dengan istilah-
istilah rasa takut, kesedihan yang mendalam dan diabaikan. Turut mewarnai
semua analisa filsafat adalah kesadaran hidup tentang yang absurd. Istilah-
istilah ini kemudian sama dengan yang dipakai oleh Kierkegaard hanya
artinya bertentangan dengan segala sesuatu yang diyakini orang-orang
Denmark sebagai yang pasti dan suci. Sementara Martin Heidegger mencoba
melemparkan wacana dengan menyatakan bahwa jaman kita ditandai oleh
ketidakhadiran Tuhan. Kekosongan ini dapat diisi kalau kita mengerti
kembali betapa ilahinya “ada“.Manusia menurut Heidegger tidak
menciptakan dirinya sendiri, tapi ia “dilemparkan“ dalam keberadaan.
Dengan demikian manusia bertanggung jawab atas adanya dirinya yang
tidak diciptakan sendiri itu.

Dari pemaparan di atas, ada perbedaan yang jelas antara


eksistensialisme atheistik dengan eksistensialisme theistik, yaitu terletak
pada cara pandang dalam melihat ekistensi manusia. Eksistensialisme
theistik menganggap bahwa eksistensi manusia dapat dipahami hanya jika
dikaitkan dengan transendensinya atau keterarahan kepada Tuhan.
Sedangkan eksistensialisme atheistik memandang eksistensi manusia adalah
pilihan bebas.

Pertanyaan „“apakah eksistensialisme itu?“ selanjutnya tidak dapat di


jawab dengan sederhana. Pemikiran eksistensialisme mulai dari pandangan

24
teistik tentang kedaan manusia yang menganggap bahwa manusia itu hidup
dalam ketakutan akan tetapi punya pilihan untuk hidup sebagai manusia di
hadapan Tuhan, seperti yang dikatakan Kierkegaard, hingga kepada
pemikiran yang atheis tentang eksistensi manusia yang menganggap manusia
tidak memiliki apa-apa di dunia ini selain memilih untuk memberontak atau
putus asa, seperti yang ada dalam pemikiran Sartre dan Albert Camus.

eksistensialisme yang telah berkembang saat ini tidaklah memberi


pandangan yang menyeluruh tentang realitas. Bila subyektifitas memiliki
pandangan yang bisa diterapkan dalam syarat eksistensi manusia, ia tetap
memberikan suatu keseimbangan dan orientasi yang penuh bagi manusia
terhadap ; alam di mana ia hidup, terhadap sesama manusia di mana ia
tinggal, atau terhadap Tuhan tempat ia bergantung, pendeknya terhadap
semua realitas obyektif. Sepanjang setiap unsur yang ada di muka bumi ini
ada, semisal tanaman, hewan dan manusia masih ada, maka ada suatu
realitas obyektif. Sepanjang setiap unsur memiliki sebuah struktur spesifik
dan tanaman memilik kehidupan, sepanjang setiap binatang memiliki naluri
dan manusia memiliki akal, pasti ada suatu tujuan berada dan tatanan di
alam ini yang bisa diketahui secara obyektif. Sepanjang tujuan dan tatanan
itu ada di alam ini, pasti ada Tuhan yang dapat diketahui secara filosofis.
Demikian pula sepanjang kebenaran obyektif itu ada, eksistensialisme
atheistik tidak akan pernah mendapatkan kedalamannya maupun
kesempurnaannya.

25
DAFTAR PUSTAKA

Achsa, Hatmi Prawita (dkk). Representasi Diri Dan Identitas Virtual Pelaku

Roleplay Dalam Dunia Maya. Jurnal Paradigma Volume 03, Tahun 2015.

Adiansah, Wandi (dkk). Person In Environment Remaja Pada Era Revolusi


Industry

Jurnal Pekerjaan Sosial, Vol. 2 No. 1, Juli 2019 : 47-60.

Aji, Rustam. Digitalisasi Era Tantangan Media (Analisis Kritis Kesiapan

Fakultas Dakwa Dan Komunikasi Menyongsong Eara Digital). Islamic


Communication Jurnal, Voll.01, No 01, Mei-Oktober 2016.

Amteme, Gabriel Manek (dkk). Gabriel Marcel Filsafat Eksistensi Dan


Konteks Kehidupan Bersama. Jurnal Sosiohumanika, 16b (1), Januari 2003.

26

Anda mungkin juga menyukai