FILSAFAT
DOSEN PENGAMPUH :
DI SUSUN OLEH :
NIM: 2022.11.007
2022
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
II.2.1 Rasionalisme…………….....................…..............…………...............4
II.2.2.Empirisme………………………….................…………………….....7
II.2.3. Kritisme……………………....................………………………….....8
II.2.4. Idealisme……………………...................………………………........9
II.2.5.Positivisme…………….....................................…………………….....9
II.2.6. Evolusionisme…………………………………………......................11
II.2.7. Materialisme…………………………………………………........…12
II.2.8. Neo-Kanitalisme…...............................…….....................…………..13
II.2.9. Fenomenologi…………………………………..............…………...13
II.2.10. Eksistensialisme………………………………………..........…….14
II.2.11. Pragmatisme……………………....................................…………..15
Daftar Pustaka.....................................................................................26
1
BAB 1. PENDAHULUAN
Pada masa modern terjadi perkembangan yang pesat pada bidang ekonomi. Hal
ini terlihat dari kota-kota yang berkembang menjadi pusat perdagangan,
pertukaran barang, kegiatan ekonomi monoter, dan perbankan. Kaum kelas
menengah melakukan upaya untuk bangkit dari keterpurukan dengan
mengembangkan suatu kebebasan tertentu. Kebebasan ini berkaitan dengan
syaratsyarat dasar kehidupan Segala macam barang kebutuhan bisa dibeli dengan
uang. Makanisme pasar pun sudah mulai mengambil peranan penting untuk
menuntut manusia untuk rajin, cerdik, dan cerdas. Dari sudut pandang sosio-
ekonomi menjelaskan bahwa individu berhadapan dengan tuntutan-tuntutan baru
dan praktis yang harus dijawab berdasarkan kemampuan akal budi yang mereka
miliki. Kemampuan ini tanpa harus mengacu kepada otoritas lain, entah itu dari
kekuasaan gereja, tuntutan tuan tanah feodal, maupun ajaran muluk-muluk dari
para filsuf.
Dari sudut pandang sejarah Filsafat Barat melihat bahwa masa modern
merupakan periode dimana berbagai aliran pemikiran baru mulai bermunculan
dan beradu dalam kancah pemikiran filosofis Barat. Filsafat Barat menjadi
penggung perdebatan antar filsuf terkemuka. Setiap filsuf tampil dengan gaya dan
argumentasinya yang khas. Argumentasi mereka pun tidak jarang yang bersifat
kasar dan sini, kadang tajam dan pragmatis, ada juga yang sentimental. Sejarah
filsafat pada masa modern ini dibagi ke dalam tiga zaman atau periode, yaitu:
zaman Renaissans (Renaissance), zaman Pencerahan Budi (Aufklarung), dan
zaman Romantik, khususnya periode Idealisme Jerman.
Ada beberapa tokoh yang menjadi perintis yang membuka jalan baru menuju
perkembangan ilmiah yang modern. Mereka adalah Leonardo da Vinci (1452-
1519), Nicolaus Coperticus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-1630) dan
Galileo Galilei (1564-1643). Sedangkan Francis Bacon (1561-1623) merupakan
filsuf yang meletakkan dasar filosofisnya untuk perkembangan dalam bidang ilmu
pengetahuan. Dia merupakan bangsawan Inggris yang terkenal dengan karyanya
yang bermaksud untuk menggantikan teori Aristoteleles tentang ilmu pengetahuan
dengan teori baru.
Sekalipun demikian, Rene Descartes merupakan filsuf yang paling terkenal pada
masa filsafat modern ini. Rene Descartes (1596-1650) diberikan gelar sebagai
bapa filsafat modern. Dia adalah seorang filsuf Perancis. Descartes belajar filsafat
pada Kolese yang dipimpin Pater-pater Yesuit di desa La Fleche. Descartes
menulis sebuah buku yang terkenal, yaitu Discours de la method pada tahun 1637.
Bukunya tersebut berisi tentang uraian tentang metode perkembangan
intelektuilnya. Dia dengan lantang menyatakan bahwa tidak merasa puas dengan
filsafat dan ilmu pengetahuan yang menjadi bahan pendidikannya. Dia juga
2
menjelaskan bahwa di dalam dunia ilmiah tidak ada sesuatu pun yang
dianggapnya pasti. Segala sesuatu dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya
memang dipersoalkan juga.
Filsafat zaman modern yang kelahirannya didahului oleh suatu periode yang
disebut dengan “Renaissance” dan dimatangkan oleh “gerakan” Aufklaerung
di abad ke-18 itu, didalamnya mengandung dua hal yang sangat penting.
Pertama, semakin berkurangnya kekuasaan Gereja, kedua, semakin
bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan. Pengaruh dari gerakan
Renaissance dan Aufklaerung itu telah menyebabkan peradaban dan
kebudayaan zaman modern berkembang dengan pesat dan semakin bebas
dari pengaruh otoritas dogma-dogma Gereja. Terbebasnya manusia barat
dari otoritas Gereja dampak semakin dipercepatnya perkembangan filsafat
dan ilmu pengetahuan. Sebab pada zaman Renaissance dan Aufklaerung
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan tidak lagi didasarkan pada
otoritas dogma-dogma Gereja, melainkan didasarkan atas kesesuaiannya
dengan akal. Sejak itu kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan
atas kepercayaan dan kepastian intelektual (sikap ilmiah) yang kebenarannya
dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan, dan pemikiran yang dapat
diuji. Kebenaran yang dihasilkan tidak bersifat tetap, tetapi dapat berubah
dan dikoreksi sepanjang waktu. Kebenaran merupakan “ a never ending
process”, bukan sesuatu yang berhenti, selesai dalam kebekuan normatif atau
dogmatis.
3
Pada umumnya, para sejarawan sepakat bahwa zaman modern lahir sekitar
tahun 1500-an di Eropa. Peralihan zaman ini ditandai dengan semangat anti
Abad Pertengahan yang cenderung mengekang kebebasan berpikir. Sesuai
dengan istilah “modern” yang memiliki arti baru, sekarang, atau saat ini,
filsafat modern merupakan sebuah pemikiran yang menganalis tentang
kekinian, sekarang, 6 subjektivitas, kritik, hal yang baru, kemajuan, dan apa
yang harus dilakukan pada saat ini. Semangat kekinian ini tumbuh sebagai
perlawanan terhadap cara berpikir tradisional Abad Pertengahan yang
dianggap sudah tidak relevan.
Descartes (1596-1650)
Tentang Kesadaran
Dengan konsep dan metode pengetahuannya yang rasional dan baru, Rene
Descartes dijuluki Bapak Filsafat Modern, Ia meyakini bahwa sumber
pengetahuan yang benar adalah rasio, bukan mitos, prasangka, omongan
orang, ataupun wahyu seperti yang diyakini pada Abad Pertengahan. Ia
sangat yakin pada kemampuan rasio untuk mencapai kebenaran, lantaran di
luar rasio mengandung kelemahan atau kesangsian. Atas keyakinannya pada
rasio tersebut, ia membangun pemikiran filsafatnya.
Metode Keraguan
4
3. Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang
sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada
yang paling sulit dan kompleks.
4. Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus
dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta
pertimbanganpertimbangan yang menyeluruh, sehingga diperoleh
keyakinan bahwa tidak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan
dalam penjelajahan itu. (Atang Abdul Hakim, 2008: 251)
Tiga Realitas
Spinoza (1632-1677)
5
(universal), tidak tergantung pada yang lain, mutlak, dan utuh. Spinoza
mengajarkan, apabila Tuhan sebagai satu-satunya substansi, maka
harus dikatakan bahwa segala sesuatu, baik yang bersifat materi (tubuh,
pohon, batu, planet, dan materi laninnya) maupun jiwa (pemikiran,
kesadaran, perasaan, dan kehendak), berasal dari Tuhan. Sebab, materi
dan jiwa tidak berdiri sendiri dan bukanlah substansi, tetapi berasal dari
serta tergantung pada substansi tunggal, yaitu Tuhan.
Leibniz (1646-1716)
Gottfried Wilhelm von Leibniz tidak meyakini adanya tiga substansi seperti
yang diyakini Descartes. Ia juga tidak percaya dengan satu substansi
sebagaimana yang dipercaya Spinoza. Baginya, tidak hanya ada satu atau
tiga substansi di alam ini, tetapi ada banyak substansi, atau substansi itu
jumlahnya tidak terhingga. , sebagai substansi yang nonmaterial, monad
memiliki beberapa sifat, diantaranya :
6
David Hume (1711 – 1776)
II.2.3. KRITISME
Aliran ini muncul abad ke-18. Suatu zaman baru dimana seorang ahli pikir
yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dan
empirisme. Zaman baru ini disebut zaman Pencerahan (Aufklarung).
Zaman pencerahan ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum
dewasa (dalam pemikiran filsafatnya). Akan tetapi, setelah Kant
mengadakan penyelidikan (kritik) terhadap peran pengetahuan akal.
Setelah itu, manusia terasa bebas dari otoritas yang datangnya dari luar
7
manusia, demi kemajuan atau peradaban manusia. Sebagai latar
belakangnya, manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu
pasti, biologi, filsafat, dan sejarah) telah mencapai hasil yang
menggembirakan. Di sisi lain, jalanya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu
diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu
pengetahuan alam. Isaac Newton (1642-1772) memberikan dasar-dasar
berpikir dengan induksi, yaitu pemikiran yang bertitik tolak pada gejala-
gejala dan mengembalikan kepada dasar-dasar yang sifatnya umum.
II.2.4. IDEALISME
8
syarat dipenuhi, yaitu jika peristiwa-peristiwa itu sudah secara otomatis
mengandung penjelasanpenjelasanya. Ide yang berpikir itu sebenarnya
adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Artinya, gerak yang
menimbulkan tesis, kemudian menimbulkan anti tesis (gerak yang
bertentangan). Kemudian timbul sintesis yang merupakan tesis baru, yang
nantinya menimbulkan antitesis dan seterusnya. Inilah yang disebutnya
sebagai dialetika. Proses dialetika inilah yang menjelaskan segala
peristiwa.
II.2.5. POSITIVISME
9
ilmiah atau positif. Berikut tiga tahap penjabaran perkembangan manusia
menurut Comte:
1. Tahapan Teologis
Tahap teologis adalah tahapan dimana manusia masih beranggapan bahwa
semua benda di dunia ini memiliki kekuatan supranatural. Pemikiran inilah
yang digunakan masyarakat sebelum tahun 1300 M untuk menjelaskan
segala fenomena yang terjadi sehingga terkesan tidak rasional. Dalam tahap
teologis terdapat tiga kepercayaan yang dianut masyarakat yakni pertama
fetisisme, kedua dinamisme dan ketiga animisme. Fetisisme adalah
kepercayaan akan adanya kekuatan sakti dalam benda tertentu. Dinamisme
adalah kepercayaan yang menganggap alam semesta ini mempunyai jiwa
sedangkan animisme adalah kepercayaan yang mempercayai dunia sebagai
kediaman roh-roh atau bangsa halus. Ada juga pandangan lain soal
politeisme dan monoteisme. Politeisme adalah bentuk kepercayaan yang
mengakui adanya lebih dari satu Tuhan atau menyembah dewa (banyak
dewa) sedangkan monoteisme kepercayaan bahwa Tuhan adalah
satu/tunggal dan berkuasa penuh atas segala sesuatu. Sebagai ilustrasi yakni
Ketika ada fenomena gerhana bulan masyarakat pada tahap teologis ini
mengangap bulan telah dimakan Butho (Raksasa Jahat).
2. Tahap metafisik
Tahap metafisik adalah tahapan dimana masyarakat percaya bahwa
kekuatan abstrak menentukan kejadian di dunia. Tahapan metafisik
merupakan hasil pergesaran dari tahapan teologis dan terjadi kira-kira
1300-1800 M. Pada tahap metafisik ini mulai muncul konsep-konsep
abstrak atau kekuatan abstrak selain Tuhan yakni alam. Tahapan ini
mempercayai bahwa segala kejadian di muka bumi adalah hukum alam
yang tidak dapat diubah dan masyarakat mencari penjelasan atas fenomena
yang dialami dengan konsep impersonal abstrak. Sebagai ilustrasi salah
satunya adalah banyak orang yang sudah berpendidikan tinggi namun dia
masih percaya pada peramal atau dukun.
3. Tahap Positiv
Tahapan positivisme mempercayai bahwa semua gejala alam atau
fenomena yang terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan
peninjauan, pengujian dan dapat dibuktikan secara empiris. Tahapan ini
mempercayai bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid dan
fakta-fakta sejarah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau
subyek di belakang fakta. Menolak segala penggunaan metode diluar yang
digunakan untuk menelaah fakta. Tahap ini menjadikan ilmu pengetahuan
berkembang dan segala sesuatu menjadi lebih rasional. Alhasil tercipta
dunia yang lebih baik karena orang cenderung berhenti melakukan
pencarian sebab mutlak karena Tuhan atau alam. Orang-orang di zaman
positivisme lebih berkonsentrasi pada penelitian terhadap dunia sosial. Pada
tahap positif yang mana akal manusia telah mencapai puncak ilmu
pengetahuan dan teknologi berkembang, orang tidak lagi mencari
10
pengetahuan absolut tentang sebab-sebab akhir tapi menanyakan kaitan
statis dan dinamis gejala-gejala. Sebagai ilustrasi adalah jika sakit dan
berobat kerumah sakit maka yang menyembuhkan adalah obat, makan dan
istirahat teratur bukan karena dewa atau dukun.
II.2.6. EVOLUSIONISME
II.2.7. MATERIALISME
11
alam Dalam pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah
benda seperti halnya kayu dan batu.
3. Materialisme historis
Perkembangan sejarah manusia dan masyarakat pun tunduk dan
mempunyai watak yang materialistik idealektis. Oleh sebab itu, bila
teori itu diterapkan pada gejala masyarakat, tumbullah apa yang
dinamakan metarialisme historis. Disini pikiran dasar ialah bahwa arah
yang ditempuh sejarah sama sekali ditentukan oleh perkembangan
sarana-sarana produksi yang material. Jika sebagai contoh kita memilih
pengolahan tanah maka perkembangan sarana-sarana produksi adalah
umpamanya : tongkat, pacul, bajak, mesin. Biarpun sarana-sarana
produksi sendiri merupaakan buah hasil pekerjaan manusia. Namun
arah sejarah tidak tergantung dari kehendak manusia.
12
antara lain Wilhelm Windelband (1848-1915), Herman Cohen (1842-1918),
Paul Natrop (1854-1924), Heinrich Reickhart (1863-1939).
II.2.9. FENOMENOLOGI
Fenomenologi berasal dari kata fenomen yang artinya gejala, yaitu suatu hal
yang tidak nyata dan semu. Kebalikannya kenyataan juga dapat diartikan
sebagai ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indra. Misalnya,
penyakit flu gejalanya batuk, pilek. Dalam filsafat fenomenologi, arti di atas
berbeda dengan yang dimaksud, yaitu bahwa suatu gejala tidak perlu harus
diamati oleh indra, karena gejala juga dapat dilihat secara batiniah, dan tidak
harus berupa kejadiankejadian. Jadi, apa yang kelihatan dlam dirinya sendiri
seperti apa adanya.
II.2.10. EKSISTENSIALISME
Kata eksistensialisme berasal dari kata eks = ke luar, dan sistensi atau sisto =
berdiri, menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam keberadaannya
itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan
oleh akunya. Karena manusia selalu terlihat di sekelilingnya, sekaligus
sebagai miliknya. Upaya untuk menjadi miliknya itu manusia harus berbuat
menjadikan sampai merencanakan, yang berdasar pada pengalaman yang
konkret.
13
Menurut Martin Heidegger, keberadaan hanya akan dapat dijawab melalui
jalan ontologi, artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan
dicari artinya dalam hubungan itu. Metode untuk ini adalah metodologi
fenomenologis. Jadi, yang penting adalah menemukan arti keberadaan itu.
Satu-satunya yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah keberadaan
manusia.
J.P. Sartre
Jean Paul Sartre lahir di Paris pada tahun 1905 M dan meninggal pada tahun
1980 M. Ia belajar pada Ecole Normale Superieur pada tahun 1924-1928 M.
Setelah 30 tamat dari sekolah itu, pada tahun 1929 M, ia mengajarkan
filsafat di beberapa Lycees, baik di paris maupun tempat lain. Dari tahun
1933 sampai tahun 1935, ia menjadi mahasisiwa peneliti pada institut
Francais di berlin dan di universitas Preiburg. Pada tahun 1938 M, terbit
novelnya yang berjudul La Nausee, sedangkan Le Mur terbit pada tahun
1939 M. Sejak itu, muncullah karya-karyanya yang lain dalam bidang
filsafat. Menurut Sartre, eksistensi manusia mendahului esensinya.
Gabriel Marcel
14
Namun, sebenarnya kemenangan kematian itu hanyalah semu saja, sebab
hanya cinta kasih dan kesetiaan itulah yang memberi harapan untuk
mengatasi kematian. Di dalam cinta kasih dan kesetian ada kepastian bahwa
ada Engkau yang tidak dapat mati. Harapan itulah yang menerobos
kematian. Adanya harapan menunjukkan bahwa kemenangan kematian
adalah semu. Ajaran tentang harapan 32 ini menjadi puncak ajara Marcel.
Harapan ini menunjukkkan adanya Engkau Yang Tertinggi, yang tidak dapat
dijadikan objek manusia. Engkau Tertinggi inilah Allah, yang hanya dapat
ditemukan di dalam penyerahan seperti halnya kita menemukan Engkau atas
sesama kita dalam penyerahan dan dalam keterbukaan dan pertisipasi dalam
berada yang sejati.
II.2.11. PRAGMATISME
15
konsepsi tersebut mempengaruhi tingkah laku. Konsep sedemikian membawa kita
pada pandangan bahwa satu-satunya ujian kebenaran itu adalah berdasarkan
konsekuensi praktisnya. Oleh karena itu, kebenaran bersifat relative. Ketika
diterapkan dalam Agama, itu berarti bahwa Agama ataupun aspek-aspek
didalamnya tidak dapat dinilai dari dirinya sendiri, tetapi tergantung pada akibat
psikologi dan moralnya.
Dalam Pragmatism, A New Name for Some Old Ways of Thinking (1907)
William James berdalih bahwa jika hipotesa pekerjaan Tuhan memuaskan dalam
pengertian kata itu yang paling luas, itu benar. Dalam The Will to Believe (1897)
ia melanjutkan doktrin Voluntarisme bahwa didalam kondisi-kondisi tertentu
kebenaran dapat ditemukan hanya melalui tindakan kemauan. Lebih jauh lagi,
James meminta perhatian akan aspek penting kepercayaan agamawi ketika ia
menekankan elemen pemilihan. Tetapi iman Kristen tidak pernah merupakan
pilihan buta. Iman Kristen tergantung pada kesadaran hati nurani yang terdalam
akan Tuhan yang mendahului semua keputusan, tetapi terus semakin mendalam
sebagai suatu perkembangan seseorang dalam mengikut Kristus.
(1839) Charles berpendapat bahwa apapun yang berpengaruh bila dikatan praktis.
Dibeberapa waktu yang lain ia juga mengutarakan bahwa pragmatisme bukanlah
sebuah filsafat, bukan teori kebenaran, dan bukan metafisika, melainkan adalah
suatu cara untuk manusia dalam memecahkan masalah.
16
John Dewey
William James
salah satu tokoh yang mengkaji mengenai cara manusia dalam mengatasi
permasalahan kehidupan berupa industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Tokoh
lain yang mengkaji permasalahan yang sama ialah Karl Marx (1818–1883) yang
kemudian menjadi pelopor sosialisme. Pragmatisme ini diartikan sebagai sebuah
kepraktisan dan kegunaan sehingga kriteria dari kebenaran diberikan untuk segala
hal yang dapat menjadikan segala sesuatu dapat dikerjakan. James meyakini
bahwa manusialah yang menciptakan kebenaran sehingga kebenaran itu berada di
dalam diri manusia.
Menurut Bergson, hidup adalah suatu tenaga eksplosif yang telah ada
sejak awal dunia, yang berkembang dengan melawan penahanan atau penentangan
materi 35 (yaitu sesuatu yang lamban yang menentang gerak dan dipandang oleh
akal sebagai materi atau benda). Manakala gerak perkembangan hidup itu
digambarkan sebagai gerak ke atas, materi adalah gerak ke bawah yang menahan
gerak ke atas itu. Dalam perkembangannya sebagai gerak ke atas, hidup
mempunyai penahanan gerak ke bawah. Hal ini mengakibatkan hidup terbagi-bagi
menjadi arus yang menuju banyak jurusan, yang sebagian ditundukkan oleh
materi, sedangkan sebagian lainnya teta memiliki kecakapannya untuk berbuat
secara bebas dan dengan terus berjuang keluar dari genggaman materi.
Bergson yakin akan adanya revolusi, tetapi tidak seperti yang diajarakan
Darwin. Evolusi yang menggambarkan evolusi sebagai perkembangan linear
(segaris), yang satu sesudah yang lain dengan manusia sebagai puncaknya.
Menurut Bergson, evolusi adalah suatu perkembangan yang menciptakan, yang
meliputi segala kesadaran, segala hidup, segala kenyataan, yang dalam
perkembangannya terus-1menerus menciptakan bentuk baru dan menghasilkan
kekayaan baru.
Naluri
17
pada spontanitas atau pembaharuan. Naluri semata-mata diarahkan pada
kepentingan kelompok atau rumpunnya. Oleh karena itu, sifat individual
ditaklukkan kepada sifat kelompok.
Akal
Akal yang dimiliki manusia merupakan kecakapan untuk menciptakan alat kerja
bagi dirinya dan secara bebas mengubah-ubah pembuatan alat kerja itu. Akal
mencakapkan manusia untuk menyadarkan diri akan kepentingan individu. Akan
tetapi, akal tidak dapat dipakai untuk menyelami hakikat yang sebenarnya dan
segala kenyataan. Sebab, akal adalah hasil perkembangan, yaitu perkembangan
dalam rangka proses hidup. Akal itu timbul karena penyesuaian manusia.
Intuisi
Agama
Bergson membagi agama pada dua macam: pertama, agama statis, dan kedua,
agama dinamis.
Agama statis ialah agama yang timbul karena hasil karya perkembangan.
Dalam perkembangan ini, alam telah memberikan kepada manusia
kecakapan untuk menciptakan dongeng-dongeng yang dapat mengikat
manusia yang seorang dengan yang lain dan dapat mengikat manusia
dengan hidup. Karena akalnya, manusia tahu bahwa ia harus mati. Karena
akalnya juga, manusia tahu bahwa ada rintangan-rintangan yang tak
terduga sehingga menghalangi usahanya untuk mencapai tujuannya.
Agama yang dinamis adalah agama yang diberikan oleh intuisi. Dengan
perantaraan agama inilah, manusia dapat berhubungan dengan asas yang
lebih tinggi yang lebih berkuasa dari pada dirinya sendiri. Bentuk agama
yang paling tinggi adalah mistik yang secara sempurna terdapat dalam
agama kristen. Itulah filsafat hidup Bergson yang besar sekali
pengaruhnya di perancis. Ketika ia membahas agama kristen, yang berarti
sebagai pegangan hidup karena ia agama yang paling tinggi.
18
BAB III MANUSIA MENURUT FILSAFAT MODERN
Menurutnya ada 3 stadia (tingkatan) manusia untuk bereksistensi atau tiga sikap
terhadap hidup:
1. Sikap estesis, dalam sikap ini manusia haruslah memilih terus menerus
dengan menikmati atau meloncat ketingkat yang lebih tinggi melalui suatu
pilihan yang bebas.
2. Sikap etis, sikap etis yang dikemukakan Kierkegaard berbeda dengan sikap
etis Socrates,. Etis disini menerima kepentingan suara hati. Ciri khas sikap
ini manusia-manusia sudah mengakui kelemahannya belum bisa
mengatasinya.
3. Sikap religious, dimana keberadaan manusia kepercayaan kepada Allah yang
abadi dan memperlihatkan diri sendiri pada satu waktu kepada tuhan.
Manusia akan tetap dikatakan manusia, maka seharusnya merasa bersalah dan
berdosa terhadap tuhan tanpa merasa berdosa manusia tidak bereksistensi. Tuhan
yang dimaksud tersebut adalah Kristus, maka untuk menghilangkan rasa takut dan
putusasa haruslah percaya kepada Tuhan Kristus, namun demikian untuk
kepercayaan pada kristus harus sanggup menanggung segala-galanya.
Dalam filsafat “bertanya secara baru mengenai apa makna adanya”. Kita akan
menemukan diri kita walau kita merasa ada sehingga keberadaan manusia karena
ajal (ingat mati) sehingga akan ditemukan eksistensi manusia
19
Haidegger juga berbicara tentang manusia, bahwa kedudukan, status manusia
berbeda dengan benda-benda termasuk didalamnya menurut hemat penulis adalah
benda dengan binatang. Yang memang kadang-kadang manusia sendiri
dikendalikan benda
Menurut Karl Jaspers tugas filsafat ialah mencari jawaban mengenai makna hidup,
serta mencari kejelasan mengenai hidup yang harus dipilih. Manusia tidak akan
memperoleh keterangan makna hidup melalui jalan pengetahuan, kendatipun 41
jalan ini sudah disempurnakan oleh ilmu-ilmu. Jawaban harus dicari melalui
eksistensi. Yang jelas manusia eksistensi manusia berada pada kehidupannya
(makna hidup) namun makna hidup tersebut sesungguhnya tidak akan ketemu
kalau tidak bereksistensi.
Eksistensi ini dalam bahasa mistik disebut jiwa dan Allah, sementara dalam
filsafat disebutnya eksistensi. Eksistensi/keberadaan manusi serba
memungkinkan. Kemungkinan yang dimaksud adalah mungkin ada di dunia tapi
adanya belum merupakan eksistensi. Sebab eksistensi itu sesuatu panggilan untuk
mengisi karunia kebebasan kita. Dalam waktu manusia harus memutuskan
bagaimana ia mau menjadi secara abadi.
Tanpa ada bantuan dari manusia yang lain tentunya kita hidup ini akan hampa,
kendatipun dalam kehidupan serba ada tapi seakan-akan adanya satu kekosongan
yang belum lengkap dimiliki oleh manusia yakni hubungan timbale balik antara
yang satu dengan yang lainnya.
Eksistensialisme yang kita saksikan saat ini berakar paling jelas dalam
tulisan-tulisan Soren Kierkegaard, dan sebagai konsekuensinya, dapat dikatakan
bahwa eksistensialisme modern mulai pada dasarnya bersifat kristiani, yang
kemudian berubah menjadi bentuk-bentuk lain.
20
Ini menghasilkan keputusasaan dan kesedihan, tetapi di tengah-tengah "penyakit
metafisis" kita akan menghadapi "krisis", krisis yang tidak dapat diputuskan
akalbudi dan rasionalitasnya.
Kita dapat melihat perspektif ini dengan sangat jelas dalam tulisan-tulisan
Karl Barth, seorang teolog Protestan yang berada di antara yang paling setia
terhadap niat religius Kierkegaard dan yang dapat dipandang sebagai titik awal
eksistensialisme Kristen secara eksplisit di abad ke-20.
Paul Tillich adalah seorang teolog Kristen yang menggunakan banyak ide
eksistensialis, tetapi dalam kasusnya dia lebih mengandalkan Martin Heidegger
daripada Søren Kierkegaard. Sebagai contoh, Tillich menggunakan konsep
Heidegger tentang "Being," tetapi tidak seperti Heidegger, dia berpendapat bahwa
Tuhan adalah "Being-itself," yang mengatakan kemampuan kita untuk mengatasi
keraguan dan kecemasan untuk membuat pilihan yang diperlukan untuk
berkomitmen pada cara atas hidup.
21
Eksistensialisme metodis adalah bentuk pemikiran yang
menggunakan konsep-konsep dasar eksistensialitas manusia, seperti ;
pengalaman personal, sejarah situasi individu, kebebasan, sebagai
alat atau sarana untuk membahas tematema khusus dalam kehidupan
manusia.
Sedangkan eksistensialsme ideologis merupakan kebalikannya.
Dengan arti suatu bentuk pemikiraneksistensialisme yang
menempatkan kategoi-kategori atau konsep-konsep dasar
eksistensialitas manusia sebagai satu-satunya ukuran yang sahih
dalam membahas setiap problema hidup dan kehidupan manusia
pada umumnya.
22
ini tetap tersembunyi, namun manusia dapat membaca bahasa yang ditulis
oleh keilahian, sejauh ia menjadi eksistensi.
di satu pihak relasi dengan benda-benda, dan di lain pihak relasi dengan
sesama manusia dan Allah.
23
Pandangan eksistensialisme atheistic yang menyatakan bahwa eksistensi
manusia adalah pilihan bebas hanya dapat terlaksana bila manusia posisinya
tidak dalam tersubordinasi oleh kekuasaan atau kekuatan lain yang
mengatasinya, 52 misalnya Tuhan. Sebab jika ia masih dibawah kekuasaan
atau kekuatan tersebut berarti ia tidak bebas menentukan maknanya.Dalam
memilih untuk dirinya sendiri, tiap-tiap manusia mengalami suatu perasaam
bebas yang memuakkan karena tidak ada ukuran yang diikuti, tidak ada
petunjuk yang membantu. Setiap orang adalah miliknya sendii, ia bebas
sekaligus sedih.
24
teistik tentang kedaan manusia yang menganggap bahwa manusia itu hidup
dalam ketakutan akan tetapi punya pilihan untuk hidup sebagai manusia di
hadapan Tuhan, seperti yang dikatakan Kierkegaard, hingga kepada
pemikiran yang atheis tentang eksistensi manusia yang menganggap manusia
tidak memiliki apa-apa di dunia ini selain memilih untuk memberontak atau
putus asa, seperti yang ada dalam pemikiran Sartre dan Albert Camus.
25
DAFTAR PUSTAKA
Achsa, Hatmi Prawita (dkk). Representasi Diri Dan Identitas Virtual Pelaku
Roleplay Dalam Dunia Maya. Jurnal Paradigma Volume 03, Tahun 2015.
26