• Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal-muasal,
metode-metode dan sahnya ilmu pengetahuan (Kattsoff, 1987: 76). Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang epistemologi:Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah datangnya pengetahuan yang benar itu? Dan bagaimana cara mengetahuinya? • Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita? Dan kalau ada, apakah kita bisa mengetahuinya? • Apakah pengetahuan itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? (Harold Titus et.al., 1984: 187-188). Secara umum pertanyaan-pertanyaan epistemologis menyangkut dua macam, yakni epistemologi kefilsafatan yang erat hubungannya dengan psikologi dan pertanyaan-pertanyaan semantik yang menyangkut hubungan antara pengetahuan dengan objek pengetahuan tersebut (Kattsoff, 1987:76). Epistemologi meliputi tata cara dan sarana untuk mencapai pengetahuan. Perbedaan mengenai pilihan ontologik akan mengakibatkan berbedaan sarana yang akan digunakan yaitu: akal, pengalaman, budi, intuisi atau sarana yang lain. Ditunjukkan bagaimana kelebihan dan kelemahan suatu cara pendekatan dan batas-batas validitas dari suatu yang diperoleh melalui suatu cara pendekatan ilmiah (Koento Wibisono, 1988: 7). Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan: pertama, kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun; kedua, menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut dan ketiga, melakukan verifikasi terhadap hipotetis tersebut untuk menguji kebenaran peryataannya secara faktual. Secara akronim metode ilmiah terkenal sebagai logico- hypotetico-verificative atau deducto-hypotetico-verificative (Jujun, 1986: 6). Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verifikasi secara empirik berarti evaluasi secara objektif dari suatu peryataan hipotesis terhadap kenyataan faktual. Ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain, selain yang terkandung dalam hipotetis. Demikian juga verifikasi faktual terbuka atas kritik terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Berfikir ilmiah berbeda dengan kepercayaan relijius yang memang didasarkan atas kepercayaan dan keyakinan, tetapi dalam cara berpikir ilmiah didasarkan atas dasar prosedur ilmiah (Jujun, 1986:6). Secara garis besar terdapat dua aliran pokok dalam epistemologi, yaitu rasionalisme dan empirisme, yang pada gilirannya kemudian muncul beberapa isme lain, misalnya: rasionalisme kritis (kritisisme), (fenomenalisme), intuisionisme, postivisme dan seterusnya. Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal atau ide, sementara peran indera dinomorduakan. Pemikiran para filosuf pada dasarnya tidak lepas dari orientasi ini: rasio dan indera. Dari rasio kemudian melahirkan rasionalisme yang berpijak pada dasar ontologik idealisme atau spiritualisme; dan dari indera lalu melahirkan empirisme yang berpijak pada dasar ontologik materialisme. Rasionalisme timbul pada masa renaissance yang dipelopori oleh Descartes, seorang berkebangsaan Perancis yang dijuluki sebagai “Bapak filsafat moderen”. Rasionalisme dikembangkan berdasarkan filsafat “ide” Plato. Dalam sejarah kefilsafatan, nama Plato (427-347 S.M) dan Aristoteles (384-322 S.M) merupakan prototype cikal bakal pergumulan antara rasionalisme dan empirisme. Plato berpendapat, bahwa hasil pengamatan inderawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yan selalu berubah-ubah. Menurutnya, ilmu pengetahuan yang bersumber dari panca indera diragukan kebenarannya. Menurut Plato alam ide adalah alam yang sesungguhnya yang bersifat tetap tak berubah-ubah (lihat Harold H. Titus et-al., 1984:256). Menurut Plato, manusia lahir sudah membawa ide bawaan yang oleh Descartes (15966-1650 M) dan para tokoh rasionalis yang lain disebut innate ideas. Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatunnya, dan dari situlah timbul ilmu pengetahuan (Titus et.al., 1984:256). Menurut rasionalisme Descartes, untuk memperoleh kebenaran harus dimulai dengan meragukan sesuatu. Seorang yang ragu berarti sedang berpikir, yang berarti ada. Statemennya yang populer adalah “aku berpikir, maka aku ada” (cogito ergo sum). Kebenaran adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah (clear and distinctly), artinya bahwa ide-ide itu seharusnya dapat dibedakan dari gagasan-gagasan yang laim (Harun Hadiwijono, 1990: 19, 21). Rasionalisme yang dikembangkan oleh Descartes disamping dapat dukungan dari para pengikutnya, seperti Spinoza dan Leibniz tidak luput pula dari tantangan. Tantangan utama adalah datang dari seorang filosuf berkebangsaan Inggris, John Locke (1632-1704 M) dengan filsafat empirisme-nya. Filsafat empirisme kalau dilacak adalah bersumber dari filsafat Aristoteles yang mengatakan, bahwa realitas yang sebenarnya adalah terletak pada “benda-benda kongkret” yang dapat diindera, bukan pada ide sebagaimana kata Plato (lihat Bertens, 1984: 153). Menurut Aristoteles karena realitas adalah bendanya yang kongkret itu sendiri, bukan ide, maka ide tentang benda tidak terdapat dalam kenyataan. Meski demikian Aristoteles juga mengakui adanya “ide”, tetapi ide yang terletak pada benda itu sendiri, bukan seperti “ide” Plato yang berada pada rasio. Menurut Plato, dengan ide terlahir ilmu pengetahuan “yang umum dan tetap”. Aristoteles tidak menyangkal dalam hal ini, tetapi sesuatu “yang umum dan tetap” itu tidak berada di dunia “ide” yang tidak kongkret, melainkan berada dalam bendanya yang kongkret itu sendiri. Teori Aristoteles ini disebut dengan teori helemorphisme, materi bentuk. Artinya untuk bisa dikatakan benda, maka harus terdiri dari “materi dan bentuk” (lihat Bertens, 1976: 12-13). Berdasarkan teori helemorphisme Aristoteles, John Locke berpendapat, bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah pengalaman empiris. Menurut Locke, ketika manusia dilahirkan didalam akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong yang lebih dikenal dengan teori tabularasa, dan di dalam buku inilah tercatat pengalaman-pengalaman inderawi. Dia memandang akal sebagai tempat penampungan, yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut (Kattsoff, 1987: 137). Kebenaran yang diperoleh empirisme bersifat korespondensi, hasil hubungan antara subjek dan objek melalui pengalaman, sehingga mudah dibuktikan dan diuji. Kebenaran didapat dari pengalaman melalui proses induktif, dari suatu benda lalu ditarik kesimpulan. Menurut Locke pengalaman ada dua macam: pengalaman lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah (reflexion) yang keduanya saling jalin-menjalin, karena menurutnya segala sesuatu yang berada di luar diri kita menimbulkan ide-ide dalam diri kita (Harun Hadiwijono, 1990: 36). Filsafat empirisme dikembangkan oleh filosuf-filosuf Inggris: F. Bacon, T. Hobbes, J. Locke, C. Berkeley dan D. Hume (Peurser, 1989: 81). Emperisme Locke juga dikembangkan oleh Comte, seorang filosuf berkebangsaan Perancis dengan teori Postivisme-nya. Menurut positivisme, yang ada adalah yang tampak, segala gejala di luar fakta ditolak. Oleh sebab itu metafisika pun ditolak (Harun, 1990: 32). Beda emperisme dengan positivisme adalah keduanya mengutamakan pengalaman, tetapi positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman objektif, sementara emperisme menerima pengalaman subjektif (batiniah) (Harun, 1990:109-110). Tesis rasionalisme melahirkan antitesis yang berupa empirisme dan dari keduanya pada abad belakangan memunculkan sintesis baru yang disebut dengan rasionalisme kritis yang dipelopori oleh Immanuel Kant (1724-1804), seorang filosuf berkebangsaan Jerman. Rasionalisme kritis memang tepat ketika mengatakan, bahwa rasionalitas suatu ilmu tidak pernah secara berat sebelah dapat dicari pada kekuatan nalar ilmiah sendiri, melainkan justru pada keterbukaan terhadap realitas empiris (Peursen, 1989 : 86). Kant membedakan empat macam pengetahuan: pengetahuan analitis a priori, sintesis a priori, analitis a posteriori, sintesis a posteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman, atau yang ada sebelum pengalaman. Pengetahuan a posteriori adalah terjadi sebagai akibat pengalaman. Pengetahuan analitis apriori adalah pengetahuan yang dihasilkan oleh analisis-analisis terhadap unsur-unsur a priori dan pengetahuan sintesis a priori dihasilkan oleh akal terhadap bentuk-bentuk pengalaman sendiri dan penggabungan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu. Pengetahuan analitis a posteriori dan analisisnya diperoleh setelah ada pengalaman (Kattsoff, 1987:143- 144). Berbeda dengan para ahli yang lain, Kattsoff mengatagorikan filsafat Kant sebagai filsafat fenomenalisme, bukan rasionalisme kritis (Bandingkan dengan Harun Hadiwijono, 1990: 65). Disamping itu muncul pula aliran intuisionisme yang dipelopori oleh seorang filosuf Perancis modern, Henry Bergson. Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Sebagaimana kata Kattsoff (1987: 146), bahwa salah satu unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson adalah kemungkinan suatu bentuk pengalaman (intuisi) di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Setidaknya dalam beberapa hal, intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi, ia hanya mengatakan, bahwa pengetahuan yang lengkap adalah pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi (Kattsoff, 1987: 147). Kembali kepada pertanyaan epistemologi, apakah kebenaran itu? Dalam hal ini Jujun (dalam A.M. Saifuddin et.al., 1991: 16-17) menuturkan, bahwa ilmu dalam upaya untuk menemukan kebenaran mendasarkan dirinya kepada beberapa kriteria kebenaran: yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatisme. Koherensi merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria kebenaran tentang konsistensi suatu argumentasi.