Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH FILSAFAT ILMU

TENTANG
EPISTIMOLOGI DALAM FILSAFAT

DISUSUN OLEH
NURUL FATIMAH AL ARIFA
DISEL MANTO

DOSEN PEMBIMBING
DR. LARA ANESTA PUTRI, M.Pd.I

Prodi Hukum Keluarga Islam (AS) Sekolah Tinggi Agama Islam


Madrasan Arabiyah (STAIMA) Bayang
1443 H/2022 M
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang
pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu
diperhatikan bagaimana dan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika
kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui
hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat diketahui. Sebenarnya kita baru dapat
menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-
pertanyaan epistemologi. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk
memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang
kita punyai hanya kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau
mungkin dapat menenatapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan
adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya.
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari
filsafat. Sistem filsafat disamping meliputi epistemologi, juga ontologi dan aksiologi.
Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan. Ontologi adalah teori
tentang “ada”, yaitu tentang apa yang dipikirkan, yang menjadi objek pemikiran.
Sedangkan aksiologi adalah teori tentang nilai yang membahas tentang manfaat,
kegunaan maupun fungsi dari objek yang dipikirkan itu. Oleh karena itu, ketiga sub
sistem ini biasanya disebutkan secara berurutan, mulai dari ontologi, epistemologi,
kemudian aksiologi. Dengan gambaran senderhana dapat dikatakan, ada sesuatu yang
dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannnya (epistemologi),
kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan
(aksiologi).

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1.    Apa arti dari epistemologi?
2.    Apa yang di maksud epistemologi filsafat?

1
3.    Apa saja objek dan tujuan epistemologi?
4.    Apa landasan dari epistemologi?
5.    Apa saja pengaruh-pengaruh dari epistemologi?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Arti Epistemologi
Epistemologi (filsafat ilmu) adalah pengetahuan sistematik mengenai
pengetahuan. Epistemologi merupakan salah satu objek kajian dalam filsafat, dalam
pengembangannya menunjukkan bahwa epistemologi secara langsung berhubungan
secara radikal (mendalam) dengan diri dan kehidupan manusia. Pokok kajian
epistemologi akan sangat menonjol bila dikaitan dengan pembahasan mengenai
hakekat epistemologi itu sendiri.
Secara linguistik kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu:
kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau
alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam
bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah epistemologi secara
etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa
Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi epistemologi adalah teori
mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasar nya serta
pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Masalah
utama dari epistemologi adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan,
Sebenarnya seseorang baru dapat dikatakan berpengetahuan apabila telah sanggup
menjawab pertanyaan-pertanyaan epistemologi artinya pertanyaan epistemologi
dapat menggambarkan manusia mencintai pengetahuan. Hal ini menyebabkan
eksistensi epistemologi sangat urgen untuk menggambar manusia berpengetahuan
yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah yang
dipertanyakan dalam epistemologi. Makna pengetahuan dalam epistemologi adalah
nilai tahu manusia tentang sesuatu sehingga ia dapat membedakan antara satu ilmu
dengan ilmu lainnya.
Dalam epistemologi peroses terjadinya pengetahuan menjadi masalah yang
paling mendasar, sebab hal inia kan mewarnai pemikiran kefilsafatannya. Pandangan
yang sederhana dalam memikirkan proses terjadinya pengetahuan yaitu dalam
sifatnya baik a priori maupun a porteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan

3
yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indera maupun
pengalaman batin. Sedangkan a posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena
adanya pengalaman.

B. Epistemologi Filsafat
Epistemelogi filsafat membicarakan tiga hal, yakni objek filsafat (yaitu yang
di pikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran
pengetahan filsafat).

1. Objek filsafat
Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya, yang
terdalam. Jika hasil pemikiran itulah sistematika flsafat. Sistematika atau struktur
filsafat dalam garis besar terdiri dari ontology, epistemologi, dan eksiologi.
Isi setiap cabang filsafat di temukan oleh objek apa yang di teliti
(pemikiranya). Jika ia memikirkan pandidikan maka jadilah filsafat pendidikan, jika
yang di pikirkannya adalah hukum maka hasilnya tentulah filsafat hukum, dan begitu
juga seterusnya. Seberapa luas yang kemungkinaan dapat di pikirkan? luas
sekali.yaitu semua yang ada dan mungkin ada, inilah objek filsafat. Jika ia
memikirkan etika jadilah filsafat etika, dst.
Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sain. Sain hanya
meneliti objek yang ada, sedangkan filsafat meneliti ojek yang ada dan mungkin ada.
Sebenarnaya masih ada objek lain yang di sebut objek forma yang menjelaskan
tentang sifat kemendalaman penelitian filsafat. Ini di bicarakan pada efistemologi
filsafat.
Perlu juga di tegaskan (lagi) bahwa sains meneliti objek-objek yang ada dan
emperis; yang ada tetapi abstak (tidak emperis) tidak dapat meneliti oleh sain.
Sedangkan filsafat meneliti objek yang ada tetapi abstrak, adapun yang mungkin ada,
sudah jelas abstrak, itu pun jika ada.
2. Cara memperoleh pengtahuan filsafat
Pertama-tama filosof harus membicarakan (mempertanggungjawabkan) cara
mereka memperoleh pengtahuan filsafat. Yang menyebabkan kita hormat ke pada
filosof antara lain karena ketelitian mereka, sebelum mmencarai pengetahuan mereka

4
membicarakan lebih dahulu (dan mempertanggung jawabkan) cara memperoleh
pengetahauan tersebut. Sifat itu sering kurang di pedulikan kebanyakan  orang . pada
umumnya orang mementingkan apa yang di peroleh atau di ketahui, bukan cara
memperoleh atau mengetahuinya. Ini gegebah, para filosof bukan orang yang
gegabah.
Berfilsafat ialah berpikir, berpikir itu tentu menggunakan akal. Menjadi
persoalan, apa sebenarnya akal itu. John Locke (Sidi Gazalba  sistematika
filsafat, II,1973: 111) mempersoalkan hal ini, ia meliht pada jamannya akal telah di
gunakan secara terlalu bebas, telah di gunakan sampai luar batas kemampuan akal.
Hasilnya ialah kekacauan pemikiran pada massa itu.
Sejak 650 SM sampai berakhirnya filsafat yunani akan mendominasi.selama
1500 tahun sesudahnya, yaitu selama Abad Tengah Kristen, akal harus tunduk pada
keyakinaaan Kristen; akal di bawah agama (Kristen) modern, akan kembali
mendominasi filsafat.
Descartes (1596-1650) dengan cogito ergo sum-nya berusaha melepaskan
filsafat dari dominasi agama Kristen. Ia ingin akal mendominasi filsafat, sejak ini
filsafat di dominasi oleh akal. Akal menang lagi.
Voltaire telah berhasil memisahkan akal dengan iman, francis Baacon amat
yakin pada kekuatan sain dan logika. Sain dan logika di anggap mampu
menyelesaikan  semua masalah (Will Durant,the story of philosophy, 1959: 254)
Ccondercet mendukung Bacon : sain dan logika itulah yang penting. Kemudian
pemikiran itu di ikuti pula oleh pemikiran Jerman Christian wolff dan Lessing,
bahkan pemikiran francis mendramatisasi keadaan itu sehingga akal telah di
tuhankan. Spinoza meningkatkan kemampuan akal tatkala ia menyimpulkan bahwa
alam semesta ini laksana suatu system matematika dan dapat di jelaskan  secara  a
priori  dengan cara mendeduksi aksioma-aksioma. Filsafat ini jelas memberikan
dukungan kepada keponggohan manusia dengan menggunakan akalnya, karena itu
tidaklah perlu kaget tatkala Hobbes meningkatkan kemampuan akal ini menjadi
Atheisme dan Materialisme yang nonkompromis.
Sejak Spinoza sampai Diderot kepingan-kepingan iman telah tunduk di
bawah kaidah-kaidah akliah. Helvetius dan Holbch menawarkan ide yang “edan” itu

5
di Prancis, dan La Mettrie, yang menyatakan manusia itu seperti mesin, menjajakan
pemikiran ini di Jerman.
Tatkala pada tahun 1784 Lessing mengumumkan bahwa ia menjadi pengikut
Spinoza, setelah itu cukup sebagai pertanda bahwa iman telah jatuh sampai ke titik
nadirnya dan akal telah Berjaya.
David hume (1711-1704) telah meneliti akal.ia berhasil tampil dengan
argumennya tentang kerasionalan agama Kristen. Pengetahuan kita datang dari
pengalaman begitu katanya. Teorinya tabula rasa menjelaskan pandanngannya itu. Ia
berkesimpulan bahwa yang dapat kita ketahui hanya materi, karena itu materialisme
harus di terima . bila pengindraan adalah asal- usul pemikiran, maka kesimpulanya
haruslah materi adalah material jiwa.
Tidak demikian kata Uskup georgre Berkeley (1684-1753), analisis Locke itu
justru membuktikan materi itu sebenarnaya tidak ada. David Hume seorang uskup
Irlandia berpendapat lain.katanya, kita mengetahui apa jiwa itu,  sama dengan
mengenal materi , yaitu dengan persepsi, jadi secara internal. Kesimpulanya ialah
bawa jiwa itu bukan substansi,suatu organ memiliki idea-idea; jiwa sekedar suatu
nama yang abstrak untuk menyebut rangkaian idea. Hasilnya Huma sudah
menghancurkan mind sebagaimana Berkeley menghancurkan materi.
Sekarang tidak ada lagi yang tersisa, dan filsafat menemukan dirinya berada
di tengah- tengah reruntuhan hasil karya sendiri. Jangan kaget bila anda mendengar
kta- kata begini : No matter never mind. Semua ini gara- gara akal. Akal telah
menggunakan melebihi kapasitasnya.
Oleh karena itu Locke menyelidiki lagi, apa sebenarnya akal itu, di lain pihak
memang Locke berpendapat bahwa kita belum waktunya membicarakan masalah
hakikat sebelum kita mengetahui dengan jelas apa akal itu sebenarnya.
Tetapi baiklah, kita terima saja bawa akal itu saja dan ia bekerja berdasarkan
cara yang tidak begitu kita kenal, aturan kerjanya di sebut logika, agaknya kita dapat
mennerima kebenarnya.
Bagaimana manusia memperoleh pengetahuan filsafat? dengan berpikir
secara mendalam, sesuatu yang abstrak. Mungkin juga objek pemikiranya sesuatu
yang konkret, tetapiyang hendak di ketahui adalah bagian di” belakang” objek
konkret itu. Dus abstrak juga.

6
Secara mendalam artinya ia hendak mengetahui bagian yang abstrak sesuatu
itu, ia ingin mengetahui  sedalam-dalamnya. Kapan pengtahuan itu di katakana
mendalam?. Dikatakan mendalam tatakala ia sudah berhenti sampai tanda Tanya.
Dia tidak dapat maju di situlah orang berhenti, dan ia telah mengetahui sesuatu itu
secara mendalam. Jadi jelas mendalam bagi seseorang belum tentu mendalam bagi
orang lain.
Seperti telah di buat di muka, sain mengetahui sebatas fakta empiris. Ini tidak
mendalam tetapi itu pun mempunyai rentangan, sejauh mana hal abstrak di belakang
fakta  empiris itu dapat di ketahui oleh seseorang, akan banyak terganntung pada
kemampuan berpikir seseorang.
Jika kita ingin mengetahui sesuatu yang tidak empiris, apa yang  akan kita
gunakan ?, ya, akal itu, apapun kelemahan akal, bahkan sekali pun akal amat di
ragukan hakikat keberadannya, toh akal yang menghasilkan apa yang di sebut
filsafat. Kelihatanya, ada satu hal yang penting di sini : janganlah hidup ini di
gantungkan pada filsafat, janganlah hidup ini di tentukan seluruhnya oleh filsafat,
filsafat itu adalah produk akal dan akal itu belum di ketahui secara jelas identitasnya.
3. Ukuran kebenaran filsafat
Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak empiris. Pernyataan
ini menjelaskan bahwa ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya pengetahuan
itu. Bila logis benar, bila tidak logis, salah.
Kebenaran teori filsafat di tentukan oleh logis tidaknya teori itu. Ukuran logis
tidaknya tersebut akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan ( teori)
itu. Fungsi argumen dalam filsafat sangatlah penting,sama dengan fungsi data pada
pengetahuan sain, argument itu terjadi kesatuan dengan konklasi,konklasi itulah yang
di sebut ilmu filsafat. Bobot teori filsafat justru terletak pada kekuatan argumen,
bukan pada kehebatan konkulasi. Karena argument itu menjadi kesatuan
konkulasi,maka boleh juga di terima pendapat yang mengatakan bahwa filsafat itu
argumen kebenaran konkulasi di tentukan 100% oleh argumennya.

C. Objek dan Tujuan Epistemologi


Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek
disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika

7
diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama
dengan sasaran sedangkan tujuan hampir sama dengan harapan. Meskipun berbeda, 
tetapi antara objek dan tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab
objeklah yang mengantarkan tercapainya tujuan.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk
pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini
menurut Jujun S. Suriasuamantri berupa “ segenap proses yang terlibat dalam usaha
kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah
yang mejadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan
tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap perantara yang harus
dilalui dalam mewujudkan tujan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir,
sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques
Martain mengatakan, “ tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk
menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat
yang memungkinkan saya dapat tahu.”hal ini menunjukkan, bahwa tujuan
epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa
dihindari akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah
hal lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh
pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam
dinamika pengetuhuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang
bahwa jangan sampai kita puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa
disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan
memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh
pengetahuan melambangkan sikap dinamis.

D. Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yag dilakukan
ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur
dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan
merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua

8
pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara
mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yang tercantum dalam metode
ilmiah.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan
menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan 
sangat bergantung pada metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu
disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.
Rasio atau akal merupakan instrumen utama untuk memperoleh pengetahuan.
Rasio ini telah lama digunakan manusia untuk memecahkan atau menemukan
jawaban atas suatu masalah pengetahuan. Bahkan ini merupakan cara tertua yang
digunakan manusia dalam wilayah keilmuan. Pendekatan sistematis yang
mengandalkan rasio disebut pendekatan rasional denagn pegertian lain disebut
dengan metode deduktif yaang dikenal denagn silogisme Aristoteles, karena dirintis
oleh Aristoteles.
Pada silogisme ini pengetahuan baru diperoleh melalui kesimpulan deduktif
(baik menggunakan logika deduktif, berpikir deduktif atau metode deduktif), maka
harus ada pengetahuan dan dalil umum yang disebut premis mayor yang menjadi
sandaran atau dasar berpijak dari kesimpulan-kesimpulan khusus. Bertolak dari
premis mayor ini dimunculkan premis minor yang merupakan bagia dari premis
mayor. Setelah itu baru bisa ditarik kesimpulan deduktif. Dismping itu, pendekatan
rasiaonal ini selalu mendayagunakan pemikiran dalam menafsirkan suatu objek
berdasarkan argumentasi-argumentasi yang logis. Jika kita berpedoman bahwa
argumentasi yang benar adalah penjelasan yang memilki kerangka berpikir yang
paling meyakinkan, maka pedoman ini pun tidak mampu memecahkan persoalan,
sebab kriteria penilainya bersifata nisbi dan selalu subjektif. Lagi pula kesimpulan
yang benar menurut alur pemikiran belum tentu benar menurut kenyataan. Seseorang
yang menguasai teori-teori ekonomi belum tentu mampu menghasilkan keuntungan
yang besar, ketika dia mempraktekan teori-teorinya. Padahal teori-teori itu dibangun
menurut alur pemikiran yang benar
Karena kelemahan rasionalisme atau metode deduktif inilah, maka
memunculkan aliran empirisme. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon (1561-

9
1626). Bacon yakin mampu membuat kesimpulan umum yang lebih benar, bila kita
mau engumpulkan fakta melalui pengamatan langsung, maka dia mengenalkan
metode induktif sebagi lawan dari metode deduktif. Sebagi implikasi dari metode
induktif, tentunya Bacon menolak segala macam kesimpulan yang tidak didasarkan
fakta lapangan dan hasil pengamatan.

E. Pengaruh Epistemologi
Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas
menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidak jarang temuan ilmu
pengetahuan ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan yang
kemudian.
Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep
atau teori-teori yang ada. Penguasaan epistemologi, terutama cara-cara memperoleh
pengetahuan sangat membantu seseorang dalam melakuakan koreksi kritis terhadap
bangunan pemikiran yang diajukan orang lain maupun dirinya sendirinya. Sehingga
perkembangan ilmu pengetahuan relatig mudah dicapai, bila para ilmuwan
memperkuat penguasaannya.
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu
peradaban sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologilah yang
menentukan kemajuan sains dan teknologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan
alat strategis dalam merekayasa pegembangan alam menjadi sebuah produk sains
yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada
teknologi meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh
ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.

10
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Arti epistemologi
Epistemologi (filsafat ilmu) adalah pengetahuan sistematik mengenai
pengetahuan. Epistemologi merupakan salah satu objek kajian dalam filsafat, dalam
pengembangannya menunjukkan bahwa epistemologi secara langsung berhubungan
secara radikal (mendalam) dengan diri dan kehidupan manusia. Pokok kajian
epistemologi akan sangat menonjol bila dikaitan dengan pembahasan mengenai
hakekat epistemologi itu sendiri.
Secara linguistik kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu:
kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau
alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam
bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah epistemologi secara
etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa
Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi epistemologi adalah teori
mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.
2. Epistemologi filsafat
Epistemelogi filsafat membicarakan tiga hal, yakni objek filsafat (yaitu yang
di pikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran
pengetahan filsafat).
3. Objek dan tujuan epistemologi
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk
pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini
menurut Jujun S. Suriasuamantri berupa “ segenap proses yang terlibat dalam usaha
kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah
yang mejadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan
tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap perantara yang harus
dilalui dalam mewujudkan tujan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir,
sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.

11
Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques
Martain mengatakan, “ tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk
menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat
yang memungkinkan saya dapat tahu.”hal ini menunjukkan, bahwa tujuan
epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa
dihindari akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah
hal lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh
pengetahuan.
4. Landasan epistemologi
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yag dilakukan
ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur
dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
5. Pengaruh epistemologi
Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas
menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidak jarang temuan ilmu
pengetahuan ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan yang
kemudian.
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu
peradaban sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologilah yang
menentukan kemajuan sains dan teknologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan
alat strategis dalam merekayasa pegembangan alam menjadi sebuah produk sains
yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada
teknologi meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh
ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Mujammil Qomar, 2005. Epistemologi Pendidikan Islam: dari metode Rasional


Hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga.
Sudarsono, 2001. ILMU FILSAFAT, Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Tafsir Ahmad, 2009. Filsafat Ilmu, Bandung: PT REMAJA POSDAKARYA.

13

Anda mungkin juga menyukai