Anda di halaman 1dari 36

ISLAM DAN DEMOKRASI


Oleh: Muhammad Abduh

Pendahulua
n

Demokrasi merupakan salah satu isu global yang terus berkembang hingga

1
saat ini , dan setidaknya dalam wacana pemikiran Islam terdapat tiga grand

pemikiran; menolak, menerima dan mengakomodasi. Namun, wacana yang

demikian di dalam realitas-empirik menunjukkan suatu yang berbeda. Bagi

mereka yang dianggap

menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan keseharian cenderung tidak merespon isu-

2
isu tersebut dengan bijaksana. Sementara, di sisi lain terdapat suatu fenomena

sebaliknya.

Perkembangan ini kemudian menjadikan wacana demokrasi semakin


variatif

dan dalam makalah ini hanya akan difokuskan pada wacana perkembangan pemikiran

demokrasi di dunia barat dan implikasinya terhadap islam dengan memetakan

beberapa tokoh Islam dalam menyikapi demokrasi beserta argumentasi yang

dibangun oleh masing-masing tokoh tersebut.

Berbagai Pengertian dan Variant Teori-Teori: Islam dan


Demokrasi

Jika dilihat dari basis empiriknya, Islam dan demokrasi, menurut

Mahasin (1993: 30) merupakan dua sisi yang berbeda. Islam berasal dari wahyu,

sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan

demikian Islam

Guru Sejarah Kebudayaan Islam MAN Sakatiga dan Mahasiswa pada Program
Studi Peradaban Islam Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam Program Doktoral Pascasarjana IAIN
Raden Fatah Palembang.
1
Isu-isu penting yang berkembang di era modern di antaranya globalisasi, demokrasi dan
civil
society. Ketiga hal tersebut dalam beberapa hal memaksa umat Islam dan dunia Islam
untuk meresponnya. Oleh karena itu, kajian-kajian tentang hal ini mulai banyak ditemukan,
terutama oleh penulis kontemporer yang berupaya mengakomodasinya dalam wacana keislaman.
2
Pengalaman-pengalaman negara-negara Islam tidak sama dalam meresponnya. Saudi
Arabia merupakan kerajaan Islam yang menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan
kenegaraannya. Namun,
banyak yang menilai negara tersebut tidak demokratis. Di negara-negara lain, isu yang demikian telah
menempatkannya sebagai isu penting. Sebuah negara atau person lebih aman ketika tidak
dijustifikasi sebagai negara atau seorang yang demokratis dan tidak otoriter daripada tidak Islami.
Demikian juga
terhadap hal-hal yang melingkupi dari pengalaman negara muslim dalam demokrasi. Minimnya
kajian
terhadap demokrasi yang berkembang di negara Islam membuat kajian ini tidak populer di negara-
negara
Islam.
memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada

halangan bagi Islam untuk berdampingan dengan demokrasi.


3 4
Islam adalah agama . Sebagai agama, Islam diyakini dan dipahami
merupakan

seperangkat ketentuan dan aturan (aqidah wa al-syari‟ah) yang bersumber dari

Allah Swt. Agama, dalam keseluruhan aspek ajarannya, dimaksudkan untuk menjadi

panduan bagi manusia. Karena agama menjadi panduan bagi kehidupan manusia,

berarti agama juga harus menjadi basis bagi semua atau keseluruhan peril aku

manusia, yang antara lain meliputi perilaku politik, ekonomi, sosial dan seterusnya.

Sebagai kumpulan ajaran Allah Swt, Islam terkodifikasikan dalam al

-Qur‘an. Al-Qur‘an inilah yang kemudian menjadi rujukan perilaku manusia.

Tetapi, karena ajaran-ajaran dalam al-Qur‘an memerlukan

penjelasan, maka keberadaan Nabi Muhammad

Saw., adalah berperan sebagai orang yang menjelaskan al

-Qur‘an (mubayyin al-Qur‟an). Nabi Muhammad lah yang kemudian memberikan

penjelaskan secara operasional terhadap ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-

Qur‘an. Karena itu kemudian, keduanya --al-Qur‘an dan Sunnah--

menjadi rujukan bagi perilaku umat Islam.

Memperhatikan Islam sebagai kumpulan ajaran yang berasal dari Allah

Swt., dan kemudian dilembagakan melalui Nabi Muhammad Saw., dapat dikatakan

bahwa yang bisa disebut memiliki kemutlakan untuk mengatur manusia di sini

adalah Allah. Dalam pandangan ini Allahlah yang memiliki kedaulatan atas

manusia. Allah lah

(al-Khaliq) yang menentukan segala ketentuan dan aturan untuk sekalian


ciptaannya

3
Dari segi etimologis, Islam memiliki sejumlah derivasi (kata turunan), antara lain:
aslama (menyerahkan diri, taat, tunduk, dan patuh sepenuhnya), salimah (selamat, sejahtera, sentosa,
bersih dan bebas dari cacat/cela), salam (damai, aman dan tenteram), sullam (tangga; alat bantu untuk
naik ke atas).
4
Agama berdasarkan asal kata, yakni al-Din, religi (religere, religare) dan agama. Al-
Din
(semit) berarti undang-undang atau hukum. Kemudian mengandung arti manguasai,
menundukkan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan. Adapun dari kata religi (latin) atau relegere
berarti mengumpulkan
dan membaca. Sedangkan religare berarti mengikat. Adapun agama berasal dari bahasa
Sangsekerta
( a=tidak, dan gam=pergi), mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun menurun.
(al-Makhluq), termasuk di dalamnya adalah manusia. Dengan demikian manusia harus

tunduk dan patuh kepada semua ketentuan dan aturan Allah ini.

Dalam pada itu ketentuan dan aturan yang bersumber dari Allah dipandang

memiliki nilai kemutlakan (ultimate). Dengan demikian penilaian atas sesuatu yang

dilakukan oleh Islam terhadap perilaku manusia secara pasti dan mutlak

telah ditentukan apakah itu termasuk dalam kategori benar atau salah. Ketentuan

hukum yang demikian adalah mutlak adanya dan tidak bisa dirubah dan akan

berlaku sepanjang kehidupan manusia.


5
Di pihak lain dikenal adanya faham tentang ―demokrasi‖ . Demokrasi
bukan

merupakan hal yang baru bagi masyarakat Eropa dan Amerika. Mereka sudah

lama mengenalnya. Nenek moyang mereka sudah dengan sadar mengaplikasikan konsep

baru dalam pemerintahan. Setidaknya dapat dijumpai di masyakarat Athena, kota

6
kecil di Yunani. Peristiwa tersebut terjadi di masa kepemimpinan Pericles. Namun,

patut disayangkan kesempatan hanya diberikan kepada kaum Adam (laki-laki) an sich.

Kaum wanita, budak dan orang-orang asing dikecualikan. Demokrasi yang berjalan di

Athena ini berjalan sampai 200 tahun (The World of Encyclopaedia, 1983: 106-

107). Dari sejarah panjang inilah kemudian demokrasi berkembang dan sekarang

menjadi suatu yang universal dan diadopsi oleh berbagai negara di dunia ini.

Perkembangan demokrasi sejalan dengan perkembangan umat manusia

dan telah melahirkan berbagai macam tokoh dan pemikir yang handal.

Pemikiran dan

aplikasi teoritis dalam kancah pemerintahan sudah lama terbukti dan teruji secara
baik

5
Istilah demokrasi pertama kali muncul dari Yunani sekitar 2,5 ribu tahun silam, di salah
satu kota Yunani, Athena muncul bentuk pemerintahan politik baru. Namun, bukan berarti
substansi demokrasi tidak dapat ditemukan sebelumnya. Franz Magnis-Suseno (1996: 129-130)
melihat jauh sebelum munculnya Yunani yakni 4 ribu tahun silam di mana munculnya Abraham
(Ibrahim) di masyakarat Israel telah menemukan akar-akar demokrasi ini.
6
Athena adalah kota yang mampu merealisasikan demokrasi secara langsung dalam
sebuah
majelis dan di dalamnya hanya terdiri dari 5000 sampai 6000 orang yang memungkinkan dalam
jumlah tersebut berkumpul dalam satu ruangan. Namun, bentuk demokrasi langsung ters ebut tidak
lagi banyak
dianut oleh negara-negara maju dikarenakan jumlah penduduk yang lebih banyak dan lebih
nyaman menggunakan perwakilan dalam mengurusi suatu tatanan kenegaraan.
dan mengesankan (Effendi, 1996: 86). Walaupun demikian, dalam kapasitas

tertentu simbol tersebut perlu dipertanyakan eksistensi dan aplikasinya dalam

kehidupan masyarakat dunia dalam skala makro maupun mikr o.

Pengalaman-pengalaman yang beraneka ragam dan tidak berdimensi satu

membuat makna, ciri dan tinjauan-tinjauan yang berhubungan dengan

demokrasi menjadi suatu yang beragam. Kenyataan ini juga didukung oleh

fenomena sosial dari ilmu politik yang memayungi kajian demokrasi dan yang

berhubungan dengannya. Oleh karena itu, setiap negara dan kawasan memilki

banyak ragam dalam merespon demokrasi dalam kancah perpolitikan mereka.

Ada negara yang sudah mampu

dan mapan dalam menerapkannya dan ada juga yang masih belajar dengan

tertatih-tatih tanpa membuahkan hasil yang memadai dan memberikan perubahan

yang cukup berarti.

Pemahaman tentang demokrasi dapat dilakukan secara utuh jika dapat

dilakukan kajian yang mendalam tentang substansi dari demokrasi dan hal -hal lain

yang mendukungnya. Pengalaman dan aplikasi berbagai negara dapat dijadikan

sebagai variant model yang muncul mengiringi paket demokrasi, yang dapat

disebut sebagai upaya kreatif masing-masing negara dalam merespon isu

demokrasi. Upaya kreatif tersebut tidak dianggap sebagai sebuah reduksi dalam

memahami dan mencerna isu penting tersebut. Namun, aplikasi demokrasi akan

dapat bermakna bagi negara -negara lain jika disesuaikan dengan kondisi sosial

-politik dan sosial-budaya masyarakat setempat. Tentu, ada beberapa hal yang

sesuai dengan kondisi tertentu dari negara dan tidak cocok bagi negara lain.

Demokrasi tersusun dari dua kata ―demos‖ berarti ―people‖dan ―kratos‖

berarti rule or authority‖ (bahasa Greek, Yunani); yang berarti pemerintahan oleh

rakyat (rule or authority by the people) di mana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat

dan dijalankan secara langsung maupun melalui perwakilan di bawah sistem


pemilihan yang bebas. Istilah tersebut menurut Abraham Lincoln sebagaimana

dikutip oleh Efendi (1996: 86)


didefenisikan sebagai goverment of the people, by the people, for the people

atau pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari pengertian

sederhana tersebut jelas bahwa demokrasi menginginkan pemerintahan diselenggarakan

secara terbuka dan rakyat diberi kesempatan dalam memerintah.

Demokrasi dan kebebasan sering digunakan secara timbal balik.

Namun keduanya tidak sama atau berbeda. Demokrasi merupakan seperangkat

gagasan dan prinsip tentang kebebasan dan juga seperangkat praktek dan prosedur

tertentu melalui sejarah panjangnya yang berliku-liku. Oleh karena itu, demokrasi

sering diartikan sebagai sebuah pelembagaan kebebasan.

Banyak pemikir yang brusaha memberikan pemaparan mengenai ciri -ciri

dari demokrasi. Robert A. Dahl sebagaimana dikutip oleh

Efendi (1996: 89) mengungkapkan bahwa sebuah rezim dianggap

demokratis jika memilki tiga ciri, (1) menyelenggarakan pemilihan yang terbuka

dan bebas, (2) mengembangkan pola politik yang kompetitif dan (3) memberi

perlindungan kebebasan masyarakat. Sedangkan, W. Ross Yates sebagaimana

dikutip oleh Karim ( 1988: 6) mengungkapkan enam ciri. Ciri demokrasi adalah

toleransi terhadap yang lain, perasaan fairplay, optimisme terhadap hakekat

manusia, persamaan kesempatan, orang yang terdidik, jaminan hidup, kebebasan dan

milik. Telah terjadi perubahan dalam pemikiran tentang hal ini.

Berbagai pandangan baru yang bersinggungan dengan teori -teori

Marxis sebagaimana dikutip oleh Karim (1988: 6) yang berupaya memberikan porsi

lebih terhadap kebebasan manusia juga bermunculan. Hal ini misalnya ditunjukkan

oleh new left dan new right. Mereka ini berpandangan bahwa demokrasi haruslah

memiliki ciri - ciri penciptaan suasana yang terbaik agar setiap orang dapat

berkembang sesuai bakat dan keahliannya masing-masing. Di

samping itu, manusia juga diberi hak-hak perlindungan dan

penggunaan sewenang-wenang otoritas politik dan kekuasaan.


Demikian juga, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, mereka memberika n

catatan
tambahan tentang ciri demokrasi yaitu haruslah mampu memberikan keterlibatan

yang sama di antara warga negara dalam bidang politik dan ekonomi

yang dapat mensejahterakan mereka.

Ternyata dari dua ciri-ciri demokrasi yang disebut di atas dapat di

katakan bahwa demokrasi mengalami berbagai bentuk dan tujuan yang

dikaitkan dengan perbedaan mereka dalam memahami (subyektif) dan dengan obyek

yang berbeda pula. Untuk membuktikan kesimpulan tersebut, dapat diungkap di

sini bahwa terdapat pemikiran yang menitikberatkan pada eksisstensi lembaga

7
eksekutif. Ted Robert Gurr.

Demikian juga terhadap pemikiran Mitchell dan Simmons yang mengarahkan


pada
8
pilihan publik dan John Rawl yang mengutamakan aspek
9
hukum.

Berbagai dimensi dan cara pandang terhadap demokrasi di atas

juga berimplikasi terhadap banyak ragamnya demokrasi yang ada. Demokrasi

perwakilan adalah salah satu bentuk demokrasi yang populer dan sering

diterapkan demokrasi negara-negara maju. Walaupun demikian, demokrasi

perwakilan bukan satu-satunya bentuk demokrasi. Dalam istilah demokrasi

setidaknya mengenal banyak ragam demokrasi antara lain demokrasi protektif,

pembangunan, keseimbangan dan partisiparis (Karim 1988). Demokrasi sisi lain, Sklar

sebagaimana dikutip oleh Karim (1988: 7) menunjuk lima bentuk

demokrasi, yaitu demokrasi liberal, terpimpin, sosial,

partsisipasi, dan consociational.

Dari uraian demokrasi atas dapat dikatakan bahwa demokrasi dapat berjalan

dengan baik jika prasyarat tertentu dipenuhi. Demokrasi kalangan para pakar

telah

terjadi immak bahwa demokrasi hanya kondusif demokrasi negara maju dan
demokrasi
7
Pemikiran tersebut menghasilkan ciri-ciri demokrasi sebagai berikut: persaingan partisispasi
politik, persaingan rekrutmen politik, keterbukaan rekurtmen eksebutif dan keberadaan hambatan
dari ketua-ketua eksekutif.
8
Bagi kedua pemikir tersebut hakekat politik haruslah memilki empat kelompok pembuat
keputusan, yaitu pemilih, pejabat yang dipilih/politisi, birokrat dan kelompok-kelompok kepentingan.
9
Rawl menekankan terhadap hak-hak sipil dan politik yang sama, hak-hak sosio-ekonomi yang
minimum dan keterpercayaan.
lingkungan negara kapitalis saja (Kuntowijoyo, 1997: 91). Sedangkan demokrasi

negara yang berkembang atau terbelakang cenderung pelaksanaan demokrasi tidak

berjalan baik dan bahkan tidak berjalan sama sekali. Salah satu faktornya adalah

kebutuhan biologis masyarakat belum sepenuhnya terpenuhi. Oleh karena itu,

mereka tidak banyak memikirkan hal-hal lain yang mendasar dan luas bagi

kelangsungan kehidupan mereka dalam kancah perpolitikan. Mereka hanya cukup

untuk mendapatkan sesuap nasi guna mendapati kelangsungan hidup mereka dan yang

terpenting perut tidak kosong.

Substansi demokrasi yang berkembang dalam berbagai teori dan

telaahan pemikir dapat disimpulkan dalam tiga agenda dasar yaitu: hak politik

yang berkaitan erat dengan hubungan negara dengan masyarakat, hak sipil

(demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi) yang berhubungan dengan hubungan

elite dengan massa, dan hak aktualisasi diri (demokrasi budaya dan demokrasi

agama) yang berhubungan dengan warga negara dengan negara dan warga negara

dengan sesamanya.

Dari uraian tentang demokrasi di atas, jelas bahwa demokrasi memilki

pilar- pilar utama yang merupakan soko gurunya. Di antara pilar -pilar

demokrasi adalah kedaulatan rakyat, pemilihan yang bebas dan jujur, dan kekuasaan

mayoritas dan hak- hak minoritas. Oleh karena itu, demokrasi sering

diidentikkan dengan s eperangkat prosedur tertentu dalam menjadikan bentuk

pemerintahan yang berada dalam kekuasaan rakyat.

al-Aqqad (t.th.: 29-31) mengungkapkan asas-asas demokrasi yang

berkembang di dalam Islam. Dasar penetapan asas-asas tersebut adalah berpijak pada

sumber ajaran Islam (al-Qur‘an dan hadis) dan praktek kenegaraan yang

berkembang di masa Nabi Muhammad Saw. dan khulafa„ al-Rasyidin. Secara lengkap

asas-asas demokrasi adalah: tanggung jawab individu, persamaan manusia dan hak-

haknya, musyawarah, dan solidaritas sosial.


Dari beberapa penjelasan tentang demokrasi di atas yang bersumber dari

beberapa pemikir muslim dan Barat, tempat di mana lahirnya tradisi demokrasi, maka

pemahaman tentang demokrasi menjadi suatu yang beragama sesuai

dengan konteksnya. Oleh karena itu, tidak dapat disamakan isu-isu

demokrasi yang berjalan di negara-negara Barat dengan negara-negara

Timur (Islam). Namun, realitas menunjukkan lain,

acapkali demokrasi dipaksakan olehnegara maju dengan

serangkaian besar dana dan prosedur yang ketat agar demokrasi dilaksanakan

sesuai keinginan mereka, padahal locus dan tempos-nya berbeda. Ada yang

menerima, menolak dan ada yang memberi apresiasi dengan sewajarnya.

Penjelasan terhadap masalah ini dapat dilihat dalam perkembangan pemikiran

demokrasi di dunia barat dan implikasinya terhadap Islam dengan memetakan

beberapa tokoh Islam dalam menyikapi demokrasi beserta argumentasi yang

dibangun oleh masing-masing tokoh tersebut dalam pembahasan berikut ini.

Demokrasi Dalam Pandangan Barat

Berbicara demokrasi dalam pandangan barat tidak bisa dilepaskan dari konteks

historis, karena konsep demokrasi sendiri memang berasal dari barat yang

kemudian berkembang menjadi beberapa fase, yaitu:

Pertama, Fase Klasik. Pada fase ini ditandai dengan munculnya pemikiran-

pemikiran filosofis dan praksis politik dan ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang

menjadi kebutuhan dari negara-negara kota (city states) di Yunani, khususnya Athena.

Munculnya pemikiran yang mengedepankan demokrasi ( democratia, dari demos

dan kratos) disebabkan gagalnya sistem politik yang dikusai para Tyrants atau

autocrats untuk memberikan jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan perlindungan

terhadap warganya. Filsuf-filsuf seperti Thucydides (460-499 SM), Socrates (469-399

SM), Plato (427-347SM), Aristoteles (384-322 SM) merupakan beberapa tokoh


terkemuka yang
mengajukan pemikiran-pemikiran mengenai bagaimana sebuah Polis seharusnya

dikelola sebagai ganti dari model kekuasaan para autocrats dan tyrants.

Dari buah pikiran merekalah prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi, yaitu

persamaan (egalitarianism) dan kebebasan (liberty) individu diperkenalkan

dan dianggap sebagai dasar sistem politik yang lebih baik ketimbang yang sudah ada

waktu itu. Tentu saja para filsuf Yunani tersebut memiliki pandangan berbeda

terhadap kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi itu sendiri. Plato, misalnya, dapat

dikatakan sebagai pengritik sistem demokrasi yang paling

keras karena dianggap dapat mendegenerasi

dan mendegradasi kualitas sebuah Polis dan warganya. Kendati Plato mendukung

gagasan kebebasan individu tetapi ia lebih mendukung sebuah sistem politik

dimana kekuasaan mengatur Polis diserahkan kepada kelompok elite yang

memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan kekuatan fisik yang terbaik atau yang

dikenal dengan nama “the philosopher Kings”. Sebaliknya, Aristoteles

memandang justru sistem demokrasi yang akan memberikan kemungkinan Polis

berkembang dan bertahan karena para warganya yang bebas dan egaliter dapat terlibat

langsung dalam pembuatan keputusan publik, dan secara bergiliran mereka memegang

kekuasaan yang harus dipertanggungjawabkan kepada warga.

Demokrasi klasik di Athena, baik dari dimensi pemikiran dan praksis,

jelas bukan sebuah demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi substantif,

karena pengertian warga (citizens) yang “egaliter” dan ―bebas‖ pada

kenyataannya sangat terbatas. Mereka ini adalah kaum pria yang berusia di atas 20

tahun, bukan budak, dan bukan kaum pendatang (imigran). Demikian pula demokrasi

langsung di Athena dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang kecil (60000-

80000 orang). Warga yang benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi dalm Polis

kurang dari sepertiganya dan selebihnya adalah para budak, kaum perempuan dan

anak-anak, serta pendatang atau orang asing! Demikian pula, para warga dapat
sepenuhnya berkiprah dalam proses
politik karena mereka tidak tergantung secara ekonomi, yang dijalankan

sepenuhnya oleh para budak, kaum perempuan, dan imigran.

Kedua, Pada fase Pencerahan (Abad 15 sampai awal 18M) . Yang

mengemuka pada fase ini adalah gagasan alternatif terhadap sistem Monarki

Absolut yang dijalankan oleh para raja Eropa dengan legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh

pemikir era ini antara lain adalah Niccol o Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes

(1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Montesquieu (1689-1755). Era ini ditandai

dengan munculnya pemikiran Republikanisme (Machiavelli) dan liberalisme awal

(Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan eklesiastikal

(Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal tentang

sistem pemisahan kekuasaan (Montesquieu) diperkenalkan

sebagai alternative dari model absolutis.

Pemikiran awal dalam sistem demokrasi modern ini merupakan buah dari

Pencerahan dan Revolusi Industri yang mendobrak dominasi Gereja sebagai

pemberi legitimasi sistem Monarki Absolut dan mengantarkan pada dua revolusi

besar yang membuka jalan bagi terbentuknya sistem demokrasi modern, yaitu

Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789). Revolusi Amerika

melahirkan sebuah sistem demokrasi liberal dan federalisme ( James Madison) sebagai

bentuk negara, sedangkan RevolusiPerancis mengakhiri Monarki Absolut

dan meletakkan dasar bagi perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusia secara universal.

Ketiga, Fase Modern (awal abad 18-akhir abad 20). Pada fase modern ini

dapat disaksikan dengan bermunculannya berbagai pemikiran tentang demokrasi

berkaitan dengan teori-teori tentang negara, masalah kelas dan konflik kelas,

nasionalisme, ideologi, hubungan antara negara dan masyarakat dan sebagainya.

Disamping itu, terjadi perkembangan dalam sistem politik dan bermunculannya

negara-negara baru sebagai akibat Perang Dunia I dan II serta pertikaian ideologi
khusunya antara kapitalisme dan komunisme.
Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk

JJ Rousseau (1712-1778), John S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville (1805-

1859), Karl Marx (1818-1883), Friedrich Engels (1820-1895), Max Weber (1864-

1920), dan J. Schumpeter (1883-1946). Rousseau membuat konsepsi tentang

kontrak sosial antara rakyat dan penguasa dengan mana legitimasi pihak yang

kedua akan diberikan, dan dapat dicabut sewaktu-waktu apabila ia dianggap

melakukan penyelewengan. Gagasan dan praktik pembangkangan sipil (civil

disobedience) sebagai suatu perlawanan yang sah kepada penguasa

sangat dipengaruhi oleh pemikiran Rousseau. Mill

mengembangkan konsepsi tentang kebebasan (liberty) yang menjadi landasan utama

demokrasi liberal dan sistem demokrasi perwakilan modern (Parliamentary system)

di mana Mill menekankan pentingnya menjaga hak-hak

individu dari intervensi negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang

kecil dan terbatas merupakan inti pemikiran Mill yang kemudian berkembang di

Amerika dan Eropa Barat. De Toqcueville juga memberikan kritik terhadap

kecenderungan negara untuk intervensi dalam kehidupan sosial dan individu sehingga

diperlukan kekuatan kontra yaitu masyarakat sipil yang mandiri.

Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialis

- komunis yang menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi

langsung. Negara dianggap sebagai ―panitia eksekutif kaum burjuis‖ dan alat yang

dibuat untuk melakukan kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih

merupakan alat kelas burjuis, maka keberadaannya haruslah dihapuskan ( withering

away of the state) dan digantikan dengan suatu model pemerintahan langsung di

bawah sebuah diktator proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti teori

perjuangan kelas dan materialism dialektis, Marx dan Engels menganggap sistem

demokrasi perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat mempertahankan

kekuasaan kelas burjuis dan


karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni (genuine) serta mampu

mengartikulasikan kepentingan kaum proletar.

Max Weber dan Schumpeter adalah dua pemikir yang menolak

gagasan demokrasi langsung ala Marx dan lebih menonjolkan sistem demokrasi

perwakilan. Mereka berdua mengemukakan demokrasi sebagai sebuah sistem

kompetisi kelompok elite dalam masyarakat, sesuai dengan roses perubahan

masyarakat modern yang semakin terpilah-pilah menurut fungsi dan peran.

Dengan makin berkembangnya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan

sistem pembagian kerja modern, maka tidak mungkin lagi membuat suatu sistem

pemerintahan yang betul -betul mampu secara langsung mengakomodasi kepentingan

rakyat. Demokrasi yang efektif adalah melalui perwakilan dan dijalankan oleh

mereka yang memiliki kemampuan, oleh karenanya pada hakekatnya demokrasi

modern adalah kompetisi kaum elit.

Perkembangan pemikiran demokrasi dan praksisnya pada era kontemporer

menjadi semakin kompleks, apalagi dengan bermunculannya negara -negara bangsa

dan pertarungan ideologis yang melahirkan blok Barat dan Timur, kapitalisme dan

sosialisme/komunisme. Demokrasi menjadi jargon bagi kedua belah pihak dan hampir

semua negara dan masyarakat pada abad keduapuluh, kenbdatipun variannya

sangat besar dan bahkan bertentangan satu dengan yang lain.

Demokrasi kemudian menjadi alat legitimasi para penguasa, baik totaliter

maupun otoriter di seluruh dunia. Di negara-negara Barat seperti Amerika dan Eropa,

pemahaman demokrasi semakin mengarah kepada aspek prosedural, khususnya

tata kelola pemerintahan (governance). Pemikir seperti RobertDahl

umpamanya menyebutkan bahwa teori demokrasi bertujuan memahami

bagaimana warganegara melakukan control terhadap para pemimpinnya. Dengan

demikian focus pemikiran dan teori demokrasi semakin tertuju pada masalah

proses -proses pemilihan umum atau


kompetisi partai-partai politik, kelompok kepentingan, dan pribadi-pribadi tertentu

yan memiliki pengaruh kekuasaan.

Dengan hancurnya blok komunis/sosialis pada penghujung abad ke duapuluh,

demokrasi seolah-olah tidak lagi memiliki pesaing dan diterima secara

global. Fukuyama bahkan menyebut era paska perang dingin sebagai Ujung Sejarah

(the End of History) di mana demokrasi (liberal), menurutnya, menjadi pemenang

terakhir. Pada kenyataannya, sistem demokrasi di dunia masih mengalami persoalan

yang cukup pelik karena komponen-komponen substantif dan prosedural terus

mengalami penyesuaian dean tantangan. Kendati ideologi besar seperti

sosialisme telah pudar, namun munculnya ideologi alternatif seperti

fundamentalisme agama, etnis, ras, dsb telah tampil sebagai pemain dan penantang

baru terhadap demokrasi, khususnya demokrasi liberal.

Kondisi saat ini di mana globalisasi telah berlangsung, maka demokrasi

pun mengalami pengembangan baik pada tataran pemikiran maupun prkasis.

Munculnya berbagai pemikiran dan gerakan advokasi juga menjadi tantangan bagi

sis tem politik demokrasi liberal, seperti gerakan feminisme, kaum gay, pembela

lingkungan, d an sebagainya. Termasuk juga gerakan anti kapitalisme global

yang bukan hanya berideologi kiri, tetapi juga dari kubu liberal sendiri, semakin

menuntut terjadinya terobosan baru dalam pemikiran tentang demokrasi. Contoh

yang dapat disebutkan disini adalah upaya mencari jalan ke tiga (the Third Way)

yang menggabungkan liberalisme dan populisme di Eropa dan Amerika Serikat.

Indonesia sedang dalam proses tranformasi dari s istem otoriter

menuju demokrasi sebagaimana dicita-citakan para pendirinya dalam konstitusi. Tak

terelakkan lagi, diperlukan kemampuan dari para pekerja demokrasi untuk

mencari varian demokrasi yang compatible dengan konteks yang

dihadapi. Pemahaman tentang


perkembangan pemikiran dan praksis demokrasi dari berbagai era dan wilayah

dunia akan sangat membantu dalam usaha tersebut (Rosyada, 2005: 127-130).

Demokrasi Dalam Pandangan Islam

Esposito dan Piscatori (1994: 19-21), memetakan wacana pemikiran

politik Islam terhadap demokrasi menjadi tiga aliran; aliran pemikiran Islam yang

menolak konsep demokrasi, aliran yang menyetujui prinsip-prinsipnya tetapi

mengakui adanya perbedaan, dan aliran yang menerima konsep demokrasi s

epenuhnya. Pertama, bagi kelompok yang menolak demokrasi beranggapan bahwa

adalah impossible jika Islam memiliki kesamaan dengan demokrasi. Mereka

berpendapat bahwa dalam Islam tidak ada tempat yang layak bagi demokrasi, yang

karenanya Islam dan demokrasi tidak dapat dipadukan. Beberapa ulama yang

berpandangan demikian antara lain adalah, Syaikh Fadillah Nuri, Thabathabai, dan

Sayyid Qutb. Bagi Syaikh Fadillah Nuri, salah seorang ulama Iran, satu kunci

gagasan demokrasi yaitu persamaan semua warga negara ad alah impossible dalam

Islam. Perbedaan luar biasa yang tidak mungkin dihindari pasti terjadi, misalnya,

antara yang beriman dan yang tidak beriman, antara kaya dan miskin, dan antara

faqih (ahli hukum Islam) dan pengikutnya (Kamil, 1999: 38-39). Selain itu, ia juga

menolak legislasi oleh manusia. Islam katanya, tidak memiliki kekurangan yang

memerlukan penyempurnaan. Dalam Islam tidak ada seorangpun yang

diizinkan mengatur hukum. Paham konstitusional sebagai bagian dari demokrasi,

karenanya bertentangan dengan Islam. dalam keyakinan Syaikh Fadillah Nuri,

tampaknya manusia hanya bertugas melaksanakan hukum-hukum Tuhan (Kamil,

1999: 48). Sayyid Qutb, Pemikir Ikhwanul Muslimin, sangat menentang gagasan

kedaulatan rakyat. Baginya, hal itu adalah pelanggaran terhadap kekuasaan Tuhan

dan merupakan suatu bentuk tirani sebagian orang terhadap yang lainnya.

Mengakui kekuasaan tuhan berarti melakukan pertentangan secara menyeluruh


terhadap seluruh kekuasaan manusia dalam seluruh
pengertian, bentuk, sistem, dan kondisi. Agresi menentang kekuasaan Tuhan di

atas bumi merupakan suatu bentuk jahiliyah (kebodohan pra Islam), sambil

menekankan bahwa sebuah negara Islam harus berlandaskan pada prinsip

musyawarah, ia percaya bahwa syari‟ah sebagai sebuah sistem hukum dan sistem

moral sudah sangat lengkap, sehingga tidak ada legislasi lain yang mengatasinya

(Kamil, 1999: 48).

Kedua, Kelompok yang menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi

dalam Islam tetapi mengakui adanya perbedaan. Kelompok ini diwakili oleh

Maududi di Pakistan dan Imam Khomeini dari Iran, serta beberapa pemikir Islam

lainnya. Abu ‗Ala Maududi misalnya berpandangan bahwa ada kemiripan wawasan

antara demokrasi dengan Islam, seperti keadilan, (QS. asy-Syuraa/42:

15), persamaan (QS. al-Hujuraat/49: 13), akuntabilitas

pemerintahan (QS.an-Nisaa/4: 58), musyawarah (QS. asy-Syuraa/42: 38),

tujuan negara (QS. al-Hajj/22: 4), dan hak-hak oposisi (QS. al-Ahzab/33: 70). Akan

tetapi perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa dalam sistem Barat, suatu negara

demokratis menikmati kedaulatan rakyat mutlak, maka dalam demokrasi Islam,

kekhalifahan diterapkan untuk dibatasi oleh batas -batas yang telah di gariskan oleh

hukum-hukum Ilahi (Kamil, 1999: 49). Khomeini sebagaimana dikutip oleh Yamani

(2002: 141) mempunyai pandangan lain terhadap demokrasi, menurutnya demokrasi

Islam berbeda dengan demokrasi liberal, Khomeini meyakini bahwa kebebasan

mesti dibatasi dengan hukum, dan kebebasan yang diberikan itu harus dilaksanakan di

dalam batas-batas hukum Islam dan konstitusi, dengan sebaik-baiknya. Konstitusi

Republik Islam Iran yang didasarkan pada konsep wilayatul faqih

mencerminkan bahwa di satu sisi Iran merupakan negara Islam yang bersumber

pada hukum agama, namun di sisi lain Iran termasuk merupakan sebuah negara yang

secara prinsipil menganut sistem demokrasi.

Ketiga, kelompok yang menerima sepenuhnya konsep demokrasi memandang


bahwa sejatinya di dalam diri Islam sangat demokratis karenanya menurut mereka

Islam
menerima sepenuhnya demokrasi sebagai sesuatu yang universal. Pemikir yang

masuk dalam kategori kelompok ketiga ini antara lain, Muhammad Husain Haikal dari

Mesir, Rashid al-Ghannouchi, pemikir politik asal Tunisia, serta Bani Sadr dan

Mehdi Bazargan dari Iran.

Muhammad Husein Haikal, salah seorang pemikir muslim dari Mesir,

berpendapat bahwa dalam dunia pemikiran, demokrasi pertama kali dicanangkan oleh

Islam, menurutnya, semua sistem yang tidak berdiri di atas prinsip -prinsip

demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah-kaidah utama yang ditetapkan dan

diserukan Islam. Karena, kaidah-kaidah yang ditetapkan demokrasi merupakan

kaidah Islam dan begitu pula dengan prinsip-prinsipnya. Islam dan demokrasi

sama-sama berorientasi kepada fitrah manusia. Haikal mendasarkan pikirannya

kepada pr insip musyawarah, prinsip persaudaraan Islam, prinsip persamaan,

prinsip ijtihad (penalaran pribadi) atau kebebasan berpikir terutama dalam

masalah yang tidak ada kaitannya dengan syariah. prinsip legislasi yang wewenangnya

hanya dimiliki oleh para hakim d an tidak dimiliki oleh khalifah atau imam, prinsip

ijma‟ (kesepakatan para ahli), pengawasan terhadap penguasa, akuntabilitas serta

pengendalian nafsu bagi penguasa. Semua itu merupakan prinsip-prinsip dari sistem

politik yang dipraktekkan Nabi di Madinah (Kamil, 1999:

58-59).

Pemahaman dan Pandangan


Penulis

Demokrasi yang berkembang di Barat, berangkat dari adagium: “vox populi

vox dei“ (Suara rakyat suara Tuhan) yang dikemukakan oleh William of

Malmesbury di abad ke-12. Dalam Islam sebuah pertanyaan besar: apakah kalau

rakyatnya semua kafir, atau musyrik, atau fasiq, itu juga suara Tuhan , atau bodoh-

bodoh, itu suara Tuhan? Tuhan yang mana? dan dalam hal apa saja kapasitas

demokrasi itu, apakah kalau mau shalat harus musyawarah dulu? Melaksanakan
hukum Allah harus musyawarah dulu?
Tentu saja tidak! Tetapi juga wajib difahami bahwa, Islam mengatur tata
kehidupan
beragama dalam bernegara, -dalam kontek Indonesia, misalnya- hal ini penting

untuk diketahui ,karena banyak umat yang beragama sangat

eksklusif, yang tidak proporsional, atau inklusif juga tidak pada

tempatnya.

Prinsip hidup beragama dalam bernegara seperti ini te lah diterapkan

oleh Rasulullah Saw., bersama para sahabatnya, ketika membangun Negara

Madinah, melalui “Watsiqah Madinah“ (Piagam Madinah) nya. Bagaimana Nabi

Muhammad Saw. membuat perjanjian bela negara dengan orang-orang Yahudi,

Nashrani, Majusi, Shabi-iin, Musyrikiin. Itulah bentuk negara pertama yang

sebenarnya, dalam sejarah ketatanegaraan, kalau kita mau jujur. Lalu, umat Islam

kapan lagi, jujur dan konsisten dengan ajaran pokoknya al-Quran dan al-Sunnah, siapa

lagi yang harus diikuti dan diteladani selain Rasul Allah dan para sahabatnya?

(lihat QS. Ali Imran/3: 3, dan QS. an-Nisa‟/ 4: 59).

Jadi menurut penulis konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan

tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam.

Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan Islam adalah

keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta

dalam menentukan kebijakan lewat wakilnya.

Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan

secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan

yang keluar dari rambu-rambu Ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem

demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:

Pertama, demokrasi tersebut harus berasa di bawah payung agama;

Kedua, rakyat diberi kebabasan untuk menyuarakan

aspirasinya; Ketiga,pengambilan keputusan senantiasa dilakukan

dengan musyawarah; Keempat, suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun


Tentu saja tidak! Tetapi juga wajib difahami bahwa, Islam mengatur tata
tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah.
kehidupan
Contonya kasus Abu Bakar ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki
untuk
memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau

membagi-bagikan tanah hasil rampasan perangdengan mengambil pendapat

minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil

pajaknya; Kelima, musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi

bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh al -Qur‘an dan Sunnah;

Keenam, produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar daari nilai-

nilai agama; Ketujuh, hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua

warganya.

Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang Islami di atas

terwujud, langkah yang harus dilakukan:

Pertama, seluruh warga atau sebagaian besarnya harus diber i pemahaman

yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar

dari ajarannya.

Kedua, parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan

didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara

baik.

Penutup

Nampaknya, entah itu di kalangan barat maupun Islam memiliki

perbedaan berikut persamaan dalam mengartikan demokrasi, dan terlepas dari itu

semua, pada tataran konsep, memang apapun sistem politik yang digunakan

dalam menjalakan sebuah roda pemerintahan dan negara pada dasarnya adalah ideal

dan baik, begitu pun dengan demokrasi, demokrasi memang pada tataran idea dan

konsepnya merupakan sebuah sistem politik yang dianggap terbaik dari sistem politik

yang ada, namun pada tataran praktis para demokrat yang hidup di alam

demokrasi tersebut terkadang melenceng dari koridor demokrasi yang ada,


Contonya kasus Abu Bakar ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki
dengan mengkhianati konsep -konsep demokrasi yang ideal tersebut, yang mesti
untuk

dikedepankan kemudian adalah komitmen


dalam menjalankan sebuah sistem politik, dengan mengikuti koridor-koridor yang
ada,
apa pun itu sistemnya, termasuk demokrasi. Wallahua`lam…
DAFTAR
PUSTAKA

Al-Qur‘an al-Karim

al-Aqqad, Abbas Mahmud. t.th. al-Dimuqratiyah fi al-Islam. Mansyurat al-Maktabat


al-
‘Asriyah, Beirut.

Ali, A. Mukti. 1996. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Mizan,
BandungCet. III.

al-Raziq, Ali ibn Abd. 1925. al-Islam wa Usul al-Hukum. tp.Cet.


III.

Dede Rosyada dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM


dan
Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah), 2005, cet.
III

Donohue, John J. dan John L. Esposito, Islam in Tradition, Muslim Perspective


(diterjemahkan oleh Machnun Husein) 1995. Islam dan Pembaruan Ensiklopedi
Masalah-masalah. Rajawali Press, Jakarta.

Effendi, Bahtiar. 1996. ―Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang
Memungkinkan dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, (Ed),. Agama dan
Dialog antar Peradaban. Paramadina, Jakarta. Cet. I.

—— Masyarakat Agama: Deprivatiasai Agama, dalam Jurnal Kebudayaan


dan
Peradabn Ulumul Qur‘an edisi
3/VII/1997.

——.1995. Islam and Democracyt: in Search of a Viable Systhesis dalam Studi


Islami, Vo. 2, No. 4, 1995.

Esposito, John L. 1999. Islam and Democracy (diterjemahkan oleh Rahmani


Astuti) dengan judul Demokratisasi di Negara-negara Muslim: Problem dan Praktek.
Mizan, Bandung.

——– 1986. Islam and Development (diterjemahkan oleh Rahman Zainuddin) dengan
judul Identitas Islam pada Perubahan Politik. Bulan Bintang, Jakarta.

http://i d.wikipedia.org/wiki/Demokras
i

Huwaydi, Fahmi. 1996. al-Islam wa al-DImuqratiyah (diterjemahkan oleh


Muhammad Abdul Goffar E.M.) dengan judul Demokratsi oposisi dan Masyarakat
Madani: Isu-isu Besar Politik Islam. Mizan, Bandung. Cet. I.

Ibn Majah. t.th. Sunan Ibn Majah, Isa al-Babi al-Hubla wa Auladuh, Mesir. Jilid II.
DAFTAR
PUSTAKA
Kamil,Sukron. 2002. Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis .

Gaya
Media Pratama,
Jakarta.
Karim, M. Rusli. Peluang dan Hambatan Demokratisasi dalam Analisis CSIS,
Tahun
XXVII, No. 1 Januari-Maret
1988.

Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Mizan, Bandung. Cet.


II.

Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian 3 (terj. Ghufron A.
Mas‘adi).
Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Magnis-Suseno, Franz. 1996. ―Demokrasi: Tantangan Universal‖ dalam M.


Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, (Ed), Agama dan Dialog antar Peradaban.
Paramadina, Jakarta. Cet. I.

Ohmae, Kenichi. The End of the Nation State dalam Analisis CSIS Tahun XXV, No.
2
Maret-April 1996.

Rusli, Ris‘an et. al. 2010. Panduan Penulisan Karya Ilmiah. Program
Pascasarjana
IAIN Raden Fatah Palembang.

Sjadzali, Munawir. 1990. Islam dan Tata Negara: Ajarn, Sejarah, dan
Pemikirannya.
UI Press, Jakarta. Cet.
VIII.

Taylor,David. 1989. ―Politik Islam dan Islamisasi Pakistan‖ dalam Harun Nasution
dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.

Thaba, Abdul Aziz. 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Gema
Insani
Press, Jakarta. Cet. I

The World of Encyclopaedia. 1983.World Book, Inc., Chicago. Juz V.


1983.

Tibi, Bassam. 1998. The Challenge of Fundamentalism Political Islam and the
New
World Disorder. University of California Press, Los
Angles.

Yamani. 2002. Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam.


Mizan, Bandung. Cet. I.

Anda mungkin juga menyukai