Oleh: Muhammad Abduh
Pendahulua
n
Demokrasi merupakan salah satu isu global yang terus berkembang hingga
1
saat ini , dan setidaknya dalam wacana pemikiran Islam terdapat tiga grand
menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan keseharian cenderung tidak merespon isu-
2
isu tersebut dengan bijaksana. Sementara, di sisi lain terdapat suatu fenomena
sebaliknya.
dan dalam makalah ini hanya akan difokuskan pada wacana perkembangan pemikiran
Mahasin (1993: 30) merupakan dua sisi yang berbeda. Islam berasal dari wahyu,
demikian Islam
Guru Sejarah Kebudayaan Islam MAN Sakatiga dan Mahasiswa pada Program
Studi Peradaban Islam Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam Program Doktoral Pascasarjana IAIN
Raden Fatah Palembang.
1
Isu-isu penting yang berkembang di era modern di antaranya globalisasi, demokrasi dan
civil
society. Ketiga hal tersebut dalam beberapa hal memaksa umat Islam dan dunia Islam
untuk meresponnya. Oleh karena itu, kajian-kajian tentang hal ini mulai banyak ditemukan,
terutama oleh penulis kontemporer yang berupaya mengakomodasinya dalam wacana keislaman.
2
Pengalaman-pengalaman negara-negara Islam tidak sama dalam meresponnya. Saudi
Arabia merupakan kerajaan Islam yang menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan
kenegaraannya. Namun,
banyak yang menilai negara tersebut tidak demokratis. Di negara-negara lain, isu yang demikian telah
menempatkannya sebagai isu penting. Sebuah negara atau person lebih aman ketika tidak
dijustifikasi sebagai negara atau seorang yang demokratis dan tidak otoriter daripada tidak Islami.
Demikian juga
terhadap hal-hal yang melingkupi dari pengalaman negara muslim dalam demokrasi. Minimnya
kajian
terhadap demokrasi yang berkembang di negara Islam membuat kajian ini tidak populer di negara-
negara
Islam.
memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada
Allah Swt. Agama, dalam keseluruhan aspek ajarannya, dimaksudkan untuk menjadi
panduan bagi manusia. Karena agama menjadi panduan bagi kehidupan manusia,
berarti agama juga harus menjadi basis bagi semua atau keseluruhan peril aku
manusia, yang antara lain meliputi perilaku politik, ekonomi, sosial dan seterusnya.
Swt., dan kemudian dilembagakan melalui Nabi Muhammad Saw., dapat dikatakan
bahwa yang bisa disebut memiliki kemutlakan untuk mengatur manusia di sini
adalah Allah. Dalam pandangan ini Allahlah yang memiliki kedaulatan atas
3
Dari segi etimologis, Islam memiliki sejumlah derivasi (kata turunan), antara lain:
aslama (menyerahkan diri, taat, tunduk, dan patuh sepenuhnya), salimah (selamat, sejahtera, sentosa,
bersih dan bebas dari cacat/cela), salam (damai, aman dan tenteram), sullam (tangga; alat bantu untuk
naik ke atas).
4
Agama berdasarkan asal kata, yakni al-Din, religi (religere, religare) dan agama. Al-
Din
(semit) berarti undang-undang atau hukum. Kemudian mengandung arti manguasai,
menundukkan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan. Adapun dari kata religi (latin) atau relegere
berarti mengumpulkan
dan membaca. Sedangkan religare berarti mengikat. Adapun agama berasal dari bahasa
Sangsekerta
( a=tidak, dan gam=pergi), mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun menurun.
(al-Makhluq), termasuk di dalamnya adalah manusia. Dengan demikian manusia harus
tunduk dan patuh kepada semua ketentuan dan aturan Allah ini.
Dalam pada itu ketentuan dan aturan yang bersumber dari Allah dipandang
memiliki nilai kemutlakan (ultimate). Dengan demikian penilaian atas sesuatu yang
dilakukan oleh Islam terhadap perilaku manusia secara pasti dan mutlak
telah ditentukan apakah itu termasuk dalam kategori benar atau salah. Ketentuan
hukum yang demikian adalah mutlak adanya dan tidak bisa dirubah dan akan
merupakan hal yang baru bagi masyarakat Eropa dan Amerika. Mereka sudah
lama mengenalnya. Nenek moyang mereka sudah dengan sadar mengaplikasikan konsep
6
kecil di Yunani. Peristiwa tersebut terjadi di masa kepemimpinan Pericles. Namun,
patut disayangkan kesempatan hanya diberikan kepada kaum Adam (laki-laki) an sich.
Kaum wanita, budak dan orang-orang asing dikecualikan. Demokrasi yang berjalan di
Athena ini berjalan sampai 200 tahun (The World of Encyclopaedia, 1983: 106-
107). Dari sejarah panjang inilah kemudian demokrasi berkembang dan sekarang
menjadi suatu yang universal dan diadopsi oleh berbagai negara di dunia ini.
dan telah melahirkan berbagai macam tokoh dan pemikir yang handal.
Pemikiran dan
aplikasi teoritis dalam kancah pemerintahan sudah lama terbukti dan teruji secara
baik
5
Istilah demokrasi pertama kali muncul dari Yunani sekitar 2,5 ribu tahun silam, di salah
satu kota Yunani, Athena muncul bentuk pemerintahan politik baru. Namun, bukan berarti
substansi demokrasi tidak dapat ditemukan sebelumnya. Franz Magnis-Suseno (1996: 129-130)
melihat jauh sebelum munculnya Yunani yakni 4 ribu tahun silam di mana munculnya Abraham
(Ibrahim) di masyakarat Israel telah menemukan akar-akar demokrasi ini.
6
Athena adalah kota yang mampu merealisasikan demokrasi secara langsung dalam
sebuah
majelis dan di dalamnya hanya terdiri dari 5000 sampai 6000 orang yang memungkinkan dalam
jumlah tersebut berkumpul dalam satu ruangan. Namun, bentuk demokrasi langsung ters ebut tidak
lagi banyak
dianut oleh negara-negara maju dikarenakan jumlah penduduk yang lebih banyak dan lebih
nyaman menggunakan perwakilan dalam mengurusi suatu tatanan kenegaraan.
dan mengesankan (Effendi, 1996: 86). Walaupun demikian, dalam kapasitas
demokrasi menjadi suatu yang beragam. Kenyataan ini juga didukung oleh
fenomena sosial dari ilmu politik yang memayungi kajian demokrasi dan yang
berhubungan dengannya. Oleh karena itu, setiap negara dan kawasan memilki
dan mapan dalam menerapkannya dan ada juga yang masih belajar dengan
dilakukan kajian yang mendalam tentang substansi dari demokrasi dan hal -hal lain
sebagai variant model yang muncul mengiringi paket demokrasi, yang dapat
demokrasi. Upaya kreatif tersebut tidak dianggap sebagai sebuah reduksi dalam
memahami dan mencerna isu penting tersebut. Namun, aplikasi demokrasi akan
dapat bermakna bagi negara -negara lain jika disesuaikan dengan kondisi sosial
-politik dan sosial-budaya masyarakat setempat. Tentu, ada beberapa hal yang
sesuai dengan kondisi tertentu dari negara dan tidak cocok bagi negara lain.
berarti rule or authority‖ (bahasa Greek, Yunani); yang berarti pemerintahan oleh
rakyat (rule or authority by the people) di mana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat
atau pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari pengertian
gagasan dan prinsip tentang kebebasan dan juga seperangkat praktek dan prosedur
tertentu melalui sejarah panjangnya yang berliku-liku. Oleh karena itu, demokrasi
demokratis jika memilki tiga ciri, (1) menyelenggarakan pemilihan yang terbuka
dan bebas, (2) mengembangkan pola politik yang kompetitif dan (3) memberi
dikutip oleh Karim ( 1988: 6) mengungkapkan enam ciri. Ciri demokrasi adalah
manusia, persamaan kesempatan, orang yang terdidik, jaminan hidup, kebebasan dan
Marxis sebagaimana dikutip oleh Karim (1988: 6) yang berupaya memberikan porsi
lebih terhadap kebebasan manusia juga bermunculan. Hal ini misalnya ditunjukkan
oleh new left dan new right. Mereka ini berpandangan bahwa demokrasi haruslah
memiliki ciri - ciri penciptaan suasana yang terbaik agar setiap orang dapat
catatan
tambahan tentang ciri demokrasi yaitu haruslah mampu memberikan keterlibatan
yang sama di antara warga negara dalam bidang politik dan ekonomi
dikaitkan dengan perbedaan mereka dalam memahami (subyektif) dan dengan obyek
7
eksekutif. Ted Robert Gurr.
perwakilan adalah salah satu bentuk demokrasi yang populer dan sering
pembangunan, keseimbangan dan partisiparis (Karim 1988). Demokrasi sisi lain, Sklar
Dari uraian demokrasi atas dapat dikatakan bahwa demokrasi dapat berjalan
dengan baik jika prasyarat tertentu dipenuhi. Demokrasi kalangan para pakar
telah
terjadi immak bahwa demokrasi hanya kondusif demokrasi negara maju dan
demokrasi
7
Pemikiran tersebut menghasilkan ciri-ciri demokrasi sebagai berikut: persaingan partisispasi
politik, persaingan rekrutmen politik, keterbukaan rekurtmen eksebutif dan keberadaan hambatan
dari ketua-ketua eksekutif.
8
Bagi kedua pemikir tersebut hakekat politik haruslah memilki empat kelompok pembuat
keputusan, yaitu pemilih, pejabat yang dipilih/politisi, birokrat dan kelompok-kelompok kepentingan.
9
Rawl menekankan terhadap hak-hak sipil dan politik yang sama, hak-hak sosio-ekonomi yang
minimum dan keterpercayaan.
lingkungan negara kapitalis saja (Kuntowijoyo, 1997: 91). Sedangkan demokrasi
berjalan baik dan bahkan tidak berjalan sama sekali. Salah satu faktornya adalah
mereka tidak banyak memikirkan hal-hal lain yang mendasar dan luas bagi
untuk mendapatkan sesuap nasi guna mendapati kelangsungan hidup mereka dan yang
telaahan pemikir dapat disimpulkan dalam tiga agenda dasar yaitu: hak politik
yang berkaitan erat dengan hubungan negara dengan masyarakat, hak sipil
elite dengan massa, dan hak aktualisasi diri (demokrasi budaya dan demokrasi
agama) yang berhubungan dengan warga negara dengan negara dan warga negara
dengan sesamanya.
pilar- pilar utama yang merupakan soko gurunya. Di antara pilar -pilar
demokrasi adalah kedaulatan rakyat, pemilihan yang bebas dan jujur, dan kekuasaan
mayoritas dan hak- hak minoritas. Oleh karena itu, demokrasi sering
berkembang di dalam Islam. Dasar penetapan asas-asas tersebut adalah berpijak pada
sumber ajaran Islam (al-Qur‘an dan hadis) dan praktek kenegaraan yang
berkembang di masa Nabi Muhammad Saw. dan khulafa„ al-Rasyidin. Secara lengkap
asas-asas demokrasi adalah: tanggung jawab individu, persamaan manusia dan hak-
beberapa pemikir muslim dan Barat, tempat di mana lahirnya tradisi demokrasi, maka
serangkaian besar dana dan prosedur yang ketat agar demokrasi dilaksanakan
sesuai keinginan mereka, padahal locus dan tempos-nya berbeda. Ada yang
Berbicara demokrasi dalam pandangan barat tidak bisa dilepaskan dari konteks
historis, karena konsep demokrasi sendiri memang berasal dari barat yang
Pertama, Fase Klasik. Pada fase ini ditandai dengan munculnya pemikiran-
pemikiran filosofis dan praksis politik dan ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang
menjadi kebutuhan dari negara-negara kota (city states) di Yunani, khususnya Athena.
dan kratos) disebabkan gagalnya sistem politik yang dikusai para Tyrants atau
dikelola sebagai ganti dari model kekuasaan para autocrats dan tyrants.
dan dianggap sebagai dasar sistem politik yang lebih baik ketimbang yang sudah ada
waktu itu. Tentu saja para filsuf Yunani tersebut memiliki pandangan berbeda
terhadap kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi itu sendiri. Plato, misalnya, dapat
dan mendegradasi kualitas sebuah Polis dan warganya. Kendati Plato mendukung
memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan kekuatan fisik yang terbaik atau yang
berkembang dan bertahan karena para warganya yang bebas dan egaliter dapat terlibat
langsung dalam pembuatan keputusan publik, dan secara bergiliran mereka memegang
jelas bukan sebuah demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi substantif,
kenyataannya sangat terbatas. Mereka ini adalah kaum pria yang berusia di atas 20
tahun, bukan budak, dan bukan kaum pendatang (imigran). Demikian pula demokrasi
langsung di Athena dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang kecil (60000-
80000 orang). Warga yang benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi dalm Polis
kurang dari sepertiganya dan selebihnya adalah para budak, kaum perempuan dan
anak-anak, serta pendatang atau orang asing! Demikian pula, para warga dapat
sepenuhnya berkiprah dalam proses
politik karena mereka tidak tergantung secara ekonomi, yang dijalankan
mengemuka pada fase ini adalah gagasan alternatif terhadap sistem Monarki
Absolut yang dijalankan oleh para raja Eropa dengan legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh
pemikir era ini antara lain adalah Niccol o Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes
(1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Montesquieu (1689-1755). Era ini ditandai
(Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan eklesiastikal
Pemikiran awal dalam sistem demokrasi modern ini merupakan buah dari
pemberi legitimasi sistem Monarki Absolut dan mengantarkan pada dua revolusi
besar yang membuka jalan bagi terbentuknya sistem demokrasi modern, yaitu
melahirkan sebuah sistem demokrasi liberal dan federalisme ( James Madison) sebagai
Ketiga, Fase Modern (awal abad 18-akhir abad 20). Pada fase modern ini
berkaitan dengan teori-teori tentang negara, masalah kelas dan konflik kelas,
negara-negara baru sebagai akibat Perang Dunia I dan II serta pertikaian ideologi
khusunya antara kapitalisme dan komunisme.
Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk
1859), Karl Marx (1818-1883), Friedrich Engels (1820-1895), Max Weber (1864-
kontrak sosial antara rakyat dan penguasa dengan mana legitimasi pihak yang
kecil dan terbatas merupakan inti pemikiran Mill yang kemudian berkembang di
kecenderungan negara untuk intervensi dalam kehidupan sosial dan individu sehingga
Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialis
langsung. Negara dianggap sebagai ―panitia eksekutif kaum burjuis‖ dan alat yang
dibuat untuk melakukan kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih
away of the state) dan digantikan dengan suatu model pemerintahan langsung di
bawah sebuah diktator proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti teori
perjuangan kelas dan materialism dialektis, Marx dan Engels menganggap sistem
demokrasi perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat mempertahankan
gagasan demokrasi langsung ala Marx dan lebih menonjolkan sistem demokrasi
sistem pembagian kerja modern, maka tidak mungkin lagi membuat suatu sistem
rakyat. Demokrasi yang efektif adalah melalui perwakilan dan dijalankan oleh
dan pertarungan ideologis yang melahirkan blok Barat dan Timur, kapitalisme dan
sosialisme/komunisme. Demokrasi menjadi jargon bagi kedua belah pihak dan hampir
maupun otoriter di seluruh dunia. Di negara-negara Barat seperti Amerika dan Eropa,
demikian focus pemikiran dan teori demokrasi semakin tertuju pada masalah
global. Fukuyama bahkan menyebut era paska perang dingin sebagai Ujung Sejarah
fundamentalisme agama, etnis, ras, dsb telah tampil sebagai pemain dan penantang
Munculnya berbagai pemikiran dan gerakan advokasi juga menjadi tantangan bagi
sis tem politik demokrasi liberal, seperti gerakan feminisme, kaum gay, pembela
yang bukan hanya berideologi kiri, tetapi juga dari kubu liberal sendiri, semakin
yang dapat disebutkan disini adalah upaya mencari jalan ke tiga (the Third Way)
dunia akan sangat membantu dalam usaha tersebut (Rosyada, 2005: 127-130).
politik Islam terhadap demokrasi menjadi tiga aliran; aliran pemikiran Islam yang
berpendapat bahwa dalam Islam tidak ada tempat yang layak bagi demokrasi, yang
karenanya Islam dan demokrasi tidak dapat dipadukan. Beberapa ulama yang
berpandangan demikian antara lain adalah, Syaikh Fadillah Nuri, Thabathabai, dan
Sayyid Qutb. Bagi Syaikh Fadillah Nuri, salah seorang ulama Iran, satu kunci
gagasan demokrasi yaitu persamaan semua warga negara ad alah impossible dalam
Islam. Perbedaan luar biasa yang tidak mungkin dihindari pasti terjadi, misalnya,
antara yang beriman dan yang tidak beriman, antara kaya dan miskin, dan antara
faqih (ahli hukum Islam) dan pengikutnya (Kamil, 1999: 38-39). Selain itu, ia juga
menolak legislasi oleh manusia. Islam katanya, tidak memiliki kekurangan yang
1999: 48). Sayyid Qutb, Pemikir Ikhwanul Muslimin, sangat menentang gagasan
kedaulatan rakyat. Baginya, hal itu adalah pelanggaran terhadap kekuasaan Tuhan
dan merupakan suatu bentuk tirani sebagian orang terhadap yang lainnya.
atas bumi merupakan suatu bentuk jahiliyah (kebodohan pra Islam), sambil
musyawarah, ia percaya bahwa syari‟ah sebagai sebuah sistem hukum dan sistem
moral sudah sangat lengkap, sehingga tidak ada legislasi lain yang mengatasinya
dalam Islam tetapi mengakui adanya perbedaan. Kelompok ini diwakili oleh
Maududi di Pakistan dan Imam Khomeini dari Iran, serta beberapa pemikir Islam
lainnya. Abu ‗Ala Maududi misalnya berpandangan bahwa ada kemiripan wawasan
tujuan negara (QS. al-Hajj/22: 4), dan hak-hak oposisi (QS. al-Ahzab/33: 70). Akan
tetapi perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa dalam sistem Barat, suatu negara
kekhalifahan diterapkan untuk dibatasi oleh batas -batas yang telah di gariskan oleh
hukum-hukum Ilahi (Kamil, 1999: 49). Khomeini sebagaimana dikutip oleh Yamani
mesti dibatasi dengan hukum, dan kebebasan yang diberikan itu harus dilaksanakan di
mencerminkan bahwa di satu sisi Iran merupakan negara Islam yang bersumber
pada hukum agama, namun di sisi lain Iran termasuk merupakan sebuah negara yang
Islam
menerima sepenuhnya demokrasi sebagai sesuatu yang universal. Pemikir yang
masuk dalam kategori kelompok ketiga ini antara lain, Muhammad Husain Haikal dari
Mesir, Rashid al-Ghannouchi, pemikir politik asal Tunisia, serta Bani Sadr dan
berpendapat bahwa dalam dunia pemikiran, demokrasi pertama kali dicanangkan oleh
Islam, menurutnya, semua sistem yang tidak berdiri di atas prinsip -prinsip
demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah-kaidah utama yang ditetapkan dan
kaidah Islam dan begitu pula dengan prinsip-prinsipnya. Islam dan demokrasi
masalah yang tidak ada kaitannya dengan syariah. prinsip legislasi yang wewenangnya
hanya dimiliki oleh para hakim d an tidak dimiliki oleh khalifah atau imam, prinsip
pengendalian nafsu bagi penguasa. Semua itu merupakan prinsip-prinsip dari sistem
58-59).
vox dei“ (Suara rakyat suara Tuhan) yang dikemukakan oleh William of
Malmesbury di abad ke-12. Dalam Islam sebuah pertanyaan besar: apakah kalau
rakyatnya semua kafir, atau musyrik, atau fasiq, itu juga suara Tuhan , atau bodoh-
bodoh, itu suara Tuhan? Tuhan yang mana? dan dalam hal apa saja kapasitas
demokrasi itu, apakah kalau mau shalat harus musyawarah dulu? Melaksanakan
hukum Allah harus musyawarah dulu?
Tentu saja tidak! Tetapi juga wajib difahami bahwa, Islam mengatur tata
kehidupan
beragama dalam bernegara, -dalam kontek Indonesia, misalnya- hal ini penting
tempatnya.
sebenarnya, dalam sejarah ketatanegaraan, kalau kita mau jujur. Lalu, umat Islam
kapan lagi, jujur dan konsisten dengan ajaran pokoknya al-Quran dan al-Sunnah, siapa
lagi yang harus diikuti dan diteladani selain Rasul Allah dan para sahabatnya?
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan
secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan
yang keluar dari rambu-rambu Ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem
minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil
pajaknya; Kelima, musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi
bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh al -Qur‘an dan Sunnah;
Keenam, produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar daari nilai-
nilai agama; Ketujuh, hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua
warganya.
yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar
dari ajarannya.
didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara
baik.
Penutup
perbedaan berikut persamaan dalam mengartikan demokrasi, dan terlepas dari itu
semua, pada tataran konsep, memang apapun sistem politik yang digunakan
dalam menjalakan sebuah roda pemerintahan dan negara pada dasarnya adalah ideal
dan baik, begitu pun dengan demokrasi, demokrasi memang pada tataran idea dan
konsepnya merupakan sebuah sistem politik yang dianggap terbaik dari sistem politik
yang ada, namun pada tataran praktis para demokrat yang hidup di alam
Al-Qur‘an al-Karim
Ali, A. Mukti. 1996. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Mizan,
BandungCet. III.
Effendi, Bahtiar. 1996. ―Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang
Memungkinkan dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, (Ed),. Agama dan
Dialog antar Peradaban. Paramadina, Jakarta. Cet. I.
——– 1986. Islam and Development (diterjemahkan oleh Rahman Zainuddin) dengan
judul Identitas Islam pada Perubahan Politik. Bulan Bintang, Jakarta.
http://i d.wikipedia.org/wiki/Demokras
i
Ibn Majah. t.th. Sunan Ibn Majah, Isa al-Babi al-Hubla wa Auladuh, Mesir. Jilid II.
DAFTAR
PUSTAKA
Kamil,Sukron. 2002. Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis .
Gaya
Media Pratama,
Jakarta.
Karim, M. Rusli. Peluang dan Hambatan Demokratisasi dalam Analisis CSIS,
Tahun
XXVII, No. 1 Januari-Maret
1988.
Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian 3 (terj. Ghufron A.
Mas‘adi).
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ohmae, Kenichi. The End of the Nation State dalam Analisis CSIS Tahun XXV, No.
2
Maret-April 1996.
Rusli, Ris‘an et. al. 2010. Panduan Penulisan Karya Ilmiah. Program
Pascasarjana
IAIN Raden Fatah Palembang.
Sjadzali, Munawir. 1990. Islam dan Tata Negara: Ajarn, Sejarah, dan
Pemikirannya.
UI Press, Jakarta. Cet.
VIII.
Taylor,David. 1989. ―Politik Islam dan Islamisasi Pakistan‖ dalam Harun Nasution
dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Thaba, Abdul Aziz. 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Gema
Insani
Press, Jakarta. Cet. I
Tibi, Bassam. 1998. The Challenge of Fundamentalism Political Islam and the
New
World Disorder. University of California Press, Los
Angles.