MAKALAH
KEBEBASAN EKONOMI DALAM ISLAM
Oleh :
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kekuatan dan kemampuan , sehingga makalah yang berjudul
Kebebasan Ekonomi dalam Islam ini dapat di selesaikan. Shalawat dan salam
semoga senantiasa di limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya,
para keluarganya, dan sekalian umatnya hingga akhir zaman.
Makalah ini merupakan materi yang di sajikan sebagai bahan rujukan
dalam membuat makalah. Makalah ini di harapkan dapat menambah pengetahuan
mahasiswa. Dengan kemampuan yang sangat terbatas, penulis sudah berusaha dan
mencoba mengekplorasi, menyintesiskan dan mengorganisasikan dari beberapa
buku. Namun demikian, apabila dalam makalah ini di jumpai kekurangan dan
kesalahan baik dalam pengetikan maupun isinya, maka penulis dengan senang
hati menerima kritik konstruktif dari pembaca.
Akhirnya, semoga makalah yang sederhana ini bermanfaat adanya. Amin
ya robbal alamin.
Islam dengan wahyu Allah jelas memberikan keluasan pada manusia untuk
senantiasa berusaha demi pemenuhan kebutuhan hidupnya tersebut. QS al-
Jumuah ayat 10 menyatakan dengan jelas keluasan itu. Disinilah ajaran Islam
melakukan perannya, membimbing manusia (dengan wahyu) untuk melaksanakan
kebebasan yang dikehendaki-Nya, bahkan melakukan pembebasan pada
manusia lainnya atas dasar bahwa semua manusia berhak mendapatkan kebebasan
hidup tadi. Implikasi logis dari konsep kebebasan berekonomi menurut Islam ini
adalah melahirkan unsur kreatifitas dalam diri manusia, sehingga manusia bisa
produktif. Dengan produktif manusia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan
untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Secara umum makna kebebasan
dalam ekonomi, dapat melahirkan dua pengertian yang luas, yakni; kreatif dan
kompetitif. Dengan kreatifitas, seseorang bisa mengeluarkan ide-ide, bisa
mengekplorasi dan mengekspresikan potensi yang ada dalam diri dan ekonominya
untuk menghasilkan sesuatu. Sedangkan dengan kemampuan kompetisi,
seseorang boleh berjuang mempertahankan, memperluas dan menambah lebih
banyak apa yang diinginkannya. Dalam ekonomi Islam, makna kebebasan adalah
memperjuangkan apa yang menjadi haknya dan menunaikan apa yang menjadi
kewajibannya sesuai perintah syara.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut perlu kiranya merumuskan
masalah sebagai pijakan untuk terfokusnya kajian makalah ini. Adapun
rumusan makalahnya sebagai berikut:
1. Apa pengertian kebebasan ekonomi ?
2. Bagaimana Tanggung jawab dan kebebasan ?
3. Bagaimana Sejarah Kebebasan Ekonomi di Kalangan Umat
Muslim?
4. Bagaimana Kerjasama dalam Islam ?
C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian kebebasan ekonomi
2. Menjelaskan Bagaimana Tanggung jawab dan kebebasan
3. Menjelaskan Bagaimana Sejarah Kebebasan Ekonomi di Kalangan
Umat Muslim
4. Menjelaskan Bagaimana Kerjasama dalam Islam
5. Untuk melengkapi tugas mata kuliah Filsafat ekonomi islam
BAB II
PEMBAHASAN
2. Sama sekali tidak ada konsep Dosa Warisan, (dan karena itu) tidak ada
seorang pun bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan orang lain,
dan tidak pembaptisan dan juga tidak ada bangsa pilihan (Tuhan).
1
Monzer Kahf, Ph. D., Ekonomi Islam: Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi
Islam (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 1995), hlm.51-58.
2
Drs. Muhammad, M.ag., Ekonomi Mikro: dalam Prespektif Islam (Yogyakarta: BPFE-
YOGYAKARTA, 2004), hlm.377.
keluar dari Rosul dianggap sebagai sumber kedua bagi keuangan public islam,
entah itu perkataan atau perbuatan yang muncul dari dirinya sendiri atau dari
sebagian sahabatnya dan ditetapkan Nabi melalui cara diam, atau tidak
mengingkarinya. Selama keuangan publik islam muncul dari dua sumber
mendasar itu yaitu Al-Quran dan Sunnah, maka seharusnya ia bergerak dalam
kerangka ajaran dari kedua sumber ini, menghalalkan apa yang dihalalkan Allah
dan Rosul-Nya, untuk itu sumber pendapatan publiknya harus baik, dialokasikan
secara benar, dan dikumpulkan dengan adil. Dasar-dasar ekonomi islam:
1. Bertujuan untuk mencapai masyarakat yang sejahtera baik di dunia dan
di akhirat, tercapainya pemuasan optimal berbagai kebutuhan baik
jasmani maupun rohani secara seimbang, baik perorangan maupun
masyarakat. Dan untuk itu alat pemuas dicapai secara optimal dengan
pengorbanan tanpa pemborosan dan kelestarian alam tetap terjaga.
2. Hak milik perorangan diakui sebagai usaha dan kerja secara halal dan
dipergunakan untuk hal-hal yang halal pula.
3. Dilarang menimbun harta benda dan menjadikannya terlantar.
4. Dalam harta benda itu terdapat hak untuk orang miskin yang selalu
meminta, oleh karena itu harus dinafkahkan, sehingga dicapai
pembagian rizki.
5. Pada batas tertentu,hak milik relative tersebut dikenakan zakat.
6. Perniagaan diperkenankan akan tetapi riba dilarang.
7. Tiada perbedaan suku dan keturunan dalam bekerjasama dan yang
menjadi ukuran perbedaan adalah prestasi kerja.
[287] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain,
sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan
suatu kesatuan.
Dengan mengharamkan cara-cara tersebut di atas dalam kegiatan ekonomi,
Islam mempunyai tiga macam tujuan, yaitu:
1. Mengapa hubungan-hubungan ekonomi manusia agar berdiri di atas
landasan gotong royong saling cinta dan kasih, kejujuran dan keadilan,
sebagai ganti dari saling membenci, perselisihan, penganiayaan,
penipuan dengan segala akibatnya.
2. Menumbuhkan landasan tersebut di atas sebagai ganti dari penggunaan
cara-cara eksploitasi yang menyebabkan manusia memperoleh harta
tanpa jerih payah.
3. Menutup lubang-lubang yang akan menyebabkan terpusatnya kekayaan
pada tangan beberapa individu saja. Cara-cara usaha yang dibolehkan
syariat pada umumnya akan menbawa pada keuntungan yang seimbang
dan logis. Adapun keuntungan-keuntungan yang mencolok dan
kekayaan yang terlampau besar pada umumnya berasal dari cara-cara
usaha yang berdasarkan syariat. Di balik pengharamannya Islam
menerapkan cara-cara semacam ini untuk merealisasikan persesuaian
antara kesempatan-kesempatan dan cara penyelesaian atas faktor-faktor
terpenting, yakni hal yang sering menyebabkan hilangnya
keseimbangan ekonomi dalam masyarakat.
E. Sejarah Kebebasan Ekonomi di Kalangan Umat Muslim
Sepanjang sejarah umat Muslim, kebebasan ekonomi sudah dijamin
dengan berbagai tradisi masyarakat dan dengan sistem hukumnya. Nabi SAW
tidak bersedia menetapkan harga-harga walaupun pada saat harga-harga itu
membumbung tinggi. Ketidaksediaannya itu didasarkan atas prinsip tawar-
menawar secara sukarela dalam perdagangan yang tidak memungkinkan
pemaksaan cara-cara tertentu agar penjual menjual barang-barang mereka dengan
harga lebih rendah daripada harga pasar selama perubahan-perubahan harga itu
disebabkan oleh faktor-faktor nyata dalam permintaan dan penawaran yang tidak
dibarengi dengan dorongan-dorongan monopolik maupun monopsonik. Lebih dari
itu, Nabi SAW berusaha sungguh-sungguh untuk memperkecil kesenjangan
informasi di pasar ketika beliau menolak gagasan untuk menerima para produsen
pertanian sebelum mereka sampai di pasar dan mengetahui benar apa yang ada di
sana. Beliau sangat tegas dalam mengatasi masalah penipuan dan monopoli
(dalam perdagangan), sehingga beliau menyamakan kedua dengan dosa-dosa
paling besar dan kekafiran.
Setelah Nabi SAW dan selama berabad-abad dalam sejarah Islam, umat
Muslim mempertahankan prinsip kebebasan yang senantiasa dilaksanakan ini.
Konsep pengendalian perilaku moral di pasar itu dilaksanakan oleh Nabi sendiri.
Selama beberapa abad pertama Hijriyyah, sejumlah pakar menulis buku-buku
tentang peranan dan kewajiban-kewajiban pengendali pasar, atau al-Muhtasib itu.
Tema yang terkandung dalam semua tulisan ini adalah pelestarian kebebasan di
pasar dan penghapusan unsur-unsur monopolistik. Prinsip kebebasan tersebut
dipertahankan oleh banyak qd (hakim) Muslim yang bahkan sampai mengancam
sistem hukum itu sendiri dengan mencabut hak untuk ikut campur dalam kasus
monopoli. Hal ini benar-benar telah mendorong Ibnu Taimiyyah menulis
bukunya, Al-Hisbah fi al-lslm, untuk menunjukkan bahwa kebebasan ekonomik
individual harus dibatasi dalam hal-hal serupa itu, bahkan termasuk pembatasan-
pembatasan itu adalah penentuan harga barang-barang dan jasa.
Dengan latar belakang ini, dalam rangka mengemukakan definisi
kebebasan ekonomi yang dimaksudnya, Ibnu Taimiyyah secara meyakinkan dapat
memberikan pernyataan tegas bahwa individu-individu sepenuhnya berhak
menyimpan harta milik mereka, dan tidak ada seorang pun berhak mengambil
semua atau sebagian daripadanya tanpa persetujuan mereka secara bebas, kecuali
dalam hal-hal tertentu di mana mereka diwajibkan melepaskan hak-hak tersebut.
Mauln Abul A'l Maudd menyatakan bahwa dalam pandangan Islam,
individulah yang penting dan bukan komunitas, masyarakat atau bangsa. Dia
berpendapat bahwa individu tidak dimaksudkan untuk melayani masyarakat,
melainkan masyarakatlah yang benar-benar harus melayani individu. Tidak ada
satu komunitas atau bangsa pun bertanggung jawab di depan Allah sebagai
kelompok; setiap anggota masyarakat bertanggung jawab di depan-Nya secara
individual. Alasan yang bebas dan tertinggi dari adanya sistem sosial adalah
kesejahteraan dan kebahagiaan individu, bukan kesejahteraan dan kebahagiaan
masyarakat. Dari sinilah ukuran yang benar dari suatu sistem sosial yang baik
adalah batas yang membantu para anggota masyarakat untuk mengembangkan
kepribadian mereka dan meningkatkan kemampuan personal mereka.
Berdasarkan hal itulah Islam tidak menyetujui ada organisasi sosial dan
rencana kesejahteraan sosial apa pun bila ia menekan individu-individu dan
mengikat mereka begitu kuat dengan otoritas sosial, sehingga kepribadian mereka
yang bebas akan hilang dan sebagian besar diantara mereka menjadi sekedar
mesin atau alat yang berada di tangan orang-orang lain yang berjumlah kecil.
Dalam bukunya, The Economic Enterprise in Islam, M.N. Siddq
menyatakan bahwa Islam memberikan kepercayaan sangat besar kepada
mekanisme pasar. Beberapa implikasi dari doktrin kebebasan ekonomi dalam
Islam tersebut, dalam kaitannya dengan pasar, dapat dibaca dalam pikiran-pikiran
Ibnu Taimiyyah sebagai berikut:
4
Muhammad, Qutb Ibrahim. Bagaimana Rasulullah Mengelola Ekonomi, Keuangan dan
Sistem Administrasi.(Jakarta: Gaung Persada Perss. 2007).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kebebasan Ekonomi dalam Islam diperbolehkan asal sesuai dengan Al-
Quran dam Hadis. Islam tidak melarang persaingan dalam perdagangan, tapi
persaingan itu harus sehat, tidak seperti ekonomi sosialis yang mengatur semua
perekonomian di tangan Negara sehingga persaingan tidak ada. Namun, tidak pula
mempersilakan persaingan sebebas-bebasnya atau dapat dikatakan tanpa campur
tangan pemerintah seperti ekonomi kapitalis. Karena ada hal yang tidak bisa
diatur oleh individu, melainkan harus di atur oleh pemerintah. Cita-cita dari
Ekonomi Islam adalah merealisasikan kekayaan, kesejahteraan hidup, dan
keuntungan umum bagi seluruh manusia. Dalam kebebasan ekonomi dalam Islam,
ditentukan ikatan-ikatan dengan tujuan merealisasikan dua hal:
1. Agar kegiatan ekonomi berdasarkan hukum menurut pandangan Islam.
2. Terjaminnya hak negara dalam ikut campur,baik untuk mengawasi
kegiatan ekonomi terhadap individu-individu maupun untuk mengatur atau
melaksanakan beberapa macam kegiatan ekonomi yang tidak mampu
ditangani oleh individu-individu atau tidak mampu mengeksploitasinya
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Kahff, Monzer. 1995. Ekonomi Islam: Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem
Ekonomi Islam. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.