BAB I PENDAHULUAN
1
Syirkah secara garis besar dibagi menjadi dua macam yaitu: syirkah amlak dan
syirkah uqud. Yang termasuk akad muamalah adalah syirkah uqud. Yang dimaksud akad
(perjanjian) untuk berkerja sama dalam urusan harta dan keuntungan (Wabah al-Zuhaili,
Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Juz IV, h. 794). Didalam
kitab al-Fiqh ala-Mazahib al-Arba'ah disebutkan juga pengertian syirkah abdan itu
bagian dari Syirkah Uqud.
1.3 Tujuan
Dapat Mengetahui Bagaimana Aplikasi Syirkah ‘Abdan Pada Masa Rasulullah
Dengan Masa Sekarang.
BAB II PEMBAHASAN
2
kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah
‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang besi (Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq
III/260). Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan
halal.
2.2 Implementasi Akad Syirkah Al-Abdan Pada Masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin
Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar.
Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa
pun.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Hal itu diketahui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan beliau membenarkannya
dengan taqrîr.
Aplikasi Syirkah ‘abdan dikehidupan masyarakat saat ini salah satunya ialah
seperti dua nelayan yang bekerjasama dan keduanya bersepakat melaut bersama untuk
mencari ikan. Mereka juga sepakat apabila memperoleh ikan yang akan dijual dan
hasilnya akan dibagi dengan ketentuan misalkan: pihak pertama sebesar 60% dan yang
kedua sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian,
tetapi boleh berbeda profesi. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan,
porsinya boleh sama atau tidak sama di antara syarik (mitra usaha). Jadi, boleh saja
syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan
bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal.(An-Nabhani, 1990: 150);
tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi
hutan (celeng).
3
2.4 Analisis Kedua Masa
Dari kedua masa tersebut penulis dapat menganalisis bahwa masing-masing pihak
dalam syirkah ‘abdan ini dapat membuat kesepakatan dan perjanjian diantara mereka
untuk membagi pekerjaan yang menjadi objek perkongsian, pembagian pekerjaan ini
tentunya disesuaikan dengan kemampuan pihak yang ikut berkongsi. Semua jenis
pekerjaan dan konsekuensinya dalam syirkah ‘abdan harus diketahui oleh para pihak yang
berkongsi. Pembagian tugas dan pekerjaan diantara anggota tidaklah harus sama, akan
tetapi disesuaikan oleh keahlian. Oleh karena itu, upah atau keuntungan dalam syirkah
‘abdan ini juga tidak harus sama. Akan tetapi disesuaikan dengan adil dan partisipasi.
Jenis pekerjaan yang dilakukan sesuai volume dan proporsi kerja.
Risiko pada syirkah ‘abdan biasanya ditanggung bersama pihak yang berkongsi.
Namun demikian apabila terjadi kerusakan atau rendahnya kualitas hasil pekerjaan yang
diakibatkan oleh kelalaian salah satu pihak atau anggota, maka anggota tersebut yang
bertanggung jawab atas resiko tersebut. Ulama berbeda pendapat mengenai syirkah
‘abdan, dari kalangan malikiyah, hanafiyah, hambaliyah dan zadiyyah berpendapat
bahwa syirkah ‘abdan hukumnya boleh, karena tujuan yang dicapai syirkah ini dalam
keuntungan modal berusaha. Dalam konteks ini, pada dasarnya perkongsian yang
dilakukan adalah perkongsian untuk menyewa jasa atau usaha (ijarah). Ulama
hambaliyah memperbolehkan syirkah ‘abdan dengan persyaratan: pertama adanya
kesamaan pekerjaan antara pihak yang berkongsi, meskipun dilakukan pada waktu dan
tempat yang berbeda. Kedua pihak yang terlibat harus mempunyai pekerjaan dan
keterampilan yang sama, terkecuali pekerjaan mereka yang terkait. Sebagai contoh
perkongsian kuli bangunan dengan tukang bangunan sebagai tembok serta dengan tukang
bangunan bagian penyetelan kerangka baja bangunan (Wahbah Al-Zuhaili sebagaimana
dikutip oleh Imam Mustofa, “Fiqih Muamalah... h.139-140).
Berdasarkan dari hasil analisis yang telah dilakukan terhadap kedua masa
tersebut, dapat dilihat dan disimpulkan bahwasanya kedudukan syirkah ‘abdan menurut
Imam Abu Hanafi hukumnya boleh dengan alasan syirkah ‘abdan bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan atau laba, serta untuk memupuk rasa kebersamaan atau tolong
4
menolong dan melatih seseorang bersifat jujur serta mendidik untuk berdisiplin dan
memberikan kebebasan dalam bekerja.
DAFTAR PUSTAKA
Masadi, Ghufron. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Setiawan, Deny . 2013. “Kerja Sama (Syirkah) Dalam Ekonomi Islam”. Jurnal Ekonomi,
Volume 21, Nomor 3.
Sholihin, Ahmad Ifham. 2010. Buku pintar: Ekonomi Syariah. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Deny Setiawan, “Kerja sama (Syirkah) Dalama Ekonomi Islam”, Jurnal Ekonomi,