Anda di halaman 1dari 6

AKAD MUSYARAKAH

A. Pengertian dan Jenis-jenis Akad Musyarakah


Musyarakah atau syirkah berasal dari akar kata syirkatan (mashdar/kata dasar)
dan syarika (fi'il madhi/kata kerja) yang berarti mitra/sekutu/kongsi/serikat. Secara
bahasa juga dapat bermakna al-ikhtilath yang berarti penggabungan atau
pencampuran.
Sehingga musyarakah atau syirkah dapat dimaknai sebagai akad kerjasama
antara dua pihak atau lebih untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dalam bisnis
maka tujuannya adalah untuk memperoleh profit dari usaha yang dikelola bersama.
Secara umum, syirkah dibedakan menjadi dua yaitu: 1)
syirkah amlak  (kepemilikan), dan 2) syirkah uqud (akad). Berikut penjelasan
terkait jenis-jenis syirkah sebagaimana diterangkan oleh Sayyid Sabiq dalam kitab
Fiqh Al Sunnah tersebut:
1.  Syirkah Amlak
Syirkah amlak adalah syirkah yang terjadi bukan karena akad, tetapi terjadi
karena usaha tertentu (ikhtiari) atau terjadi secara alami/otomatis (ijbari). Oleh
karena itu, syirkah amlakdibedakan lagi menjadi dua macam yaitu:
a. Syirkah amlak ikhtiari contoh hal akad hibah, wasiat, dan pembelian. Maka,
dalam syirkah amlak ikhtiari tidak terkandung akad wakalah dan akad
wilayah (penguasaan) dari salah satu syarik kepada syarik lainnya.
b. Syirkah amlak ijbari yaitu syirkah antara dua syarik atau lebih yang terjadi
karena peristiwa alami secara otomatis seperti kematian. Syirkah amlak ini
disebut ijbari (paksa/mutlak) karena tidak ada upaya dari para syarik untuk
mewujudkan peristiwa atau faktor yang menjadi sebab terjadinya
kepemilikan bersama. Misalnya kematian seorang ayah merupakan faktor
yang menyebabkan terjadinya pembagian harta di antara ahli waris.
2.  Syirkah Uqud
Syirkah Uqud adalah dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk
menggabungkan harta guna melakukan kegiatan usaha/bisnis, dan hasilnya
dibagi antara para pihak baik berupa laba maupun rugi.
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai Nisbah yang disepakati diawal akad,
seperti disepakati keuntungan dibagi 40 : 60, artinya untuk satu pihak 40% dan
pihak lainya 60%. Sedang Kerugian dibagi sesuai kontribusi yang diberikan

1
untuk usaha tersebut, jika berkonribusi dalam bentuk dana maka kerugiannya
dalam bentuk dana. Jika berkontribusi dalam bentuk Reputasi, maka
reputasinya yang dirugikan.
Dalam kitab Fiqih, syirkah uqud diklasifikasikan menjadi empat macam:
a. syirkah amwal inan,
b. syirkah amwal mufawadhah,
c. syirkah abdan,
d. syirkah wujuh.
Bahkan Ulama Hanafiah membagi syirkah uqud menjadi enam macam.
a. Syirkah amwal mufawadhah yaitu kemitraan modal usaha dari para syarik
dengan jumlah modal yang sama, 
b. Syirkah amwal inan yaitu kemitraan modal usaha dari para syarik dengan
jumlah modal yang berbeda,  
c. Syirkah abdan mufawadhah yaitu kemitraan keterampilan dari para syarik
sebagai modal usaha dengan kualitas keterampilan yang sama,  
d. Syirkah abdan inan yaitu kemitraan keterampilan dari para syarik sebagai
modal usaha dengan kualitas keterampilan yang berbeda, 
e. Syirkah wujuh mufawadhah kemitraan kredibilitas usaha atau nama
baik/reputasi (good will) dari para syariksebagai modal usaha dengan
kualitas kredibilitas yang sama, dan  
f. Syirkah wujuh inan kemitraan yaitu kredibilitas usaha atau nama
baik/reputasi (good will) dari para syariksebagai modal usaha dengan
kualitas kredibilitas yang berbeda.

B. Dasar Syari’ah
Dasar hukum Musyarakah yaitu: pertama; Al-Quran. Dalam Al-Quran
Allah SWT berfirman dalam surat Shaad ayat 24 yang artinya:
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian
mereka berbuat dhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal sholeh.” (Depag, 1997: 735-736).
T.M. Hasbi Ash Shidieqy (2000: 3505) menafsirkan bahwa kebanyakan
orang yang bekerjasama itu selalu ingin merugikan mitra usahanya, kecuali
mereka yang beriman dan melakukan amalan yang sholeh karena merekalah yang

2
tidak mau mendhalimi orang lain. Tetapi alangkah sedikitnya jumlah orangorang
seperti itu. Dan juga dalam surat An-Nisa’ ayat 12 yang artinya:
“Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang di buat
olehnya atau sesudah dibayarutangnya dengan tidak memberi madhorot (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah,
dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Penyantun.”(Depag, 1997: 117)
M. Quraish Shihab menerangkan bahwa bagian waris yang diberikan
kepada saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan yang lebih dari seorang,
maka bagiannya adalah sepertiga dari harta warisan, dan dibagi rata sesudah
wasiat dari almarhum ditunaikan tanpa memberi madhorot kepada ahli waris
(Shihab, 2002: 366). Dari kedua ayat diatas menunjukan bahwa Allah SWT
mengakui adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja surat Shaad
ayat 24 menyebutkan perkongsian terjadi atas dasar akad (ikhtiyari). Sedangkan
surat An-Nisa menyebutkan bahwa perkongsian terjadi secara otomatis (Jabr)
karena waris (Antonio, 1999: 130).
Kedua, adalah Hadis, dalam hadis dinyatakan sebagai berikut: “Dari Abu
Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT berfirman: Aku
adalah pihak ketiga dari dua orang yang sedang berserikat selama salah satu
dari keduanya tidak khianat terhadap saudaranya (temannya). Apabila diantara
mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka”(H.R Abu
Dawud), (As-Sidiqqy, 2001: 175)
Hadis ini menerangkan bahwa jika dua orang bekerja sama dalam satu
usaha, maka Allah ikut menemani dan memberikan berkah-Nya, selama tidak ada
teman yang mengkhianatinya. Koperasi akan jatuh nilainya jika terjadi
penyelewengan oleh pengurusnya. Inilah yang diperingatkan Allah SWT, bahwa
dalam berkoperasi masih banyak jalan dan cara yang memungkinkan untuk
berkhianat terhadap sesama anggotanya. Itulah koperasi yang dijauhi atau
diangkat berkahnya oleh Allah SWT, maka kejujuran harus diterapkan kembali.
Dengan melihat hadis tersebut diketahui bahwa masalah serikat (koperasi) sudah
dikenal sejak sebelum Islam datang, dan dimuat dalam buku-buku ilmu fiqh
Islam. Dimana koperasi termasuk usaha ekonomi yang diperbolehkan dan
termasuk salah satu cabang usaha.

3
Ketiga, Ijma’, Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni yang dikutip
Muhammad Syafi’i Antonio dalam bukunya Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik,
telah berkata: “Kaum muslimin telah berkonsesus terhadap legitimasi
musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan dalam beberapa elemen
darinya (Antonio, 2001: 91).

C. Penetapan Akad Nisbah dalam Musyarakah


1. Pembagian keuntungan proporsional sesuai modal
Dengan cara ini, keuntungan harus dibagi antara para mitra secara proporsional
sesuai modal yang disetorkan, tanpa memandang apakah jumlah pekerjaan
yang dilaksanakan oleh para mitra sama atau pun tidak sama. Apabila salah
satu pihak menyetorkan modal lebih besar maka pihak tersebut akan
mendapatkan proporsi laba yang lebih besar.
2. Pembagian keuntungan tidak proporsional dengan modal
Dengan cara ini, dalam penentuan nisbah yang dipertimbangkan bukan hanya
modal yang disetorkan, tapi juga tanggung jawab, pengalaman, kompetensi
atau waktu kerja yang lebih panjang.
Ibnu Qudamah pilihan dalam keuntungan dibolehkan dengan adanya kerja,
karena seorang dari mereka mungkin lebih ahli dalam bisnis dari lain dan ia
mungkin lebih kuat ketimbang yang lainnya dalam melaksanakan pekerjaan.
Karenanya ia diizinkan untuk menuntut lebih

D. Perlakuan Akuntansi (PSAK 106)


PSAK 106 mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan
transaksi musyarakah, tetapi tidak me tidak mencakup pengaturan perlakuan
akuntansi atas obligasi syariah (sukuk) yang menggunakan akad
musyarakah.Untuk pertanggungjawaban pengelolaan usaha musyarakah dan
sebagai dasar penentuan bagi hasil, maka mitra aktif atau pihak yang mengelola
usaha musyarakah harus membuat catatan akuntansi yang terpisah untuk usaha
musyarakah tersebut.
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan
ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian
berdasarkan porsi kontribusi dana. Dana tersebut meliputi kas atau aset nonkas

4
yang diperkenankan oleh syariah. PSAK 106 juga memberikan ketentuan
pengakuan akuntansi untuk mitra aktif dan mitra pasif, pada saat akad, selama
akad, dan saat akhir akad.
Pernyataan ini juga memberikan ketentuan minimum penyajian bagi mitra
aktif dan mitra pasif. Untuk mendukung transparansi pelaporan transaksi Mitra
mengungkapkan hal-hal yang terkait transaksi musyarakah, seperti isi
kesepakatan utama usaha musyarakah, pengelola usaha, dan pengungkapan sesuai
PSAK 101: Penyajian Laporan Keuangan.

Anda mungkin juga menyukai