Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Baitul Maal Wa Tamwil


Di susun guna memenuhi tugas matakuliah Manajmen Koprasi dan Baitul Maal Wa Tamwil
Dosen Pengampu Bapak Muhammad Hamzah,S. Pd.I. M. Pd.

Di susun oleh :

Ulin Ni’mah 43020200051


Aulia Nur Aini 430202002053
Muhammad Andika S 43020200080

PROGAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH

FAKULTAS DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan nikmat dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Baitul Maal Wa Tamwil”.
Penulisan makalah ini disusun berdasarkan kebutuhan mahasiswa yang tidak hanya kebutuhan
dalam proses pembelajaran namun juga diluar pembelajaran.

Makalah ini disusun berdasarkan pengetahuan dan referensi dari beberapa buku serta
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada
bapak dosen yang telah memberi banyak bimbingan dan kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan
sebaik mungkin.

Kami menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun susunan
dalam makalah ini, karenanya kritik dan saran yang sifatnya membangun kami harapkan dari
para pembaca. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan
bagi penulis khususnya.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Salatiga, 27 November 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

BAB I ......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
Latar Belakang ....................................................................................................................... 4
Rumusan Masalah .................................................................................................................. 5
Tujuan Masalah ...................................................................................................................... 5
BAB II........................................................................................................................................ 6
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 6
Konsep Baitul Maal Wa Tamwil ............................................................................................ 6
Badan Hukum Baitul Maal Wa Tamwil ................................................................................. 8
Strategi pengembangan Baitul Maal Wa Tamwil ................................................................ 12
BAB III .................................................................................................................................... 14
PENUTUP................................................................................................................................ 14
Kesimpulan........................................................................................................................... 14
Saran ..................................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Baitul Maal wat Tamwil adalah lembaga keuangan dengan konsep syariah yang lahir
sebagai pilihan yang menggabungkan konsep maal dan tamwil dalam satu kegiatan lembaga.
Konsep maal lahir dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat muslim dalam hal
menghimpun dan menyalurkan dana untuk zakat, infak dan shadaqah (ZIS) secara produktif.
Sedangkan konsep tamwil lahir untuk kegiatan bisnis produktif yang murni untuk mendapatkan
keuntungan dengan sektor masyarakat menengah ke bawah (mikro). Kehadiran BMT untuk
menyerap aspirasi masyarakat muslim di tengah kegelisahan kegiatan ekonomi dengan prinsip
riba, sekaligus sebagai supporting funding untuk mengembangkan kegiatan pemberdayaan
usaha kecil dan menengah. Kehadiran lembaga keuangan mikro syariah yang bernama Baitul
Maal wa Tamwil (BMT) dirasakan telah membawa manfaat finansil bagi masyarakat, terutama
masyarakat kecil yang tidak bankable dan menolak riba, karena berorientasi pada ekonomi
kerakyatan.

Kehadiran BMT di satu sisi menjalankan misi ekonomi syariah dan di sisi lain
mengemban tugas ekonomi kerakyatan dengan meningkatkan ekonomi mikro, itulah sebabnya
perkembangan BMT sangat pesat di tengah perkembangan lembaga keuangan mkro
konvensional lainnya. Namun, perkembangan BMT ini tidak diikuti dengan pengaturan dan
landasan hukum yang jelas. BMT memiliki karakteristik yang khas jika dibandingkan dengan
lembaga keuangan lain yang ada, karena selain memiliki misi komersial (Baitut Tamwil) juga
memiliki misi sosial (Baitul Maal), oleh karenanya BMT bisa dikatakan sebagai jenis lembaga
keuangan mikro baru dari yang telah ada sebelumnya. Beberapa BMT mengambil bentuk
hukum koperasi, namun hal ini masih bersifat pilihan, bukan keharusan.

BMT dapat didirikan dalam bentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) ataupun
dapat juga berbentuk badan hukum koperasi. Sebelum menjalankan usahanya, KSM harus
mendapatkan sertifikat dari PINBUK dan PINBUK harus mendapatkan pengakuan dari Bank
Indonesia sebagai Lembaga Pengembang Swadaya Masyarakat (LPSM) yang mendukung
Program Proyek Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat yang dikelola oleh

4
Bank Indonesia (PHBK-BI). Sejak awal kelahirannya sampai dengan saat ini, legalitas BMT
belum ada, hanya saja banyak BMT memilih badan hukum koperasi.

BMT yang sudah ada saat ini kebanyakan adalah berbadan hukum koperasi dengan
skala usaha kecil menengah dan cakupan luas usaha meliputi beberpa kota/kabupaten, bahkan
lintas propinsi. Namun, dengan pengaturan BMT sebagai LKM3 sebagaimana dalam UU No.
1 Tahun 2013, keluasan cakupan usaha BMT menjadi dibatasi. Bila ingin melebarkan usahanya
ke kota atau kabupaten lain, maka BMT harus bertransformasi menjadi bank. Dengan
demikian, maka yang memiliki kewenangan atas pengawasan berubah dari Kementrian
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menjadi Otoritas Jasa Keuangan. Perubahan
pengawasan ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi BMT, sekaligus menjadi celah hukum,
bila pengawasan BMT masih tetap berada di bawah pengawasan Kementrian Koperasi dan
UKM.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep Baitul Maal Wa Tamwil?


2. Bagaimana badan hukum Baitul Maal Wa Tamwil?
3. Bagaimana strategi pengembangan Baitul Maal Wa Tamwil?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk megetahui konsep Baitul Maal Wa Tamwil


2. Untuk mengetahui badan hukum Baitul Maal Wa Tamwil
3. Untuk Mengetahui bagaimana strategi pengembangan Baitul Maal Wa Tamwil

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Baitul Maal Wa Tamwil

BMT adalah kependekan dari kata Baitul Maal wat Tamwil, yaitu Lembaga Keuangan
Mikro (LKM) yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. BMT adalah lembaga
ekonomi atau keuangan syariah non perbankan yang sifatnya informal. Disebut informal
karena lembaga ini didirikan dari Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang berbeda
dengan lembaga kuangan perbankan dan lembaga keuangan formal lainnya. BMT selain
memiliki sifat informal, BMT didefinisikan sebagai Balai Usaha Mandiri Terpadu, yaitu
lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuh
kembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela
kepentingan kaum fakir miskin.

BMT sesuai namanya terdiri dari dua fungsi, yaitu:

1. Baitul Maal (rumah harta), yaitu menerima titipan dana zakat, infak, dan sedekah serta
mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
2. Baitul Tamwil (rumah pengembang harta), yaitu melakukan kegiatan pengembangan
usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha
mikro dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang
pembiayaan kegiatan ekonomi.

Menurut Arief Budiharjo, Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) adalah: Kelompok swadaya
masyarakat (KSM) sebagai lembaga ekonomi rakyat yang berupaya mengembangkan usaha-
usaha produktif dan investasi dengan sistem bagi hasil untuk meningkatkan kualitas ekonomi
pengusaha kecil-bawah dalam rangka pengentasan kemiskinan.1

Dari beberapa pengertian BMT dapat diambil kesimpulan, bahwasannya BMT adalah
suatu lembaga keuangan non perbankan dengan basic syari’ah sebagai lembaga yang berupaya
mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dengan sistem bagi hasil bertujuan untuk
meningkatkan perekonomian masyarakat kecil yang disebut baitul tanwil. Selain berfungsi

http://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/123456789/4827/06bab2_Ira%20Siti%20Rohmah%20Maulida_1
0010209066_skr_2016.pdf?sequence=6&isAllowed=y Diakses pada 27 November pukul 19.50

6
sebagai penyalur dana, BMT merupakan tempat pengumpulan harta seperti zakat, infak dan
shadaqah yang disebut baitul maal. Maka dari itu BMT pegabungan dari dua jenis kegiatan
yaitu baitul tamwil dan baitul maal. Usaha-usaha tersebut menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari dengan berlandaskan Islam.

Atas landasan pengertian BMT, maka BMT memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut:

1. Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan ekonomi paling


banyak untuk anggota dan kesejahteraannya.
2. Bukan lembaga sosial tetapi dapat dimanfaatkan untuk mengefektifkan penggunaan
zakat, infak, dan sedekah bagi kesejahteraan orang banyak.
3. Ditumbuhkan dari bawah berlandaskan peran serta masyarakat di sekitarnya.
4. Milik bersama masyarakat kecil bawah dan kecil dari lingkungan BMT itu sendiri,
bukan milik orang seorang atau orang dari luar masyarakat itu.

Selain ciri utama BMT, dalam buku Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat


disebutkan ciri khas BMT sebagai berikut:

1. Staf dan karyawan BMT bertindak aktif, dinamis, berpandangan produktif, tidak
menunggu tetapi menjemput nasabah, baik sebagai penyetor dana maupun sebagai
penerima pembiayaan usaha.
2. Kantor dibuka dalam waktu tertentu dan ditunggui oleh sejumlah staf yang terbatas,
karena sebagian besar staf harus bergerak di lapangan untuk mendapatkan nasabah
penyetor dana, memonitor dan mensupervisi usaha nasabah.
3. BMT mengadakan pengajian rutin secara berkala yang waktu dan tempat-tempatnya
biasanya di madrasah, masjid atau mushola ditentukan sesuai dengan kegiatan nasabah
dan anggota BMT.
4. Manajemen BMT diselenggarakan secara profesional dan Islami. Dari beberapa
pengertian BMT dan ciri-ciri BMT dapat disimpulkan bahwa:
5. BMT merupakan kegiatan mengumpulkan atau menghimpun dana dari berbagai
sumber ( zakat, infak, sedekah, dan lain – lain ) atau dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan dalam rangka
meningkatkan taraf hidup masyarakat ekonomi rendah.
6. BMT merupakan lembaga dengan kegiatan yang produktif karena menciptakan nilai
tambah baru bagi pengusaha kecil atau bawah yang membutuhkan modal agar
mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat bawah.

7
B. Badan Hukum Baitul Maal Wa Tamwil

Dari awal keberadaan BMT sampai dengan saat ini tunduk pada beberapa peraturan
perundang-undangan. Hal ini disebabkan karakteristik BMT berbeda dengan lembaga
keuangan mikro lainnya. BMT memiliki fungsi sosial sekaligus profit sebagai lembaga
keuangan, sehingga membutuhkan aturan yang bersifat spesifik sesuai dengan karakteristik
yang dimiliki BMT. Sebagaimana disampaikan oleh Rahmat Riyadi dari Dompet Dhuafa yang
selama ini telah membina 155 BMT, bahwa „kendala yang dihadapi BMT dari aspek hukum
adalah regulasi yang belum lengkap. Menurutnya karena BMT bergerak di wilayah yang tidak
dibatasi dengan sistem yang ketat, dan bergerak dalam sektor nonformal sepeti koperasi, maka
perkembangan lembaga ini lebih pesat tetapi untuk jangka panjang harus disistematisir.2

BMT dikepung oleh beberapa peraturan yang menaunginya, sesuai dengan bentuk
badan hukum BMT itu sendiri. Sampai saat ini BMT ada yang telah berbadan hukum dan ada
pula yang belum berbadan hukum. BMT yang berbadan hukum, pada umumnya menggunakan
badan hukum yayasan dan koperasi. Sedangkan BMT yang belum berbadan hukum pada
umumnya menggunakan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat). Dan ada beberapa BMT
yang tidak diketahui bentuk hukumnya.3

Status Badan Hukum dan Pengawasan BMT Sebelum Undangundang No. 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro BMT yang berstatus badan hukum koperasi, tunduk
pada peraturan perundang-undangan :

1. Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Koperasi yang telah diubah menjadi
Undang-Undang No. 17 Tahun Tahun 2012 tentang Perkoperasian,
2. Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam oleh koperasi.
3. Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor
91/Kep/M. KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi
Jasa Keuangan Syari‟ah.

2
Rahmat Riyadi, Konsep dan Stategi pemberdayaan LKMS di Indonesia, makalah disampaikan pada Seminar
Nasional Kontribusi Hukum dalam Pemberdayaan LKMS, Fakultas Hukum Undip, Semarang, 18 Desember
2007.hal. 8.
3
Neni Sri Imaniyati, Aspek-Aspek Hukum BMT, Bandung, Citra Adtya Bakti, 2010), hlm. 99- 101

8
a. Secara teknis mengenai penerapan akad mudharabah dalam bentuk pembiayaan
diatur dalam Fatwa DSN MUI No. 07/DSNMUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Mudharabah (Qiradh)
b. Secara teknis mengenai penerapan akad musyarakah dalam produk pembiayaan
diatur dalam Fatwa DSN MUI No. 08/DSNMUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Musyarakah.
c. Secara teknis mengenai implementasi akad murabahah diatur dalam Fatwa DSN
MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah,
d. Secara teknis mengenai implementasi akad salam, tunduk pada Fatwa DSN MUI
No. 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam,
e. Secara teknis mengenai implementasi akad istishna, tunduk pada Fatwa DSN MUI
No. 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna.
f. Secara teknis mengenai penerapan akad ijarah tunduk pada Fatwa DSN MUI No.
09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
g. Secara teknis mengenai implementasi Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT) ini
tunduk pada ketentuan Fatwa DSN MUI No. 27/DSNMUI/III/2002 tentang Al-
Ijarah Al-Mutahiyah bi Al-Tamlik. h. Secara teknis mengenai pembiayaan qardh
ini tunduk pada Fatwa DSN MUI No. 19/DSN-MUI/IX/2000 tentang al Qardh.
4. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
35.2/Per/M.KUKM/X/2007 tentang Pedoman Standar Operasional Manajemen
Koperasi Jasa Keuangan Syari‟ah, dan
5. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
39/Per/M.KUKM/XII/2007 tentang Pedoman Pengawasan Koperasi Jasa Keuangan
Syari‟ah dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi.

Apabila dianalisis lebih mendalam, eksistensi kelembagaan atas status badan hukum
BMT sebagai Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) yang tunduk kepada UU No. 25 Tahun
1992 tentang Perkoperasian dan telah diubah menjadi Undang-Undang No. 17 Tahun 2012
tentang Perkoperasian yang selanjutnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan
kembali pada undang-undang yang lama yaitu Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, masih belum mampu mengakomodir keberadaan BMT sebagai salah satu

9
lembaga keuangan yang melayani kebutuhan masyarakat. Hal ini disebabkan, BMT berbeda
dengan koperasi jenis koperasi pada umumnya.4

Karena BMT dilaksanakan dengan prinsip syariah yang berbeda dengan koperasi
konvensional dan dalam BMT terdapat misi sosial sebagai Baitul Maal yang tidak bisa
dipaksakan tunduk sepenuhnya pada undang-undang koperasi.

Eksistensi kelembagaan BMT sebenarnya telah diakomodir dengan adanya undang-


undang koperasi yang baru, yaitu Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian,
di mana dalam undang-undang ini disebutkan adanya pengelolaan koperasi dengan
menggunakan prinsip syariah, sebagaimana diatur dalam Pasal 87 Ayat (3), bahwa “Koperasi
dapat menjalankan usaha atas dasar prinsip ekonomi syariah”, selanjutnya dalam Pasal 87 Ayat
(4), bahwa “Ketentuan mengenai Koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Peraturan pemerintah yang selanjutnya mengatur BMT adalah Keputusan Menteri


Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M. KUKM/IX/2004 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syari‟ah, Peraturan Menteri
Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah 35.2/Per/M.KUKM/X/2007 tentang
Pedoman Standar Operasional Manajemen Koperasi Jasa Keuangan Syari‟ah.

Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah


39/Per/M.KUKM/XII/2007 tentang Pedoman Pengawasan Koperasi Jasa Keuangan Syari‟ah
dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi. Namun dengan dibatalkannya Undang-Undang No.
17 Tahun 2012 tentang perkoperasian, pengaturan tentang koperasi yang berlandaskan prinsip
syariah dihapuskan dan kembali pada Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian yang sama sekali tidak mengatur tentang koperasi yang berlandaskan prinsip
syariah. 5

Pengawasan dalam BMT yang berbadan hukum Koperasi Jasa Keuangan Syariah
(KJKS) tunduk pada Peraturan Menteri Koperasi dan UKM Nomor
39/Per/M.KUKM/XII/2007 tentang Pedoman Pengawasan Koperasi Jasa Keuangan Syariah
dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi. Pengawasan BMT yang berbadan hukum koperasi

4
Novita Dewi Masyitoh, Analisis Normatif UU NO.1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
Atas Status Badan Hukum Dan Pengawasan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), Jurnal Conomica, Vol.5, 2014,
hlm. 4
5
Ibid, hlm . 10

10
dilakukan oleh Kementrian Koperasi dan UKM di mana domisili BMT berada, apabila di
tingkat kota dilakukan oleh Dinas Koperasi dan UKM Kota/Kabupaten, sedangkan bila di
tingkat provinsi, maka dilakukan oleh Dinas Koperasi dan UKM Provinsi.

Status Badan Hukum dan Pengawasan BMT Sebelum undangUndang No. 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. BMT dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok,
bila dilihat dari status badan hukumnya, yaitu:

1. BMT yang berbadan hukum koperasi dalam bentuk Koperasi Jasa Keuangan Syariah dan
tunduk pada Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, yang
selanjutnya dalam kegiatan usahanya tunduk pada :
a. Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor
91/Kep/M. KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Koperasi Jasa Keuangan Syari‟ah,
b. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
35.2/Per/M.KUKM/X/2007 tentang Pedoman Standar Operasional Manajemen
Koperasi Jasa Keuangan Syari‟ah, dan
c. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
39/Per/M.KUKM/XII/2007 tentang Pedoman Pengawasan Koperasi Jasa
Keuangan Syari‟ah dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi,
2. BMT sebagai badan usaha milik yayasan dan tunduk pada UndangUndang No. 25 Tahun
1992 tentang Koperasi sekaligus pada UndangUndang No. 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. 6
3. BMT yang masih berbentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan tunduk pada
Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat. Apabila dilihat dari
ketiga kelompok karakteristik BMT.

Berdasarkan status badan hukumnya tersebut, maka dengan diberlakukannya


UndangUndang No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, BMT dapat dikatakan
sebagai salah satu lembaga keuangan mikro bila memiliki status badan hukum koperasi,
sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.

6
Ibid, hlm.11

11
C. Strategi pengembangan Baitul Maal Wa Tamwil

Meskipun perkembangan usaha BMT masih sangat kecil dibandingkan dengan


lembaga keuangan formal lainnya seperti perbankan, namun sebagian masyarakat masih
menganggap penting peran BMT sebagai salah satu alternatif pembiayaan untuk sektor
UMKM. BMT sesungguhnya mempunyai kekuatan untuk bersaing karena BMT memiliki
karakteristik dan ciri yang khas sebagai lembaga keuangan syari’ah non bank yang
menawarkan transaksi-transaksi bisnis dan semuanya dilakukan atas dasar bagi hasil. BMT
dapat melayani segmen pasar yang tidak digarap oleh perbankan yakni nasabah feasible namun
tidak bankable.

Produk-produk jasa, pelayanan kredit dan simpanan dana masyarakat ditujukan untuk
membangun sistem ekonomi yang berakar kepada keadilan dan berbasis keumatan.
Kemudahan proses pembiayaan dan pelayanan kepada nasabah yang lebih mengutamakan
suatu pendekatan kemitraan dan kesejajaran menyangkut hak-hak dan kewajiban antara
karyawan dan nasabah., membuat BMT memiliki kedekatan yang lebih baik dengan nasabah
UMKM dibandingkan perbankan. Oleh karena itu pengembangan usaha BMT sebagai
alternatif pilihan bagi UMKM dalam mengakses pendanaan, penting untuk dilakukan.

Adapun strategi yang dapat dilakukan oleh BMT untuk meningkatkan perannya
terhadap perekonomian sehingga dapat meningkatkan daya saing BMT pada sektor jasa
keuangan adalah, pertama, meningkatkan kemampuan SDM di bidang koperasi dan UMKM
melalui diklat, pelatihan dan pengembangan. Kedua, meningkatkan penguatan manajemen
usaha koperasi, khususnya dalam hal standar prosedur dan kesehatan koperasi. Ketiga,
melakukan edukasi kepada masyarakat terkait lembaga keuangan syariah, khususnya LKMS
maupun KSPPS/BMT. Keempat, bekerja sama dengan para tokoh masyarakat untuk
mensosialisasikan KSPPS/ BMT sebagai sumber pembiayaan yang aman, mudah, dan bebas
dari unsur riba. BMT bukan hanya lembaga keuangan komersial, namun juga merupakan
lembaga keuangan yang bergerak di bidang sosial melalui penyaluran zakat infaq dan sedekah,
yang merupakan ciri khas BMT dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya. Kelima,
memperkuat permodalan melalui wakaf yang disalurkan melalui BMT dengan melibatkan
pemuka agama maupun otoritas untuk mendorong masyarakat menyalurkan zakat, infaq dan
sodaqoh melalui BMT.

12
Selain itu, BMT juga memerlukan dukungan dari pemerintah dan otoritas terkait untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang tidak bisa diselesaikan oleh BMT sendiri.
Dukungan yang dapat dilakukan, pertama, pemerintah dapat bekerjasama dengan universitas
untuk menyiapkan SDM yang memiliki kompetensi di bidang jasa keuangan syariah. Misalnya,
Universitas Islam Negeri (UIN) di seluruh daerah membuka program studi khusus jasa
keuangan syariah (level D3) yang lulusannya siap bekerja di sektor jasa keuangan syariah
seperti perbankan syariah, lembaga pembiayaan syariah, lembaga keuangan mikro syariah
maupun koperasi syariah. Selain mendapatkan ijasah, lulusan program tersebut mendapatkan
sertifikat sebagai pengawas koperasi syariah.

Hal ini perlu dilakukan mengingat jumlah pengawas syariah yang memiliki sertifikasi
masih sangat sedikit. Kedua, pemerintah perlu memperbaiki sistem pembinaan dan
pengawasan koperasi baik pengawasan dalam sisi kesehatan maupun kepatuhan operasional
koperasi. Penguatan otoritas pembina dan pengawas koperasi ini menjadi sangat penting karena
koperasi mengelola dana masyarakat. Pemerintah dapat membentuk otoritas pengawas baru
atau dilimpahkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan adanya otoritas pembinaan dan
pengawasan yang baik, maka penyelenggaraan usaha koperasi, khususnya BMT dapat lebih
prudent. Ketiga, pemerintah perlu bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk
mempermudah proses sertifikasi untuk Dewan Pengawas Syariah (DPS) sehingga tersedia
SDM-SDM yang memiliki kompetensi dan bersertifikat. koperasi maupun KSPPS/BMT.
Keempat, Pemerintah perlu membantu mempermudah permodalan LKMS maupun
KSPPS/BMT dengan biaya yang murah melalui dana bergulir yang saat ini ada namun dengan
persyaratan yang lebih mudah.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

BMT merupakan lembaga jasa keuangan yang memiliki peran penting sebagai
alternatif pembiayaan bagi UMKM selain dari perbankan. Namun saat ini BMT masih
memiliki banyak kelemahan-kelemahan untuk dapat mengembangkan kegiatan usahanya.
Permasalahan permodalah merupakan permalahan utama yang dihadapi BMT. Selain itu juga
lemahnya sistem pengawasan BMT, kurangnya SDM yang memiliki kompetensi di bidang
perkoperasian syariah menjadi permasalahan yang harus segera diselesaikan. Pemahaman
masyarakat akan sistem keuangan syariah yang masih sangat rendah dan peran sebagai Baitul
Maal atau peran penitipan dana zakat, infak dan sedekah yang juga masih sangat rendah perlu
bekerjasama dengan pihak-pihak terkait untuk menyelesaikannya. Untuk itu diperlukan adanya
strategi pengembangan BMT baik yang dilakukan oleh BMT sendiri maupun pemerintah atau
otoritas terkait.

Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan


Mikro, maka status badan hukum BMT sebagai lembaga keuangan mikro hanya dapat
berbentuk koperasi atau perseroan terbatas. Bila berbentuk koperasi, maka tunduk pada
Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan pengawasan berada di bawah
Kementrian Koperasi dan UKM. Dan jika berbadan hukum perseroan terbatas, maka
pengawasan dilakukan Otoritas Jasa Keuangan dan tunduk pada Undang-Undang No. 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Dengan adanya penguatan baik yang dilakukan oleh BMT sendiri maupun dengan
dukungan dari pemerintah dan otoritas terkait, diharapkan cita-cita koperasi, khususnya BMT,
sebagai soko guru perekonomian bangsa Indonesia dapat terwujud.

14
B. Saran

Kami memohon maaf atas segla kekhilafan dan kekurangan dalam peulisan makalah
ini dan senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini lebih
bermanfaat dan lebih baik kualitasnya dimasa mendatang. Dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca serta pemakalah.

15
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/123456789/4827/06bab2_Ira%20Siti%20Roh
mah%20Maulida_10010209066_skr_2016.pdf?sequence=6&isAllowed=y Diakses pada
27 November pukul 19.50
Neni. 2010. Aspek-Aspek Hukum BMT, Bandung:Citra Adtya Bakti,.
Novita Dewi Masyitoh. 2014. Analisis Normatif UU NO.1 Tahun 2013 Tentang Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) Atas Status Badan Hukum Dan Pengawasan Baitul Maal Wa
Tamwil (BMT), Jurnal Conomica.
Otoritas Jasa Keuangan. 2017. Roadmap Pengembangan Keuangan Syariah Indonesia 2017-
2019, Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan.
Rahmat Riyadi, Konsep dan Stategi pemberdayaan LKMS di Indonesia, makalah disampaikan
pada Seminar Nasional Kontribusi Hukum dalam Pemberdayaan LKMS, Fakultas Hukum
Undip, Semarang.
Ridwan, M. 2005. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), Yogyakarta: UII Press

16

Anda mungkin juga menyukai