Anda di halaman 1dari 12

BAB III

ANALISIS MASALAH

A. Upaya yang dapat dilakukan Wajib Pajak Atas Imbalan Bunga dari

Kelebihan Bayar.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 14, Undang-undang Nomor 6 Tahun

1983 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, bahwa yang dimaksud

dengan Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi : Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Tambahan atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak

Nihil.

Terhadap penerbitan Surat Ketetapan Pajak, wajib pajak dapat melakukan

upaya dalam rangka untuk membela haknya dalam arti wajib pajak dapat

membuktikan bahwa telah menyelenggarakan kewajibannya secara benar dan

dapat mempertanggung jawabkan kebenaran isi Surat Pemberitahuan (SPT) baik

masa maupun tahunan atau karena temuan data fisik oleh Pejabat Direktorat

Jenderal Pajak mengenai pelaporan pajak Wajib Pajak.

Upaya yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atas penerbitan Surat

Ketetapan Pajak adalah Keberatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1),

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan, yang berbunyi sebagai berikut :

29
30

“Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat

Jenderal Pajak atas suatu :

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;

c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;

d. Surat Ketetapan Pajak Nihil;

e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan”

Pengertian keberatan merupakan upaya hukum biasa yang diperuntukkan

bagi wajib pajak untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran terhadap perbuatan

hukum yang dilakukan oleh pejabat pajak dalam melakukan penagihan pajak

sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang Ketentuan Umum

Perpajakan. Demikian pula terhadap perbuatan hukum dari pemotong atau

pemungutan pajak sebagaimana ditentukan dalam undang-undang Ketentuan

Umum Perpajakan.13

Dasar pengajuan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1)

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan, tersebut diatas, maka pada kalimat “suatu” dalam kutipan pasal diatas

berarti bahwa satu keberatan hanya diajukan untuk satu jenis pajak dan satu tahun

pajak saja, untuk jenis pajak lain atau tahun pajak lain menggunakan pengajuan

keberatan lain pula.

13 ?
Muhammad Djafar Saidi. 2007. Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian
Sengketa Pajak. 4. Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada. hlm 167.
31

Adapun prosedur dan atau tata cara penyelesaian keberatan adalah sebagai

berikut :

1. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan

menyebutkan jumlah pajak terutang atau jumlah pajak yang dipotong,

dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan wajib pajak dengan

disertai alasan-alasan keberatannya secara jelas ( Pasal 25 ayat (2) );

2. Wajib pajak mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam

jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat ketetapan, tanggal

pemotongan atau pemungutan (Pasal 25 ayat (3) );

3. Surat Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak akan dianggap

sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan (Pasal 25 ayat (4)

);

4. Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat di

Direktur Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman

Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat

Keberatan bagi kepentingan wajib pajak (Pasal 25 ayat (5) );

5. Pengajuan Keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan

pelaksanaan penagihan pajak (Pasal 25 ayat (7) );

6. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak

tanggal Surat Keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan

yang diajukan (Pasal 26 ayat (1) );

Keputusan yang diambil Direktur Jenderal Pajak dapat berupa :


32

a. Tidak dapat menerima Keberatan, hal ini disebabkan Surat Keberatan

tidak memenuhi syarat-syarat formal;

b. Menolak seluruhnya Keberatan, bila Wajib Pajak tidak dapat

membuktikan ketidak benaran Ketetapan Pajak atau pemotongan

maupun pemungutan pajak oleh pihak ketiga dan tidak ada alasan-

alasan kuat tentang keberatannya;

c. Menolak sebagian Keberatan, yang dalam hal seperti ini juga berarti

menerima sebagian, dengan menyebutkan alasan-alasan penolakannya;

d. Menerima atau mengabulkan seluruh Keberatan;

e. Menambah jumlah pajak yang terutang, hal ini terjadi bila ditemukan

informasi dan/atau keterangan baru yang dapat menambah jumlah pajak

terutang;

7. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan tidak ada keputusan,

maka Keberatan tersebut dianggap diterima;

8. Apabila pengajuan keberatan diterima sebagian atau seluruhnya, kelebihan

pembayaran pajak dikembalikan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua

persen) sebulan maksimal 24 (dua puluh empat) bulan.

Kemudian upaya yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak dalam mencari

keadilan adalah keberatan, dan apabila permohonan keberatan Wajib Pajak

“ditolak” dengan disertai diterbitkannya “Surat Keputusan Keberatan” oleh

pejabat Direktorat Jenderal Pajak.


33

Pengertian Surat Keputusan Keberatan diatur dalam Pasal 1 angka 30

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009, yang berbunyi sebagai berikut :

“Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan

terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan

oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.”

Adapun upaya lain yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak, apabila Surat

Permohonan Keberatan yang diajukan Wajib Pajak “ditolak” baik seluruhnya atau

sebagian oleh Pejabat Direktur Jenderal Pajak, yakni wajib pajak dapat

mengajukan Banding.

Pengertian Banding diatur dalam Pasal 1 angka 6, Undang-undang Nomor

17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak sebagaimana telah

diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak,

yang berbunyi sebagai berikut :

“Banding adalah upaya yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau

Penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding,

berdasarkan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.”

Apabila wajib pajak tetap merasa belum puas terhadap Keputusan

keberatan yang telah dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Artinya terhadap

surat keputusan Keberatan yang diterbitkan, maka Wajib Pajak masih diberikan

kesempatan untuk mengajukan upaya lain yaitu upaya hukum biasa yang disebut

Banding14.

Adapun prosedur dan/atau tata cara pengajuan banding sebagai berikut :


14 ?
Wirawan B. Ilyas Richard Burton. Hukum Pajak. 3. Jakarta. Salemba Empat. hlm. 78.
34

1. Wajib Pajak hanya dapat mengajukan Banding kepada Badan Peradilan Pajak,

terhadap Keputusan berkenaan dengan keberatannya yang ditetapkan oleh

Direktur Jenderal Pajak (Pasal 27 ayat (1) UU KUP)

2. Permohonan Banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai

alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan

diterima dengan dilampiri salinan Surat Keputusan tersebut (Pasal 27 ayat (3)

UU KUP);

3. Pengajuan Banding tidak menunda kewajiban pembayaran pajak (Pasal 27 ayat

(5) UU KUP);

4. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pengadilan Pajak, merupakan putusan

akhir dan bersifat tetap;

5. Apabila permohonan Banding diterima sebagian atau seluruhnya maka

kelebihan pembayaran dikembalikan dengan imbalan bunga sebesar 2% (dua

persen) sebulan Maksimal 24 (dua puluh empat) bulan;

6. Apabila permohonan Banding ditolak sebagian atau seluruhnya maka Wajib

Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda 100% (seratus persen) dari

jumlah pajak yang tertera.

B. Pertimbangan Hakim Menolak Imbalan Bunga Kelebihan Bayar (PUT-

002516.99/2020/PP/MXIIB).

Dalam menjalankan tugas dan fungsi kekuasaannya, seorang hakim

dituntut untuk dapat bersifat netral dan tidak mudah terpengaruh oleh pendapat

dari masing-masing pihak yang bersengketa, agar terselenggaranya Kekuasaan

Kehakiman yang merupakan wujud perpanjangan tangan dari penyelenggaraan


35

Negara Hukum Republik Indonesia yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan

keadilan berdasarkan Pancasila, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-

undang Nomor 4 Tahun 2004 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-

undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi

sebagai berikut :

“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia.”

Kemudian bahwa semua badan peradilan di Indonesia mempunyai

wewenang dan terhadap masing-masing bidang merupakan peradilan Negara yang

ditetapkan berdasarkan Undang-undang, sebagaimana termaktub dalam Pasal 3

ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 sebagaimana diubah terakhir

dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kompetensi Badan Peradilan Pajak diatur dalam Undang-undang Nomor

17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, sebagaimana telah

diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak,

termasuk dalam :

Pasal 2 yang menyebutkan bahwa :

”Pengadilan pajak adalah peradilan yang melaksanakan kekuasaan

kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan

terhadap sengketa pajak.”

Pasal 31 yang menyebutkan pula bahwa :


36

”Pengadilan mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus

sengketa pajak.”

Sehingga dalam hal ini, dapat disimpulan bahwa Pengadilan Pajak

berkompetensi penuh terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dalam

menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan sengketa-sengketa yang

timbul dibidang perpajakan.

Dalam Sengketa Pajak Nomor : PUT-002516.99/2020/PP/MXIIB Tahun

2020, adapun dasar hukum yang dianalisis dan diterapkan oleh Majelis Hakim

Pengadilan Pajak dalam memutus dan menyelesaikan sengketa perpajakan ini,

yaitu Pasal 43 ayat (5) huruf b Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 tentang

Imbalan Bunga.

Bahwa sesuai dengan Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT-


002516.99/2020/PP/MXIIB Majelis berpendapat yaitu :
1. Menurut Majelis, yang menjadi sengketa gugatan ini adalah

penolakan Tergugat atas permohonan imbalan bunga oleh Tergugat

dengan mendasarkan pada dasar hukum yang disampaikan oleh

Tergugat, sementara Penggugat menyatakan seharusnya imbalan

bunga diberikan dengan mendasarkan pada dasar hukum yang

dismpaikan oleh Penggugat;

2. Menurut Majelis, sengketa gugatan ini berkaitan dengan yuridis;

3. Menurut Majelis, yang harus dibahas dalil Tergugat maupun dalil

Penggugat;

4. Menurut Majelis, Tergugat mendasarkan pada ketentuan Pasal 43 ayat

(5) huruf b PP 74 Tahun 2011 yang merupakan atribusi dari Pasal 48


37

Undang-undang KUP, sebagaimana dimuat dalam dictum menimbang

pada huruf b.

5. Menurut Majelis, Penggugat mendasarkan pada ketentuan sebagai

berikut :

a. Pasal 11 dan Pasal 27A Undang-undang KUP;

b. Pasal 44 PP No. 74 Tahun 2011;

c. Pasal 2 dan Pasal 11 Peraturan Menteri Keuangan Nomor :

226/PMK.03/2013 tanggal 01 Januari 2014 tentang Tata Cara

Perhitungan dan Pemberian imbalan bunga yang menjadi

sengketa.

7. Menurut Majelis, Penggugat menyatakan, pengaturan dalam Pasal

27A Undang-Undang KUP telah tegas dan jelas mengatur tentang

pemberian imbalan bunga yang menjadi sengketa.

8. Menurut Majelis, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU

nomor 12 Tahun 2011 mengatur bahwa jenis dan hierarki Peraturan

Perundang-undangan, maka urutan hierarki peraturan yang terkait

dengan sengketa ini adalah sebagai berikut:

a. Pasal 27A UU KUP yang mengatur secara umum tentang

pemberian imbalan bunga, Pasal 27A ayat (3) UU KUP

mengatur bahwa tata cara penghitungan pengembalian

kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan bunga

diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

dan Pasal 48 UU KUP yang mengatur bahwa hal-hal yang


38

belum cukup diatur dalam undang-undang (KUP) diatur

lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah;

b. PP 74 Tahun 2011 (Pasal 43 ayat (1), Pasal 43 ayat (5) huruf

b dan Pasal 44 ayat (1));

c. PMK-226/PMK.03/2013 sebagaimana telah diubah dengan

PMK-186/PMK.03/2015 tentang tata cara perhitungan

pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian

imbalan bunga.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dasar pertimbangan hakim

dalam memutus dan menyelesaikan sengketa pajak nomor : PUT-

002516.99/2020/PP/MXIIB, yakni adalah sebagai berikut :

1. Menurut Majelis, lebih lanjut terkait dengan Tata cara penghitungan

pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan

bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,

sebagaimana diatur dalam ayat (3) Pasal 27A Undang-Undang KUP;

2. Menurut Majelis, Tergugat mengunakan dasar hukum Pasal 43 ayat (5)

PP No. 74 Tahun 2011;

3. Majelis sepakat dengan Tergugat yang menyimpulkan bahwa Pasal 44 ayat

(1) huruf a PP 74 Tahun 2011 tetap menjalankan ketentuan sebagaimana

diatur dalam Pasal 43 ayat (5) huruf b PP 74 Tahun 2011, yaitu dalam hal

atas jumlah SKPKB yang sudah dibayar oleh Wajib Pajak sebelum

mengajukan keberatan, maka atas jumlah yang telah dibayar tersebut tidak

dihitung atau tidak dimasukkan ke dalam komponen dasar penghitungan


39

pemberian imbalan bunga. Hal ini jelas terlihat pada Penjelasan Pasal 44

ayat (1) huruf a PP 74 Tahun 2011;

4. Menurut Majelis, berdasarkan kronologi yang disampaikan oleh Tergugat

dan dokumen bukti yang disampaikan para pihak diperoleh fakta-fakta

sebagai berikut:

a. Tergugat melaporkan SPT Masa/SPT Masa Pembetulan PPN

dengan jumlah lebih bayar;

b. Atas nilai lebih bayar yang dilaporkan diminta untuk

dikompensasikan ke masa pajak berikutnya;

c. Kepada Penggugat dilakukan pemeriksaan oleh Tergugat;

d. Penggugat menyatakan Tidak Setuju atas Pemberitahuan Hasil

Pemeriksaan;

e. Kepada Penggugat diterbitkan SKPKB sesuai dengan hasil

pemeriksaan;

f. Penggugat melakukan pembayaran sebesar SKPKB;

g. Penggugat mengajukan keberatan kepada Tergugat;

h. Tergugat menerbitkan Keputusan Keberatan dengan jumlah

pajak terhutang Nihil;

i. Penggugat mengajukan permohonan imbalan bunga sebesar 2%

X perbulan X Rp jumlah dibayar sesuai dengan SKP.

Sehingga atas dasar faktor-faktor diatas Majelis Hakim menolak gugatan

yang diajukan oleh Wajib Pajak dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai

berikut :
40

1. Menurut Majelis, fakta-fakta di atas sesuai dengan kondisi yang diatur

pada Pasal 43 ayat (5) huruf b PP Nomor. 74 Tahun 2011. Dengan

demikan penggunaan dasar hukum Tergugat untuk melakukan penolakan

permohonan Penggugat telah tepat.

2. Menurut Majelis, berdasarkan fakta atas nilai lebih bayar yang dilaporkan

diminta untuk dikompensasikan ke masa pajak berikutnya, maka lebih

bayar atas pajak yang dilaporkan oleh Penggugat telah digunakan atau

diperhitungkan dengan pajak pada masa berikutnya;

3. Berdasarkan bukti-bukti, fakta-fakta dalam persidangan dan pendapat

Majelis di atas, Majelis berkesimpulan untuk menolak permohonan

Penggugat dan mempertahankan Tergugat Nomor:

S-0158/WPJ.14/KP.05/2020 tanggal 30 Januari 2020 tentang Tanggapan

atas Surat Permohonan Pemberian lmbalan Bunga Nomor: 06/LMJ/1/2020

tanggal 13 Januari 2020;

4. Memperhatikan Surat Gugatan, Surat Tanggapan, Kesimpulan Akhir, hasil

pemeriksaan dan pembuktian dalam persidangan serta kesimpulan Majelis

a quo;

5. Mengingat, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan

Pajak, dan peraturan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum

yang berlaku dan yang berkaitan dengan sengketa ini.

Anda mungkin juga menyukai