Anda di halaman 1dari 8

Hak Wajib Pajak

Hak-hak wajib pajak yang diatur dalam undang-undang perpajakan ialah sebagai berikut :

1. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pengarahan dari fiskus.


Hak ini merupakan konsekuensi logis dari sistem self-assessment yang
mewajibkan wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan
melaporkan pajaknya sendiri. Sekalinya sistem self-assessment berjalan, bukan berarti
wajib pajak akan paham semua ketentuan yang ada. Untuk itulah hak ini merupakan hak
prioritas yang perlu diketahui Wajib Pajak. Apabila hak ini bisa dimanfaatkan dengan
baik oleh semua Wajib Pajak, berarti sosialisasi dan penerapan atas ketentuan yang
berlaku dapat berjalan dengan baik.

2. Hak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan


Apabila Wajib Pajak dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) terdapat
kekeliruan dalam pengisiannya, Wajib Pajak masih diberikan kesempatan untuk
membetulkannya dengan syarat fiskus belum melakukan tindak pemeriksaan. Dimana
dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU KUP menegaskan bahwa pembetulan SPT tersebut
diberikan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya masa pajak, bagian
tahun pajak, atau tahun pajak.

3. Hak untuk memperpanjang waktu penyampaian Surat Pemberitahuan


Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) UU KUP menegaskan bahwa dalam batas waktu
penyampaian SPT Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir masa pajak dan
untuk SPT tahunan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak. Batas waktu
tersebut dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan dengan mengajukan permohonan
secara tertulis.

4. Hak untuk memperoleh kembali kelebihan pembayaran pajak


Apabila Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran pajaknya mengalami
kelebihan, maka atas kelebihan tersebut dapat diminta kembali (restitusi) dengan suatu
permohonan tertulis, sesuai ketentuan Pasal 11 UU KUP.
5. Hak untuk mengajukan keberatan
Apabila Wajib Pajak merasa tidak puas atas ketetapan pajak yang diterbitkan atau
pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga, maka Wajib Pajak dapat
mengajukan upaya hukum keberatan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
surat, tanggal pemotongan atau pemungutan, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan
bahwa jangka waktu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kuasanya.

6. Hak untuk mengajukan banding


Apabila Wajib Pajak sudah mendapatkan keputusan atas upaya keberatan yang
diajukan ke kantor pajak dan merasa keputusan tersebut tidak memuaskannya, maka
Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Pajak sesuai
ketentuan Pasal 27 UU KUP. Permohonan ini diajukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak
keputusan diterima yang dilampiri dengan salinan dari surat keputusan dimaksud.

7. Hak untuk mengadukan pejabat yang membocorkan rahasia wajib pajak


Dalam penjelasan Pasal 34 UU KUP ditegaskan bahwa setiap pejabat, petugas,
pajak maupun mereka yang melakukan tugas dibidang perpajakan untuk tidak
mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara
lain :
a. SPT, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
b. Data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan;
c. Dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
d. Dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkenaan.
Apabila pejabat tersebut membocorkan rahasia Wajib Pajak kepada pihak lain,
maka Wajib Pajak dapat mnegadukan pejabat tersebut karena telah melakukan tindak
pidana perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 UU KUP
8. Hak untuk mengajukan permohonan untuk menganggur atau menunda pembayaran pajak
Hak ini merupakan hak yang diberikan berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (4) UU
KUP dimana dimaksudkan untuk membantu Wajib Pajak yang mengalami kondisi tidak
dapat melunasi utang pajaknya secara sekaligus misalnya mengalami kesulitan kesulitan
likuiditas atau yang lainnya, sehingga Wajib Pajak tetap dapat melaksanakan
kewajibannya dengan baik dan tetap dapat menjalankan usahanya sesuai kondisi nyata
Wajib Pajak yang bersangkutan

9. Hak untuk meminta keterangan mengenai koreksi dalam penerbitan ketetapan pajak
Pasal 25 ayat (6) UU KUP memberikan hak kepada Wajib Pajak agar Direktur
Jenderal Pajak memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar
pengenaan pajak, perhitungan pajak, pemotongan atau pemungutan pajak. Hal ini terkait
dengan proses pengajuan upaya hukum keberatan yang akan disampaikan Wajib Pajak.

10. Hak untuk memberikan alasan tambahan


Pasal 26 ayar (2) UU KUP menegaskan bahwa sebelum surat keputusan atas
keberatan diterbitkan, maka Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau
penjelasan tertulis. Penjelasan ini merupakan suatu hal yang sangat baik dalam rangka
memperoleh gambaran yang lebih objektif terlebih disebabkan adanya pemeriksaan yang
dilaksanakan secara terburu-buru yang umumnya atas dasar batas waktu pemeriksaan
yang harus segera selesai.

11. Hak untuk mengajukan gugatan


Pasal 23 ayat (2) UU KUP menegaskan adanya hak Wajib Pajak untuk
mengajukan gugatan atas :
a. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau
pengumuman lelang;
b. Keputusan yang berkaita dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain
yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26;
c. Keputusan pembetulan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 16 yang
berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak;
d. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan
Surat Tagihan Pajak

12. Hak untuk menunda penagihan pajak


Hak untuk menunda penagihan pajak adalah berkaitan dengan proses banding
yang sedang dilakukan Wajib Pajak. Pasal 43 ayat (2) UU PP menegaskan bahwa
penggugatan ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang berjalan, sampai ada
putusan pengadilan pajak. Pengadilan pajak tentu dapat mengabulkan permohonan yang
dimaksud apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan
kepentingan penggugat sangat dirugikan jika pelaksanaan penagihan pajak yang digugat
itu dilaksanakan. Ketentuan tersebut merupakan pengecualian dari ketentuan ayat (1)
yang menegaskan bahwa gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya
penagihan pajak atau kewajiban perpajakan Wajib Pajak.

13. Hak untuk memperoleh imbalan bunga


Berdasarkan Pasal 27A UU KUP bahwa apabila pengajuan keberatan atau
banding diterima sebagian atau seluruhnya, sepanjang utang pajak dalam SKPKB atau
SKPKBT telah dibayar yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan
pembayaran tersebut dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua)
persen sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya keputusan keberatan atau putusan
banding.

14. Hak untuk mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung


Berdasarkan Pasal 91 UU PP, hak ini merupakan hak yang hanya bisa dilakukan
berdasarkan alasan-alasan tertentu yang disebutkan dalam undang-undang.
15. Hak untuk mengurangi penghasilan kena pajak dengan biaya yang telah dikeluarkan
Wajib Pajak dapat mengurangi penghasilannya dengan segala pengeluaran-
pengeluaran yang telah ditentukan dalam undang-undang. Pasal 6 UU PPh menegaskan
adanya pengeluaran atau biaya yang dapat dikurangkan, adalah sebagai berikut.
a. Biaya untuk mendpatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
c. Iuran kepada dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan.
e. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing.
f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.

16. Hak pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)


Sesuai Pasal 7 UU PPh, hak ini khusus diberikan kepada Wajib Pajak pribadi
dengan memberikan pengurangan sebesar Penghasilan Tidak Kena Pajak yang telah
ditentukan.

17. Hak untuk menggunakan norma perhitungan penghasilan neto


Hak ini diberikan kepada Wajib Pajak yang mempunyai peredaran bruto usaha dalam
satu tahun kurang dari 600 juta dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 UU PPh.
18. Hak untuk memperoleh fasilitas perpajakan
Dalam Pasal 31A UU PPh ditegaskan bahwa adanya fasilitas perpajakan yang
diberikan kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal pada bidang usaha
tertentu dan/atau daerah tertentu dalam bentuk :
a. Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman yang
dilakukan;
b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. Kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun; dan
d. Pengenaan PPh atas deviden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar
10% kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku
menetapkan lebih rendah.

Sementara itu, Pasal 31B, menyebutkan bahwa setiap Wajib Pajak melakukan
restrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk pemerintah, dapat
memperoleh fasilitas pajak yang bersifat terbatas, baik dalam jangka waktu maupun
jenisnya berupa keringanan PPh yang terutang atas:

a. Pembebasan utang;
b. Pengalihan harta kepada kreditur atau penyelesaian utang;
c. Perubahan uang menjadi penyertaan modal

19. Hak untuk melakukan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran
Dalam UU PPN, ditegaskan bahwa apabila Wajib Pajak mempunyai Pajak
Masukan, maka atas Pajak Masukan tersebut dapat dikreditan terhadap Pajak Keluaran.
Apabila Pajak Masukan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka kondisi SPT Masa
PPN menjadi lebih bayar. Dan bila kondisinya lebih bayar, atas lebih bayar tersebut dapat
dimintakan pengembaliannya atau dapat pula dikompensasikan ke utang pajak pada masa
berikutnya. Dan sebaliknya, apabila Pajak Masukan lebih kecil daripada Pajak Keluaran,
maka kondisi laporan SPT masa PPN menjadi kurang bayar. Bila kurang bayar berarti
PKP harus menyetor sebesar kurang bayar tersebut.
Kewajiban Wajib Pajak

Kewajiban wajib pajak yang diatur dalam undang-undang perpajakan ialah sebagai berikut :

1. Kewajiban untuk mendaftarkan diri


Ketentuan Pasal 2 UU KUP menegaskan bahwa setiap Wajib Pajak wajib
mendaftarkan diri kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP). Dan untuk pengusaha yang mempunyai kewajiban PPN berdasarkan UU PPN,
wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP),
dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).

2. Kewajiban untuk mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan


Ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU KUP menegaskan bahwa setiap Wajib Pajak
mengisi SPT dalam Bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab,
satuan mata yang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor pajak
tempat Wajib Pajak mendaftar.

3. Kewajiban untuk membayar atau menyetor pajak


Kewajiban Wajib Pajak untuk membayar atau menyetor pajak yang terutang
dilakukan di kas negara melalui kantor pos dan/atau bank Badan Usaha Milik Negara
atau Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, sesuai ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU KUP.

4. Kewajiban untuk membuat pembukuan atau pencatatan


Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia diwajibkan membuat pembukuan, sesuai
dengan ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU KUP.

5. Kewajiban untuk menaati pemeriksaan pajak


Sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (3) UU KUP, Wajib Pajak yang diperiksa
tentunya wajib menaati ketentuan pemeriksaan pajak.
6. Kewajiban untuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak
Kewajiban melakukan pemotongan atau pemungutan pajak ini dilakukan Wajib
Pajak terhadap pihak lain dalam rangka melaksanakan perintah UU PPh, seperti Pasal
21, 22, 23, dan 26, dan ketentuan UU PPN.

7. Kewajiban untuk membuat Faktur Pajak


Setiap PKP wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena
Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP), sesuai dengan ketentuan Pasal 13 UU PPN.
Dimana faktur ini merupakan bukti adanya pemungutan pajak yang dilakukan oleh PKP.

8. Kewajiban untuk melunasi Bea Materai


Dalam UU Bea Materai Nomor 13 Tahun 1985 disebutkan bahwa Bea Materai
merupakan pajak yang dikenakan atas dokumen. Dokumen-dokumen yang wajib
dilunasi Bea Materainya adalah dokumen yang berbentuk: surat perjanjian, dan surat
lainnya yang bertujuan untuk digunakan sebagai bukti mengenai perbuatan, kenyataan
atau keadaan yang bersifat perdata; akta notaris dan salinannya; akta yang dibuat oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanag termasuk rangkapnya; surat yang memuat uang lebih dari
satu juta rupiah yang menyebutkan penerimaan uang; yang menyatakan pembukuan
uang atau penyimpanan uan dalam rekening bank; yang berisi pemberitahuan saldo
rekening di bank; dan dokumen lainnya.
Bahkan, dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka
pengadilan dan dokumen yang semulanya tidak menggunakan bea materai wajib
menggunakan Bea Materai apabila digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh
orang lain, lain dari maksud semula.

Anda mungkin juga menyukai