Anda di halaman 1dari 5

Cara Pengenaan Utang Pajak

Menurut teori, ada tiga cara pengenaan pajak yang dapat dilakukan. Menurut teori, ada
tiga cara pengenaan pajak yang dapat dilakukan, yaitu cara pengenaan du depan (stelsel fiksi),
cara pengenaan di belakang (stelsel riil), dan cara pengenaan campuran (kombinasi antara stelsel
fiksi dan stelsel riil).

a. Pengenaan di Depan (Stelsel Fiksi)

Pengenaan di depan merupakan suatu cara pengenaan pajak yang didasarkan


atas suatu anggapan (fiksi) dan anggapan tersebut bergantung pada ketentuan bunyi
UU. Dengan adanya anggapan demikian, maka fiskus dapat dengan mudah
menetapkan besarnya utang pajak untuk tahun yang akan datang. Pasal 25 UU PPh
merupakan contoh cara pemajakan di depan yang dilakukan dengan suatu perhitungan
(formula) tertentu.

Pasal 25 UU PPh menyebutkan besarnya angsuran pembayaran pajak yang


harus dilaksanakan sendiri oleh wajib pajak dalam tahun berjalan angsuran
pembayaran pajak dilakukan setiap bulan, yaitu sebesar seperduabelas dari besar PPh
tahun pajak yang lalu.

b. Pengenaan di Belakang (Stelsel Riil)

Pengenaan di Belakang merupakan suatu cara pengenaan pajak yang


didasarkan pada keadaan yang sesungguhnya (riil) atau nyata, yang diperoleh dalam
suatu tahun pajak. Karena besarnya penghasilan yang diperoleh seorang wajib pajak
baru diketahui pada akhir tahun, maka pengenaan baru dilakukan setelah berakhirnya
suatu tahun pajak. Dengan demikian, utang pajak baru akan dikenakan dibelakang,
yaitu sesudah berakhinya tahun pajak yang bersangkutan.

Dalam UU PPh, pengenaan pajak cara dibelakang diketahui dari ketentuan


yang diatur dalam pasal 29, yang dimana pasal tersebut menyatakan “Apabila pajak
yang terhutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak
sebagaimana maksud dalam pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang
terhutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan”.

Pengenaan pajak dibelakang seperti diatur dalam Pasal 29 merupakan cara


perhitungan pajak setelah memperhitungkan jumlah pembayaran pajak yang
dilakukan didepan. Pengenaan pajak dibelakang ini merupakan kekurangan
pembayaran pajak yang sebenarnya, yang dihitung pada akhir tahun setelah
berakhirnya tahun pajak.

c. Pengenaan Cara Campuran

Pengenaan cara campuran merupakan suatu cara pengenaan pajak yang


mendasarkan pada kedua cara pengenaan pajak (fiksi dan riil). Pada awal tahun pajak,
fiskus akan mengenakan pajak berdasarkan anggapan yang ditentukan dalam undang
– undang, yang selanjutnya setelah berakhirnya tahun pajak dilakukan pengenaan
pajak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya (riil). UU PPh pada prinsipnya
mendasarkan pengenaan pajak dengan campuran ini.

Pengenaan ini mengombinasikan cara pengenaan di depan dengan pengenaan


di belakang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Kombinasi Pasal 25 dan Pasal
29 UU PPh merupakan kombinasi cara pengenaan di depan dengan pengenaan di
belakang. Pengenaan Pajak dengan cara ini dapat meringankan wajib pajak. Artinya,
wajib pajak diberikan kesempatan untuk mencicil beban pajaknya dengan cara
membayar pajak di depan yang dilakukan setiap bulan, kemudian setelah berakhirnya
tahun pajak, wajib pajak akan menghitung sendiri kekurangan pajak yang sebenarnya
terhutang. Dengan demikian, wajib pajak hanya tinggal membayar kekurangannya
setelah berakhirnya tahun pajak. Dan dimana pengenaan seperti ini sangat efektif
dalam proses pemungutan pajak guna tercapainya penerimaan pajak yang diharapkan
oleh pemerintah.
Tarif Progresif

Tarif Progresif adalah tariff pemungutan pajak yang persentasenya semakin besar bila
jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga besar. Dimana tarif progresif diatur dalam
Pasal 17 UU PPh, yaitu sebagai berikut :

1. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

< 25.000.000 5%

> 25.000.000 – 50.000.000 10%

> 50.000.000 – 100.000.000 15%

> 100.000.000 – 200.000.000 25%

> 200.000.000 35%

2. Untuk Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

≤ 50.000.000 10%

50.000.000 – 100.000.000 15%

> 100.000.000 30%

Dengan tarif ini, jumlah pajak yang terhutang semakin besar sesuai dengan kenaikan
tariff dan besarnya jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Hal ini digambarkan dengan
contoh berikut :
Penghasilan A sebesar 100.000.000 maka besarnya pajak yang terhutang adalah :

5% x 25.000.000 = 1.250.000

10% x 25.000.000 = 2.500.000

15% x 50.000.000 = 7.500.000

Jumlah pajak Terhutang = 11.250.000

Dalam Pasal 17 UU PPh No. 36 Tahun 2008, tariff progresif untuk wajib pajak orang
pribadi dalam negeri, diatur sebagai berikut :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

≤ 50.000.000 5%

> 50.000.000 – 250.000.000 15%

> 250.000.000 – 500.000.000 25%

> 500.000.000 30%

Sedangkan untuk wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, untuk tahun pajak
2009 tidak lagi menggunakan tariff progresif tetapi menggunakan tariff tetap sebesar 28%. Tarif
ini kemudian diturunkan menjadi 25% yang digunakan untuk tahun 2010 dan seterusnya.

Tarif Advalorem

Tarif Advalorem adalah suatu tariff dengan persentase tertentu yang dikenakan /
ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang. Misalnya, PT ABC mengimpor barang A
sebanyak 1.000 unit dengan harga per unitnya 100.000. Jika tariff bea masuk atas impor barang
tersebut 10% maka besarnya bea masuk yang harus dibayar ialah :

Nilai Barang Impor = 1.000 x 100.000

= 100.000.000
Tarif bea masuk 10%, maka

Bea masuk yang harus dibayar = 10% x 100.000.000

= 10.000.000

Maka bea yang harus dibayar ialah 10.000.000 dan pembayaran barang impor sebesar
100.000.000. maka total pembayarannya ialah 110.000.000

Anda mungkin juga menyukai