Anda di halaman 1dari 38

TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah

HUKUM PIDANA

Dosen pengampu

SURIANSYAH, SH., MH / RUSLI EFENDI, SH., M.Si

DISUSUN OLEH:

JUAN YONATAN SILITONGA (217420100539)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANTAKUSUMA

PANGKALAN BUN 2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan YANG MAHA ESA. Karena atas

limpahan Karunia, dan rahmat nya yang berupa kesehatan, sehingga

makalah yang berjudul “TINDAK PIDANA PERPAJAKAN” dapat

terselesaikan tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun sebagai tugas saya untuk memenuhi tugas Mata Kuliah

Hukum pidana dari Bpk SURIANSYAH, SH., MH & RUSLI EFENDI, SH.,

M.Si. Selain itu makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang

Hukum tindak pidana perpajakan.

Saya berusaha menyusun makalah ini dengan segala kemampuan, namun saya

menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan baik dari segi

pengetikan maupun segi penyusunan.

Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan saya terima

dengan senang hati demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bisa

memberikan informasi bermanfaat bagi seluruh pembaca. Atas perhatian dan

kesempatan yang diberikan untuk membuat makalah ini saya ucapkan terima

kasih.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1 Latar Belakang...........................................................................................1.1

1.2 Rumusan Masalah......................................................................................1.2

1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................1.3

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2

2.1 Pengertian Tindak Pidana Perpajakan........................................................2.1

2.2 Jenis-jenis Tindak Pidana Perpajakan........................................................2.2

2.3 Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan...................................................2.3

BAB III PENUTUP.................................................................................................3

3.1. Kesimpulan.............................................................................................3.1

3.2. Saran.......................................................................................................3.2

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................3.3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengertian pajak menurut Prof. Dr. P.J.A Adriani adalah iuran kepada negara

yang terutang oleh wajib pajak berdasarkan undang-undang, dengan tidak

mendapat prestasi secara langsung. Dengan demikian pajak merupakan kewajiban

warga negara yang harus dibayarkan kepada negara. Negara mempunyai tugas

menyelenggarakan pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat dan untuk itu

memerlukan biaya. Biaya ini diperoleh dari masyarakat melalui pemungutan

pajak, artinya pajak merupakan kewajiban warga negara untuk membiayai rumah

tangga negara.

Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu segala sesuatu harus berdasarkan

pada hukum. Sejalan dengan hal ini dalam hal perpajakan, harus ada hukum yang

mengatur jalanya perpajakan di Indonesia. Hukum pajak adalah himpunan

peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak,

tentang siapa; dalam hal apa dikenai pajak; timbulnya kewajiban pajak; cara

pemungutanya serta penagihannya. Pada masa sekarang ini negara Republik


Indonesia sedang giat-giatnya dalam melaksanakan pembangunan untuk menuju

masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang

Dasar 1945. Sebagai negara yang sedang berkembang yang masih dalam tahap

pembangunan, maka agar pembangunan berjalan dengan lancar dibutuhkan

pembiayaan yang cukup besar dan pengelolaan dana yang efisien. Dana itu dapat

diperoleh dari sektor perpajakan atau dengan kata lain dari pajak yang dibayar

oleh seluruh wajib pajak, dengan demikian dapat diketahui bahwa pembangunan

yang ada di negara kita adalah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Dalam praktek perpajakan, sering terjadi kesalahan-kesalahan atau tindakan yang

merugikan kepentingan umum, baik itu yang dilakukan oleh pegawai perpajakan,

wajib pajak, kuasa wajib pajak dan yang lainnya. Berangkat dari hal ini, penyusun

akan membahas tindak pidana perpajakan dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian tindak pidana perpajakan?

2. Apa jenis-jenis tindak pidana perpajakan?

3. Bagaimana penyidikan tindak pidana perpajakan?

4. Bagaimana sanksi pidana dalam tindak pidana perpajakan?


5. Bagaimana upaya penanggulangan tindak pidana perpajakan?

1.3 Tujuan Penulisan

6. Untuk mengetahui pengertian tindak pidana perpajakan.

7. Untuk mengetahui jenis-jenis tindak pidana perpajakan.

8. Untuk mengetahui penyidikan tindak pidana perpajakan.

9. Untuk mengetahui sanksi pidana dalam tindak pidana perpajakan.

10. Untuk mengetahui upaya penanggulangan tindak pidana perpajakan


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tindak Pidana Perpajakan

Definisi tindak pidana perpajakan secara jelas dapat dilihat pada penjelasan Pasal

33 ayat (3) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

Berikut kutipan lengkapnya:

Yang dimaksud dengan “tindak pidana perpajakan” adalah informasi yang tidak

benar mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan

menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak

lengkap atau melampirkan keterangan keterangan yang tidak benar sehingga dapat

menimbulkan kerugian pada negara dan kejahatan lain yang diatur dalam undang-

undang yang mengatur perpajakan.

Definisi Tindak pidana di bidang perpajakan lainnya adalah suatu perbuatan yang

melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang menimbulkan kerugian

keuangan negara dimana pelakunya diancam dengan hukuman pidana. Ketentuan

yang mengatur tindak pidana pajak terdapat dalam hukum pidana pajak yang

berisi peraturan-peraturan tentang:


1. Perbuatan-perbuatan apa yang dapat diancam dengan hukuman.

2. Siapa-siapa yang dapat dihukum.

3. Hukuman apa yang dapat dijatuhkan.

Untuk mengetahui telah terjadinya suatu tindak pidana perpajakan, perlu

dilakukan pemeriksaan pajak, yaitu untuk mencari, mengumpulkan, mengolah

data atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban

perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan

perundang- undangan perpajakan. Pemeriksaan pajak dilakukan oleh PNS di

lingkungan Ditjen.

2.2 Jenis-jenis Tindak Pidana Perpajakan

4. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) adalah Suatu skema transaksi

yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan

memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan

perpajakan (pemanfaatkan celah hukum). Cirinya adalah berupaya

meminimalkan beban pajak dengan cara:

a. Tidak secara jelas melanggar ketentuan perpajakan

b. Cenderung menafsirkan ketentuan pajak tidak sesuai dengan

maksud dan tujuan pembuat undang-undang.


Penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak, khususnya badan dalam

bentuk tax avoidance, memang dimungkinkan atau dalam hal ini tidak

bertentangan dengan undang-undang atau ketentuan hukum yang berlaku, karena

dianggap praktek-praktek yang berhubungan dengan tax avoidance lebih kepada

pemanfaatan lubang-lubang atau celah-celah atau bisa juga kekosongan-

kekosongan dalam undang-undang perpajakan. Pemerintah dalam hal ini

Direktorat Jendral Pajak tidak bisa berbuat apa-apa melakukan penuntutan secara

hukum, meskipun praktek tax avoidance ini akan mempengaruhi penerimaan

negara dari sektor pajak. Praktek tax avoidance ini sebenarnya suatu dilema bagi

pemerintah, karena wajib pajak melakukan pengurangan jumlah pajak yang harus

dibayar, tetapi dilakukan dengan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan

yang berlaku.

Penghindaran pajak terjadi sebelum SKP keluar. Dalam penghindaran pajak ini,

wajib pajak tidak secara jelas melanggar undang-undang sekalipun kadang-

kadang dengan jelas menafsirkan undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan

tujuan pembuat undang-undang. Penghindaran pajak dilakukan dengan 3 cara,

yaitu:

1) Menahan Diri. Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu

wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak.

Contoh :

a) Tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau,


b) Tidak menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau

buaya agar terhindar dari pajak atas pemakaian barang

tersebur. Sebagai gantinya, menggunakan ikat pinggang

dari plastik.

Secara moral, hal ini tidak tercela karena tidak ada orang yang akan menganggap

perbuatan seorang perokok yang mengurangi kebiasaan merokoknya sebagai

orang yang menghindari pajak. Malah, orang yang mengurangi, atau malah tidak

merokok sama sekali dianggap sebagai tindakan terpuji.

2) Pindah Lokasi. Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari

lokasi yang tarif pajaknya tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya

rendah. Contoh:

Di Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin menanamkan

modalnya di Indonesia Timur. Namun, pindah lokasi tidak semudah itu dilakukan

oleh wajib pajak. Mereka harus memikirkan tentang transportasi, akomodasi,

SDM, SDA, serta fasilitas-fasilitar yang menunjang usaha mereka. Hal ini harus

sesuai dengan kentungan yang akan mereka dapatkan dan keringanan pajak yang

mereka peroleh. Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang terjadi hanya pada

pengusaha yang baru membuka usaha, atau perusahaan yang akan membuka

cabang baru. Mereka membuka cabang baru di tempat yang tarif pajaknya lebih

rendah. Hal ini tidak tercela karena merupakan hak asasi setiap orang untuk

memilih tempat atau lokasi usaha/domisilinya.


3) Penghindaran Pajak Secara Yuridis. Perbuatan dengan cara

sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang

dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan

memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-

undang. Hal inilah yang memberikan dasar potensial

penghindaran pajak secara yuridis. Contoh:

Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura). Menurut undang-

undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerjasama dengan yayasan dalam

penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan yayasan

menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras

dan hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga pajaknya berkurang. Dalam

ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah (loophole) yang dapat

dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan

optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai,

perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar,

membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan

dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.

5. Penggelapan Pajak (Tax Evasion) adalah upaya penyelundupan pajak,

Suatu skema memperkecil pajak yang terutang dengan cara

melanggar ketentuan perpajakan (illegal), misalnya:

a. Tidak melaporkan sebagian penjualan


b. Memperbesar biaya dengan cara fiktif

c. Memungut pajak tetapi tidak menyetor

Penyebab Penggelapan Pajak. Menurut Siti Kurnia Rahayu yang menyebabkan

terjadinya tax evasion yaitu :

a. Kondisi lingkungan. Lingkungan sosial masyarakat menjadi hal

yang tak terpisahkan dari manusia sebagai makhluk sosial,

manusia akan selalu saling bergantung satu sama lain. Hampir

tidak ditemukan manusia di dunia ini yang hidupnya hanya

bergantung pada diri sendiri tanpa memperdulikan keberadaan

orang lain, begitu juga dalam dunia perpajakan, manusia akan

melihat lingkungan sekitar yang seharusnya mematuhi aturan

perpajakan. Mereka saling mengamati terhadap pemenuhan

kewajiban perpajakan. Jika kondisi lingkungannya baik (taat

aturan), masing-masing individu akan termotivasi untuk

mematuhi peraturan perpajakan dengan membayar pajak sesuai

dengan ketentuan yang berlaku. Sebaliknya jika lingkungan

sekitar kerap melanggar peraturan. Masyarakat menjadi saling

meniru untuk tidak mematuhi peraturan karena dengan membayar

pajak, mereka merasa rugi telah membayarnya sementara yang

lain tidak.

b. Pelayanan fiskus yang mengecewakan. Pelayanan aparat

pemungut pajak terhadap masyarakat cukup menentukan dalam


pengambilan keputusan wajib pajak untuk membayar pajak. Hal

tersebut disebabkan oleh perasaan wajib pajak yang merasa

dirinya telah memberikan kontribusi pada negara dengan

membayar pajak. Jika pelayanan yang diberikan telah memuaskan

wajib pajak, mereka tentunya merasa telah diapresiasi oleh fiskus.

Mereka menganggap bahwa kontribusinya telah dihargai

meskipun hanya sekedar dengan pelayanan yang ramah saja. Tapi

jika yang dilakukan tidak menunjukkan penghormatan atas usaha

wajib pajak, masyarakat merasa malas untuk membayar pajak

kembali.

c. Tingginya tarif pajak. Pemberlakuan tarif pajak mempengaruhi

wajib pajak dalam hal pembayaran pajak. Pembebanan pajak yang

rendah membuat masyarakat tidak terlalu keberatan untuk

memenuhi kewajibannya. Meskipun masih ingin berkelit dari

pajak, mereka tidak akan terlalu membangkang terhadap aturan

perpajakan karena harta yang berkurang hanyalah sebagian

kecilnya. Dengan pembebanan tarif yang tinggi, masyarakat

semakin serius berusaha untuk terlepas dari jeratan pajak yang

menghantuinya. Wajib pajak ingin mengamankan hartanya

sebanyak mungkin dengan berbagai cara karena mereka tengah

berusaha untuk mencukupi berbagai kebutuhan hidupnya.

Masyarakat tidak ingin apa yang telah diperoleh dengan kerja

keras harus hilang begitu saja hanya karena pajak yang tinggi.
d. Sistem administrasi perpajakan yang buruk. Penerapan sistem

administrasi pajak mempunyai peranan penting dalam proses

pemungutan pajak suatu negara. Dengan sistem administrasi yang

bagus, pengelolaan perpajakan akan berjalan lancar dan tidak

akan terlalu banyak menemui hambatan yang berarti. Sistem yang

baik akan menciptakan manajemen pajak yang profesional,

prosedur berlangsung sistematis dan tidak semrawut. Ini membuat

masyarakat menjadi terbantu karena pengelolaan pajak yang tidak

membingungkan dan transparan. Seandainya sistem yang

diterapkan berjalan jauh dari harapan, mayarakat menjadi

berkeinginan untuk menghindari pajak. Mereka bertanya- tanya

apakah pajak yang telah dibayarnya akan dikelola dengan baik

atau tidak. Setelah timbul pemikiran yang menyangsikan kinerja

fiskus seperti itu, kemungkinan besar banyak wajib pajak yang

benar-benar lari dari kewajiban membayar pajak.

Dilihat dari tingkatan kesalahan, maka tindak pidana perpajakan meliputi tindak

pidana pelanggaran dan tindak pidana kejahatan. Tindak pidana lainnya adalah:

1. Tindak pidana perpajakan residivis sebelum lewat satu tahun sejak

selesainya menjalankan pidana penjara

2. Mencoba mengajukan permohonan restitusi atau kompensasi pajak

dengan menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau

NPPKP
3. Wakil, kuasa, dan pegawai dari wajib pajak (PKP) termasuk mereka

yang menyuruh melakukan, akuntan public, notaris, konsultan pajak,

kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai

hubungan dengan wajib pajak yang diperiksa yang melakukan

tindakan melawan hukum

2.3 Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan merupakan serangkaian tindakan

yang dilakukan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan

bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta

menemukan tersangkanya.

Sebelum dilakukan penyidikan dalam tindak pidana perpajakan, maka terlebih

dahulu dilakukan proses pemeriksaan bukti permulaan yang dilakukan untuk

mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana

di bidang perpajakan. Hal ini dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

Republik Indonesia Nomor 18/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan

Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Peraturan tersebut

menjelaskan bahwa “Bukti Permulaan sebagai keadaan, perbuatan, dan/atau bukti

berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya

dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang
perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian

pada pendapatan Negara”. Pemeriksaan bukti permulaan dapat dilaksanakan

berdasarkan hasil analisis data, informasi, laporan, pengaduan, laporan kegiatan

intelijen, pengembangan pemeriksaan bukti permulaan, atau pengembangan

penyidikan, yang dapat dilaksanakan baik untuk seluruh jenis pajak maupun satu

jenis pajak. Pemeriksaan bukti permulaan dilakukan oleh kantor wilayah atau

Direktorat Intelijen dan Penyidikan berdasarkan hasil pemeriksaan bukti

permulaan. Setelah itu berdasarkan hasil pemeriksaan bukti permulaan maka

dapat diketahui tindak lanjut yang akan dilakukan. Pejabat Pegawai Negeri Sipil

(PPNS) dalam lingkungan Direktorat Jenderal Pajak memiliki kewenangan dalam

mengusut dan melakukan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut dijelaskan dalam

ketentuan Pasal 44 Undang-undang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan

yang isinya menjelaskan sebagai berikut:

1. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan

oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat

Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak

pidana di bidang perpajakan.

2. Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

a. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau

laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan


agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan

jelas

b. Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai

orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang

dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan

c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau

badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan

d. Memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan

tindak pidana di bidang perpajakan

e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti

pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan

penyitaan terhadap bahan bukti tersebut

f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas

penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan

g. Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan

ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung

dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang

dibawa

h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di

bidang perpajakan
i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa

sebagai tersangka atau saksi

j. Menghentikan penyidikan

k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan

tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan.

3. Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan

dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya

kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara

Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam

Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

4. Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), penyidik dapat meminta bantuan aparat

penegak hukum lain.

Penyidikan tindak pidana perpajakan dilaksanakan berdasarkan surat perintah

penyidikan yang ditandatangani oleh Dirjen Pajak atau Kepala kantor Wilayah

Direktorat Jenderal Pajak. Apabila dianggap perlu maka penyidik pajak dapat

meminta bantuan penegak hukum lainnya apabila perkara yang ditangani begitu

rumit dan membutuhkan penyelesaian masalah oleh penegak hukum.

Penyidik tindak pidana perpajakan harus memberitahukan kepada Jaksa Penuntut

Umum apabila memulai penyidikan dan wajib menyampaikan hasil atau laporan
penyidikannya kepada Jaksa penuntut umum, hal ini berdasarkan ketentuan pasal

44 ayat (3) UU Perpajakan yang menjelaskan bahwa “Penyidik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan

menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik

pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur

dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana”

Penghentian Penyidikan dapat dilakukan karena :

1. Penyidik menghentikan penyidikan dalam hal tidak terdapat cukup

bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupaan tindak pidana di

bidang perpajakan, atau penyidikan di hentikan karena peristiwanya

telah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia. Hal ini diatur

dalam Pasal 44A Undang – Undang KUP.

2. Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri

Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak

pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6

(enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. Hal ini diatur dalam

Pasal 44B Undang – Undang KUP. Penghentian penyidikan tindak

pidana di bidang perpajakan dalam hal ini hanya dilakukan setelah

Wajib Pajak:

a. Melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang

tidak seharusnya dikembalikan


b. Membayar sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat)

kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak

seharusnya dikembalikan.

2 Sanksi Pidana dalam Tindak Pidana Perpajakan

Salah satu bagian dari Hukum Administrasi Negara atau Hukum Tata Usaha

negara adalah Hukum Pajak. Tetapi di antara para ahli hukum berpendapat bahwa

Hukum Pajak merupakan ilmu yang berdiri sendiri sejajar dengan ilmu hukum

yang lain. Pendapat ini didasarkan pada asumsi bahwa hukum pajak di samping

memiliki sanksi administrasi juga dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana

pelanggaran atau kejahatan pada umunya. Bahkan kejahatan pajak yang tergolong

korupsi merupakan ekstra ordinary crime (kejahatan yang luar biasa) yang

diperlukan penanganan khusus. Namun perlu diketahui, walaupun kejahatan pajak

dapat masuk ranah hukum pidana tetap ada perbedaan khusus sebagimana

pendapat Van der Poel. Perbedaannya terdapat pada fakta bahwa hukum pajak

sangat membutuhkan detail-detailnya, walaupun dasar pikiran yang digunakan

sama tetapi sejarah pertumbuhannya berbeda. Menurut Van der Poel, setengah

abad lalu pelanggaran- pelanggaran pajak maupun penggelapan uang pajak

dianggap hal sepele, tetapi perkembangan hukum saat sekarang sesuai dengan

teori dan filsafat, tidak lagi membedakan “pencurian” terhadap kekayaan negara

dan “pencurian” terhadap kekayaan individu. Mengikuti perkembangan hukum

pajak yang demikian maka perlu pemrintah menetapkan peraturan pajak dengan

mencantumkan sanksi-sanksi tegas dan adil untuk menjamin kesejahteraan rakyat

melalui pendapatan negara.


Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan terdapat beberapa aspek pidana dalam perpajakan, yaitu :

Hukum Pidana UU Perpajakan

Pidana Penjara 6 bulan-6 tahun). Pidana kurungan (3 bulan-1

tahun).

Denda (1-2 kali jumlah pajak terhutang yang tidak atau kurang
Pokok

dibayar).

Pidana Penjara (6 bulan-2 tahun).

Percobaan Denda (2-4 kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau

kompensasi).

Pembantuan Pidana Penjara (1-3 tahun).

Denda (75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah)).

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A,

berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau
Penyertaan

pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta

melakukan,
yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak

pidana di bidang perpajakan.

Daluarsa Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah

lampau waktu 10 tahun sejak saat terutangnya pajak, betakhirnya

masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya

tahun pajak yang bersangkutan.

Penjelasan :

Daluarsa ini untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib

Pajak, penuntut umum dan hakim. Jangka waktu 10 tahun adalah

untuk menyesuaikan dengan daluarsa penyimpanan dokumen-

dokumen perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah

pajak terutang selama sepuluh tahun.

Sanksi Pidana dalam bidang perpajakan dibagi dalam beberapa kategori yaitu:

1. Delik Kealpaan Oleh Wajib Pajak. “Setiap orang yang karena kealpaannya:

a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau,


b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak

lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga

dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan

tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu)

kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling

banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar,

atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1

(satu) tahun.

2. Delik Kesengajaan Oleh Wajib Pajak:

a. Dipidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan

denda paling sedikit 2 kali dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang

yang tidak atau kurang bayar setiap orang yang dengan sengaja sehingga

menimbulkan kerugian pada pendapatan negara:

1. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau NPPKP

2. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPKP

3. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan.

4. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya

tidak benar atau tidak lengkap

5. menolak untuk dilakukan pemeriksaan


6. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu

atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan

yang sebenarnya

7. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak

memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen

lain

8. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar

pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan

data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan

secara program aplikasi on-line di Indonesia

9. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.

b. Setiap orang yang dengan sengaja:

1. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan

pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak

berdasarkan transaksi yang sebenarnya

2. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha

Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun

dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali

jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti


pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6

(enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak,

bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Tindak Pidana yang Dilakukan di Bidang Perpajakan yang Diancam dengan

Hukuman Pidana dalam KUHP:

1. penyuapan yang dilakukan oleh wajib pajak atau orang lain,

diancam dengan hukuman pidana dalam Pasal 209 KUHP paling

lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak

empat ribu lima ratus rupiah.

barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan

maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam

jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. (Perbuatan ini oleh UU No.

3 Tahun 1971 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dimasukkan dalam kategori Tindak

Pidana Korupsi).

2. Memberikan keterangan palsu di atas sumpah, Pasal 242 KUHP,

diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

3. Pemalsuan Materai, Pasal 253 KUHP. Diancam dengan pidana

penjara paling lama tujuh tahun, barangsiapa meniru atau memalsu

materai yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, atau jika

diperlukan tanda tangan untuk sahnya materai itu, barangsiapa

meniru atau memalsu tanda tangan, dengan maksud untuk memakai


atau menyuruh orang lain memakai materai itusebagai materai yang

asli dan tidak palsu atau yang sah. Barangsiapa dengan maksud

yang sama membikin materai tersebut dengan menggunakan cap

asli secara melawan hukum.

4. Pemalsuan Surat, Pasal 263 KUHP. (1) Barangsiapa membuat surat

palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak

perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai

bukti daripada sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau

menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah- olah isinya

benar dan tidak palsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat

menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat dengan pidana

penjara paling lama enam tahun. (2) Diancam dengan pidana yang

sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang

dipalsukan, seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat

menimbulkan kerugian.

5. Membuka Rahasia, Pasal 322 KUHP. (1) Barangsiapa dengan

sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan

atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu,

diancam dengan pidana penjara palinmg lama sembilan bulan atau

pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah. (2) Jika kejahatan

dilakukan terhadap orang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat

dituntut atas pengaduan orang itu.


BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Pengertian Tindak Pidana Perpajakan

Definisi Tindak pidana di bidang perpajakan lainnya adalah suatu perbuatan yang

melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang menimbulkan kerugian

keuangan negara dimana pelakunya diancam dengan hukuman pidana.

2. Jenis-jenis Tindak Pidana Perpajakan

a. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) adalah Suatu skema transaksi yang

ditujukan untuk meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan kelemahan-

kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan (pemanfaatkan celah hukum)

b. Penggelapan Pajak(Tax Evasion) adalah upaya penyelundupan pajak,

Suatu skema memperkecil pajak yang terutang dengan cara melanggar ketentuan
perpajakan (illegal)

c. Tindak pidana perpajakan residivis sebelum lewat satu tahun sejak

selesainya menjalankan pidana penjara

d. Mencoba mengajukan permohonan restitusi atau kompensasi pajak dengan

menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPKP

e. Wakil, kuasa, dan pegawai dari wajib pajak (PKP) termasuk mereka yang

menyuruh melakukan, akuntan public, notaris, konsultan pajak, kantor

administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan wajib

pajak yang diperiksa yang melakukan tindakan melawan hukum

f. Siapa saja yang sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan.

3. Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan merupakan serangkaian tindakan

yang dilakukan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti

yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang

terjadi serta menemukan tersangkanya. Sebelum dilakukan penyidikan dalam

tindak pidana perpajakan, maka terlebih dahulu dilakukan proses pemeriksaan

bukti permulaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang

adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.


Pemeriksaan bukti permulaan dapat dilaksanakan berdasarkan hasil analisis data,

informasi, laporan, pengaduan, laporan kegiatan intelijen, pengembangan

pemeriksaan bukti permulaan, atau pengembangan penyidikan, yang dapat

dilaksanakan baik untuk seluruh jenis pajak maupun satu jenis pajak.

Setelah itu berdasarkan hasil pemeriksaan bukti permulaan maka dapat diketahui

tindak lanjut yang akan dilakukan. Penyidikan tindak pidana perpajakan

dilaksanakan berdasarkan surat perintah penyidikan yang ditandatangani oleh

Dirjen Pajak atau Kepala kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.

Penyidik tindak pidana perpajakan harus memberitahukan kepada Jaksa Penuntut

Umum apabila memulai penyidikan dan wajib menyampaikan hasil atau laporan

penyidikannya kepada Jaksa penuntut umum. Selanjutnya Jaksa penuntut umum

yang akan menentukan apakah masalahnya sudah matang untuk diajukan ke

pengadilan atau tidak dilanjutkan ke pengadilan.

4. Sanksi Pidana dalam Tindak Pidana Perpajakan

Bahwa peraturan – peraturan administrasi pun sangat memerlukan sanksi-

sanksinya yang menjamin ditaatinya oleh khalayak ramai. Juga dalam peraturan–

peraturan pajak terdapat sanksi – sanksi yang bersifat umum dan khusus, antara

lain dimuatlah dalam :

a. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (Generalis/umum):

1) Perbuatan Penyuapan, pasal 209 KUHP


2) Memberikan keterangan palsu di atas sumpah, pasal 242 KUHP

3) Pemalsuan Meterai, pasal 253 KUHP

4) Pemalsuan Surat, pasal 263 KUHP

5) Membuka Rahasia pasal 322 KUHP

6) Pemerasan dan Pengancaman, pasal 368 KUHP

7) Penggelapan, pasal 372 KUHP

8) Melakukan tipu muslihat pasal 387 KUHP

9) Melakukan akal tipu pada TNI dan keadaan khusus, pasal 388 KUHP

10) Kejahatan Jabatan:


a) Pasal 415 KUHP

b) Pasal 416 KUHP

c) Pasal 417 KUHP

d) Pasal 419 KUHP

e) Pasal 241 KUHP

f) Pasal 425 KUHP

b. Undang – Undang Perpajakan (Specialist/khusus)

1) Undang-Undang perpajakan kita membagi tindak pidana yang dilakukan

oleh wajib pajak dalam dua jenis yaitu tindak pidana pelanggaran dan tindak

pidana kejahatan.
a) Tindak Pidana Pelanggaran. Pelanggaran sering dipadankan dengan

kejahatan yang ringan, ancaman pidana bagi pelaku pelanggaran lebih ringan bila

dibanding denga pelaku kejahatan. Ancaman yang dapat dikenakan terhadap

wajib pajak yang melakukan pelanggaran kewajiban perpajakan adalah pidana

kurungan selama-lamanya satu tahun atau denda sebesar dua kali jumlah pajak

yang terhutang. Dalam UU No. 16 Tahun 2000 perubahan kedua dari UU No. 6

Tahun 1983 dan UU No.9 tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan prinsip – prinsip ancaman pidana pelanggaran ini pun dengan nyata –

nyata dimuat

dalam : Pasal 38 “ setiap orang yang karena kealpaannya; tidak menyampaikan

surat pemberitahuan; atau menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi isinya tidak

benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar;

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara , dipidana dengan

pidana kurungan paling lama 1 ( satu ) tahun dan atau denda paling lama 2 ( dua )

kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar .

b) Tindak Pidana Kejahatan. Jika pelanggaran merupakan kejahatan ringan

maka kejahatan dapat dipadankan sebagai pelanggaran yang berat. Pelanggaran

berat karena ancaman pidananya memang jauh lebih berat dibandingkan dengan

pelanggaran. Ancaman pidana untuk palaku kejahatan ini adalah pidana penjara

selama-lamanya tiga tahun dan atau denda setinggi-tingginya empat kali jumlah

pajak yang terhutang yang kurang atau tidak dibayar, serta bagi pelaku
pengulangan kejahatan ( residive) ancaman pidana dilipatkan dua, dengan

ketentuan belum lewat waktu satu tahun. Adapun ketentuan tersebut ada dalam :

i. Pasal 39 tentang Tindak Pidana Kejahatan;

i) Setiap orang yang dengan sengaja. Dipidana penjara paling lama 6

(enam) tahun dan denda paling tinggi (empat) kali jumlah pajak terutang

yang tidak atau kurang bayar.

ii) Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) dilipat 2 ( dua ) apabila

seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1

(satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.

iii) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana.

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 ( dua ) tahun dan denda paling

tinggi 4 ( empat ) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan atau kompensasi

yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

ii. Pasal 41 tentang Sanksi Bagi Pejabat. Pejabat yang karena kealpaannya

tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimna dimaksud dalam pasal

34, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 ( satu ) tahun dan denda

paling banyak Rp. 4.000.000,- ( empat juta rupiah); pejabat yang dengan sengaja

tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak

dipenuhinya kewajiban pejabat sebgaimana dimaksud dalam pasal 34 , dipidana


dengan pidana penjara paling lama 2 ( dua ) tahun dan denda paling banyak Rp.

10.000.000.

iii. Pasal 41A tentang Sanksi Bagi Pihak ke tiga. Setiap orang yang menurut

pasal 35 undang – undang ini wajib memberi keterangan atau bukti yang diminta

tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi

keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling

lama 1 ( satu ) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000,- ( sepuluh juta

rupiah ).

iv. Pasal 41B tentang Sanksi Bagi Pihak ke tiga. Setiap orang yang dengan

sengaja menhalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang

perpajakan , dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 ( tiga ) tahun dan

denda paling banyak Rp. 10.000.000.

5. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perpajakan

Upaya dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana secara optimal, pendekatan

yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan sistem

pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminalisasi. Kebijakan

kriminalisasi sebagai usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan kejahatan

problem sosial yang dinamakan kejahatan dapat dilakukan dengan berbagai cara.

Pendekatan penanggulangan tindak pidana dalam pembahasan makalah ini terkait

tindak pidana perpajakan dengan menerapkan rezim anti money laundering


(pencucian uang) didasarkan bahwa pentingnya pajak bagi penyelenggaraan

Negara, dalam upaya mencegah berbagai rekayasa meminimalisasi beban pajak.

Selanjutnya pendekatan menyangkut penanggulangan tindak pidana perpajakan

melalui rezim anti money laundering didasarkan modus opzet pelaku dengan

maksud untuk meminimalkan risiko terdeteksi biasanya para pelaku penggelapan

pajak berusaha menyembunyikan atau mengaburkan asal- usul "hasil kejahatan"

(proceeds of crime) dengan melakukan tindak kejahatan lanjutannya yaitu praktik

pencucian uang, agar dapat memaksimalkan utilitas ekspektasi pendapatan dari

penggelapan pajak tersebut.

3.2. Saran

Perlunya aturan hukum yang jelas mengenai Tindak Pidana di bidang perpajakan

dan ketentuan itu dituangkan secara jelas pada UU Perpajakan. Dan, perlunya

peningkatan Sumber Daya Manusia pada aparat penegak hukum sehingga vonis

yang dijatuhkan bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Brotodihardjo, R Santoso, 1998, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT

Refika Aditama. Harini, Sri, 2006, Pengantar Hukum Indonesia, Bogor: Ghalia

Indonesia.

Kurniawan, Anang Mury, 2011, Upaya Hukum terkait dengan Pemeriksaan,

Penyidikan, dan Penagihan Pajak,, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Lumbantoruan, Shopar, 1996, Akuntansi Pajak, Jakarta : Gramedia Widiasarana

Indonesia. Soemitro, Rochmat, 1992, Asas dan Dasar Perpajakan, Bandung:

Eresco.

Suandy, Erly, 2002, Hukum Pajak, Yogyakarta: Salemba Empat. Sutedi, Adrian,

2013, Hukum Pajak, Jakarta: Sinar Grafika.

Waluyo, Bambang, 1991, Pemeriksaan dan Peradilan diBidang Perpajakan,

Jakarta: Sinar Grafika,


Waluyo, Bambang, 1994, Tindak Pidana Perpajakan, Jakarta: Pradnya Paramita.

Anda mungkin juga menyukai