Anda di halaman 1dari 8

MATERI 5, PENAGIHAN DAN PERLAWANAN TERHADAP PAJAK

2.1 Penyebab terjadinya perlawanan terhadap pajak


Penghindaran pajak atau perlawanan terhadap pajak adalah hambatan-hambatan
yang terjadi dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan
kas negara. Perlawanan pajak ini terjadi karena adanya kepentingan yang berbeda antara
pemerintah dengan wajib pajak. Keinginan pemerintah menarik pajak sebesar besarnya
untuk membiayai APBN negara. Sedangkan keinginan wajib pajak untuk membayar
pajak dengan sekecil kecilnya untuk menghemat biaya pengeluaran.

2.2 Perlawanan aktif dan pasif pajak


Perlawanan aktif perlawanan yang inisiatifnya berasal dari wajib pajak itu
sendiri. Hal ini merupakan usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan terhadap
fiscus dan bertujuan untuk menghindari pajak atau mengurangi kewajiban pajak yang
seharusnya dibayar.Perlawanan aktif adalah semua usaha dan perbuatan secara langsung
ditujukan kepada pemerintah atau fiskus dengan tujuan menghindari pajak. Contoh
perlawanan aktif terhadap pajak, yaitu penghindaran pajak (tax avoidance) dan
penggelapan pajak atau penyelundupan pajak (tax evasion). 3 Cara Perlawanan Aktif
Terhadap Pajak :
• Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) Penghindaran pajak terjadi sebelum SKP keluar.
• Pengelakan Pajak (Tax Evasion) Pengelakan pajak terjadi sebelum SKP dikeluarkan.
• Melalaikan Pajak.
Perlawanan pasif merupakan kondisi yang mempersulit pemungutan pajak yang
timbul dari kondisi struktur perekonomian, kondisi sosial masyarakat, perkembangan
intelektual penduduk, moral warga masyarakat, dan tentunya sistem pemungutan pajak
itu sendiri. Perlawanan yang inisiatifnya bukan dari wajib pajak itu sendiri tetapi terjadi
karena keadaan yang ada di sekitar wajib pajak itu. Hambatan-hambatan tersebut berasal
dari struktur ekonomi, perkembangan moral dan intelektual penduduk, dan teknik
pemungutan pajak itu sendiri.

2.3 Akibat Hukum Penagihan Pajak dengan Surat Paksa


Di Indonesia penagihan pajak dengan surat paksa (yang dilakukan pada waktu
ini), berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959. Undang-Undang ini bermaksud
menyempurnakan UndangUndang Nomor 27 Tahun 1957 tentang Penagihan Pajak-pajak
Negara dengan surat paksa yang (melalui Stbl. 1917 No. 171) mengalihkan peraturan-
peraturan termuat dalam pasal 5 (sub 1). Stbl. 1879 No. 267 tentang Peraturan Penagihan
Pajak di Indonesia dengan Surat Paksa. Staatsblad ini hanya berlaku untuk pajak Negara
yang berkohir. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959 tersebut juga berlaku untuk pajak
tidak berkohir dan meliputi opsen atas pajak negara, tambahan-tambahan denda, bahkan
berlaku pula untuk pajak daerah. Pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa ini
adalah suatu bentuk eksekusi tanpa peraturan hakim (yang menjadi wewenang Fiskus)
yang lazimnya dinamakan eksekusi langsung. Surat paksa adalah surat keputusan yang
mempunyai kekuatan yang sama dengan grosse (asli) keputusan hakim dalam perkara
perdata yang tidak diganggu gugat lagi dengan cara memintakan banding kepada hakim
yang lebih atas. Surat paksa harus menggunakan kepala “Atas Nama Keadilan” karena
perkataan-perkataan itulah surat paksa mendapat kekuatan “eksekutorial” (kekuatan
untuk dijalankan), dan kekuatan itu didapatkannya karena keadilanlah yang semata-mata
memerintahkan pelaksanaan itu. Surat paksa memuat perintah kepada wajib pajak untuk
melunasi pajaknya yang sudah barang tentu baru akan dikeluarkan setelah dipandang
cukup alasannya oleh pihak fiskus. Pasal (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959

iii
memuat ketentuan (dalam peraturan-peraturan pelaksanaannya) siapa-siapa yang
berwenang mengeluarkan surat paksa, yaitu . Untuk pajak negara yakni Kepala inspeksi
pajak yang bersangkutan. Untuk pajak daerah yakni Kepala daerah yang bersangkutan.
Pelaksanaan surat paksa harus disesuaikan dengan cara menjalankan vonis.
Bilamana hakim telah memutuskan untuk menjatuhkan suatu hukuman kepada seseorang
untuk melunasi utangnya, tetapi orang itu tetap ketinggalan dalam memenuhi
kewajibannya itu, maka kini tuntutan itu harus beralih kepada segenap miliknya; hal
demikian terjadi dengan menjalankan keputusan dari hakim itu (eksekusi). Adapun yang
dijalankan itu umumnya dalam keputusannya (vonis) sendiri, melainkan grosse-nya, yaitu
salinan resmi dari vonis, yang sebelah atas memuat pala perkataan-perkataan “Atas Nama
Keadilan”. Surat paksa pertama-tama diberitahukan nya dengan resmi oleh jurusita
kepada si wajib pajak (di tempat kediamannya ataupun di kantornya), segera setelah surat
itu ditetapkan. Menurut peraturan-peraturannya, pelaksanaan surat paksa baru dapat
dilakukan, 24 jam setelah surat tersebut diberitahukan kepada wajib pajak. Tindak
lanjutnya segera dilakukan jika utang pajak belum juga dilunasi, sekalipun batas waktu
telah lampau. Tindak lanjut itu pada pokoknya dapat terdiri dari dua perbuatan hukum,
yaitu : a. Penyitaan b. Penyanderaan Perbuatan-perbuatan hukum termasuk ke dalam
ketentuan-ketentuan penting yang diatur dalam UndangUndang Nomor 19 Tahun 1959,
sebagai penyesuaian dengan ketentuanketentuan dalam HIR (Herzien Indonesisch
Reglement = IR yang diperbaharui) seperti yang terdapat dalam pasal 197, 202, 207
seterusnya.
Dalam pasal 9 s.d 14 Undang-Undang Nomor 19 itu diatur satu dan lain
mengenai penyitaan, yang meliputi barang bergerak maupun harta tetap. Pelaksanaan sita
dilakukan oleh jurusita, yakni petugas yang ditunjuk oleh kepala inspeksi pajak/kepala
daerah. Pertama-tama yang dijadikan sasaran penyitaan adalah barang-barang bergerak
(termasuk uang tunai dan surat-surat berharga). Kemudian, jika ternyata barang-barang
tersebut tidak mencukupi, maka penyitaan juga dilakukan atas harta tetap. Walaupun pada
dasarnya semua barang milik wajib pajak dapat disita, tetapi ada beberapa macam barang
yang dikecualikan dari penyitaan seperti tersebut di bawah ini :
 Tempat tidur beserta perlengkapannya
 Sekedar pakaian
 Perlengkapan kedinasan
 Alat-alat pertukangan untuk usaha
 Persediaan makanan dan minuman yang berada di rumah untuk satu bulan.
 Buku-buku yang erat hubungannya dengan pekerjaan
 Alat/perkakas yang digunakan untuk pendidikan, pengetahuan, dan kebudayaan
 Ternak yang semata-semata dipergunakan dalam menjalankan usaha. Alasannya, adalah
karena barang tersebut dianggap merupakan barangbarang yang sangat diperlukan (sangat
esensial) bagi seseorang untuk hidup dan meneruskan usahanya.
MATERI 6, HAK DAN KEWAJIBAN PAJAK
A. efektivitas sistem perpajakan dalam menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban pajak
Keadilan Pajak: Efektivitas sistem perpajakan dapat dilihat dari sejauh mana sistem
tersebut menerapkan prinsip keadilan pajak. Ini berarti bahwa pajak harus didistribusikan

iv
secara adil dan proporsional terhadap kemampuan ekonomi individu dan perusahaan. Jika
sistem perpajakan dapat menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban pajak dengan
menerapkan prinsip keadilan pajak, maka dapat dikatakan efektif. Kepatuhan Pajak:
Tingkat kepatuhan pajak oleh wajib pajak juga merupakan indikator penting dari
efektivitas sistem perpajakan. Jika sistem perpajakan berhasil mendorong tingkat
kepatuhan yang tinggi, artinya wajib pajak secara sukarela mematuhi kewajiban pajak
mereka. Hal ini menunjukkan bahwa wajib pajak percaya bahwa hak-hak mereka juga
dihormati dan perlakuan yang adil diberikan dalam sistem perpajakan. Transparansi dan
Akuntabilitas: Sistem perpajakan yang efektif haruslah transparan dan akuntabel. Wajib
pajak harus dapat dengan jelas memahami hak-hak dan kewajiban mereka dalam hal
perpajakan. Mereka juga harus dapat mengakses informasi dan prosedur yang jelas
mengenai pembayaran pajak, penggunaan dana pajak, serta mekanisme penyelesaian
sengketa. Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas, sistem perpajakan dapat menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban pajak. Penggunaan Penerimaan Pajak:
Efektivitas sistem perpajakan juga dapat dinilai melalui penggunaan yang efisien dan
efektif dari penerimaan pajak. Pajak yang terkumpul seharusnya digunakan untuk
membiayai kepentingan publik, seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan
pelayanan masyarakat lainnya. Jika penerimaan pajak digunakan secara tepat dan
memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat, maka sistem perpajakan dianggap
efektif dalam menjaga keseimbangan hak dan kewajiban pajak.
B. peran lembaga perpajakan dan pemerintah dalam mengatur dan menegakkan
hak dan kewajiban pajak
1. Meningkatkan kepatuhan Pengusaha Kena Pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakan serta dalam rangka mengamankan penerimaan Negara
2. Menjaga stabilitas keuangan negara dengan memperoleh penerimaan pajak yang cukup
untuk membiayai pembangunan dan kegiatan pemerintah
3. Mendorong peningkatan ekspor, menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru,
menunjang pelestarian lingkungan hidup, dan kebijakan-kebijakan lain
4. Menjaga keadilan dalam pembebanan pajak
5. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya membayar pajak dan memenuhi
kewajiban perpajakan
6. Memberikan perlakuan khusus untuk tujuan tertentu, seperti untuk menunjang
penanaman modal
7. Menjaga kepatuhan pajak negara dengan memberikan sanksi bagi Wajib Pajak yang
tidak memenuhi kewajiban perpajakan
8. Menyusun peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan mengawasi
pelaksanaannya
9. Memberikan pelayanan dan bimbingan teknis kepada Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakan
10. Melakukan pengawasan terhadap Wajib Pajak untuk memastikan kewajiban
perpajakan dipenuhi dengan benar

MATERI 7, PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

A. Pajak Retribusi Daerah sebagai Sumber Pendapatan Daerah


Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah untuk melaksanakan
otonorni, pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan daerah. Diantaranya
dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah diharapkan dapat

v
lebih mendorong pemerintahan daerah untuk terus berupaya mengoptimalkan
PAD,khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Berbagai macam
respon timbul dari daerah-daerah diantaranya ialah bahwa pemberian keleluasaan yang
diberikan kepada pemerintahan daerah untuk meningkatkan PAD melalui pajak daerah
dan retribusi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 telah
memperlihatkan hasil yang menggembirakan, yaitu sejumlah daerah berhasil mencapai
peningkatan PAD-nya secara signifikan. Akan tetapi kreativitas pemerintahan daerah
yang berlebihan dan tidak terkontrol dalam memungut pajak daerah dan retribusi
daerah,akan menimbulkan dampak yang merugikan bagi masyarakat dan dunia usaha,
yang pada gilirannya menyebabkan biaya ekonomi tinggi. Oleh karena itu Undang-
Undang Nomor 34 tahun 2000 tetap memberikan batasan kriteria pajak daerah dan
retribusi daerah yang dapat di pungut pemerintahan daerah.
B. Prinsip dan Kriteria Perpajakan Daera
Prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yang memenuhi kriteria umum tentang
perpajakan daerah sebagai berikut:
1. Prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat mudah naik
turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.
2. Adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat
dan secara horizontal, artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat
sehingga tidak ada yang kebal pajak.
3. Administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, memuaskan bagi wajib
pajak.
4. Secara politis dapat diterima oleh masyarakat sehingga timbul motivasi dan kesadaran
pribadi untuk membayar pajak.
5. Nondistorsi terhadap perekonomian: implikasi pajak atau pungutan yang hanya
menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya, setiap pajakatau
pungutan akan menimbulkan suatu beban, baik bagi konsumen maupun produsen. Jangan
sampai suatu pajak atau pungutan menimbulkan beban tambahan yang berlebihan
sehingga merugikan masyarakat secara menyeluruh.Untuk mempertahankan prinsip-
prinsip tersebut, perpajakan daerah harus
memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu sebagai berikut:
1. Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandigan antara penerimaan
pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.
2. Relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar,
kadangkadang meningkat secara drastis dan ada kalanya menurun secara tajam.
3. Tak biasanya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan dan kemampuan
untuk membayar.
C. Ketentuan Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Di negara-negara yang menganut paham hukum, segala sesuatu yang menyangkut
pajak harus ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian,
pemungutan pajak kepada rakyat tentunya harus disertai dengan perangkat peraturan
perundang-undangan yang di sebut dengan hukum pajak. Di Indonesia, Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 23A mengatur dasar hukum pemungutan pajak oleh negara. Pasal
inimenyatakan bahwa pajak dan pungutan lain bersifat memaksa untuk keperluan negara
di atur dengan Undang-Undang.
membiayai penyelenggaraan dan pembangunan daerah. Undang-Undang Nomor 34 tahun
2000 dan peraturan pemerintah pendukungnya yaitu PP Nomor 65 tahun 2001 tentang
pajak daerah dan PP Nomor 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah menjelaskan
perbedaan antara jenis pajak daerah yang di pungut oleh provinsi dan jenis pajak yang
dipungut oleh kabupaten/kota. Pajak provinsi ditetapkan sebanyak empat jenis, yaitu:

vi
1. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air (PKB dan KAA)
2. Bea batik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air (BBNKB dan KAA)
3. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB)
4. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan permukaan (P3ABT dan AP).
Sementara itu, pemerintah daerah kabupaten/kota diberi kewenangan untuk memungut
tujuh jenis pajak, yaitu:

a. Pajak hotel; f. Pajak pengambilan bahan galian


b. Pajak restauran; golongan C;
c. Pajak hiburan; g. Pajak parkir.
d. Pajak reklame;
e. Pajak penerangan jalan;
Jenis pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif, artinya kabupaten/kota diberi
peluang untuk menggati potensi sumber-sumber keuangannya, selain yang ditetapkan
secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000, dengan menetapkan
sendiri pajak yang bersifat spesifik dengan memerhatikan kriteria yang ditetapkan dalam
undang-undang tersebut, kriteria yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Bersifat pajak dan bukan retribusi;
2. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan dan
mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat diwilayah
daerah kabupaten/kota yang bersangkutan;
3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum;
4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi dan/atau objek pajak pusat;
5. Potensinya memadai;
6. Tidak memberikan darnpak ekonomi yang negatif;
7. Memerhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat;dan
8. Menjaga kelestarian lingkungan.

E. Peranan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Mendukung Pembiayaan Daerah
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah ini merupakan
sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh daerah pada umumnya
dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah, yang
merupakan salah satu komponen PAD, belum memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Untuk mengantisifasi desentralisasi dan
proses otonomi daerah, pungutan pajak dan retribusi daerah masih belum dapat
diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Keadaan ini
diperlihatkan dari suatu studi yang dilakukan oleh LPEM-UI bekerja sama dengan clean
Urban Project bahwa banyak permasalan yang terjadi di daerah berkaitan dengan
penggalian dan peningkatan PAD, terutama hal ini disebabkan oleh hal berikut:

1. Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 daerah kabupaten/kota
dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Akan tetapi, melihat
kriteria pengadaan pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak boleh
tumpang tindih dengan pajak pusat dan pajak provinsi, diperkirakan daerah memiliki
basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta bervariasi antardaerah. Rendahnya
basis pajak ini untuk sebagian daerah berarti memperkecil kemampuan manuver

vii
keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.
2. Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah
Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan pusat. Dari segi upaya
pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi “ negosiasi” daerah
terhadap pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.
3. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah
Hal ini mengakibatkan pernungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang
besar. PAD masih tergolong memiliki tingkay buoyancy yang rendah. Salah satu
sebabnya adalah diterapkannya sistem “ target” dalam pungutan daerah. Sebagai
akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target tersebut. Walaupun darisisi
pertumbuhan ekonomi, pemasukan
pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target yang ditetapkan.
4. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah
Hal ini mengakibatkan kebocoran yang sangat berati bagi daerah. Selama ini, peranan
PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi
antardaerah, yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian besar daerah provinsi hanya
dapat membiayai kebutuhan pengeluarannya kurang 10%.
5. Variasi dalam penerimaan diperparah lagi dengan sistem bagi hasil (bagi hasil
didasarkan pada daerah penghasil sehingga hanya menguntungkan daerah tertentu).
MATERI 8, HUKUM PAJAK INTERNASIONAL
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian pajak internasional
Pajak internasional dapat didefinisikan sebagai kesepakatan antar negara yang
memiliki Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau yang sering disebut dengan
P3B.Ketentuan dasar pajak internasional ini mengacupada Konvensi Wina.dengan
demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia terhadap badan atau
orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat perjanjian bilateral (dua negara)
tentang Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara asal atau penduduk
asing tersebut.Secara umum,

Ketentuan Pajak Internasional suatu Negara meliputi 2(dua) Dimensi Luas yaitu:
1. Pemajakan terhadap Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) atas ’Penghasilan dari
Luar Negeri, dan. Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan
luar negeri atau transaksi ke luar batas negara (outward,outbound transaction) karena
umumnya melibatkan eksportasi modal ke manca negara Dalam aplikasinya pemajakan
penghasilan luar negeri dilakukan oleh negara domisili (residencecountry).
2. Pemajakan terhadap Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) atas ’Penghasilandari
Dalam Negeri (domestik)’. Dimensi kedua menunjuk pada pemajakan atas
penghasilan domestik atau transaksi ke dalam batas negara (inward,inbound
transaction) karena umumnya melibatkan importasi modal dari manca negara.
setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai,begitu juga
dengan kebijakan perpajakan internasional mempunyai tujuanyang ingin dicapai yaitu:
1. Memajukan perdagangan antar negara,
2. Mendorong laju investasi di masing-masing negara.

2.2. Latar belakang timbulnya pajak internasional


Latar belakang terjadinya perpajakan internasional dikarenakan semakin
meningkatnya arus investasi, perdagangan, danmobilitas sumber daya manusia yang tidak
lagi mengenal batas Negara.Hal ini berdampak adanya permasalahan disisi perpajakan
sebab setiap Negara mempunyai peraturan sendiri untuk aturan perpajakannya (atas

viii
penduduk atau bukan penduduk), prinsip ini berpengaruh terhadap subjek dan objek pajak
luar negeri.

Doernberg (1989) menyebut 3 (tiga) Unsur Netralitas yang harus dipenuhi


dalam Kebijakan Pemajakan Internasional :
1. Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita
berinvestasi, beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada
bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan sampai
bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena menanggung pajak dari
dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl24 yang mengatur
kredit pajak luar negeri.
2. Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional):Darimanapun
investasi berasal, dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari
dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila
berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan yang sama
dengan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN)terhadap permanent establishment
(PE) atau Badan Usaha Tetap (BUT)yang dapat berupa cabang perusahaan
ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan yang berlaku.
3. National Neutrality (Netralitas Nasional): Setiap negara, mempunyai bagian
pajak atas penghasilan yang sama. Sehingga bila ada pajak luar negeri yang
tidak bisa dikreditkan boleh dikurangkan sebagai biayapengurang laba.

2.3. Macam,tahapan dan jenis pajak internasional


Perjanjian internasional adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat negara
pada bidang-bidang tertentu, termasuk perpajakan, oleh karena itu perjanjian
internasional harus dibuat dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat,dengan
menggunakan instrumen peraturan perundang-undangan yang jelas.Berdasarkan
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam
bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara
tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.Pembuatan
perjanjian internasional harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Perjanjian internasional harus berdasarkan kesepakatan dan dilaksanakan
dengan itikad baik
2. Perjanjian internasional harus berpedoman pada kepentingan nasional dan
berdasarkan prinsip-prinsip kesamaan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik
hukum nasional maupun hukum internasional yang
berlaku.

Tahapan pembuatan perjanjian internasional adalah sebagai berikut:


1. Penjajakan
2. Perundingan
3. Perumusan naskah
4. Penerimaan
5. Dan penandatanganan.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja jenis-jenis perjanjian internasional adalah


sebagai berikut:
1. Perjanjian bilateral, dan
2. Perjanjian multilateral.
Perjanjian bilateral artinya perjanjian antara dua pihak, sedangkan perjanjian
multilateral berarti perjanjian antara banyak pihak. Contoh perjanjian bilateral adalah
perjanjian Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok tentang dwi

ix
kewarganegaraan, sedangkan perjanjian multilateral misalnya Konvensi Wina atau
Konvensi Jenewa

Anda mungkin juga menyukai