iii
memuat ketentuan (dalam peraturan-peraturan pelaksanaannya) siapa-siapa yang
berwenang mengeluarkan surat paksa, yaitu . Untuk pajak negara yakni Kepala inspeksi
pajak yang bersangkutan. Untuk pajak daerah yakni Kepala daerah yang bersangkutan.
Pelaksanaan surat paksa harus disesuaikan dengan cara menjalankan vonis.
Bilamana hakim telah memutuskan untuk menjatuhkan suatu hukuman kepada seseorang
untuk melunasi utangnya, tetapi orang itu tetap ketinggalan dalam memenuhi
kewajibannya itu, maka kini tuntutan itu harus beralih kepada segenap miliknya; hal
demikian terjadi dengan menjalankan keputusan dari hakim itu (eksekusi). Adapun yang
dijalankan itu umumnya dalam keputusannya (vonis) sendiri, melainkan grosse-nya, yaitu
salinan resmi dari vonis, yang sebelah atas memuat pala perkataan-perkataan “Atas Nama
Keadilan”. Surat paksa pertama-tama diberitahukan nya dengan resmi oleh jurusita
kepada si wajib pajak (di tempat kediamannya ataupun di kantornya), segera setelah surat
itu ditetapkan. Menurut peraturan-peraturannya, pelaksanaan surat paksa baru dapat
dilakukan, 24 jam setelah surat tersebut diberitahukan kepada wajib pajak. Tindak
lanjutnya segera dilakukan jika utang pajak belum juga dilunasi, sekalipun batas waktu
telah lampau. Tindak lanjut itu pada pokoknya dapat terdiri dari dua perbuatan hukum,
yaitu : a. Penyitaan b. Penyanderaan Perbuatan-perbuatan hukum termasuk ke dalam
ketentuan-ketentuan penting yang diatur dalam UndangUndang Nomor 19 Tahun 1959,
sebagai penyesuaian dengan ketentuanketentuan dalam HIR (Herzien Indonesisch
Reglement = IR yang diperbaharui) seperti yang terdapat dalam pasal 197, 202, 207
seterusnya.
Dalam pasal 9 s.d 14 Undang-Undang Nomor 19 itu diatur satu dan lain
mengenai penyitaan, yang meliputi barang bergerak maupun harta tetap. Pelaksanaan sita
dilakukan oleh jurusita, yakni petugas yang ditunjuk oleh kepala inspeksi pajak/kepala
daerah. Pertama-tama yang dijadikan sasaran penyitaan adalah barang-barang bergerak
(termasuk uang tunai dan surat-surat berharga). Kemudian, jika ternyata barang-barang
tersebut tidak mencukupi, maka penyitaan juga dilakukan atas harta tetap. Walaupun pada
dasarnya semua barang milik wajib pajak dapat disita, tetapi ada beberapa macam barang
yang dikecualikan dari penyitaan seperti tersebut di bawah ini :
Tempat tidur beserta perlengkapannya
Sekedar pakaian
Perlengkapan kedinasan
Alat-alat pertukangan untuk usaha
Persediaan makanan dan minuman yang berada di rumah untuk satu bulan.
Buku-buku yang erat hubungannya dengan pekerjaan
Alat/perkakas yang digunakan untuk pendidikan, pengetahuan, dan kebudayaan
Ternak yang semata-semata dipergunakan dalam menjalankan usaha. Alasannya, adalah
karena barang tersebut dianggap merupakan barangbarang yang sangat diperlukan (sangat
esensial) bagi seseorang untuk hidup dan meneruskan usahanya.
MATERI 6, HAK DAN KEWAJIBAN PAJAK
A. efektivitas sistem perpajakan dalam menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban pajak
Keadilan Pajak: Efektivitas sistem perpajakan dapat dilihat dari sejauh mana sistem
tersebut menerapkan prinsip keadilan pajak. Ini berarti bahwa pajak harus didistribusikan
iv
secara adil dan proporsional terhadap kemampuan ekonomi individu dan perusahaan. Jika
sistem perpajakan dapat menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban pajak dengan
menerapkan prinsip keadilan pajak, maka dapat dikatakan efektif. Kepatuhan Pajak:
Tingkat kepatuhan pajak oleh wajib pajak juga merupakan indikator penting dari
efektivitas sistem perpajakan. Jika sistem perpajakan berhasil mendorong tingkat
kepatuhan yang tinggi, artinya wajib pajak secara sukarela mematuhi kewajiban pajak
mereka. Hal ini menunjukkan bahwa wajib pajak percaya bahwa hak-hak mereka juga
dihormati dan perlakuan yang adil diberikan dalam sistem perpajakan. Transparansi dan
Akuntabilitas: Sistem perpajakan yang efektif haruslah transparan dan akuntabel. Wajib
pajak harus dapat dengan jelas memahami hak-hak dan kewajiban mereka dalam hal
perpajakan. Mereka juga harus dapat mengakses informasi dan prosedur yang jelas
mengenai pembayaran pajak, penggunaan dana pajak, serta mekanisme penyelesaian
sengketa. Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas, sistem perpajakan dapat menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban pajak. Penggunaan Penerimaan Pajak:
Efektivitas sistem perpajakan juga dapat dinilai melalui penggunaan yang efisien dan
efektif dari penerimaan pajak. Pajak yang terkumpul seharusnya digunakan untuk
membiayai kepentingan publik, seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan
pelayanan masyarakat lainnya. Jika penerimaan pajak digunakan secara tepat dan
memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat, maka sistem perpajakan dianggap
efektif dalam menjaga keseimbangan hak dan kewajiban pajak.
B. peran lembaga perpajakan dan pemerintah dalam mengatur dan menegakkan
hak dan kewajiban pajak
1. Meningkatkan kepatuhan Pengusaha Kena Pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakan serta dalam rangka mengamankan penerimaan Negara
2. Menjaga stabilitas keuangan negara dengan memperoleh penerimaan pajak yang cukup
untuk membiayai pembangunan dan kegiatan pemerintah
3. Mendorong peningkatan ekspor, menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru,
menunjang pelestarian lingkungan hidup, dan kebijakan-kebijakan lain
4. Menjaga keadilan dalam pembebanan pajak
5. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya membayar pajak dan memenuhi
kewajiban perpajakan
6. Memberikan perlakuan khusus untuk tujuan tertentu, seperti untuk menunjang
penanaman modal
7. Menjaga kepatuhan pajak negara dengan memberikan sanksi bagi Wajib Pajak yang
tidak memenuhi kewajiban perpajakan
8. Menyusun peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan mengawasi
pelaksanaannya
9. Memberikan pelayanan dan bimbingan teknis kepada Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakan
10. Melakukan pengawasan terhadap Wajib Pajak untuk memastikan kewajiban
perpajakan dipenuhi dengan benar
v
lebih mendorong pemerintahan daerah untuk terus berupaya mengoptimalkan
PAD,khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Berbagai macam
respon timbul dari daerah-daerah diantaranya ialah bahwa pemberian keleluasaan yang
diberikan kepada pemerintahan daerah untuk meningkatkan PAD melalui pajak daerah
dan retribusi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 telah
memperlihatkan hasil yang menggembirakan, yaitu sejumlah daerah berhasil mencapai
peningkatan PAD-nya secara signifikan. Akan tetapi kreativitas pemerintahan daerah
yang berlebihan dan tidak terkontrol dalam memungut pajak daerah dan retribusi
daerah,akan menimbulkan dampak yang merugikan bagi masyarakat dan dunia usaha,
yang pada gilirannya menyebabkan biaya ekonomi tinggi. Oleh karena itu Undang-
Undang Nomor 34 tahun 2000 tetap memberikan batasan kriteria pajak daerah dan
retribusi daerah yang dapat di pungut pemerintahan daerah.
B. Prinsip dan Kriteria Perpajakan Daera
Prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yang memenuhi kriteria umum tentang
perpajakan daerah sebagai berikut:
1. Prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat mudah naik
turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.
2. Adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat
dan secara horizontal, artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat
sehingga tidak ada yang kebal pajak.
3. Administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, memuaskan bagi wajib
pajak.
4. Secara politis dapat diterima oleh masyarakat sehingga timbul motivasi dan kesadaran
pribadi untuk membayar pajak.
5. Nondistorsi terhadap perekonomian: implikasi pajak atau pungutan yang hanya
menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya, setiap pajakatau
pungutan akan menimbulkan suatu beban, baik bagi konsumen maupun produsen. Jangan
sampai suatu pajak atau pungutan menimbulkan beban tambahan yang berlebihan
sehingga merugikan masyarakat secara menyeluruh.Untuk mempertahankan prinsip-
prinsip tersebut, perpajakan daerah harus
memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu sebagai berikut:
1. Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandigan antara penerimaan
pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.
2. Relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar,
kadangkadang meningkat secara drastis dan ada kalanya menurun secara tajam.
3. Tak biasanya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan dan kemampuan
untuk membayar.
C. Ketentuan Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Di negara-negara yang menganut paham hukum, segala sesuatu yang menyangkut
pajak harus ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian,
pemungutan pajak kepada rakyat tentunya harus disertai dengan perangkat peraturan
perundang-undangan yang di sebut dengan hukum pajak. Di Indonesia, Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 23A mengatur dasar hukum pemungutan pajak oleh negara. Pasal
inimenyatakan bahwa pajak dan pungutan lain bersifat memaksa untuk keperluan negara
di atur dengan Undang-Undang.
membiayai penyelenggaraan dan pembangunan daerah. Undang-Undang Nomor 34 tahun
2000 dan peraturan pemerintah pendukungnya yaitu PP Nomor 65 tahun 2001 tentang
pajak daerah dan PP Nomor 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah menjelaskan
perbedaan antara jenis pajak daerah yang di pungut oleh provinsi dan jenis pajak yang
dipungut oleh kabupaten/kota. Pajak provinsi ditetapkan sebanyak empat jenis, yaitu:
vi
1. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air (PKB dan KAA)
2. Bea batik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air (BBNKB dan KAA)
3. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB)
4. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan permukaan (P3ABT dan AP).
Sementara itu, pemerintah daerah kabupaten/kota diberi kewenangan untuk memungut
tujuh jenis pajak, yaitu:
E. Peranan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Mendukung Pembiayaan Daerah
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah ini merupakan
sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh daerah pada umumnya
dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah, yang
merupakan salah satu komponen PAD, belum memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Untuk mengantisifasi desentralisasi dan
proses otonomi daerah, pungutan pajak dan retribusi daerah masih belum dapat
diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Keadaan ini
diperlihatkan dari suatu studi yang dilakukan oleh LPEM-UI bekerja sama dengan clean
Urban Project bahwa banyak permasalan yang terjadi di daerah berkaitan dengan
penggalian dan peningkatan PAD, terutama hal ini disebabkan oleh hal berikut:
vii
keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.
2. Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah
Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan pusat. Dari segi upaya
pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi “ negosiasi” daerah
terhadap pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.
3. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah
Hal ini mengakibatkan pernungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang
besar. PAD masih tergolong memiliki tingkay buoyancy yang rendah. Salah satu
sebabnya adalah diterapkannya sistem “ target” dalam pungutan daerah. Sebagai
akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target tersebut. Walaupun darisisi
pertumbuhan ekonomi, pemasukan
pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target yang ditetapkan.
4. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah
Hal ini mengakibatkan kebocoran yang sangat berati bagi daerah. Selama ini, peranan
PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi
antardaerah, yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian besar daerah provinsi hanya
dapat membiayai kebutuhan pengeluarannya kurang 10%.
5. Variasi dalam penerimaan diperparah lagi dengan sistem bagi hasil (bagi hasil
didasarkan pada daerah penghasil sehingga hanya menguntungkan daerah tertentu).
MATERI 8, HUKUM PAJAK INTERNASIONAL
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian pajak internasional
Pajak internasional dapat didefinisikan sebagai kesepakatan antar negara yang
memiliki Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau yang sering disebut dengan
P3B.Ketentuan dasar pajak internasional ini mengacupada Konvensi Wina.dengan
demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia terhadap badan atau
orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat perjanjian bilateral (dua negara)
tentang Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara asal atau penduduk
asing tersebut.Secara umum,
Ketentuan Pajak Internasional suatu Negara meliputi 2(dua) Dimensi Luas yaitu:
1. Pemajakan terhadap Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) atas ’Penghasilan dari
Luar Negeri, dan. Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan
luar negeri atau transaksi ke luar batas negara (outward,outbound transaction) karena
umumnya melibatkan eksportasi modal ke manca negara Dalam aplikasinya pemajakan
penghasilan luar negeri dilakukan oleh negara domisili (residencecountry).
2. Pemajakan terhadap Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) atas ’Penghasilandari
Dalam Negeri (domestik)’. Dimensi kedua menunjuk pada pemajakan atas
penghasilan domestik atau transaksi ke dalam batas negara (inward,inbound
transaction) karena umumnya melibatkan importasi modal dari manca negara.
setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai,begitu juga
dengan kebijakan perpajakan internasional mempunyai tujuanyang ingin dicapai yaitu:
1. Memajukan perdagangan antar negara,
2. Mendorong laju investasi di masing-masing negara.
viii
penduduk atau bukan penduduk), prinsip ini berpengaruh terhadap subjek dan objek pajak
luar negeri.
ix
kewarganegaraan, sedangkan perjanjian multilateral misalnya Konvensi Wina atau
Konvensi Jenewa