0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
12 tayangan1 halaman
Dokumen tersebut membahas penerapan restorative justice dalam tindak pidana korupsi dengan nominal kecil di Indonesia. Restorative justice diterapkan melalui pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku korupsi sebagai penyelesaian kasus. Penerapannya bertujuan agar kerugian negara dapat kembali tanpa biaya penyidikan dan pemidanaan yang mahal, serta memberikan efek jera melalui sanksi administratif. Meski kontra dengan UU Tipik
Deskripsi Asli:
Judul Asli
Muhammad Dzikri Akbar Syafi'i_231221018_Tugas_Kapita Selekta Hukum Pidana_Revisi
Dokumen tersebut membahas penerapan restorative justice dalam tindak pidana korupsi dengan nominal kecil di Indonesia. Restorative justice diterapkan melalui pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku korupsi sebagai penyelesaian kasus. Penerapannya bertujuan agar kerugian negara dapat kembali tanpa biaya penyidikan dan pemidanaan yang mahal, serta memberikan efek jera melalui sanksi administratif. Meski kontra dengan UU Tipik
Dokumen tersebut membahas penerapan restorative justice dalam tindak pidana korupsi dengan nominal kecil di Indonesia. Restorative justice diterapkan melalui pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku korupsi sebagai penyelesaian kasus. Penerapannya bertujuan agar kerugian negara dapat kembali tanpa biaya penyidikan dan pemidanaan yang mahal, serta memberikan efek jera melalui sanksi administratif. Meski kontra dengan UU Tipik
NIM :231221018 Mata Kuliah : Kapita Selekta Hukum Pidana
Restorative Justice Dalam Tindak Pidana Korupsi
Dasar Hukum : UU No. 30 Th. 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, UU No. 31 Th. 1999 jo UU No. 20 Th. 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, PP No. 48 Th. 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pejabat Pemerintahan., Surat Edaran Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Nomor: B113/F/Fd.1/05/2010 tanggal 18 Mei 2010. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Nomor: B113/F/Fd.1/05/2010 tanggal 18 Mei 2010 dan pernyataan dari Jaksa Agung ST. Burhanuddin yang menyampaikan mekanisme penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara dibawah 50 juta rupiah dapat diselesaikan dengan pengembalian kerugian keuangan negara. Pernyataan Jaksa Agung tersebut merupakan bentuk diskresi dari Kejaksaan untuk membuka pintu penyelesaian tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara dibawah 50 juta rupiah melalui cara restorative justice. Selanjutnya apabila melihat ketentuan Pasal 20 UU No 30 Tahun 2014, bahwa jika berdasarkan hasil pengawasan APIP terdapat kesalahan administratif dan menimbulkan kerugian keuangan negara yang terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang, maka dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara yang dibebankan pada Pejabat Pemerintahan tersebut dalam tenggat waktu 10 hari kerja. Berdasarkan ketentuan tersebut secara tidak langsung UU No. 30 Th. 2014 memberlakukan restorative justice dalam hal penyalahgunaan wewenang dengan pengembalian kerugian keuangan negara dalam jangka waktu 10 hari kerja. Penerapan restorative justice dalam tindak pidana korupsi pada dasarnya contra legem dengan ketentuan Pasal 4 UU Tipikor yang memuat ketentuan bahwa “pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan pidananya pelaku tindak pidana korupsi..”. Akan tetapi, pada kenyataannya pengembalian keuangan negara dapat menghapuskan pidana seperti pada kasus Bambang D.H, Kejati Surabaya tidak menerima berkas perkara dengan alasan kerugian keuangan negara sudah dikembalikan. Selain itu, Pasal 3 UU Tipikor tidak dapat/dipertimbangkan untuk tidak diterapkan jika : ada putusan PTUN yang menyatakan tidak terdapat penyalahgunaan wewenang, kerugian telah dikembalikan oleh pejabat yang membuat keputusan atau yang lakukan Tindakan, dan sebelum penyidikan kerugian keuangan negara telah dikembalikan. Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum yang baik tidak hanya menjamin kepastian hukum semata, tetapi juga harus menjamin keadilan dan kemanfaatan. Sebab keadilan adalah nilai dasar, kemanfaatan adalah nilai praktis, sedangkan kepastian adalah nilai instrumen yang harus diletakkan paling akhir. Dengan demikian penerapan restorative justice dalam tindak pidana korupsi dapat diterapkan dengan melihat pada sisi kemanfaatan dan keadilan yang didapat. Dengan diterapkannya restorative justice dalam tindak pidana korupsi dengan nominal kecil, kerugian keuangan negara dapat kembali tanpa harus negara mengeluarkan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan kerugian tersebut untuk memproses, memidana, dan memberi makan dan minum kepada terpidana korupsi mengingat 1 kasus korupsi saja yang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan dapat memakan biaya lebih dari 200 juta, serta selain itu untuk mencegah bertambahnya beban lapas yang saat ini sudah over capacity. Selain memberikan manfaat, penerapan restorative justice dalam tindak pidana korupsi juga memberikan keadilan dengan kembalinya kerugian keuangan negara dan pemberian efek jera terhadap pelaku korupsi melalui sanksi administrative yang diatur dalam PP No. 48 tahun 2016.
Fira Janice Natasha Sinuraya_DENDA DAMAI OLEH KEJAKSAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENGGANTIKAN PIDANA BADAN SEBAGAI UPAYA MENGOPTIMALKAN PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA MUNGKINKAH._Lomba KTI Kejari Lamongan_Mahasiwa