Anda di halaman 1dari 5

Ujian Akhir Semester

Nama : Muhammad Dzikri Akbar Syafi’i

NIM : 231221018

Mata Kuliah : Hukum Pidana Korporasi

Tanda Tangan :

SOAL

1. Jelaskan dan tulis bunyi pasal undang-undang yang mengatur hal tersebut
dibawah ini :
a. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang
harus memikul pertanggungjawaban pidana.
b. Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan
keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
2. Jelaskan secara singkat dengan menulis bunyi pasal undang-undangnya, bahwa
undang-undang tersebut pada hakikatnya mengatur tentang korporasi, tetapi
tidak ada satu pasalpun undang-undang tersebut mengatur ketentuan pidana
terhadap korporasi.
3. Jelaskan secara singkat bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi,
menurut Perma 13 Tahun 2016.

JAWABAN

1.
a. Pasal Undang-Undang yang mengatur Korporasi sebagai pelaku tindak
pidana dan korporasi itu sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban
pidana.
Meskipun dalam Pasal 1 tidak dijelaskan apakah frasa “setiap orang” dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 hanya mencakup orang perseorangan
saja atau juga korporasi. Namun pada. Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 menyebutkan bahwa “Dalam hal tindak pidana sumber
daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 dan Pasal 95 dilakukan oleh
badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha yang bersangkutan”.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa Pasal 96 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai Korporasi
sebagai pelaku tindak pidana, khususnya untuk Pasal 94 dan Pasal 95
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 dan terkait dengan
pertanggungjawaban pidananya dibebankan pada Korporasi itu sendiri.
Selanjutnya dalam Pasal 96 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
tersebut juga mengatur mengenai sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap
Korporasi, yakni pidana denda ditambah 1/3 (sepertiga) denda yang
dijatuhkan.
b. Pasal Undang-Undang yang mengatur Pengurus dan Korporasi sebagai
pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul
pertanggungjawaban pidana.
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia menjelaskan bahwa “Setiap orang
adalah orang perseorangan, termasuk korporasi“, dengan demikian Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 mengatur korporasi sebagai subjek hukum.
Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Pasal 38 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 menyebutkan bahwa “Dalam hal
tindak pidana sebagaimana dimasud dalam Pasal 37 dilakukan korporasi,
pengenaan pidana dijatuhkan kepada korporasi dan/atau pengurus yang
bertindak untuk dan atas nama korporasi”. Berdasarkan ketentuan Pasal 37
tersebut maka baik Korporasi dan Pengurus yang bertindak untuk dan atas
nama korporasilah yang memikul pertanggungjawaban pidana. Terkait
penjatuhan pidananya dapat dijatuhkan pada Korporasi saja atau Pengurus
saja, serta Korporasi dan Pengurus secara bersama-sama.
Kemudian dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3) menjelaskan mengenai
masing-masing sanksi pidana yang dapat dijatuhkan baik untuk Korporasi
dan Pengurus Korporasi. Sanksi Pidana untuk Korporasi yakni, Pidana denda
paling sedikit Rp. 1.000.000.000 dan paling banyak Rp. 5.000.000.000 dan
pencabutan izin usahanya. Sanksi Pidana untuk Pengurus Korporasi yakni
pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun, dan denda
paling sedikit Rp. 1.000.000.000 dan paling banyak Rp. 5.000.000.000.

2. Bunyi pasal undang-undangnya, bahwa undang-undang tersebut pada


hakikatnya mengatur tentang korporasi, tetapi tidak ada satu pasal pun undang-
undang tersebut mengatur ketentuan pidana terhadap korporasi.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
menyebutkan bahwa “wakif meliputi : a. Perseorangan, b. organisasi, c. badan
hukum”. Wakif berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
Selanjutnya Pasal 9 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 mengatakan bahwa
“Nazhir meliputi : a. perseorangan, b. organisasi, c. badan hukum”. Nazhir
menurut ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 dan
9 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dengan diaturnya wakif (pihak yang
mewakafkan harta benda miliknya) dan nazhir (pihak yang menerima harta
benda wakaf dari wakif) dapat berupa badan hukum, maka Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 pada hakikatnya mengatur dan mengakui korporasi
sebagai pihak dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004. Akan tetapi dalam
Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 ini tidak
mengatur ketentuan pemidanaan terhadap korporasi, hanya pemidanaan
terhadap “setiap orang” dan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tidak
dijelaskan apakah korporasi termasuk kedalam frasa “setiap orang tersebut”.

3. Menurut Pasal 3 Perma Nomor 13 Tahun 2016 bahwa “Tindak pidana oleh
korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan
hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun
di luar Lingkungan Korporasi”. Apabila melihat dari ketentuan Pasal 3 Perma
Nomor 13 Tahun 2016, teori pertanggungjawaban korporasi yang digunakan
adalah Teori Identifikasi dan Teori Vicarious Liability. Menurut Teori
Identifikasi Korporasi dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui
orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan korporasi dan dipandang
sebagai korporasi itu sendiri. Dalam keadaan demikian mereka tidak sebagai
pengganti dan oleh karena itu pertanggungjawabannya tidak bersifat
petanggungjawaban pribadi melainkan pertanggungjawaban korporasi.
Selanjutnya menurut Teori Vicarious majikan (employer) adalah
penanggungjawab utama dari perbuatan-perbuatan para buruh/karyawan yang
melakukan itu dalam ruang lingkup tugas/pekerjaannya.
Menurut Pasal 4 ayat (1) Perma Nomor 13 Tahun 2016 “Korporasi dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan pidana
Korporasi dalam undang-undang yang mengatur tentang Korporasi”. Dengan
apabila terdapat undang-undang yang mengatur pertanggungjawaban pidana
korporasi maka terkait pertanggungjawaban korporasi dapat mengikuti
ketentuan dalam undang-undang yang mengatur pertanggungjawaban korporasi
tersebut.
Terkait kesalahan korporasi sebagai penilaian hakim dalam menjatuhkan
pidana terhadap korporasi diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Perma Nomor 13 Tahun
2016 antara lain : a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari
tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan
korporasi; b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau c. Korporasi
tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan
pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan
hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Terkait penjatuhan pidana apabila mengacu pada Pasal 23 Perma Nomor 13
Tahun 2016, maka penjatuhan pidana dapat dijatuhkan pada Korporasi saja atau
Pengurus saja, ataupun pada keduanya sekaligus. Penjatuhan pidana oleh hakim
didasarkan pada masing-masing undang-undang yang mengatur ancaman pidana
terhadap Korporasi dan/atau Pengurus. Berhenti atau meninggalnya seseorang
atau lebih pengurus Korporasi tidak mengakibatkan hilangnya
pertanggungjawaban Korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Perma Nomor
13 Tahun 2016.

Anda mungkin juga menyukai