Secara umum dapat dijelaskan bahwa anak harus diberlakukan dengan tidak membedakan perlakuan dalam segala hal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender. Perlindungan Anak itu sendiri meliputi ruang lingkup yang cukup luas, dalam arti bahwa perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan atas jiwa dan raga si anak, tapi mencakup pula perlindungan atas semua hak serta kepentingannya yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang wajar. Dalam hal menjamin seorang anak agar kehidupannya bisa berjalan normal maka negara telah memberikan perlindungan hukum yakni Undang- Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.1 Anak yang melakukan pelanggaran hukum sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak. kebijakan penganggulangan kejahatan merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi dari sebuah kejahatan. 2 Pada hakikatnya anak tidak dapat untuk melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian baik fisik, mental maupun sosial dalam berbagai bidang kehidupan. Perlindungan juga harus diberikan kepada anak yang melakukan perbuatan menyimpang maupun perbuatan yang melanggar hukum, khususnya dalam pelaksanaan peradilan pidana anak yang asing bagi dirinya. Anak perlu mendapat perlindungan dari kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan terhadap dirinya yang menimbulkan kerugian 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 2 Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Bandung: Refika Aditama, hal. 15 mental, fisik, maupun sosial.3 Penanganan perkara anak yang tidak dibedakan dengan perkara orang dewasa dipandang tidak tepat karena sistem yang demikian akan merugikan kepentingan anak yang bersangkutan. Misalnya, anak akan merasa stres dan ketakutansehingga menjadi lebih pendiam dan kurang kreatif. Untuk itu pemerintah mengesahkan undang-undang mengenai anak-anak khususnya bagi anak yang melakukan tindak pidana di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan tujuan: (1) untuk mengetahui realita tindak pidana yang dilakukan oleh anak di Polres Wonogiri kedua, (2) untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana ketiga, dan (3) untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada anak yang melakukan tindak pidana. Sementara itu manfaat penelitian ini adalah: Pertama, secara teoritis diharapkan (1) dapat menambah wawasan berpikir serta ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum pidana khususnya dalam hal perlindungan hukum dalam penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak; dan (2) sebagai sarana untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa serta para pembaca terkait. Perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Kedua, secara praktis adalah penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat, karena dengan adanya penelitian ini memberikan informasi serta pemahaman kepada masyarakat terkait dengan perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana dan memberikan masukan bagi aparat penegak hukum dalam rangka menegakkan keadilan.
3 Maidi Gultom, 2008, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia, Bandung:Rafika Aditama, hal. 2.