Anda di halaman 1dari 72

MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)


BAGI APARAT PENEGAK HUKUM DAN PIHAK TERKAIT

ANALISIS SITUASI ANAK


YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM
DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2014
TENTANG HAK CIPTA

Pasal 1

1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasar-
kan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tan-
pa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-un-
dangan.

Pasal 113

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi se-
bagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).

2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau peme-
gang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana di-
maksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).

3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau peme-
gang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana di-
maksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).

4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana pen-
jara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
BAGI APARAT PENEGAK HUKUM DAN PIHAK TERKAIT

ANALISIS SITUASI ANAK


YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM
DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Penulis :
F. Haru Tamtomo
Naniek Pangestuti

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA


HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
2021
MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERPADU
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (SPPA)
BAGI APARAT PENEGAK HUKUM DAN PIHAK TERKAIT
ANALISIS SITUASI ANAK YANG BERHADAPAN
DENGAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN
PIDANA ANAK

Tim Penulis:
F. Haru Tamtomo
Naniek Pangestuti

BPSDM KUMHAM Press


Jalan Raya Gandul No. 4 Cinere – Depok 16512
Telepon (021) 7540077, 754124 Faksimili (021) 7543709, 7546120
Laman: http://bpsdm.kemenkumham.go.id

Cetakan ke-1 : Januari 2021


Perancang Sampul : Yulius Purnomo
Penata Letak : Yulius Purnomo

Sumber Ilustrasi: quinnanlaw.com.com

xiv+56 hlm.; 18 × 25 cm
ISBN:

Hak cipta dilindungi Undang-Undang.


Dilarang mengutip dan mempublikasikan
sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin dari Penerbit

Dicetak oleh:
PERCETAKAN POHON CAHAYA

isi di luar tanggung jawab percetakan


SAMBUTAN
KEPALA BPSDM HUKUM DAN HAM

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa,
berkat rahmat dan karunia-Nya, review Modul Pelatihan Terpadu Sistem Peradilan
Pidana Anak (SPPA) dengan Judul Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan
Dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak telah terselesaikan.

BPSDM Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai Koordinator Pelatihan


Terpadu SPPA bagi Aparat Penegak Hukum dan Instansi Terkait, yang memiliki
tujuan meningkatkan kualitas pelatihan Terpadu SPPA, dan mewujudkan
kompetensi yang diharapkan bagi Aparat Penegak Hukum (APH) dan pihak
terkait dalam implementasi Undang-Undang SPPA Nomor 11 Tahun 2012, perlu
melaksanakan review atau update modul Pelatihan Terpadu SPPA.

Dalam penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) diperlukan


keterpaduan beberapa Instansi dan pihak terkait, yaitu Kepolisian, Kejaksaan,
Hakim/Peradilan, Penasehat Hukum/Advokad, Pembimbing Kemasyarakatan/
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Pekerja Sosial/ Kementerian
Sosial. Keterpaduan antara APH dan pihak terkait menjadi kata kunci untuk
keberhasilan pelaksanaan prinsip keadilan restoratif dan diversi yang jadi
pendekatan utama UU SPPA.

Perpres No. 175 Tahun 2014 tentang Pendidikan dan Pelatihan Terpadu
bagi Penegak Hukum dan Pihak Terkait Mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak
mengatur tujuan dari pelaksanaan Diklat Terpadu, yaitu untuk menyamakan persepsi
dalam penanganan ABH dalam SPPA, terutama agar memiliki pemahaman yang

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum v


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
sama tentang hak-hak anak, keadilan restoratif dan diversi, serta meningkatkan
kompetensi teknis APH dan pihak terkait dalam penanganan ABH.

Anak adalah generasi penerus yang dalam diri mereka melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya. Tanpa keterpaduan, mustahil cita-cita luhur
untuk memulihkan kondisi ABH dapat terwujud. Adalah menjadi tanggung jawab
kita semua untuk memastikan agar prinsip kepentingan terbaik bagi anak atau the
best interest of child selalu menjadi pegangan dalam mengatasi persoalan anak,
termasuk mereka yang sedang berhadapan dengan hukum.

Dalam kesempatan ini, kami atas nama BPSDM Hukum dan Hak Asasi
Manusia menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak atas dukungan
dan kontribusinya dalam penyelesaian review modul ini. Semoga modul ini dapat
berkontribusi positif bagi APH dan pihak terkait dalam penanganan ABH.

Selamat Membaca, Salam Pembelajar.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Depok, 18 November 2021


Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Hukum dan Hak Asasi Manusia,

Dr. Asep Kurnia


NIP 196611191986031001

vi Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


vi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
KATA SAMBUTAN

Anak sebagai generasi penerus bangsa merupakan kelompok rentan


(vulnerable groups) yang perlindungan dan pemenuhan haknya disebut secara
lugas dalam UUD 1945. Salah satu kelompok anak yang paling rentan adalah
Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Status, keterbatasan pengetahuan dan
kebelum-dewasaan mereka membutuhkan penanganan yang tidak biasa, yang
khusus apabila dibandingkan dengan orang dewasa.

Berangkat dari Konvensi Hak Anak yang diratifikasi Indonesia pada tahun
1990 dengan Keputusan Presiden No. 36, UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
disepakatilah UU No. 11 Tahun 2012 mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dengan memperkenalkan pendekatan keadilan restoratif, undang-undang ini
membawa paradigma baru dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan
anak. Pendekatan dan paradigma baru ini tentu saja merupakan hal baru sehingga
diperlukan adanya pelatihan bagi mereka yang akan menerapkannya di lapangan.

Tahun ini UU SPPA berusia 9 tahun, walau pelaksanaannya baru berjalan


7 tahun. Sebagai lembaga utama yang bertugas melakukan pelatihan terpadu
di Kementerian Hukum dan HAM, BPSDM telah berkiprah lama dalam pelatihan
bagi aparatur penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat, Pembimbing
Kemasyarakatan) dan juga Pekerja Sosial. Pelatihan terpadu menjadi program
penting bagi pemerintah Indonesia, sebagai refleksi kehadiran Negara bagi Anak
yang berhadapan dengan hukum, agar dicapai persamaan persepsi antar aparatur
penegak hukum yang menangani anak.

Salah satu upaya penting BPSDM untuk mengembangkan pelatihan terpadu


ini adalah dengan menyusun Modul Pelatihan Terpadu, yang dirancang dan

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum vii


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
ditulis bersama oleh perwakilan dari praktisi hukum, akademisi dan kementerian
terkait. Selain materi pembelajaran berupa kajian teoritis, instrumen internasional,
landasan hukum dan studi kasus, modul ini juga memuat metode pembelajaran
yang dapat digunakan instruktur. Dengan modul ini diharapkan bahwa para
instruktur, fasilitator dan juga peserta akan memperoleh manfaat yang besar dalam
mengembangkannya.

Selain itu BPSDM juga mengembangkan metode pelatihan terpadu di masa


pandemi dengan memanfaatkan metode dalam jaringan atau daring (online).
Pelatihan daring ini sedikit banyak merupakan blessing in disguise baik bagi
BPSDM maupun peserta dan lembaga terkait, karena para peserta tidak perlu
meninggalkan pekerjaan untuk hadir di Jakarta, dan memiliki kesempatan untuk
mempelajari Modul di waktu yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.

Tiada gading yang tak retak, tentu Modul ini tidak sempurna. Oleh karenanya
masukan dan kritik pembaca atas Modul ini diharapkan untuk menyempurnakan­
nya. Akhirnya, saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada BPSDM
Kementerian Hukum dan HAM serta seluruh pihak yang telah bekerja sama dalam
pembuatan modul ini. Mari bersama kita lindungi generasi muda Indonesia.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, November 2021


Guru Besar Universitas Indonesia,

Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., PhD.

viii Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


viii Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji Syukur ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
kehendak dan perkenan-Nya masih diberikan kesempatan dan kesehatan dalam
rangka penyusunan review Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan
Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak SPPA tahun 2021 dapat terlaksana
dengan baik. Di mana Pelatihan Terpadu SPPA sebagai kegiatan Prioritas Nasional,
BAPPENAS mengharapkan pada tahun 2021 untuk dilaksanakan review terhadap
modul-modul Pelatihan Terpadu SPPA.

Modul Pelatihan Terpadu SPPA berjudul Modul Orientasi Pelatihan sebagai


sumber pembelajaran dalam memahami peran dan fungsi Aparat Penegak Hukum
(APH) dan pihak terkait dalam melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang SPPA. Upaya melaksanakan SPPA sebagai bentuk
jaminan dan perlindungan atas hak anak yang berhadapan dengan hukum yang
menekankan keadilan restoratif, diperlukan kesiapan seluruh APH dan pihak
terkait lainnya yang terlibat dalam sistem hukum pidana anak untuk memahami
peran dan fungsinya masing-masing sesuai peraturan perundang-undangan.

Untuk menyamakan persepsi di antara penegak hukum dalam meng­


implementasikan undang-undang terbit Peraturan Presiden Nomor 175 Tahun
2014 tentang Pendidikan dan Pelatihan Terpadu Bagi Penegak Hukum dan Pihak
Terkait Mengenai SPPA, serta Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 31
Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Diklat Terpadu SPPA Bagi Aparat
Penegak Hukum dan Instansi Terkait, sebagai panduan dalam pelaksanaan
Pelatihan Terpadu Sistem Peradilan Pidana Anak. Pada masa Pandemi Covid-19

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum ix


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
dilakukan penyesuaian metode pembelajaran dengan cara distance learning
dengan memanfaatkan jaringan internet/virtual dan aplikasi Learning Management
System (LMS).

Demikian penyusunan review Modul Pelatihan Terpadu SPPA ini, dengan


harapan modul ini dapat bermanfaat dalam meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan bagi pembaca khususnya Aparatur Penegak Hukum dan Instansi
terkait lainnya dalam melaksanakan amanat Undang-Undang SPPA.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Depok, 09 November 2021


Kepala Pusat Pengembangan Diklat
Teknis dan Kepemimpinan,

Cucu Koswala, S.H., M.Si.


NIP. 19611212 198503 1 002

x Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


x Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
DAFTAR ISI

SAMBUTAN KABADAN............................................................................................. v
KATA SAMBUTAN........................................................................................... vii
KATA PENGANTAR....................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL.............................................................................................. xiv

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 3
A. Latar Belakang................................................................................... 3
B. Deskripsi Singkat............................................................................... 7
C. Manfaat Modul................................................................................... 7
D. Indikator Hasil Belajar ....................................................................... 7
E. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok................................................. 8
F. Petunjuk Belajar ................................................................................ 8

BAB II KONSEP ANAK DAN ANAK YANG BERHADAPAN


DENGAN HUKUM (ABH)................................................................ 9
A. Konsep Anak...................................................................................... 9
B. Konsep Anak, Anak Korban dan Anak Saksi
Menurut Undang-Undang SPPA........................................................ 10
C. Latihan............................................................................................... 12
D. Rangkuman ...................................................................................... 12
E. Evaluasi............................................................................................. 13
F. Tindak Lanjut..................................................................................... 13

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum xi


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
BAB III LATAR BELAKANG DAN GAMBARAN ANAK
YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM..................................... 15
A. Latar Belakang Tindak Pidana Anak.................................................. 15
B. Jenis Tindak Pidana yang Umum Dilakukan oleh Anak..................... 19
C. Profil Anak yang Berhadapan dengan Hukum................................... 21
D. Latihan............................................................................................... 22
E. Rangkuman....................................................................................... 24
F. Evaluasi............................................................................................. 25
G. Tindak Lanjut..................................................................................... 25

BAB IV DAMPAK PERADILAN BAGI ANAK............................................... 27


A. Dampak Proses Peradilan terhadap Anak Pelaku............................. 27
B. Dampak Proses Peradilan terhadap Anak Korban............................ 29
C. Latihan............................................................................................... 31
D. Rangkuman....................................................................................... 31
E. Evaluasi............................................................................................. 31
F. Tindak Lanjut .................................................................................... 32

BAB V PERAN PILAR –PILAR DALAM SISTEM PERADILAN


PIDANA ANAK.................................................................................. 33
A. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak ............................................. 33
B. Peran Pilar-Pilar dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.................... 38
C. Latihan............................................................................................... 47
D. Rangkuman....................................................................................... 48
E. Evaluasi............................................................................................. 48
F. Tindak Lanjut .................................................................................... 48

BAB VI PENUTUP......................................................................................... 51
A. Kesimpulan........................................................................................ 51
B. Tindak Lanjut .................................................................................... 52
KUNCI JAWABAN EVALUASI...................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 55

xii Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


xii Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Data ABH di seluruh UPT Pemasyarakatan.......................... 2


Gambar 1.2. Potret anak yang berhadapan dengan hukum...................... 3
Gambar 3.1. Data Anak yang Berhadapan dengan Hukum 10 tahun
terakhir dari KPAI.................................................................. 14
Gambar 3.2. Data Jenis tindak pidana anak di LPKA
dan Rutan/Lapas Dewasa..................................................... 18
Gambar 3.3. Data Jenis Tindak Pidana Anak per Oktober 2021............... 18
Gambar 3.0.4. Data Anak berdasarkan Jenis Kelamin................................. 20
Gambar 3.0.5. Data Anak berdasarkan Usia................................................ 20
Gambar 5.1. Sistem Peradilan Pidana Anak.............................................. 36

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum xiii


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Batasan usia anak dalam beberapa Perundangan


di Indonesia........................................................................... 7

xiv Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


xiv Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tahun 2021 adalah tahun ke 7 (tujuh) sejak Undang-Undang No.11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan berlaku pada tahun 2014.
Belum bisa disebut usia yang panjang untuk berlakunya suatu Undang-Undang di
Indonesia namun juga tidak bias dikatakan pendek, mengingat isu perlindungan
hak anak menjadi salah satu isu penting yang harus menjadi perhatian negara
Indonesia. Ada banyak sekali tulisan baik berupa artikel, karya ilmiah maupun
buku-buku referensi yang menulis tentang larangan membawa anak ke ranah
pidana. Terkadang anak mengalami situasi sulit yang membuatnya melakukan
tindakan yang melanggar hukum. Namun demikian, anak yang melanggar
hukum tidak layak untuk dihukum apalagi kemudian dimasukan ke dalam penjara
(sekarang Lembaga Pembinaan Khusus Anak). Anak bukanlah untuk dihukum
melainkan harus diberi bimbingan dan pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan
berkembang sebagai anak yang normal yang sehat dan cerdas seutuhnya. Anak
adalah anugrah Allah Yang Maha Kuasa sebagai calon generasi penerus bangsa
yang masih dalam perkembangan fisik dan mental. (Arliman 2017)

Penanganan perkara pidana terhadap anak tentunya berbeda dengan


penanganan perkara terhadap usia dewasa, penanganan terhadap anak tersebut
bersifat khusus karena itu diatur pula dalam peraturan tersendiri. Pemahaman
terhadap proses penanganan perkara anak tentunya mungkin masih ada
sebahagian kalangan masyarakat yang belum mengerti atau paham, sehingga
kadang-kadang memunculkan penilaian bermacam-macam, malah yang lebih fatal
bilamana terjadi salah penilaian bahwa penanganan terhadap anak khususnya

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 1


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
anak yang berkonflik hukum mendapatkan perlakuan istimewa dan ada juga yang
menganggap anak tidak bisa dihukum padahal tidak sejauh itu, hanya saja proses
penanganannya diatur secara khusus.

Sebelum Undang-Undang 11 tahun 2012 diberlakukan, setidaknya lebih


dari 4,000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan
ringan seperti pencurian. Pada umumnya, mereka tidak mendapatkan dukungan
yang selayaknya, sehingga sebagian besar dari mereka harus menjalani hari-
harinya dibalik tembok penjara. Yang memprihatinkan, mereka seringkali disatukan
dengan orang dewasa karena kurangnya alternatif terhadap hukuman penjara.
Mereka ditempatkan dalam posisi yang penuh bahaya: terjerumus ke dalam
penyiksaan oleh narapidana dewasa dan aparat penegak hukum. Berikut data
anak yang berhadapan dengan hukum di seluruh UPT Pemasyarakatan hingga
bulan Maret Tahun 2021 :

Gambar 1.1 Data ABH di seluruh UPT Pemasyarakatan

Dari data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hingga 9 tahun sejak
Undang Undang Sistem Peradilan anak disyahakan pada tahun 2012 masih
terdapat 1.828 anak menjalani pidana di UPT Pemasyarakatan dengan sebaran

2 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


2 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
1.033 (sebesar 56,5 %) anak berada di 33 Lembaga Pembinaan Khusus Anak
dan sebanyak 796 (43,5%) dititipkan pada Rutan atau Lapas Dewasa. Ketika
kita belum pernah menginjakan kaki ke Lembaga Pemasyarakatan, barangkali
kita tidak akan bisa membayangkan apa yang akan dialami anak-anak di Rutan/
Lembaga Pemasyarakatan bersama orang dewasa. Meskipun dalam peraturannya
mereka harus dipisah, namun kondisi over crowding di Rutan dan Lembaga
Pemasyarakatan yang hampir mencapai 200 %. Data per 14 Februari tahun 2021
ini terdapat 252.384 orang warga binaan pemasyarakatan terdiri dari narapidana
dan tahanan. Dan untuk kapasitas lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan
negara kita saat ini itu hanya 135.704 orang.1

Disampaikan oleh Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas bahwa potret


angka anak yang berhadapan dengan hukum menunjukan bahwa angka
pemenjaraan terhadap anak masih tinggi.2 Berikut data yang disampaikan, yang
diambil dari Kemententerian Hukum dan HAM per Juli 2021:

Gambar 1.2. Potret anak yang berhadapan dengan hukum

1 https://news.detik.com/berita/d-5374503/ditjen-pas-warga-binaan-252384-orang-kapasitas-lapas-
rutan-hanya-135704, diakses Oktober 2021
2 Paparan Direktur Hukum dan regulasi Bappenas dalam kegiatan Revisi Modul SPPA, Bogor, 22 –
24 November 2021 di Hotel Sahira,Bogor.

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 3


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Salah satu bentuk pertanggung jawaban yang diberikan oleh Negara,
Indonesia sebagai negara hukum telah meratifikasi Instrumen Internasional
Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, negara wajib melaksanakan perlindungan,
penghormatan, dan penegakkan hak asasi manusia termasuk didalamnya hak
anak. Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional Hak Anak (KHA) melalui
Keppres No. 36 tahun 1990. Dalam perkembangannya Pemerintah juga
menerbitkan Undang Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
sekarang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Selain itu Indonesia pernah memberlakukan Undang Undang
Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang sekarang diganti dengan
Undang Undang 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Masyarakat luas menilai keberadaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997


tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan
pelindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu
disempurnakan dengan Undang-Undang baru; Pemerintah Indonesia merespon
permasalahan dan kebutuhan akan perlindungan bagi anak dengan menerbitkan
dan memberlakukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. Semua Instrumen Hukum Nasional ini dimaksudkan
untuk memberikan jaminan perlindungan hak-hak anak sesuai kebutuhan
perkembangannya ketika mereka berhadapan dengan hukum dan harus menjalani
proses peradilan.

Dengan semangat memberikan kepastian perlindungan kepada anak yang


berhadapan dengan hukum, aparat penegak hukum dan instansi terkait penting
untuk memahami dan melakukan analisa situasi anak yang berhadapan dengan
hukum. Tujuannya adalah agar anak-anak yang menjalani proses peradilan maupun
anak-anak yang kemudian harus menjalani pidana pada lembaga penahanan atau
pemenjaraan tetap mendapat perlakuan sesuai dengan usia dan kebutuhannya.
Perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tidak bisa disamakan
dengan orang dewasa. Untuk itu Modul ini dibuat agar Aparat Penegak Hukum

4 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


4 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
dan Instansi terkait melakukan analisa terhadap situasi anak yang berhadapan
dengan hukum.

B. DESKRIPSI SINGKAT
Mata Diklat Analisis Situasi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum
membahas tentang analisa situasi anak pelaku, anak korban, anak saksi dalam
sistem peradilan pidana anak. Modul ini berisi materi tentang konsep anak yang
berhadapan dengan hukum, jenis tindak pidana umum yang dilakukan oleh anak,
dampak peradilan bagi anak, serta peran pilar pilar dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak.

C. MANFAAT MODUL
Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta yang terdiri dari unsur
kepolisian, kejaksaan, Hakim, Pembimbing kemasyarakatan, Pekerja sosial dan
Advokat, diharapkan mampu memahami dan menganalisis situasi anak pelaku,
anak korban, anak saksi serta mendapatkan gambaran sistem peradilan pidana
anak secara utuh dengan materi pokok analisa situasi anak pelaku, anak korban,
anak saksi, dan gambaran sistem peradilan pidana anak. Modul ini berisi materi
tentang konsep anak yang berhadapan dengan hukum, jenis tindak pidana umum
yang dilakukan oleh anak, dampak peradilan bagi anak, serta peran pilar pilar
dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

D. INDIKATOR HASIL BELAJAR


Peserta mampu:

1. Menjelaskan konsep anak dan anak yang berhadapan dengan hukum.

2. Menjelaskan latar belakang dab gambaran anak yang berhadapan dengan


hukum

3. Menjelaskan dampak peradilan bagi anak yang berhadapan dengan hukum

4. Menjelaskan Peran Pilar-Pilar dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 5


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
E. MATERI POKOK DAN SUB MATERI POKOK
1. Konsep Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

a. Konsep Anak

b. Konsep anak yang berhadapan dengan hukum menurut Undang


Undang Sistem Peradilan Pidana Anak

2. Latar Belakang dan Gambaran anak yang berhadapan dengan hukum

a. Latar Belakang tindak pidana anak

b. Jenis tindak pidana umum yang dilakukan oleh anak

c. Profil Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

3. Dampak peradilan bagi anak

a. Dampak proses peradilan bagi anak pelaku

b. Dampak proses peradilan bagi korban

4. Peran Pilar-pilar dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

F. PETUNJUK BELAJAR
Untuk mempermudah penggunaan modul dan memberikan hasil yang
optimal dalam proses pembelajaran, maka ada beberapa petunjuk yang harus
dilakukan, yaitu:

1. Bacalah tahap demi tahap dari bab/sub bab yang telah disusun secara
kronologis sesuai dengan urutan pemahaman.

2. Selesaikan belajar dalam bab pertama dahulu, setelah paham dan


selesai melakukan semua petunjuk dari bab tersebut diselesaikan secara
menyeluruh baru dapat beranjak ke bab berikutnya. Sehingga peserta diklat
dapat mengukur keberhasilan masing-masing secara bertahap.

3. Pahami setiap penjelasan dan tugas yang ada dalam modul, apabila belum
mengerti maka dapat dikonsultasikan kepada widyaiswara/ fasilitator.

6 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


6 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
BAB II
KONSEP ANAK DAN ANAK YANG BERHADAPAN
DENGAN HUKUM (ABH)

Setelah pembelajaran peserta diharapkan mampu menjelaskan


konsep anak dan anak yang berhadapan dengan hukum

A. KONSEP ANAK
Sistem perundang-undangan di Indonesia belum memiliki unifikasi tentang
hukum anak, akan tetapi sudah terkodifikasi dalam beberapa peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Saat ini beberapa Undang-Undang memberikan pengetian
anak lebih menitik beratkan pada pembatasan usia. Untuk lebih jelasnya, penulis
menyajikan beberapa pengertian Hukum Anak yang sudah terkodifikasi. Di
Indonesia ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
anak, misalnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,
Undang-Undang Nomor 4 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan Berbagai peraturan lain
yang berkaitan dengan perlindungan hak anak. Tabel di bawah ini merangkum
definisi anak yang diatur oleh beberapa peraturan tersebut.
Tabel 2.1 Batasan usia anak dalam beberapa Perundangan di Indonesia

Peraturan Pengertian Anak


Undang-Undang Nomor 39 “Anak adalah setiap manusia yang berusia
Tahun 1999 tentang Hak Asasi di bawah 18 (delapan belas) tahun dan
Manusia Pasal 1 butir 5 belum menikah, termasuk anak yang masih
dalam kandungan apabila hal tersebut demi
kepentingannya.”

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 7


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Peraturan Pengertian Anak
Undang-Undang No. 35 Tahun “Adalah seorang yang belum berusia 18 tahun,
2014 Tentang Perlindungan termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Anak Pasal 1
Undang-Undang No. 4 Tahun “Anak adalah seseorang yang belum mencapai
1979 Tentang Kesejahteraan umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah
Anak Pasal 1 angka 2 kawin.”
Undang-Undang No 1 tahun “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
1974 ttg Perkawinan Pasal 1 mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun”
Undang-Undang No 16 Sebagai amanat Mahkamah Konstitusi (MK). UU
Tahun 2019 sebagai “Perkawinan yang baru mengubah batas minimal
Perubahan Atas Undang- menikah laki-laki dan perempuan yang akan
Undang Nomor 1 Tahun 1974 menikah minimal di usia 19 tahun”
tentang Perkawinan
Undang-Undang No. 25 tahun “anak adalah orang laki-laki atau wanita yang
1997 ttg ketenagakerjaan, berumur kurang dari 15 tahun”
Pasal 1 angka 20
Undang-Undang No.13 tahun “Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah
2003 ttg ketenagakerjaan, 18 (delapan belas) tahun”
Pasal 1 angka 26
Convention on The Rights of “Setiap orang di bawah usia 18 tahun, kecuali
the Child Pasal 1 berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak,
kedewasaan telah diperoleh sebelumnya.”
Diolah oleh penulis dari berbagai Peraturan

Berdasarkan beberapa pengertian anak tersebut di atas, terlihat bahwa


dalam hukum positif di Indonesia terdapat pluralisme mengenai kriteria anak.
Hal ini disebabkan tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara
tersendiri krteria tentang anak.

B. KONSEP ANAK, ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI MENURUT

UNDANG-UNDANG SPPA
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak (Undang- Undang Pengadilan Anak). Tujuan mengganti Undang
Undang Pengadilan Anak adalah untuk mewujudkan peradilan yang benar-benar

8 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


8 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum. Undang Undang Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif
memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.

Undang –Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mendefinisikan anak


sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan
membedakan anak yang yang berhadapan dengan hukum, dalam tiga kategori
yaitu:

1. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang


SPPA);

2. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka 4
Undang-Undang SPPA); dan

3. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5
Undang Undang SPPA)

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang Undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan definisi anak yang berhadapan dengan
hukum, yaitu :

“Anak yang berhadapan dengan Hukum adalah anak yang


berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak
pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.”

Selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa:

“Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya


disebut Anak, adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”

Lebih lanjut dalam pasal 1 ayat (4) dijelaskan:

“Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 9


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik,
mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh
tindak pidana.”

Selanjutnya dalam ayat (5) dijelaskan:

“Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya


disebut Anak saksi adalah anak yang belum berumur
18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang
didengar, dilihat, dan /atau dialaminya sendiri.”

Sebelumnya, Undang Undang Pengadilan Anak tidak membedakan kategori


Anak Korban dan Anak Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak
mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana
yang tidak terselesaikan atau bahkan tidak dilaporkan karena anak cenderung
ketakutan menghadapi sistem peradilan pidana.

C. LATIHAN
Setelah anda membaca materi tersebut, kerjakan letihan dibawah ini :

1. Diskusikan secara berkelompok konsep anak dan anak yang berhadapan


dengan hukum.

2. Buatlah presentasi singkat dari hasil diskusi tersebut.

D. RANGKUMAN
Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA merupakan pengganti
dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (“Undang
Undang Pengadilan Anak”) yang bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang
benar-benar menjamin perlindungan dan kepentingan terbaik terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum. Sebelumnya, Undang Undang Pengadilan Anak tidak

10 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


10 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
membedakan kategori Anak Korban dan Anak Saksi sehingga konsekuensinya,
Anak Korban dan Anak Saksi tidak mendapatkan perlindungan hukum.

Undang –Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mendefinisikan anak


sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan
membedakan anak yang yang berhadapan dengan hukum, dalam tiga kategori
yaitu:

1. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang


SPPA);

2. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka 4
Undang-Undang SPPA); dan

3. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5
Undang Undang SPPA)

E. EVALUASI
Jawablah pertanyaan berikut ini :

1. Apa pengertian anak berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35


Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak?

2. Apa yang dimaksud dengan anak berhadapan dengan hukum, anak korban
dan anak saksi?

F. TINDAK LANJUT
Apabila saudara telah mampu menjawab pertanyaan diatas dengan benar,
maka saudara telah memenuhi kriteria belajar tuntas. Namun apabila belum,
saudara dapat melakukan pendalaman kembali terhadap materi yang telah
diuraikan pada bab II ini.

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 11


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
BAB III
LATAR BELAKANG DAN GAMBARAN
ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

Setelah pembelajaran peserta diharapkan mampu menjelaskan


Latar Belakang dan Gambaran anak yang berhadapan dengan hukum.

A. LATAR BELAKANG TINDAK PIDANA ANAK


Permasalahan anak di Indonesia masih tergolong tinggi. Hal itu dapat
dilihat dari pengaduan mengenai permasalahan anak yang semakin meningkat.
Berbagai permasalahan itu membuat perlindungan terhadap anak-anak tidak
terjamin. Dewasa ini, kenakalan anak sudah tidak bisa dipandang lagi sebagai
kenakalan biasa, anak-anak banyak melakukan perbuatan yang tergolong tindak
pidana, seperti: mencuri, membawa senjata tajam, terlibat perkelahian, terlibat
penggunaan narkoba, dan lain-lain. Sehingga memerlukan perhatian serius baik
dari pemerintah, orang tua maupun masyarakat. Kasus-kasus kejahatan yang
melibatkan anak sebagai pelaku tindak kejahatan membawa fenomena tersendiri.
Mengingat anak adalah individu yang masih labil emosi belum menjadi subyek
hukum, maka penanganan kasus kejahatan dengan pelaku anak perlu mendapat
perhatian khusus.

Anak merupakan karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang harus
dijaga dengan baik, dalam tumbuh kembangnya menjadi manusia dewasa. Oleh
karena itu Anak adalah asset yang sangat penting pada sebuah bangsa dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup bangsa
dan negara. Berkaitan dengan kedudukan anak yang memiliki kedudukan dan
peran yang strategis, maka negara pun menjamin di dalam konstitusi tentang hak

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 13


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang serta perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu diperlukan upaya bersama dalam
memperhatikan kepentingan anak, sehingga tidak terjerumus untuk melakukan
perbuatan jahat yang merugikan pihak lain.

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukan bahwa kasus


anak yang berhadapan dengan hukum mengalami peningkatan dalam 10 (sepuluh)
tahun terakhir, sebagai berikut:

Gambar 3.1 Data Anak yang Berhadapan dengan Hukum 10 tahun terakhir dari KPAI

Dari data tersebut dapat kita lihat bahwa data anak sebagai pelaku sepuluh
tahun terakhir mengalami peningkatan dengan jenis tindakan terbesar anak sebagai
pelaku kekerasan fisik antara lain penganiayaan, pengeroyokan dan perkelahian.
Data berikutnya anak sebagai pelaku kekerasan psikis (ancaman, intimidasi, dll).
Hal menyedihkan berikutnya adalah data anak sebagai pelaku pelecehan seksual.
Dari data ini tentu menjadi catatan kita bersama dalam penangannya. Sebagai
aparat penegak hukum, kita harus menangkap fenomena ini bukan hanya berkaitan
dengan tugas kita, namun harus sampai pada menjawab pertanyaan kenapa
generasi penerus bangsa Indonesia saat ini pada kondisi yang memprihatinkan.

14 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


14 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Sampai sekarang banyak ditemukan anak yang melakukan pelanggaran
hukum dalam kehidupan sehari-hari, tapi masih terdapat kekurangan dan
kelemahan dalam perlindungan hak-hak anak (khususnya sebagai pelaku) dalam
proses penegakan hukumnya. Terdapat pihak-pihak yang masih mengabaikan
hak-hak anak yang seharusnya mereka dapatkan, serta memperlakukan anak
secara tidak manusiawi. Terdapat pihak yang juga memanfaatkan kesempatan
untuk mencari keuntungan pribadi semata, tanpa menghiraukan bahwa atas
perbuatannya dapat menghalangi hak-hak anak tersebut. Dalam kondisi demikian,
maka anak disebut sebagai “anak yang berkonflik dengan hukum” (children
conflict with the law). Anak yang berkonflik dengan hukum dapat diartikan sebagai
anak yang disangka, dituduh atau diakui telah melanggar Undang-Undang hukum
pidana.

Anak bukanlah untuk dihukum, melainkan untuk dibina dan dibimbing agar
mampu menjadi manusia yang utuh, cerdas dan bertanggung jawab sebagai
generasi penerus bangsa di masa yang akan datang. Anak terkadang mendapati
situasi atau keadaan sulit yang mendorong anak melakukan perbuatan yang
melanggar nilai-nilai hukum, agama, kesopanan dan kesusilaan. Banyak faktor
yang mempengaruhinya seperti, keadaan anak itu sendiri, keluarganya, korban
atau masyarakat. Anak yang melanggar hukum tidaklah layak untuk di hukum
terlebih kemudian dimasukkan ke dalam penjara. Perlu pertimbangan yang kuat
saat memasukan anak ke dalam penjara, karena akan berdampak buruk kepada
keadaan mental dan kepribadian anak.

Pesatnya perkembangan teknologi, terlebih setelah dua tahun hampir


seluruh belahan dunia menghadapi Pandemi Covid-19. Pandemi mengharuskan
membatasi pertemuan fisik manusia dengan manusia sehingga hampir sebagian
besar aktivitas dilaksanakan secara daring (dalam jaringan). Selama menghadapi
Pandemi tidak hanya pembelajaran yang dilakukan secara daring. Bahkan proses
penegakan hukum pun dilakukan secara daring, penyidikan dilakukan secara
online, bahkan persidangan pun dilakuakan secara virtual. Intinya, hampir teknologi

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 15


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
(informasi dan jaringan) dinilai sebagai solusi tepat dimana hampir seluruh
aktivitas manusia menjadi tergantung dengan teknologi, meskipun di beberapa
hal ditemukan permasalahan. Akibatnya anak anak menjadi begitu dekat dengan
gadget, dan media sosial telah merubah wajah dunia menjadi tanpa batas, yang
ditandai dengan kemajuan komunikasi. Sehingga proses perpindahan budaya dan
nilai-nilai sosial dari satu wilayah ke wilayah lain menjadi sangat cepat.

Melihat kecenderungan yang ada di media saat ini, baik media cetak
maupun media elektronik, jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak (juvenile
delinquency) semakin meningkat dan semakin beragam modusnya. Masalah
delinkuensi anak ini merupakan masalah yang semakin kompleks dan perlu segera
diatasi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Menurut Romli Atmasasmita
dalam Wagiati Soetodjo, motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak
adalah sebagai berikut:

1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah: a)


Faktor intelegentia; b) Faktor usia; c) Faktor kelamin; d) Faktor kedudukan
anak dalam keluarga.

2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah: a) Aktor rumah tangga; b) Faktor


pendidikan dan sekolah; c) Faktor pergaulan anak; d) Faktor mass media.

Faktor-faktor tersebutlah yang mendominasi dalam memotivasi seorang


anak melakukan kenakalan. Berbagai faktor tersebut memungkinkan bagi anak
untuk melakukan kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat mereka
terpaksa berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan. Anak yang melakukan
tindak pidana ini bisa disebut pula dengan anak yang berhadapan dengan hukum.

Upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan


hukum, sistem peradilan pidana anak harus dimaknai secara menyeluruh, tidak
hanya dimaknai hanya sekedar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum
semata. Namun sistem peradilan pidana anak harus juga dimaknai mencakup
akar permasalahan (root causes) mengapa anak melakukan perbuatan pidana

16 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


16 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
dan upaya pencegahannya. Lebih jauh, ruang lingkup sistem peradilan pidana
anak mencakup banyak ragam dan kompleksitas isu mulai dari anak melakukan
kontak pertama dengan polisi, proses peradilan, kondisi tahanan, dan reintegrasi
sosial, termasuk pelaku-pelaku dalam proses tersebut. Dengan demikian, istilah
sistem peradilan pidana anak merujuk pada legislasi, norma dan standar, prosedur,
mekanisme dan ketentuan, institusi dan badan yang secara khusus diterapkan
terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

B. JENIS TINDAK PIDANA YANG UMUM DILAKUKAN OLEH ANAK


Kenakalan anak disebut juga dengan “Juvenile Deliquency”. “Juvenile”,
dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak muda, sedangkan Deliquency
artinya terabaikan atau mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat,
kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
delikuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma
dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Kesalahan anak yang ringan
dapat berkembang menjadi kenakalan anak yang apabila dibiarkan tanpa adanya
pengawasan dan pembinaan yang tepat, serta terpadu oleh semua pihak maka
gejala kenakalan anak ini akan menjadi tindakan-tindakan yang mengarah kepada
tindakan kriminalitas, menjadikan anak sebagai pelaku tindak pidana.

Berdasarkan data yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan


Kementerian Hukum dan HAM RI, tiga rating tertinggi jenis kejahatan yang
dilakukan anak adalah narkotika, pencurian dan kesusilaan. Data tindak pidana
anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan Rutan/Lapas Dewasa adalah
sebagai berikut:

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 17


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Gambar 3.2 Data Jenis tindak pidana anak di LPKA dan Rutan/Lapas Dewasa

Dari data tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa sebanyak 569 anak berapa
di LPKA dan LP/Rutan Dewasa per 1 Maret 2021 karena kasus perlindungan anak,
378 anak karena kasus pencurian,dan 215 anak karena kasus narkotika.

Setelah dilakukan update data per Oktober 2021 ternyata jenis tindak pidana
anak mengalami perubahan sebagai berikut :

Gambar 3.3 Data Jenis Tindak Pidana Anak per Oktober 2021

Dari tabel 3.2 tersebut, terlihat pergeseran angka terjadi kenaikan selama
kurun waktu kurang dari satu tahun. Perlindungan anak yang semula berjumlah
596 mengalami kenaikan menjadi 628 anak, kasus pencurian yang semula 37 naik
menjadi 452 anak, dan kasus narkotika mengalami penurunan dari 215 menjadi
188 kasus.

18 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


18 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
C. PROFIL ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa
dan peneliti menyimpulkan ada dua faktor yang menyebabkan anak berhadapan
dengan hukum yaitu :

1. Faktor internal, antara lain :

a. Keterbatasan kondisi ekonomi keluarga.

b. Keluarga tidak harmonis (broken home)

c. Tidak mendapat perhatian dari orang tua, baikkarena orang tua sibuk
maupun karena menjadi TKI.

d. Kurangnya kasih sayang

e. Komunikasi yang buruk

2. Faktor Eksternal, antara lain :

a. Pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi yang tidak diimbangi


dengan kesiapan mental oleh anak

b. Lingkungan pergaulan dengan teman-teman yang kurang baik

c. Tidaka ada tempat untuk anak curhat atau konseling tempat anak
menuangkan isi hatinya

d. Kurang fasilitas bermain anak menyebabkan anak tidak bisa


menyalurkan kreativitasnya kemudian menyalurkan pada perilaku
yang melanggar hukum.

Anak yang Berhadapan dengan Hukum Menurut Jenis Kelamin dan


Kelompok Umur.

Dari data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, data


anak yang berhadapan dengan hukum berdasarkan jeis kelamin dan usia
adalah sebagai berikut :

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 19


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Gambar 3.0.4 Data Anak berdasarkan Jenis Kelamin

Dari data tersebut terlihat dari 1.758 anak yang berhadapan dengan hukum
terdiri dari anak laki-laki sebanyak 1.734 dan anak perempuan sebanyak 24
orang.

Gambar 3.0.5 Data Anak berdasarkan Usia

Dari data tersebut terlihat mayoritas usia anak adalah 17 tahun, berikutnya
16 tahun dan 15 tahun.

D. LATIHAN
Fasilitator membagi peserta menjadi 4 kelompok, dua (2) kelompok pelaku,
dan dua (2) kelompok korban, bagikan contoh kasus yang disiapkan fasilitator.

20 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


20 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Setiap kelompok mendiskusikan pertanyaan (berdasarkan contoh kasus yang
dibagikan) sebagai berikut :

1. Kelompok Pelaku:

a. Profil pelaku

1. Apa jenis tindak pidana yang umumnya dilakukan oleh anak?

2. Apa latar belakang kehidupan anak pelaku?

3. Apa penyebab anak melakukan tindak pidana?

4. Bagaimana tuntutan jaksa dan putusan hakim terhadap anak


pelaku?

b. Sistem peradilan Anak pelaku:

1. Bagaimana proses penanganan terhadap anak yang berkonfik


dg hukum?

2. Bagaimana koordinasi antar pilar SPPA ?

3. Bagaimana sumber daya manusia dan sarana prasarana para


pilar SPPA ?

4. Bagaimana kendala yang dihadapi dalam penanganan anak


(pelaku) ?

2. Kelompok Korban

a. Profil korban

1. Tindak pidana apa saja yang umumnya menimpa anak korban?

2. Apa latar belakang kehidupan anak Korban?

3. Apa penyebab anak menjadi korban?

4. Apa Tuntuan jaksa dan putusan hakim terhadap anak pelaku ?

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 21


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
b. Sistem peradilan Anak Korban

1. Bagaimana proses penanganan terhadap anak korban?

2. Bagaimana koordinasi antar pilar SPPA?

3. Bagaimana sumber daya manusia dan sarana prasarana para


pilar SPPA?

4. Bagaimana kendala yang dihadapi dalam penanganan korban ?

Setiap kelompok menyajikan hasil diskusi kelompok. Fasilitator memberikan


kesempatan kepada kelompok lain untuk mengomentari. Narasumber
menyampaikan kesimpulan dan menayangkan materi tentang data anak dan hasil
penelitian mengenai analisis situasai ABH. Fasilitator memberikan kesempatan
peserta untuk bertanya, bila ada hal hal yang akan ditanyakan ke narasumber.

E. RANGKUMAN
Anak merupakan karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang harus
dijaga dengan baik, dalam tumbuh kembangnya menjadi manusia dewasa. Oleh
karena itu Anak adalah asset yang sangat penting pada sebuah bangsa dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup bangsa
dan negara. Berkaitan dengan kedudukan anak yang memiliki kedudukan dan
peran yang strategis, maka negara pun menjamin di dalam konstitusi tentang hak
setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang serta perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu diperlukan upaya bersama dalam
memperhatikan kepentingan anak, sehingga tidak terjerumus untuk melakukan
perbuatan jahat yang merugikan pihak lain.

Upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan


hukum, sistem peradilan pidana anak harus dimaknai secara menyeluruh, tidak
hanya dimaknai hanya sekedar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum
semata. Namun sistem peradilan pidana anak harus juga dimaknai mencakup
akar permasalahan (root causes) mengapa anak melakukan perbuatan pidana

22 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


22 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
dan upaya pencegahannya. Lebih jauh, ruang lingkup sistem peradilan pidana
anak mencakup banyak ragam dan kompleksitas isu mulai dari anak melakukan
kontak pertama dengan polisi, proses peradilan, kondisi tahanan, dan reintegrasi
sosial, termasuk pelaku-pelaku dalam proses tersebut. Dengan demikian, istilah
sistem peradilan pidana anak merujuk pada legislasi, norma dan standar, prosedur,
mekanisme dan ketentuan, institusi dan badan yang secara khusus diterapkan
terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

Anak bukanlah untuk dihukum, melainkan untuk dibina dan dibimbing agar
mampu menjadi manusia yang utuh, cerdas dan bertanggung jawab sebagai
generasi penerus bangsa di masa yang akan datang. Anak terkadang mendapati
situasi atau keadaan sulit yang mendorong anak melakukan perbuatan yang
melanggar nilai-nilai hukum, agama, kesopanan dan kesusilaan. Banyak faktor
yang mempengaruhinya seperti, keadaan anak itu sendiri, keluarganya, korban
atau masyarakat. Anak yang melanggar hukum tidaklah layak untuk di hukum
terlebih kemudian dimasukkan ke dalam penjara. Perlu pertimbangan yang kuat
saat memasukan anak ke dalam penjara, karena akan berdampak buruk kepada
keadaan mental dan kepribadian anak.

F. EVALUASI
Jawablah pertanyaan berikut ini :

1. Apa latar Belakang tindak pidana anak dalam modul ini ?

2. Apa jenis tindak pidana yang umum dilakukan oleh anak?

3. Bagaimana profil anak yang berhadapan dengan hukum ?

G. TINDAK LANJUT
Apabila saudara telah mampu menjawab pertanyaan diatas dengan benar,
maka saudara telah memenuhi kriteria belajar tuntas. Namun apabila belum,
saudara dapat melakukan pendalaman kembali terhadap materi yang telah
diuraikan pada bab III ini.

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 23


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Pergaulan anak-anak dan remaja di era 80-an sangat jauh berbeda dengan
era 90-an bahkan pada saat sekarang ini. Hal yang dahulu dianggap tabu,
menjadi hal yang biasa pada saat ini. Perubahan nilai-nilai tersebut, kemudian
menjadi pemicu atau merupakan salah satu kriminogen dari munculnya perilaku
menyimpang dari seorang Anak. Kenakalan anak disebabkan karena adanya
motivasi intrinsik dan ekstrinsik sebagai berikut :

1. Motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah:

a. Faktor intelegentia;

b. Faktor usia;

c. Faktor kelamin;

d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga.

2. Motivasi ekstrinsik adalah:

a. Aktor rumah tangga;

b. Faktor pendidikan dan sekolah;

c. Faktor pergaulan anak;

d. Faktor mass media.

Faktor-faktor tersebutlah yang mendominasi dalam memotivasi seorang


anak melakukan kenakalan. Berbagai faktor tersebut memungkinkan bagi anak
untuk melakukan kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat mereka
terpaksa berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan.

24 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


24 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
BAB IV
DAMPAK PERADILAN BAGI ANAK

Setelah pembelajaran, peserta diharapkan mampu menjelaskan


Peran Pilar Penegak Hukum dalam SPPA, dalam Upaya Mewujudkan
Peradilan Pidana Anak

A. DAMPAK PROSES PERADILAN TERHADAP ANAK PELAKU


Sistem peradilan dapat menjadi suatu keadaan yang menakutkan untuk
anak karena:

1. Proses peradilan adalah proses yang asing, tidak dikenal, dan tidak biasa
bagi anak.

2. Alasan anak dimasukkan dalam proses peradilan sering tidak jelas.

3. Sistem peradilan dibuat untuk dan dilaksanakan oleh orang dewasa, tidak
berorientasi pada kepentingan anak dan tidak ”Ramah-Anak”.

4. Proses peradilan menimbulkan stres dan trauma pada anak.

Dampak proses peradilan terhadap anak pelaku dapat terjadi mulai dari
pra persidangan, pada saat persidangan, dan paska persidangan yang dapat
dijelaskan sebagai berikut :

1. Tahap Pra Persidangan

Sumber tekanan dan efek dari tekanan yang dialami oleh anak pada tahap
pra persidangan adalah sebagai berikut:

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 25


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Sumber Tekanan Efek dari Tekanan
a. Pemeriksaan medis (bagi korban) a. Ketakutan
b. Pertanyaan yang tidak simpatik, b. Kegelisahan
diulang-ulang dan kasar, dan tidak
berperasaan oleh petugas pemeriksa c. Gangguan tidur
(bagi korban dan pelaku) d. Gangguan nafsu makan
c. Harus menceritakan kembali
e. Gangguan jiwa
pengalaman atau peristiwa
yang tidak menyenangkan, dan
melakukanrekonstruksi
d. Wawancara dan pemberitaan oleh
Media
e. Proses persidangan yang tertunda
f. Pemisahan dari keluarga atau tempat
tinggal

2. Tahap Persidangan

Sumber tekanan dan efek dari tekanan yang dialami oleh anak pada tahap
persidangan adalah sebagai berikut :
Sumber Tekanan Efek dari Tekanan
a. Menunggu dalam ruang pengadilan a. Kegelisahan, ketegangan, kegugupan
b. Kurang pengetahuan tentang proses yang b. Kehilangan control emosional, menangis,
berlangsung gemetaran, malu, depresi
c. Tata ruang Pengadilan
c. Gangguan kemampuan berpikir,
d. Berhadapan dengan terdakwa (bagi termasuk ingatan dan gangguan
korban), berhadapan dengan saksi dan kemampuan berkomunikasi untuk
korban (bagi terdakwa) member keterangan atau kesaksian
e. Berbicara di hadapan para petugas dengan jelas.
pengadilan
f. Proses pemeriksaan dalam sidang

3. Tahap Paska Persidangan

Sumber tekanan: Putusan Hakim, tidak adanya tindak lanjut, stigma yang
berkelanjutan, rasa bersalah, kemarahan dari pihak keluarga dan korban. Media
terkadang masih menjadi anak sebagaiobjek publsitas. Dari penelitian yang
dilakukan Elita Putri (2016) untuk mengukur dampak proses peradilan yang
menghukum anak dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu hak yang tidak

26 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


26 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
bisa diperoleh anak yang berhadapan dengan hukum adalah hak memperoleh
pendidikan.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak


diamanahkan Peran Masyarakat, termasuk unsur masyarakat adalah media.
Masyarakat berhak memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan
dalam Pelindungan Anak. Media massa baik cetak maupun elektronik acapkali
menyimpang dari kode etik dan moral dalam peliputan. Masih banyak media yang
memposisikan anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai objek untuk
wawacara dan difoto meski mengenakan topeng. Hal ini tentu menimpulkan rasa
trauma pada anak karena label negatif yang diperoleh pasca namanya muncul
di media. Kuncinya sensitivitas peliput berita perlu lebih ditingkatkan demi masa
depan anak yang berhadapan dengan hukum.

B. DAMPAK PROSES PERADILAN TERHADAP ANAK KORBAN


Sistem peradilan dapat menjadi suatu keadaan yang menakutkan untuk
anak karena:

1. Proses peradilan adalah proses yang asing, tidak dikenal, dan tidak biasa
bagi anak.

2. Alasan anak dimasukkan dalam proses peradilan sering tidak jelas.

3. Sistem peradilan dibuat untuk dan dilaksanakan oleh orang dewasa, tidak
berorientasi pada kepentingan anak dan tidak ”Ramah-Anak”.

4. Proses peradilan menimbulkan stres dan trauma pada anak.

Dampak proses peradilan terhadap anak korban juga terjadi baik pada tahap
pra persidangan, pada saat persidangan dan pada tahappasca persidangan yang
dapat dijelaskan sebagai berikut :

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 27


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
1. Tahap Pra Persidangan
Sumber Tekanan Efek dari Tekanan
a. Pemeriksaan medis (bagi korban) a. Ketakutan
b. Pertanyaan yang tidak simpatik, b. Kegelisahan
diulang-ulang dan kasar, dan tidak
berperasaan oleh petugas pemeriksa c. Gangguan tidur
(bagi korban dan pelaku) d. Gangguan nafsu makan
c. Harus menceritakan kembali
e. Gangguan jiwa
pengalaman atau peristiwa
yang tidak menyenangkan, dan
melakukanrekonstruksi
d. Wawancara dan pemberitaan oleh
Media
e. Proses persidangan yang tertunda
f. Pemisahan dari keluarga atau tempat
tinggal

2. Tahap Persidangan
Sumber Tekanan Efek dari Tekanan
a. Menunggu dalam ruang pengadilan a. Kegelisahan, ketegangan,
b. Kurang pengetahuan tentang proses kegugupan
yang berlangsung b. Kehilangan control emosional,
c. Tata ruang Pengadilan menangis, gemetaran, malu, depresi
d. Berhadapan dengan terdakwa (bagi
c. Gangguan kemampuan berpikir,
korban), berhadapan dengan saksi
termasuk ingatan dan gangguan
dan korban (bagi terdakwa)
kemampuan berkomunikasi untuk
e. Berbicara di hadapan para petugas
member keterangan atau kesaksian
pengadilan
dengan jelas.
f. Proses pemeriksaan dalam sidang

3. Tahap Paska Persidangan

Sumber tekanan: Putusan Hakim, tidak adanya tindak lanjut, stigma yang
berkelanjutan, rasa bersalah, kemarahan dari pihak keluarga dan korban. Media
terkadang masih menjadi anak sebagai objek publisitas. Pemberitaan oleh media
massa dan media sosial saat ini memang seperti tanpa batas. Tidak hanya
anak yang menjadi objek Publisitas, bahkan terjadi juga pada anak korban.
Sebagaimana disampiakn pada bab sebelumnya bahwa masih banyak media yang
memposisikan anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai objek untuk

28 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


28 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
wawacara dan difoto meski mengenakan topeng. Hal ini tentu menimpulkan rasa
trauma pada anak karena label negatif yang diperoleh pasca namanya muncul
di media. Kuncinya sensitivitas peliput berita perlu lebih ditingkatkan demi masa
depan anak yang berhadapan dengan hukum.

C. LATIHAN
Setelah anda membaca materi tersebut, kerjakan letihan dibawah ini :

1. Diskusikan secara berkelompok konsep danak dan anak yang berhadapan


dengan hukum.

2. Buatlah presentasi singkat dari hasil diskusi tersebut.

D. RANGKUMAN
Sistem peradilan dapat menjadi suatu keadaan yang menakutkan untuk
anak karena proses peradilan menimbulkan stres dan trauma pada anak. Dampak
proses peradilan terhadap anak pelaku dapat terjadi sejak tahap pra persidangan,
persidangan hingga pasca persidangan.

Sistem peradilan dapat menjadi suatu keadaan yang menakutkan untuk


anak karena:

a. Proses peradilan adalah proses yang asing, tidak dikenal, dan tidak biasa
bagi anak.

b. Alasan anak dimasukkan dalam proses peradilan sering tidak jelas.

c. Sistem peradilan dibuat untuk dan dilaksanakan oleh orang dewasa, tidak
berorientasi pada kepentingan anak dan tidak ”Ramah-Anak”.

d. Proses peradilan menimbulkan stres dan trauma pada anak.

E. EVALUASI
1. Sebutkan dan jelaskan dampak peradilan bagi anak!

2. Mengapa sistem peradilan dapat menjadi suatu keadaan yang menakutkan


untuk anak?
Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 29
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
F. TINDAK LANJUT
Apabila saudara telah mampu menjawab pertanyaan diatas dengan benar,
maka saudara telah memenuhi kriteria belajar tuntas. Namun apabila belum,
saudara dapat melakukan pendalaman kembali terhadap materi yang telah
diuraikan pada bab IV ini.

30 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


30 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
BAB V
PERAN PILAR –PILAR DALAM
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Setelah pembelajaran peserta diharapkan mampu menjelaskan


Peran Pilar Penegak Hukum Dalam SPPA,
dalam Upaya Mewujudkan Peradilan Pidana Anak

A. TUJUAN SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK


Perkembangan anak menjadi hal yang penting untuk diperhatikan, oleh
karena itu negara sebagai tempat berlindung warganya harus dapat memberikan
regulasi jaminan perlindungan terhadap hak-hak anak. Keadilan sangat sekali
diperhatikan dalam pelaksanaan penegakan hukum. Di antaranya adalah dalam
proses peradilan pelaku tindak pidana anak, perhatian tersebut tidak hanya dari ahli
hukum (pidana) tetapi juga pada masyarakat dan pemerintah yang ikut serta dalam
hal ini. Perhatian pemerintah Indonesia yang cukup besar dalam hal perlindungan
anak diwujudkan dengan disahkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-undang ini merupakan perubahan
dari Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, karena undang-
undang yang lama dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum masyarakat baik dari aspek yuridis, sosiologis dan filosofis.
Undang-undang ini juga belum secara komprehensif memberikan perlindungan
kepada anak yang berhadapan dengan hukum.

Ada 3 (tiga) tujuan Sistem peradilan pidana (Criminal justice system) Menurut
Muladi, yaitu:

1. Resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana;

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 31


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
2. Pemberantasan kejahatan; dan

3. Untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Merujuk pada pemikiran Prof Muladi ini, tujuan sistem peradilan pidana
anak terpadu seharusnya ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan
rehabilitasi) dan ketiga (untuk kesejahteraan sosial). Dengan kata lain, sistem
peradilan pidana anak semestinya diletakkan dalam kerangka tujuan sistem
peradilan pidana dengan penekanan pada kebutuhan spesifik anak yang berbeda
dengan orang dewasa.

Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur
sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan anak yang melakukan
tindak pidana. Unsur tersebut meliputi:

a. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali
bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah
anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut.

b. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan


menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan
anak.

c. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam


pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi
penghukuman. Yang terakhir, institusi penghukuman. Keempat institusi
dalam sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi aparat penegak hukum
dalam menjalankan kewenangannya. Kewenangan tersebut dilengkapi
dengan hukum pidana material yang diatur dalam KUHP dan hukum pidana
formal yang diatur dalam KUHAP.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan undang-undang yang mengatur


mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang SPPA) sebagai pengganti

32 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


32 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan
mengayomi Anak yang berhadapan dengan hukum agar Anak dapat menyongsong
masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak
agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang
mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat,
bangsa, dan negara.

Namun, dalam pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai objek dan


perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum cenderung
merugikan Anak. Selain itu, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif
memberikan pelindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum.
Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan Anak
yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan tugas
masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan Anak serta memberikan
pelindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum.

Dengan telah disyahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang


Sistem Peradilan Pidana Anak bertujuan untuk mewujudkan peradilan yang
benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik bagi anak yang
berhadapan dengan hokum, karena sebagai penerus bangsa. Undang-Undang ini
menggunakan nama Sistem Peradilan Pidana Anak tidak diartikan sebagai badan
peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Namun, Undang-Undang berada di lingkungan
Peradilan Umum.

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 33


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Semua ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
erat hubungannya dengan perlakuan khusus terhadap pelaku tindak pidana
anak, oleh karena kedudukan anak memiliki ciri dan sifat yang khusus atau khas,
meskipun anak dapat menentukan langkah perbuatannya sendiri atas dasar
pikiran, perasaan dan hakekatnya, tetapi situasi dan kondisi lingkungan sekitarnya
dapat mempengaruhi perilakunya. Undang Undang SPPA) dibuat pada dasarnya
bertujuan untuk menciptakan perlindungan khusus kepentingan hukum anak yang
terlibat tindak pidana, yang sebelumnya dalam perundang-undangan yang ada
dirasa tidak banyak memberikan perlindungan terhadap anak baik secara fisik
maupun mental.

Setelah diundangkannya Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak


diharapkan aparat penegak hukum mulai dari penyelidikan hingga pemeriksaan di
peradilan, dapat memperlakukan anak secara khusus dengan dibekali pengetahuan
khusus untuk menangani tindak pidana yang dilakukan anak. Jika ditelaah secara
konprehensif ketentuan hukum substantive dan hukum ajektif yang diformulasikan
dalam Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, dapatlah dikatakan belum
ada pengaturan secara utuh pengaturan hukum pidana anak.

Adapun substansi yang diatur dalam Undang-Undang ini, antara lain,


mengenai penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan
di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar
dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan
Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan
Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap
Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke
dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu, sangat diperlukan peran
serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus
bertujuan pada terciptanya keadilan Restoratif, baik bagi anak maupun bagi
korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak
yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah

34 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


34 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi
lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi
untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan
pembalasan.

Dari kasus yang muncul, ada kalanya Anak berada dalam status saksi
dan/atau korban sehingga Anak Korban dan/atau Anak Saksi juga diatur
dalam Undang-Undang ini. Khusus mengenai sanksi terhadap Anak ditentukan
berdasarkan perbedaan umur Anak, yaitu bagi Anak yang masih berumur kurang
dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah
mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun
dapat dijatuhi tindakan dan pidana. Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak
dan demi pelindungan terhadap Anak, perkara Anak yang berhadapan dengan
hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan
peradilan umum. Proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan
diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami
masalah Anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum,
keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur
pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.

Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengatur mengenai


keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum
mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani
pidana. Sistem Peradilan Pidana Anak digambarkan dalam alur berikut ini:

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 35


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Gambar 5.1 Sistem Peradilan Pidana Anak

B. PERAN PILAR-PILAR DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

ANAK
Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian
perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan
sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Dalam sistem
ini melibatkan peranan aparat penegak hukum mulai dari peranan kepolisian,
kejaksaan, dan hakim dalam proses penyelidikan-persidangan hingga putusan.
Dalam Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan bahwa dalam
proses penyelidikan, penyidikan, dan peradilan adalah melibatkan penegak hukum
khusus untuk kasus dengan pelaku pidana anak, diantaranya Penyidik anak,
penuntut umum anak, hakim anak, hakim banding anak hingga hakim kasasi anak.

Setelah adanya putusan maka akan ada keterlibatan beberapa lembaga


diantaranya adalah:

a. Lembaga Pembinaan Khusus Anak, yang selanjutnya disingkat LPKA.


Lembaga ini adalah tempat anak menjalani masa pidananya. Adapula
Lembaga Penempatan Anak Sementara (selanjutnya disebut “LPAS”) adalah
tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung.

36 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


36 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
b. Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang disingkat LPKS
adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak.

c. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah unit pelaksana


teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian
kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan.

Sistem peradilan anak dilaksanakan berdasarkan asas pelindungan;


keadilan; nondiskriminasi; kepentingan terbaik bagi Anak; penghargaan terhadap
pendapat Anak; kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak; pembinaan dan
pembimbingan Anak; proporsional; perampasan kemerdekaan dan pemidanaan
sebagai upaya terakhir; dan penghindaran pembalasan. Sistem Peradilan
Pidana Anak (Pasal 5 Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak) wajib
mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif yang meliputi:

a. Penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini;

b. Persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan


umum; dan;

c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama


proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana
atau tindakan.

Pasal 8 Undang Undang SPPA menjelaskan bahwa Pada tingkat


penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri
wajib diupayakan Diversi. Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan
melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan
pendekatan Keadilan Restoratif. Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam
melakukan Diversi harus mempertimbangkan: kategori tindak pidana, umur anak,

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 37


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
hasil penelitian kemasyarakatan dari PK Bapas dan adanya dukungan lingkungan
keluarga dan masyarakat.

Pada pasal 11 Undang Undang SPPA juga menjelaskan bahwa Hasil


kesepakatan Diversi tersebut dapat berbentuk, antara lain: perdamaian dengan atau
tanpa ganti kerugian; penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; keikutsertaan
dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama
3 (tiga) bulan; atau pelayanan masyarakat. Selanjutnya pasal 12 menjelaskan
bahwa terhadap hasil dari Diversi harus disampaikan ke Pengadilan Negeri untuk
proses Penetapan yang disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan,
Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak
ditetapkan. Setelah menerima penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau Penuntut Umum
menerbitkan penetapan penghentian penuntutan. Akan tetapi apabila proses
Diversi tidak mendapatkan hasil atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan oleh
para pihak maka proses peradilan akan dilanjutkan atau diteruskan.

Dalam penanganan kasus anak, bentuk restorative justice dalam penanganan


kasus anak menurut Marlina dalam Peradilan Pidana Anak di Indonesia,
Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, dikenal “reparative board/
youth panel” yaitu suatu penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh
anak dengan melibatkan pelaku, korban, masyarakat, mediator, aparat penegak
hukum yang berwenang secara bersama merumuskan sanksi yang tepat bagi
pelaku dan ganti rugi bagi korban atau masyarakat. Disini disebutkan dengan
jelas bahwa salah satu pihak yang berwenang dalam merumuskan sanksi yang
tepat kepada pelaku pidana anak salah satunya adalah penegak hukum. Untuk
mendapatkan gambaran secara jelas tentang peranan pihak-pihak yang menjadi
pilar- pilar dalam Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mari kita telaah
satu persatu peranan masing-masing pihak yang menjadi pilar-pilar dalam Undang
Undang Sistem Peradilan Pidana Anak di bawah ini:

38 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


38 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
1. Penyidik

Yang disebut Penyidik dalam Pasal 6 KUHAP adalah: Pejabat Polisi Republik
Indonesia; Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang- undang. Sedangkan proses penyidikan terhadap anak yang berkonflik
dengan hukum dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai
Penyidik kasus pidana: telah berpengalaman sebagai penyidik; mempunyai minat,
perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan telah mengikuti pelatihan
teknis tentang peradilan Anak.

KUHAP juga menyebutkan mengenai Penyelidikan yaitu serangkaian


tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam
melakukan penyelidikan terhadap perkara Anak:

a. Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing


Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.

b. Apabila dianggap perlu maka Penyidik dapat meminta pertimbangan atau


saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, Pekerja Sosial
Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli lainnya.

c. Dalam kasus pidana anak, Penyidik wajib mengupayakan Diversi dalam


waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai.

d. Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penyidik


menyampaikan berita acara Diversi beserta Kesepakatan Diversi kepada
ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.

Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak juga menjamin hak anak
atas kemerdekaan yang mana diatur bahwa penangkapan anak untuk kepentingan
penyidikan hanya diperbolehkan maksimal 24 jam dan wajib ditempatkan dalam

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 39


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
ruang pelayanan khusus anak atau dititipkan kepada LPKS. Penyidikan yang
dilakukan wajib melalui koordinasi dengan Penuntut Umum.

Akan tetapi apabila ada jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa
Anak tidak akan melarikan diri ataupun menghilangkan/merusak barang bukti dan
tidak akan mengulangi tindak pidananya maka penahanan tidak boleh dilakukan.
Penahanan hanya dapat dilakukan apabila anak telah berumur 14 tahun atau lebih
dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh)
tahun atau lebih. Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib
memberitahukan kepada Anak dan orang tua/Wali mengenai hak memperoleh
bantuan hukum. Apabila pejabat tidak memberitahu mengenai hak anak untuk
memperoleh bantuan hukum melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud,
penangkapan atau penahanan terhadap Anak batal demi hukum. Penyidik
memiliki peran yang sangat penting dalam pelaksanan dan penegakkan Undang
Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Karena penyidik inilah yang merupakan
aparat pertama dalam satu rangkaian proses hukum. Tindakan awal dari penyidik
merupakan fondasi awal dalam penyelesaian suatu kasus. Oleh karena itu peran
penyidik sangat signifikan dalam penegakkan Undang Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak berjalan dengan semestinya.

2. Penuntut Umum

Penuntutan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penuntut Umum yang


ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh Jaksa Agung. Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum: telah
berpengalaman sebagai penuntut umum; mempunyai minat, perhatian, dedikasi,
dan memahami masalah Anak; dan; telah mengikuti pelatihan teknis tentang
peradilan Anak.

Dalam melakukan penanganan terhadap perkara Anak:

a. Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari


setelah menerima berkas perkara dari Penyidik.

40 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


40 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
b. Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum
menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada
ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.

c. Apabila Diversi gagal, Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara


Diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan
laporan hasil penelitian kemasyarakatan.

Peranan Penuntut umum dalam rangkaian proses penyelesaian perkara


pidana anak sangat penting karena penuntutan yang dibuat oleh jaksa/penuntut
umum inilah yang nantinya akan dijadikan dasar bagi hakim dalam pemeriksaan
perkara danpada akhirnya memutuskan perkara.

Apabila dalam penuntutan telah melaksanakan asas-asas dan sesuai


dengan tujuan Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu semangat
Restoratif justice dan Diversi , maka proses penuntutan yang merupakan landasan
awal bagi pemeriksaan perkara oleh hakim akan memainkan peran yang penting
bagi hakim dalam menghasilkan putusan yang berpihak pada kepentingan anak.
Setelah Penuntut Umum menyerahkan hasil penuntutan kepada hakim, maka
selanjutnya tugas hakim untuk memeriksa hingga memutus perkara.

3. Hakim

Menurut KUHAP, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi


wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili; (ii) menurut Pasal Pasal 31
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim adalah
pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang;
(iii) menurut Undang Undang SPPA (Psl.43 ayat 1) Hakim dalam penyelesaian
kasus pidana anak adalah Hakim yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung atas
usul ketua pengadilan negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi.
Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Anak dalam Undang Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak; Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 41


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
peradilan umum; mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah
Anak; dan telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.

Dalam proses pemeriksaan perkara pidana anak:

a. Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah


ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim.

b. Proses Diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan negeri.

 Apabila proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Hakim


menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi
kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.

 Bilamana Diversi tidak berhasil dilaksanakan, perkara dilanjutkan ke


tahap persidangan.

c. Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup


untuk umum, kecuali pembacaan putusan.

d. Dalam sidang Anak, Hakim wajib memerintahkan orang tua/Wali atau


pendamping, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing
Kemasyarakatan untuk mendampingi Anak.

 Apabila orang tua/Wali dan/atau pendamping tidak hadir, sidang tetap


dilanjutkan dengan didampingi Advokat atau pemberi bantuan hukum
lainnya dan/atau Pembimbing Kemasyarakatan.

 Apabila Hakim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud


maka, sidang Anak batal demi hukum.

Pasal 58 ayat 3 Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan


bahwa “Dalam hal Anak Korban dan/atau Anak Saksi tidak dapat hadir untuk
memberikan keterangan di depan sidang pengadilan, Hakim dapat memerintahkan
Anak Korban dan/atau Anak Saksi didengar keterangannya:

a. Di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh


Pembimbing Kemasyarakatan di daerah hukum setempat dengan dihadiri

42 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


42 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
oleh Penyidik atau Penuntut Umum dan Advokat atau pemberi bantuan
hukum lainnya; atau

b. Melalui pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual


dengan didampingi oleh orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau
pendamping lainnya.

Sebelum menjatuhkan putusan, Hakim memberikan kesempatan kepada


orang tua/Wali dan/atau pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat
bagi Anak. Akan tetapi dalam hal tertentu Anak Korban diberi kesempatan oleh
Hakim untuk menyampaikan pendapat tentang perkara yang bersangkutan.

Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan perbuatan Anak
akan membahayakan masyarakat, paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Pembinaan di LPKA dilaksanakan
sampai Anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan bagi Anak yang telah
menjalani 1/2 (satu perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik
berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Yang perlu di ingat dan diketahui
bahwa Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.
Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan
adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

4. Pembimbing Kemasyarakat (PK Bapas)

Kedudukan hukum dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam peraturan


perundangan Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-Undang No.12 Tahun
1995 Tentang Pemasyarakatan. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut
BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan.
Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang
melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan
pendampingan terhadap Anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana.
Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk
menentukan penyelenggaraan program pendidikan dan pembinaan dengan

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 43


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
pengawasan dari Bapas. Bapas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
program pendidikan dan pembinaan tersebut.

Berdasarkan prinsip-prinsip Konvensi Hak-Hak Anak dan Undang-


Undang Perlindungan Anak yang meliputi Non Diskriminasi, Kepentingan yang
terbaik untuk anak, Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan,
Penghargaan terhadap anak, maka bagi anak yang berkonflik dengan hokum, Balai
Pemasyarakatan melalui Pembimbing Kemasyarakatan mempunyai kekuatan
untuk menentukan keputusan yang terbaik bagi anak, melaui rekomendasi
dalam Penelitian Kemasyarakatan maupun dalam pembimbingan. Sebagaimana
disebutkan dalam Undang Undang SPPA bahwa Anak yang berstatus Klien Anak
menjadi tanggung jawab Bapas. Klien Anak berhak mendapatkan pembimbingan,
pengawasan dan pendampingan, serta pemenuhan hak lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Bapas juga berkewajiban
menyelenggarakan pembimbingan, pengawasan dan pendampingan, melakukan
evaluasi pelaksanaan pembimbingan, pengawasan dan pendampingan, serta
pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Pekerja Sosial

Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga


pemerintah maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan
sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan,
pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan
tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial Anak. Bagi Anak Korban dan/
atau Anak Saksi berhak atas semua pelindungan dan hak yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan (Undang Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak, Pasal 89). Selain hak yang telah diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Anak Korban dan
Anak Saksi berhak atas:

a. Upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga


maupun di luar lembaga;

44 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


44 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
b. Jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial; dan kemudahan
dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

c. Berdasarkan pertimbangan atau saran Pembimbing Kemasyarakatan,


Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial atau Penyidik
dapat merujuk Anak, Anak Korban, atau Anak Saksi ke instansi atau lembaga
yang menangani pelindungan anak atau lembaga kesejahteraan sosial anak.

Dalam hal Anak Korban memerlukan tindakan pertolongan segera, Penyidik,


tanpa laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional, dapat langsung merujuk Anak
Korban ke rumah sakit atau lembaga yang menangani pelindungan anak sesuai
dengan kondisi Anak Korban. Berdasarkan hasil Penelitian Kemasyarakatan dari
Pembimbing Kemasyarakatan dan laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional
atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi
berhak memperoleh rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, dan reintegrasi sosial dari
lembaga atau instansi yang menangani pelindungan anak. Anak Korban dan/atau
Anak Saksi yang memerlukan pelindungan dapat memperoleh pelindungan dari
lembaga yang menangani pelindungan saksi dan korban atau rumah perlindungan
sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6. Advokat

Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya adalah orang yang berprofesi
memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi
persyaratan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

7. Masyarakat

Masyarakat yang dimaksud disini adalah tokoh masyarakat, tokoh agama


dan pihak-pihak lainnya yang dapat membantu memberikan perlindungan terhadap
hak-hak anak dan kesejahteraan anak.

C. LATIHAN
Setelah anda membaca materi tersebut, kerjakan letihan di bawah ini :

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 45


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
1. Diskusikan secara berkelompok konsep danak dan anak yang berhadapan
dengan hukum.

2. Buatlah presentasi singkat dari hasil diskusi tersebut.

D. RANGKUMAN
Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian
perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan
sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Dalam sistem
ini melibatkan peranan aparat penegak hukum mulai dari peranan kepolisian,
kejaksaan, dan hakim dalam proses penyelidikan-persidangan hingga putusan.
Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan bahwa dalam
proses penyelidikan, penyidikan, dan peradilan adalah melibatkan penegak
hukum. khusus untuk kasus dengan pelaku pidana anak, diantaranya Penyidik
anak, penuntut umum anak, hakim anak, hakim banding anak hingga hakim kasasi
anak.

Peran pilar dalam sistem peradilan anak yakni : Penyidik, Penuntut Umum,
Hakim, , Pembimbing Kemasyarakatan , Pekerja Sosial dan Pembela serta
masyarakat dalam sistem peradilan pidana anak sangat penting agar dapat
memberikan keadilan kepada semua pihak baik kepada korban,pelaku maupun
masyarakat.Oleh karena itu Diversi dan Restoratf wajib diupayakan pada setiap
tingkatan.

E. EVALUASI
1. Bagamana tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak ?

2. Bagaimana peran pilar-pilar dalam sistem peradilan pidana anak?

F. TINDAK LANJUT
Apabila saudara telah mampu menjawab pertanyaan diatas dengan
benar, maka saudara telah memenuhi kriteria belajar tuntas. Namun apabila
belum, saudara dapat melakukan pendalaman kembali terhadap materi yang

46 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


46 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
telah diuraikan pada bab V ini. Jika anda sudah memahami, maka anda sudah
memahami keseluruhan isi Modul ini.

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 47


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
BAB VI
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sistem Peradilan Pidana Anak didefinisikan sebagai keseluruhan proses
penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap
penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 20istem Peradilan Pidana Anak menemberikan
amanah kepada bangsa Indonesia agar melindungi dan mengayomi Anak yang
berhadapan dengan hukum sehingga perlakuan terhadap anak tidak sama
dengan orang dewasa. Anak masih mempunyai masa depannya yang masih
panjang sehingga Undang Umdang ini memberi kesempatan kepada Anak untuk
mengikuti pembinaan,sehingga kelak diharapkan menjadi manusia yang mandiri,
bertanggung jawab, dan berguna baik bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat,
maupun bangsa dan negara.

Dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak harus mengutamakan


kepentingan terbaik bagi anak. Implementasikan pendekatan Keadilan
Restoratif, yang salah satunya melalui upaya Diversi merupakan salah satu
wujud memperjuangkan kepentingan terbaik bagi anak. Pilar-pilar dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak memiliki peranan penting dalam mewujudkan amanah
Undang Undang ini. Kepolisian (Penyidik), kejaksaan (Penuntut Umum), dan
hakim dalam proses penyelidikan-persidangan hingga putusan atau penetapan
bila dilaksanakan diversi, Pembimbing Kemasyarakatan, serta advokat dan
masyarakat. Kesepahaman diantara pilar-pilar dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak menjadi sangat penting karena akan mempengaruhi tingkat kerjasama

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 49


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
diantara pilar-pilar tersebut dan tentu saja sangat menentukan implementasi dari
Sistem Peradilan Pidana Anak.

B. TINDAK LANJUT
Untuk dapat memahami modul Analisa Situasi Anak Pelaku, Korban,
Saksi dan Gambaran Sistem Peradilan Pidana Anak maka fasilitator/pengajar
menyampaikan materi, mengajak peserta untuk berdiskusi dan memberikan latihan
pada peserta, sehingga setiap peserta akan mampu memahami Konsep Analisa
Situasi Anak Pelaku, Korban, Saksi dan Gambaran Sistem Peradilan Pidana Anak
dalam proses peradilan.

Di samping itu peserta juga diharapkan secara aktif membaca isi modul,
mengerjakan latihan, dan melaksanakan kegiatan pembelajaran, baik dengan
dukungan belajar oleh fasilitator/pengajar, atau pembelajaran mandiri yang
dilakukan oleh peserta secara mandiri maupun berkelompok (peer group study).
Kemudian untuk menunjang pemahaman, peserta juga dapat mempelajari
referensi pembelajaran di luar modul terkait dengan permasalahan Anak Pelaku,
Korban, Saksi dan Sistem Peradilan Pidana Anak.

50 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


50 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
KUNCI JAWABAN EVALUASI :

BAB 2
Soal :

1. Apa pengertian anak berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35


Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak?

2. Apa yang dimaksud dengan anak berhadapan dengan hukum, anak korban
dan anak saksi?

Jawaban :

1. Pengertian anak menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang


Perlindungan Anak Pasal 1 “adalah seorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan”

2. Yang dimaksud dengan anak berhadapan dengan hukum, anak korban dan
anak saksi adalah :

Dalam UU SPPA disefinisikan dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa:

“Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak, adalah
anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”

Lebih lanjut dalam pasal 1 ayat (4) dijelaskan:

“Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak
korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
disebabkan oleh tindak pidana.”

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 51


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Selanjutnya dalam ayat (5) dijelaskan:

“Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak
saksi adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan
/atau dialaminya sendiri.”

BAB III
Soal :

1. Apa latar Belakang tindak pidana anak dalam modul ini ?

2. Apa jenis tindak pidana yang umum dilakukan oleh anak?

3. Bagaimana profil anak yang berhadapan dengan hukum ?

Kunci Jawaban :

1. Menurut Romli Atmasasmita dalam Wagiati Soetodjo, motivasi intrinsik dan


ekstrinsik dari kenakalan anak adalah sebagai berikut:

a. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak


adalah: a) Faktor intelegentia; b) Faktor usia; c) Faktor kelamin; d)
Faktor kedudukan anak dalam keluarga.

b. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah: a) Aktor rumah tangga; b)


Faktor pendidikan dan sekolah; c) Faktor pergaulan anak; d) Faktor
mass media.

Faktor-faktor tersebutlah yang mendominasi dalam memotivasi seorang


anak melakukan kenakalan. Berbagai faktor tersebut memungkinkan bagi
anak untuk melakukan kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat
mereka terpaksa berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan. Anak
yang melakukan tindak pidana ini bisa disebut pula dengan anak yang
berhadapan dengan hukum.

52 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


52 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
2. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan HAM RI, tiga rating tertinggi jenis kejahatan
yang dilakukan anak adalah narkotika, pencurian dan kesusilaan. Data
tindak pidana anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan Rutan/Lapas
Dewasa adalah sebanyak 569 anak berapa di LPKA dan LP/Rutan Dewasa
per 1 Maret 2021 karena kasus perlindungan anak, 378 anak karena kasus
pencurian,dan 215 anak karena kasus narkotika.

3. Dari data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, data


profil anak yang berhadapan dengan hukum berdasarkan jeis kelamin 24
orang perempuan dan 1734 orang wanita, usia anak dalam range 13-17
tahun dan mayortas anak usia 17 tahun.

BAB IV
Soal :

1. Sebutkan dan jelaskan dampak peradilan bagi anak!

2. Mengapa sistem peradilan dapat menjadi suatu keadaan yang menakutkan


untuk anak?

Jawaban :

1. Sistem peradilan dapat menjadi suatu keadaan yang menakutkan untuk


anak karena proses peradilan menimbulkan stres dan trauma pada anak.
Dampak proses peradilan terhadap anak pelaku dapat terjadi sejak tahap
pra persidangan, persidangan hingga pasca persidangan.

2. Sistem peradilan dapat menjadi suatu keadaan yang menakutkan untuk


anak karena:

a. Proses peradilan adalah proses yang asing, tidak dikenal, dan tidak
biasa bagi anak.

b. Alasan anak dimasukkan dalam proses peradilan sering tidak jelas.

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 53


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
c. Sistem peradilan dibuat untuk dan dilaksanakan oleh orang dewasa,
tidak berorientasi pada kepentingan anak dan tidak ”Ramah-Anak”.

d. Proses peradilan menimbulkan stres dan trauma pada anak.

BAB V
Soal :

1. Bagaimana tujuan sistem peradilan pidana anak?

2. Bagaimana peran pilar-pilar dalam sistem peradilan pidana anak?

Jawaban :

1. Ada 3 (tiga ) tujuan Sistem peradilan pidana (Criminal justice system)


Menurut Muladi, yaitu :

a. Resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana;

b. Pemberantasan kejahatan; dan

c. Untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Merujuk pada pemikiran Prof Muladi ini, tujuan sistem peradilan pidana
anak terpadu seharusnya ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi
dan rehabilitasi) dan ketiga (untuk kesejahteraan sosial). Dengan kata lain,
sistem peradilan pidana anak semestinya diletakkan dalam kerangka tujuan
sistem peradilan pidana dengan penekanan pada kebutuhan spesifik anak
yang berbeda dengan orang dewasa.

2. Peran pilar dalam sistem peradilan anak yakni: Penyidik, Penuntut Umum,
Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial dan Pembela serta
masyarakat dalam sistem peradilan pidana anak sangat penting agar dapat
memberikan keadilan kepada semua pihak baik kepada korban,pelaku
maupun masyarakat.Oleh karena itu Diversi dan Restoratf wajib diupayakan
pada setiap tingkatan.

54 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


54 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
DAFTAR PUSTAKA

Arliman, L. 2017. “Peranan Pers Untuk Mewujudkan Perlindungan Anak


Berkelanjutan Di Indonesia.” Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai
2(2):126–45.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Jakarta: Balai Pustaka, 1991.

Dini Wahyuni Harahap, ”Sistem Peradilan Pidana Yang Edukatif Terhadap Anak
Sebagai Pelaku Tindak Pindana, Jurnal Ilmiah USU, 2015, hal 20-28

Harkristuti Harkrisnowo, “Rancangan UNDANG UNDANG Pengadilan Pidana


Anak: Suatu Telaah Ringkas,” 2010, hal.7

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP)

Lilik Mulyadi, 2005. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana, Bandung, PT.
Cipta Aditya Bakti.

Marlina, “Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan


Restorative Justice”, Refki Aditama, Bandung, 2009

Mia Kusuma Fitriani, SH. M.Hum, Peran Penegak Hukum dalam Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak,http://www.academia.edu/8896225/
Peran_Penegak_Hukum_dalam_Undang-Undang_Sistem_
Peradilan_Pidana_Anak

Modul Pendidikan Dan Pelatihan Sistem Peradilan Pidana Anak.

Nandang Sambas, “Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia”,


Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.

Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum 55


Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Purnianti, “Analisis situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenille Justice System)
di Indonesia tahun Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial Dan
Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002

Ramdhani, Abdullah and Muhammad Ali Ramdhani. 2017. “Konsep Umum


Pelaksanaan Kebijakan Publik.” Jurnal Publik 1–12.

Soetodjo, Wagiati, 2006, “Hukum Pidana Anak”. Bandung, PT. Refika Aditama.

Sudarsono, “Kenakalan Remaja” , Jakarta : Rineka Cipta, 1991.

Suseno Hadi, “Kriminalisasi Anak (Tawaran, Gagasan Radikal Peradilan Anak


Tanpa Pemidanaan)” PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Wagiati, “Hukum Pidana Anak,” Refika Aditama, Bandung, 2006.

56 Modul Analisis Situasi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum


56 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Anda mungkin juga menyukai