Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH KELOMPOK 8

KONSEP RESTORATIF JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA


PIDANA DALAM HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Hukum Pidana
Positif dan Pidana Islam

Dosen Pengampu: Dr. H. M. Nurul Irfan M.Ag dan Asmui Albantani M. H.

Oleh :

Ahmad Farhan (11190454000001)

Dea Fadillah Ms (11190454000002)

Delia Zaizafun (11190454000015)

Farisurradhi (11190454000053)

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan bagi pemakalah
sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-
Nya tentu pemakalah tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta
salam semoga terlimpahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita
nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Pemakalah mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga pemakalah mampu untuk
menyelesaikan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Perbandingan Hukum Pidana Positif
dan Pidana Islam. Pemakalah tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.

Untuk itu, pemakalah mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini,
supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila
terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Pemakalah juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen
pengampu : Dr. H. M. Nurul Irfan M.Ag dan Asmui Albantani M. H., selaku dosen yang
telah membimbing dalam menulis makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Banda Aceh, 1 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………...ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….iii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………

A. Latar Belakang ……………………………………………………………………...1


B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………...1
C. Tujuan ………………………………………………………………………………2
D. Manfaat……………………………………………………………………………...2

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………

A. Konsep Restorative Justice dalam Hukum Pidana Positif…….……..……………..7


B. Konsep Restorative Justice dalam Hukum Pidana Islam ….……...………………..8
C. Prinsip, Bentuk dan Tujuan Restorative Justice dalam Hukum Pidana Positif.. …..11
D. Penyelesaian Perkara Restorative Justice dalam Hukum Pidana Positif…………...18
E. Penyelesaian Perkara Restorative Justice dalam Hukum Pidana Islam…………….20

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………

A. Kesimpulan……………………………………………………………....................22
B. Saran…………………………………………………………………………….….22

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….….24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam penyelesaian perkara pidana pada dasarnya terbagi menjadi dua metode
yaitu penyelesaian melalui jalur litigasi dan non litigasi. Dalam kenyataannya, apabila
terjadi suatu permasalahan khususnya yang berkaitan dengan hukum pidana (perkara
pidana) model penyelesaian masalah selalu dilakukan menggunakan jalur litigasi.
Penyelesaian perkara dengan menggunakan jalur litigasi ini dalam prakteknya tidak
selalu berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan karena penyelesaian perkara dengan
menggunakan jalur litigasi dalam sistem peradilan pidana tradisional saat ini justru
menimbulkan permasalahan-permasalahan baru misalnya ; pola pemidanaan yang masih
bersifat pembalasan, menimbulkan penumpukan perkara, tidak memperhatikan hak-hak
korban, tidak sesuai dengan asas peradilan sederhana, proses panjang, rumit dan mahal,
penyelesaian bersifat legistis dan kaku, tidak memulihkan dampak kejahatan, kondisi
lembaga pemasyarakatan yang tidak memadai, tidak mencerminkan keadilan bagi
masyarakat dan lain sebagainya. Padahal, hukum dibuat pada hakikatnya untuk
memberikan keadilan dan manfaat bagi manusia. Melihat berbagai fenomena ini, dalam
perkembangan terkini muncul sebuah konsep baru yaitui konsep keadilan restoratif.
Konsep atau pendekatan keadilan restoratif dinilai dapat mengatasi berbagai
permasalahan dalam sistem peradilan pidana tradisional sebagaimana disebutkan diatas.
Maka dari itu makalah ini akan membahas mengenai konsep penyelesaian perkara
pidana berdasarkan hukum pidana positif dan hukum pidana islam..
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana konsep restorative justice dalam hukum pidana positif?
b. Bagaimana konsep restorative justice dalam hukum pidana islam?
c. Apa saja prinsip, bentuk dan tujuan restorative justice dalam hukum pidana
positif?
d. Bagaimana penyelesaian perkara restorative justice dalam hukum pidana positif ?
e. Penyelesaian perkara restorative justice dalam hukum pidana islam?

1
C. Tujuan
1. Mengetahui konsep restorative justice dalam hukum pidana positif
2. Mengetahui konsep restorative justice dalam hukum pidana islam
3. Mengetahui apa saja prinsip, bentuk dan tujuan restorative justice dalam hukum
pidana positif dan pidana islam
4. Mengetahui bagaimana penyelesaian perkara restorative justice dalam hukum
pidana positif
5. Mengetahui bagaimana penyelesaian perkara restorative justice dalam hukum
pidana islam

D. Manfaat
1. Manfaat teoritis, secara teoritis makalah ini diharapkan mampu memberikan
pengetahuan serta pemahaman kepada para pembaca.
2. Manfaat praktis, para akademisi dapat menerapkan pengetahuan akan konsep
restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana berdasarkan hukum pidana
positif dan hukum pidana islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Restorative Justice dalam Hukum Pidana Positif


Restorative Justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restorasi, me
rupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya
penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem
peradilan pidana konvensional, pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi
langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.
Liebmann secara sederhana mengartikan restorative justice sebagai suatu sistem hukum
yang “bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat
yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran atau tindakan kejahatan
lebih lanjut.”(Liebmann, 2007: 25)
Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris, Tony F. Marshall dalam
tulisannya ”Restorative Justice an Overview” mengatakan: “Restorative Justice is a
process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to
resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implication for
the future” (restorative justice adalah sebuah proses di mana para pihak yang
berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan
persoalan secara bersamasama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran
tersebut demi kepentingan masa depan)(Liebmann, 2007: 26). Sementara itu, Marlina
menyebutkan dalam bukunya bahwa konsep restorative justice merupakan suatu proses
penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi , dilakukan dengan membawa
korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk dapat
berbicara.(Marlia, 2007: 180)
Berbicara mengenai konsep restorative justice bukanlah konsep yang baru.
Keberadaannya barangkali sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri. Bahkan beribu
tahun, upaya penanganan perkara pidana, pendekatan justru ditempatkan sebagai
mekanisme utama bagi penanganan tindak pidana. Marc Levin menyatakan bahwa
pendekatan yang dulu dinyatakan sebagai usang, kuno dan tradisional kini justru
dinyatakan sebagai pendekatan yang progresif. Hooker juga menggambarkan unsur-unsur

3
universal yang menjadi dasar hukum adat serta sistemnya sebagai berikut(Amdani, 2016:
69):
a.
The distribution of obligation is often a function of an actual or putative
genealogical relationship (Distribusi kewajiban sering merupakan fungsi dari
hubungan silsilah sebenarnya atau diduga)
b.
The community, wether defined on a genealogical or a territorial basis, almost
always has a greater right over land distribution than the individual possesor or
occupies (Masyarakat, cuaca didefinisikan pada silsilah atau secara teritorial,
hampir selalu memiliki hak yang lebih besar atas distribusi tanah dari pemilik
individu atau menempati)
c.
The institution of tolong menolong and gotong-royong exemplify the individual’s
subjection to a common set the obligations (Lembaga tolong menolong dan
gotongroyong contoh tunduk individu untuk seperangkat kewajiban)
d.
All the adats posit the preservation of harmony between the community and
nature (Semua adat mengandaikan pelestarian harmonis antara masyarakat dan
alam).
Konsep hukum adat Indonesia sebagai wadah dari institusi peradilan adat juga
memiliki konsep yang dapat digambarkan sebagai akar dari restorative justice. Di
Indonesia, karakteristik dari hukum adat di tiap daerah pada umumnya amat mendukung
penerapan restorative justice. Berkaitan dengan pelanggaran adat atau delik adat, dan
mekanisme pemecahnya, hukum adat memiliki pandangan tersendiri. Sebagaimana
dikemukakan di atas, pengertian pelanggaran adat terkait dengan kondisi ketidak
seimbangan kosmos dalam masyarakat. Hal ini mencakup tindakantindakan yang
mengganggu kedamaian hidup atau pelanggaran terhadap kepatutan dalam masyarakat.
Di sini pelanggaran hukum adat merupakan:
a. Suatu peristiwa aksi dari para pihak dalam masyarakat;
b. Aksi itu menimbulkan gangguan keseimbangan;
c. Gangguan keseimbangan ini menimbulkan reaksi;
d. Reaksi yang timbul menjadikan terpeliharanya kembali atas gangguan
keseimbangan kepada keadaan semula. (Mulyadi, 2008: 51)

4
Dalam hal ini unsur utama dari restorative justice yaitu kerelaan dan partisipasi dari
korban, pelaku dan masyarakat dalam melakukan perbaikan atas tindak pidana yang
terjadi juga merupakan ciri dari hukum adat(Dinata, 2020: 447).Dalam Kutara Manawa
dari Bab Astacorah Pasal 55-56, disebutkan bentuk pemidanaan pelaku pencurian
sebagai berikut: Jika pencuri tertangkap dalam pencurian, dikenakan pidana mati, anak
istrinya, miliknya dan tanahnya diambil alih oleh raja yang berkuasa. Jika pencuri
memiliki hamba lakilaki dan perempuan, hamba tersebut tidak diambil alih oleh raja
yang berkuasa, tetapi dibebaskan dari segala hutangnya kepada pencuri yang
bersangkutan. Jika pencuri mengajukan permohonan hidup, maka ia harus menebus
pembebasannya sebanyak delapan kali, mem bayar denda empat laksa kepada raja yang
berkuasa, membayar kerugian kepada orang yang terkena curi dengan cara
mengembalikan segala milik yang diambilnya dua kali lipat.
Pada kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia mengenai fungsi onalisasi
lembaga musyawarah sebagai bagian dari mekanisme yang dipilih untuk menyelesaian
perkara pidana. Musyawarah baik yang diselenggarakan oleh pelaku dan korban sendiri,
atau dengan melibatkan institusi kepolisian atau kejaksaan, atau dengan melalui lembaga
adat memperlihatkan pola pikir masyarakat dalam melihat suatu permasalahan yang
muncul. Penyelesaian masalah termasuk di dalamnya adalah tindak pidana melalui
musyawarah merupakan pola pikir yang terangkum dalam keadilan restoratif
sebagaimana didefiniskan di atas. Karenanya tanpa mengabaikan mekanisme yang
bekerja dalam sistem hukum formal, mekanisme penyelesaian melalui lembaga
musyawarah pun bekerja dalam masyarakat.(Soeaidy & Zulkhair, 2001: 22)
Dalam berbagai asas dan model pendekatan restorative justice, proses dialog antara
pelaku dan korban merupakan moral dasar dan bagian terpenting dari penerapan
keadilan ini. Dialog langsung antara pelaku dan korban menjadikan korban dapat
mengungkapkan apa yang dirasakannya, mengemukakan harapan akan terpenuhinya
hak-hak dan keinginan-keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui proses
dialog juga pelaku diharapkan tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari
kesalahannya dan menerima tanggungjawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana
yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Dari proses dialog ini pula masyarakat dapat

5
turut serta berpartisipasi dalam mewujudkan hasil kesepakatan dan memantau
pelaksanaannya.
Dalam konsep mediasi proses dialog dikenal sebagai media komunikasi yang
menjadi modal utama penyelenggaraan lembaga mediasi. Keseluruhan proses itulah
yang dapat ditemui baik dalam model penyelenggaraan restorative justice seperti:
a. Victim Offender Mediation (VOM).
Mediasi antara pelaku dan korban) yaitu suatu forum yang mendorong adanya
pertemuan antara pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai koordinator
dan fasilitator dalam pertemuan tersebut. Dalam area perkara pidana, model atau
teknik ini digunakan baik kasus-kasus kecil untuk mengurangi penumpukan perkara,
maupun kasus-kasus serius untuk memfasilitasi pengampunan dan proses
penyembuhan yang lebih mendalam, baik untuk korban maupun pelaku.
b. Family Grup Conferencing (FGC)
Pertemuan kelompok keluarga (family group conferencing) merupakan lingkaran
partisipan yang lebih luas daripada mediasi pelaku-korban, yaitu menambah orang
yang dikaitkan dengan pihak-pihak utama, seperti melibatkan teman, keluarga, dan
profesional.Teknik ini merupakan sistem paling tepat untuk kasus-kasus kenakalan
anak dan pelanggaran lalu lintas.
c. Restorative Conferencing (CR)
Pertemuan restoratif (restorative conferencing) juga melibatkan partisipan yang
lebih luas ketimbang mediasi pelaku-korban, sebagai respon terhadap pelanggaran lalu
lintas. Teknik ini bersifat volunter (sukarela), yang terdiri atas pelaku, korban,
keluarga para pihak dan ternan, untuk mencapai konsekuensi dan restitusi (ganti
kerugian). Model ini dapat digunakan pada setiap tahap proses peradilan pidana, tetapi
biasanya digunakan relatif awal. Sebagai contoh pada beberapa yurisdiksi, polisi telah
mengembangkan program ini sebagai alternatif untuk penangkapan dan rujukan ke
sistem peradilan formal pidana.
d. Community Restorative Boards (CRB)
CRB merupakan suatu panel atau lembaga yang terdiri dari orang-orang yang
telah terlatih untuk bernegoisasi dalam menyelesaikan masalah. Di sini korban
bertemu dengan pelaku untuk mendiskusikan masalah dan solusinya dalam jangka

6
waktu tertentu. Jika dalam jangka waktu tersebut tidak dicapai kesepakatan maka
panel tersebut akan melimpahkannya pada pengadilan atau polisi. Hal ini sering
terjadi di Inggris dan di Wales
e.Circles,
Suatu model penerapan restorative justice yang pelibatannya paling luas di
bandingkan dengan bentuk sebelumnya, yaitu forum yang bukan hanya korban,
pelaku, keluarga atau mediator saja tapi juga anggota masyarakat yang merasa
berkepentingan dengan perkara tersebut.(Sumpramono, 2000: 170)
B. Konsep Restorative Justice dalam Hukum Pidana Islam
Dalam hukum pidana islam Abu Rohmad menjelaskan bahwa ancaman pidana
tertentu dapat tergantikan tatkala mendapatkan pemaafan dari korban atau keluarga
korban tindak pidana. Terkait dengan itu, Islam memiliki 3 (tiga) tingkatan hukuman,
yaitu pertama, pidana persamaan, kedua, pemaafan, dan, ketiga, diat. Hal ini menunjukan
bahwa Islam mengenal dua paradigma dalam penyelesaian perkara, yaitu paradigma
litigasi dan non litigasi. Paradigma litigasi adalah suatu pandangan dan keyakinan
mendasar bahwa satu-satunya institusi yang tepat untuk menyelesaikan perkara adalah
melalui pengadilan. Sebaliknya, paradigma non litigasi berangkat dari asumsi
dasarbahwa penyelesaian perkara tidak selalu melalui hukum dan pengadilan. Cara-cara
di luar pengadilan adalah bagian dari model yang tidak ditinggalkan dan terbukti efektif
menyelesaikan perkara tanpa meninggalkan luka dan dendam yang berkelanjutan. Cara
terakhir inilah yang kini disebut dengan pendekatan restorative justice.(Soleh, 2015:
125).
Penyelesaian perkara melalui jalur non litigasi tersebut dapat dilakukan atas dasar
prakarsa masing-masing pihak yang berperkara, dapat pula melibatkan pihak ketiga
(hakam). Hakam tersebut berfungsi sebagai penengah (pendamai) dari dua atau lebih
pihak yang sedang berperkara. Kedudukan hakam setara dengan mediator atau arbitrator.
Dalam berbagai asas dan model pendekatan restorative justice, proses dialog antara
pelaku dan korban merupakan modal dasar dan bagian terpenting dari penerapan keadilan
ini. Dialog langsung antara pelaku dan korban menjadikan korban dapat mengungkapkan
apa yang dirasakannya, mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-hak dan
keinginan-keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui dialog juga pelaku

7
diharapkan tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari kesalahannya dan
menerima tanggung jawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan
dengan penuh kesadaran. Dari proses dialog ini pula masyarakat dapat turut serta
berpartisipasi dalam mewujudkan hasil kesepakatan dan memantau pelaksanaannya.
(Hamdi et al., 2021: 80)
Doktrin yang dikembangkan Islam dalam penyelesaian perkara adalah
penyelesaian secara damai dan musyawarah di antara para pihak yang bcrpcrkara tanpa
harus rnelalui proses hukum di depan pengadilan. Berkenaan dengan konsep restorative
justice yang terdapat dalam hukum pidana Islam terlihat dalam pemberlakuan sanksi
untuk jarimah kisas dan diyat. Pemaafan yang diberikan oleh korban atau keluarganya
dapat menggugurkan hukuman kisas, meskipun diikuti dengan diyat,yaitu ganti rugi
terhadap akibat kejahatan yang dapat dirasakan langsung oleh korban atau keluarganya.
Kedudukan doktrin pemaafan dalam hukum lslam tcrsebut yang kini diakui scbagai
bentuk alternative penyelesaian perkara dengan pencapaian tujuan pemidanaan yang
paling ideal. (Hamdi et al., 2021: 81–82)
Melalui lembaga pemaafan, penyelesaian perkara dapat membuahkan keadilan
yang seimbang antara pelaku, korban,dan masyarakat.Cita― cita pemidanaan yang
demikian inilah yang hendak dicapai dalam pcndckatan restorative justice. Bertitik tolak
pada penjelasan di atas, filosofi penetapan hukuman bagi pelaku tindak pidana
pembunuhan dalam Islam menganut asas restorative justice. Prinsip tersebut memberikan
porsi yang luas kepada para pihak dalam hal keterlibatannya menyelesaikan pidana. Para
pihak yarrg dimaksud adalah pelaku pidana,korban tindak pidana dan keluarganya,
masyarakat serta negara yang diwakili oleh aparat penegak hukum (Soleh, 2015: 129).
Negara dalam hal ini tidak berposisi untuk memonopoli penyelesaian tindak pidana,
melainkan menjadi mediator untuk memastikan bahwa penyelesaian tindak pidana telah
disetujui oleh para pihak.(Qafisheh, 2012: 487)

8
C. Prinsip dan Tujuan Restorative Justice dalam Hukum Pidana Positif
Restorative justice mengandung prinsip – prinsip dasar meliputi(Ali, 2009: 248) :
a. Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana
(keluarganya) terhadap korban tindak pidana.
b. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana untuk bertanggung jawab
menebus kesalahannya dengan cara mengganti kerugian akibat tindak pidana
yang dilakukannya.
c. Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku tindak
pidana dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan dan
kesepakatan diantara para pihak.
Menurut Liebmann prinsip dasar restorative justice sebagai
berikut:(Susetyo, 2013: 10–11)
a. Memprioritaskan dukungan dan penyembuhan korban.
b. Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang dilakukan.
c. Dialog antar korban dan pelaku untuk mencapai pemahaman.
d. Adanya upaya untuk meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan.
e. Pelaku pelanggaran harus sadar tentang bagaimana cara menghindari kejahatan di
msa depan.
f. Masyarakat turut membantu dalam mengintegrasikan dua belah pihak, baik
korban maupun pelaku.
Prinsip pelaksanaan restorative justice juga tertuang dalam peraturan
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yang Berhadapan
Dengan Hukum pada II bagian B (arah kebijakan penanganan anak yang berhadapan
dengan hukum). Secara umum, prinsip-prinsip yang dimuat dalam keadilan restoratif
meliputi sebagai berikut :
a. Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang
ditimbulkan oleh kesalahannya;
b. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan
kualitasnya, disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif;
c. Melibatkan para korban, orang tua, keluarga besar, sekolah, dan teman
sebaya;

9
d. Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah;
e. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi
sosial yang formal.

Restorative justice bertujuan untuk :

a. Meletakkan keputusan kepada pihak-pihak yang paling terlibat dalam perkara


pidana.
b. Memfokuskan hukum lebih pada pemulihan, dan idealnya serta lebih
berkembangnya hukum.
c. Mengurangi kemungkinan permusuhan atau masalah lain di masa depan.

Maka untuk tercapainya keberhasilan yang diinginkan, hal-hal yang perlu


dilakukan adalah :

a. Korban dilibatkan secara langsung dalam proses agar tercapai hasil yang
memuaskan.
b. Pelaku menyadari akibat dari perbuatannya terhadap orang lain dan bertanggung
jawab atas apa yang dilakukannya.
c. Perbaikan terhadap kerugian lebih cepat, dengan memerhatikan kehendak korban
dan pelaku.
d. Korban dan pelaku mengakhiri secara langsung permasalahan yang terjadi dan
pengembalian kepada masyarakat dapat dilakukan lebih efektif.
James Dignan mengutip Wright bahwa tujuan utama keadilan restoratif
adalah pemulihan sedangkan tujuan kedua adalah ganti rugi. Hal ini berarti
bahwa proses penanggulangan tindak pidana melalui pendekatan restoratif adalah
suatu proses penyelesaian tindak pidana, yang bertujuan untuk memulihkan
keadaan yang di dalamnya termasuk ganti rugi terhadap korban melalui cara yang
disepakati oleh para pihak yang terlibat di dalamnya.(Musakkir, 2011: 46).Tujuan
restorative justice dapat dilihat dari tujuan diversi, Menurut Undang-undang
Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 ayat (7)
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara tindak pidana anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

10
Dari definisi tersebut maka jelas bahwa dalam penerapannya diversi
menggunakan prinsip restorative justice yang artinya tujuan dari diversi sama
dengan apa yang hendak dicapai melalui restorative justice. Berdasarkan Pasal 6
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
tujuan diversi yaitu :
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak.
b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses pengadilan.
c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan.
d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi.
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak
f. Anak yang dimaksud pada pasal di atas adalah anak yang berhadapan
dengan hukum
Menurut Eva Achjani Zulfa, tujuan pelaksanaan restorative justice ada dua
yaitu:
a. Tujuan utama dari pelaksanaan restorative justice adalah terbukanya akses
korban untuk menjadi salah satu pihak dalam menentukan penyelesaian
akhir dari tindak pidana.
b. Tujuan lain yang diharapkan dari restorative justice adalah kerelaan pelaku
untuk bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya
D. Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana dalam Hukum Pidana
Positif
Dalam ranah hukum pidana terdapat penyelesaian yang lebih menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula ketimbang menuntut adanya hukuman dari
pengadilan. Prinsip penyelesaian perkara pidana ini dikenal sebagai prinsip keadilan
restoratif (restorative justice). (Mahendra, 2020: 1157)Saat ini, praktik semua institusi
penegakan hukum di Indonesia baik Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian
Republik Indonesia, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia telah mengadopsi prinsip keadilan restoratif (restorative justice) sebagai salah
satu cara untuk menyelesaikan suatu perkara pidana.

11
Pada tahun 2012 keempat lembaga ini membuat sebuah kesepakatan bersama
yakni Nota kesepakatan bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan Ham
RI, Jaksa Agung RI dan Kepala Kepolisian Negara RI Tentang pelaksanaan penerapan
penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda, acara pemeriksaan cepat
serta penerapan keadilan restorative (Restorative Justice), yang mengatur mengenai
penyelesaian perkara pidana melalui prinsip keadilan restorative.Dalam Nota
Kesepakatan bersama ini prinsip keadilan restorative pertama kalinya mendapatkan
sebuah definisi dalam Pasal 1 ayat 2 yaitu(Anggara et al., 2019: 469):
“Keadilan Restoratif (Restorative Justice) adalah penyelesaian perkara tindak pidana
ringan yang dilakukan oleh penyidik pada tahap penyidikan atau hakim sejak awal
persidangan dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan tokoh
masyarakat terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.”
Nota Kesepakatan Bersama ini memang membatasi pemberlakuan keadilan
restoratif (restorative justice) yaitu hanya terhadap tindak pidana ringan saja. Namun
dalam perkembangannya, tidak hanya tindak pidana ringan saja yang bisa diselesaikan
dengan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) Setelah disepakatinya Nota
Kesepakatan Bersama, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Republik
Indonesia membuat peraturan lebih lanjut untuk masing-masing institusi sebagai
pedoman penyelesaian perkara pidana dengan prinsip keadilan restoratif (restorative
justice), antara lain:
a. Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
SE/8/VII/2018 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative
Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana (“SE Kapolri 8/2018”);
b. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019
tentang Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 6/2019”);
c. Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (“Perkejaksaan
15/2020”);

12
d. Keputusan Direktur Jendral Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman
Penerapan Keadilan Restoratif (“Kepdirjenbadilum 1691/2020”).
Peraturan yang dibuat oleh setiap institusi tersebut pada intinya mengatur
bagaimana prinsip keadilan restoratif (restorative justice) dapat diaplikasikan
dalam penyelesaian perkara pidana di setiap tingkatan proses penegakan hukum
pidana sejak tahap penyelidikan dan penyidikan, tahap penuntutan, dan juga pada
tahap pemeriksaan di sidang pengadilan(Pinakunary, 2021).
1. Tahap Penyelidikan dan Penyidikan
Penyelesaian perkara pidana dengan prinsip keadilan restorative
dapat dilakukan jika memenuhi syarat materil dan formilnya. Berikut
syarat materil:
a. Tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau ptidak ada
penolakan masyarakat
b. Tidak berdampak konflik social
c. Adanya pernyataan dari semua pihak yang terkait tidak keberatan
dan melepaskan hak menuntutnya d hadapan hukum
d. Prinsip pembatas:
I. Tingkat kesalahan pelaku relative tidak berat, yaitu
kesalahaan dalam bentuk kesengajaan
II. Pelaku bukan residivis

Berikut adalah Syarat formil:

a. Surat permohonan perdamaan kedua belah pihak


b. Surat prnyataan perdamaian ( akta dading) dan penyelesaian
perselisihan para pihak yang berperkara yang diketahui oleh atasan
penyidik
c. Berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah
dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restorative
d. rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian
keadilan restoratif;

13
e. Pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas
tanggung jawab dan ganti rugi;
f. Semua tindak pidana dapat dilakukan keadilan restoratif terhadap
kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia
Apabila syarat-syarat di atas dipenuhi maka dapat diproses
untuk dapat dihentikannya penyelidikan/penyidikan dengan
dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian
Penyelidikan/Penyidikan dan Surat Ketetapan Penghentian
Penyelidikan/Penyidikan dengan alasan keadilan restoratif
(restorative justice). Penghentian penyelidikan/penyidikan ini
harus melalui proses administrasi dan juga setelah dilakukannya
proses gelar perkara.
2. Tahap Penuntutan
Syarat-syarat suatu tindak pidana yang dapat dihentikan proses
penuntutannya oleh penuntut umum sesuai dengan yarat tersangka dan
tindak pidananya (Pasal 5 ayat (1) Perkejaksaan 15/2020) (Wakkary et al.,
2021: 117–118):
a. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
b. Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam
dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
c. Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai
kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih
dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah).
Syarat selanjutnya (Pasal 5 ayat (6) Perkejaksaan 15/2020):
a. Telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan
oleh tersangka dengan cara:
I. mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana
kepada korban;
II. mengganti kerugian korban;
III. mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak
pidana; dan/atau

14
IV. memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat
tindak pidana;
b. Telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dan tersangka;
c. Masyarakat merespons positif.
Walaupun demikian, secara kasuistik beberapa syarat di atas dapat
dikecualikan oleh penuntut umum untuk dapat melakukan penghentian
penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice), seperti:
1) Dalam Pasal 5 ayat (2) Perkejaksaan 15/2020 disebutkan bahwa
untuk tindak pidana terkait dengan harta benda, penghentian
penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dapat dilakukan dengan
persetujuan dari Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala
Kejaksaan Negeri, dan apabila terpenuhi syarat sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) Perkejaksaan 15/2020, yaitu:
I. Tersangka yang baru pertama kali melakukan tindak pidana;
II. Salah satu dari dua alasan sebagai berikut:
 Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau
diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima)
tahun; atau
 Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai
kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak
lebih dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah).
2) Untuk tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa,
dan kemerdekaan orang ketentuan batas nilai kerugian tidak lebih
dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah) dapat
dikecualikan(Pasal 5 ayat (3) Perkejaksaan 15/2020).
3) Untuk tindak pidana dilakukan karena kelalaian, ketentuan berikut
ini dapat dikecualikan (Pasal 5 ayat (4) Perkejaksaan 15/2020):
 Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau
diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima)
tahun

15
 Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau
nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana
tidak lebih dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu
Rupiah).
4) Syarat untuk tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh,
nyawa, dan kemerdekaan orang dan tindak pidana yang dilakukan
karena kelalaian dalam nomor 2 dan 3 di atas, dapat dikecualikan
dalam hal terdapat kriteria/keadaan yang bersifat kasuistik yang
menurut pertimbangan penuntut umum dengan persetujuan Kepala
Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri tidak
dapat dihentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif;
5) Apabila antara tersangka dengan korban telah ada kesepakatan,
maka syarat yang mengharuskan adanya pemulihan kembali
kepada keadaan semula dapat dikecualikan.
Terkait perdamaian diatur lebih jauh dalam Perkejaksaan
15/2020, penuntut umum dapat menawarkan adanya perdamaian
dengan memanggil korban secara sah dan patut dengan
menyebutkan alasan pemanggilan (Pasal 7 jo. Pasal 8 Perkejaksaan
15/2020). Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan
musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan
intimidasi (Pasal 9 Perkejaksaan 15/2020). Dalam hal proses
perdamaian tercapai, korban dan tersangka membuat kesepakatan
perdamaian secara tertulis di hadapan penuntut umum (Pasal 10
Perkejaksaan 15/2020).
Ada beberapa Tindak Pidana Yang Dikecualikan Untuk
Dapat Dihentikan Penuntutannya Dengan Prinsip Keadilan
Restoratif (Restorative Justice) Berdasarkan Pasal 5 ayat (8)
Perkejaksaan 15/2020 antara lain(Wakkary et al., 2021: 118):

16
a. Tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat
Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara
sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan;
b. Tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana
minimal;
c. Tindak pidana narkotika;
d. Tindak pidana lingkungan hidup; dan
e. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
3. Tahap Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Mahkamah Agung mengatur bahwa pendekatan prinsip keadilan
restoratif (restorative justice) dapat diterapkan terhadap beberapa tindak
pidana di sidang pengadilan, antara lain(Pinakunary, 2021):
1) Perkara tindak pidana ringan, yaitu perkara dengan ancaman
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379,
Pasal 384, Pasal 407, dan Pasal 482 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (“KUHP”) dengan nilai kerugian tidak lebih dari Rp
2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);
2) Perkara anak;
3) Perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum;
4) Perkara narkotika.
Pelaksanaan pendekatan dengan prinsip keadilan restoratif
(restorative justice) tersebut antara lain:
1) Dalam tindak pidana ringan, dilakukan dengan mekanisme
perdamaian antara pelaku dan korban, dan juga dengan keluarga
korban dan tokoh masyarakat. Pada saat dimulainya persidangan,
hakim melakukan upaya perdamaian. Lebih lanjut, selama
persidangan hakim juga tetap mengupayakan perdamaian dan
mengedepankan keadilan restoratif (restorative justice) dalam
putusannya. Apabila tercapai perdamaian, hakim akan
memasukkan perdamaian tersebut dalam pertimbangan
putusannya.

17
2) Dalam perkara anak, pendekatan keadilan restoratif (restorative
justice) adalah dengan penetapan diversi sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Anak.
3) Dalam perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum,
penerapan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) adalah
mengacu kepada Peraturan Mahkamah Agung RI nomor 3 Tahun
2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan
dengan Hukum.
4) Dalam perkara narkotika, pendekatan prinsip keadilan restoratif
(restorative justice) hanya dapat diterapkan terhadap pecandu,
penyalahguna, korban penyalahgunaan, ketergantungan narkotika,
dan narkotika pemakaian satu hari. Dalam proses persidangan
majelis hakim dapat memerintahkan agar pecandu narkotika dan
korban penyalahgunaan narkotika untuk mendapatkan pengobatan,
perawatan, dan pemulihan pada lembaga rehabilitasi medis
dan/atau lembaga rehabilitasi sosial.
E. Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana dalam Hukum Pidana
Islam
Aceh merupakan salah satu provinsi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang memperoleh status otonomi khusus. Secara regulasi otonomi khusus bagi
Aceh ditentukan dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh, dimana sebelumnya juga telah diundangkannya Undang Undangn Nomor 44
Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan bagi provinsi Daerah Istimewa
Aceh. Salah satu keistimewaan yang dimiliki Aceh adalah pelaksanaan adat istiadat.
Masyarakat masyarakat yang berada di gampong gampong di Aceh masih sering
menggunakan lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa sengketa. Kalau ada masalah
dan ternyata tidak dapat diselesaikan diantara kedua belah pihak paling sering masyarakat
di gampong meminta bantuan keuchik untuk menyelesaikannya. Prosedur pemnyelesaian
sengketa gampong lebih mirip rekonsiliasi dari pada proses hukum formal.(Amdani,
2014: 235). Tetapi harus diakui juga banyak masyarakat di desa terutama perempauan

18
dan anak yang masih sangat percaya kepada pengguna lembaga adat untuk menagani
kasus kasus sengketa. Masyarakat miskin di gampong tidak punya pilihan tersebut,
karena pada umumnya mereka tidak mampu membayar proses hukum formal yang
lumayan mahal.(Avoniu & Ihsan, 2010: 31)
Berikut adalah senhgketa perselihan yang termasuk dalam katagori adat dan dapat
disesuaikan oleh lembaga menurut Pasal 13 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008,
perselisihan dalam rumah tangga, sengketa antara keluarga yang berkaitan pada faraidh,
perselihan antara warga, khalwat mesum, perselisihan tentang milik, pencurian ternak
peliharaan, pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan, persengketaan dilaut,
persengkataan dipasar, penganiayaan ringan, pembakaran hutan (dalam skala kecil yang
merugikan komunitas adat) pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik,
pemcemaran lingkungan (skala ringan) ancaman mengacam (tergant8ung dari jenis
ancaman) dan perselisihan perselisihanlain lain yang melanggar adat dan adat
istiadat.(Amdani, 2014: 245). Khusus terhadap peradilan adat dalam perkara tindak
pidana ringan seperti pencurian yang dilakukan oleh anak, maka tahapan penyelesaian
perkara adalah sebagai berikut;
a. Pelaporan yang dilakukan oleh pihak korban atau kedua belah pihak kepada
Kepala Dusun (Kadus) atau Kepala Lorong atau Peutuah Jurong tempat dimana
peristiwa hukum tersebut terjadi (asas teritorial). Namun tidak tertutup
kemungkinan laporan tersebut dapat juga langsung ditujukan kepada Keuchik.
b. Adakalnya Kepala Dusun atau Petuah Jurong itu sendiri yang menyelesaikannya,
jika kasusnya tidak serius. Namun jika kasus tersebut sangat serius dan rumit serta
melibatkan kepentingan umum, maka Kepala Dusun segera melaporkan kepada
Keuchik.
c. Segera setelah Keuchik menerima laporan dari Kadus atau pihak korban, maka
Keuchik membuat rapat internal dengan sekretaris menentukan jadwal sidang,
pelaporan tersebut tidak boleh dilakukan di sembarangan tempat seperti pasar dan
warung kopi, tetapi harus dirumah atau di Meunasah.
d. Sebelum persidangan di gelar, Keuchik dan perangkatnya (sekretaris Keuchik
gampong, Imeum Meunasah dan para kadus atau peutuwa Jurong) melakukan
pendekatan terhadap terhadap kedua belah pihak.

19
e. Pendekatan tidak hanya dilakukan oleh Keuchik dan perangkatnya, tetapi dapat
juga dilakukan oleh siapa saja yang dirasa dekat dan disegani oleh para pihak.
Untuk kasus yang sensitif korbannya kaum perempuan atau kaum muda, maka
pendekatan biasanya dilakukan oleh istri keuchik atau oleh anggota tuha Puet
yang perempuan atau tokoh perempuan lainnya yang dirasa dekat dengan korban
atau kedua belah pihak.
f. Jika kesepakatan penyelesaian secara damai telah disetujui oleh kedua belah
pihak, maka sekretaris keuchik akan mengundang secara resmi kedua belah pihak
untuk menghadiri persidangan pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan.
g. Pada saat persidangan berlangsung, para pihak dapat diwakili oleh walinya atau
saudaranya yang lain sebagai juru bicaranya.
h. Persidangan bersifat resmi dan terbuka untuk kasus terbesar, yang biasa digetar di
meunasah atau tempat tempat lain yang dianggap netral bagi kedua belah pihak.
Kaitan putusan hakim dalam kasus anak yang berhadapan dengan hukum,
khususnya pencurian. Keuchik memutuskan perkara tersebut dengan prinsip
kekeluargaan dan menimbang hukuman yang tepat kepada anak berdasarkan nilai
adat istiadat dan hukum islam. Dimana anak disatu sisi harus dihukum karena
perbuatannya dan disatu sisi dilindungi. Oleh karena itu, keuchik sebagai hakim
sudah tentu diharuskan dapat menentukan keputusan yang bijaksana dalam
memutuskan sengketa tersebut.

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Konsep restorative justice dalam hukum pidana positif merupakan suatu
proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi , dilakukan dengan
membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan
untuk dapat berbicara guna menyelesaikan masalah tersbut tanpa harus menggunakan
jalur hukum. Penyelesaian perkara dengan konsep restorative jstice dalam hukum
pidana positif terdiri dari beberapa bentuk seperti : Victim Offender Mediation
(VOM), Family Grup Conferencing (FGC), Restorative Conferencing (CR), Community
Restorative Boards (CRB) dan Circles. Sedangkan konsep restorative justice yang
terdapat dalam hukum pidana Islam terlihat dalam pemberlakuan sanksi untuk jarimah
kisas dan diyat. Kedudukan doktrin pemaafan dalam hukum lslam tcrsebut yang kini
diakui scbagai bentuk alternative penyelesaian perkara dengan pencapaian tujuan
pemidanaan yang paling ideal.
Adapun prinsip dasar dari restorative justice adalah prinsip – prinsip dasar
meliputi: Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan, Memberikan kesempatan
kepada pelaku tindak pidana untuk bertanggung jawab menebus kesalahannya dengan
cara mengganti kerugian akibat tindak pidana yang dilakukannya dan Menyelesaikan
permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku tindak pidana dan korban
tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan dan kesepakatan diantara para
pihak. Dan Tujuan utama dari keadilan restoratif adalah pemulihan serta tujuan kedua
adalah ganti rugi.
Dalam proses penyelesaian perkara pidana positif yang menggunakan konsep
restorative ada syarat tertentu agar dapat mengaplikasikan restorative justice, yang
mana syarat-syarat tersebut terdapat di tahap penyelidikan dan penyidikan, tahap
penuntutan, dan juga tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Selain itu juga ada
pengecualian terhadap tindak pidana yang tidak dapat menggunakan konsep
restorative justice ini. Dan berkenaan dengan penyelesaian restorative justice dalam
hukum pidana islam seperti pada kasus yang kami angkat diatas berkenaan dengan
pencurian yang dilakukan oleh anak, maka konsep penyelesaiannya melalui hukum
adat yang mana dipertemukan nya pelaku, korban dan pihak terkait lainnya dengan

21
seorang mediator , yaitu kechiek atau kepala desa dan beberapa pejabat kampung
lainnya yang memiliki hak dalam penyelesaian perkara tersebut.
B. Saran
Demikian makalah tentang “ KONSEP RESTORATIF JUSTICE DALAM
PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DALAM HUKUM PIDANA POSITIF
DAN HUKUM PIDANA ISLAM”. Semoga makalah ini dapat dipahami oleh para
pembaca dan juga memberikan manfaat. Kami menyadari bahwa makalah di atas pasti
jauh dari kesempurnaan dan terdapat beberapa kesalahan. Kami akan memperbaiki
makalah ini dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan. Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca mengenai pembahasan makalah kami, sehingga kami dapat membuat karya
yang lebih baik dimasa yang akan dating. Semoga makalah ini dapat menambah
wawasan ilmu pengetahuan bagi pembaca

22
DAFTAR PUSTAKA

Ali, A. (2009). Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence):
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta: Kencana.

Amdani, Y. (2014). Proses Pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan di Lembaga Peradilan


Adat Aceh Tingkat Gampong (Desa). Asy-Syiráh, 48(1), 231–260.

Amdani, Y. (2016). Konsep Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana
Pencurian Oleh Anak Berbasis Hukum Islam Dan Adat Aceh. Probation Journal, 13(1),
64–65.

Anggara, P., Fakultas, M., Universitas, H., Kuala, S., Hukum, F., Syiah, U., … Negara, K. K.
(2019). Penerapan Keadilan Restoratif Pada Tindak Pidana Pendahuluan di dalam
perkembangannya penyelesaian perkara tindak pidana ringan melalui sistem peradilan
yang menekankan pada pembalasan tidak memberikan kepuasan dan keadilan di pihak
korban maupun terdakwa, 3(3), 468–477.

Avoniu, L., & Ihsan, S. (2010). Adat dalam dinamika politik di Aceh. Banda Aceh: ICAIOS.

Dinata, U. (2020). Imlementasi Prinsip Restorative Justice Berdasarkan Victim Oriented


dalam Diversi Guna Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan oleh Anak. Unes Law
Review, 2(4), 12–26.

Hamdi, S., Ikhwan, M., & Iskandar. (2021). Jurnal Syariah dan Hukum Islam, 5(1), 116–137.

Liebmann, M. (2007). Restorative Justice, How it Work. London and Philadelphia: Jessica
Kingsley Publishers.

Mahendra, A. P. (2020). Mediasi Penal Pada Tahap Penyidikan Berlandaskan Keadilan


Restoratif. Jurist-Diction, 3(4), 1153. https://doi.org/10.20473/jd.v3i4.20200

Marlia, M. (2007). Pemgembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. Yogyakarta:


Pustaka Pesantren LKIS.

Mulyadi, M. (2008). Criminal Policy. Medan: Pustaka Bangsa Pres.

Musakkir. (2011). Kajian Sosiologi Hukum Terhadap Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif
Dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Ilmu Hukum Amanna Gappa Univ. Hasanuddin,
19(3).

23
Pinakunary, F. J. (2021). Keadilan Restoratif Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. FJP
Law Officers. Diambil dari https://fjp-law.com/id/keadilan-restoratif-restorative-justice-
dalam-hukum-acara-pidana-indonesia/

Qafisheh, M. M. (2012). Restorative justice in the Islamic penal law: a contribution to the
global system. International Journal of Criminal Justice Sciences, 7(1), 487–507.

Soeaidy, S., & Zulkhair. (2001). Dasar Hukum Perlindungan Anak, cet. ke-1,. Jakarta:
Novindo Pustaka Mandiri.

Soleh, N. (2015). Restorative Justice dalam Hukum Pidana Islam dan Kontribusinya Bagi
Pembaharuan Hukum Pidana Materil di Indonesia. Nor. Istidal; Studi Hukum Islam,
2(2).

Sumpramono, G. (2000). Hukum Acara Pengadilan Anak. (Djambatan, Ed.). Jakarta.

Susetyo, H. (2013). Sistem Pembinaan Narapidana Berdasarkan Prinsip Restorative Justice.


Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI.

Wakkary, R. S., Pongoh, J. K., & D. Rompas, D. (2021). mlementasi Prinsip Restorative
Justice Dalam Sistem Penuntutan Berdasarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun
2020 , X(9), 116–126.

24

Anda mungkin juga menyukai