Anda di halaman 1dari 24

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................2
B. Rumusan Masalah.............................................................................................5
C. Tujuan Penelitian..............................................................................................5
D. Manfaat Penelitian............................................................................................5
E. Keaslian Penelitian...........................................................................................6
F.

Tinjauan Pustaka...............................................................................................8
1.

Tinjauan Umum tentang Kriminologi...........................................................8

2.

Tinjauan Umum tentang Pemidanaan.........................................................14

3.

Sistem Pemidanaan dengan Double Track System.....................................16

4.

Tinjauan Umum tentang Restorative Justice...............................................18

G. Metode Penelitian...........................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................24

A. Latar Belakang
Masyarakat selalu berkembang dan bersifat dinamis, begitu pula dengan
hukum. Hukum senantiasa mengikuti perkembangan yang ada dalam masyarakat
dan selalu menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat. Seiring semakin
meningkatnya fenomena hukum yang terjadi di masyarakat, semakin banyak pula
kajian-kajian tentang ilmu hukum dan penerapan hukum yang sesuai demi
menyelesaikan persoalan yang ada di masyarakat. Semakin berkembanganya
hukum dalam masyarakat, semakin berkembang pula tujuan dari hukum itu
sendiri.
Dalam paham aliran klasik yang bertitik tolak pada paham indeterminisme,
manusia dianggap mempunyai kebebasan untuk berkehendak (free will), sehingga
dalam aliran klasik ini yang ditekankan adalah perbuatan dari manusia, sehingga
dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strefrecht). Aliran klasik pada
prinsipnya hanya menganut single track system dalam sistem pemidanaanya,
sehingga hanya dikenal adanya sanksi tunggal yakni sanksi pidana. Sementara itu
menurut aliran modern yang berpaham determinisme yang merupakan
perkembangan dari paham indeterminisme yang menyatakan tentang kebebasan
berkehendak (free will) memandang bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan
untuk berkehendak, melainkan dipengaruhi oleh lingkungannya, sehingga dia
tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang
dilakukannya.
Perkembangan teori hukum tersebut sejalan dengan kebutuhan masyarakat
yang semakin berpikiran maju. Masyarakat modern tidak menghendaki pidana
hanya sebagai suatu pembalasan atas apa yang dilakukan oleh pelaku, tetapi lebih
menekankan kepada keadilan baik terhadap korban maupun terhadap pelaku
kejahatan. Dengan adanya pemikiran tersebut, kemudian muncul suatu alternatif
penyelesaian perkara pidana yang lebih menekankan pada kepentingan korban
serta melibatkan peran serta masyarakat yang kemudian dikenal dengan nama
Restorative Justice System (sistem keadilan restoratif).

Restorative Justice (keadilan restoratif) ini merupakan buah dari


perkembangan pemikiran manusia yang menghendaki penyelesaian perkara
pidana dengan pendekatan sosio-kultural bukan pendekatan normatif. Ahli
kriminologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam tulisannya yang
berjudul Restorative Justice an Overview mengatakan:
Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in a
particular offence come together to resolve collectively how to deal with
the aftermath of the offence and its implication for the future
Restorative justice adalah sebuah proses dimana para pihak yang
berkepentingan

dalam

pelanggaran

tertentu

bertemu

bersama

untuk

menyelesaikan persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat


dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan.1. Restorative Justice ini
memfokuskan penyelesaian perkara dengan memperhatikan kebutuhan baik
kebutuhan korban maupun pelaku kejahatan. Hal ini didasarkan pada teori
keadilan yang menganggap bahwa kejahatan dan pelanggaran pada prinsipnya
adalah pelanggaran terhadap individu atau masyarakat, bukan pelanggaran
terhadap Negara.
Konsep mengenai Restorative Justice sendiri bukanlah hal yang baru
dalam konsep penyelesaian kasus pidana di Indonesia. Banyak pasal dalam
peraturan perundang-undangan yang telah mengatur mengenai konsep Restorative
Justice ini, baik yang secara tersirat maupun secara tegas diatur.
Restorative justice

adalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep

pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan
materil). Restorative justice harus juga diamati dari segi kriminologi dan sistem
pemasyarakatan. Dari kenyataan yang ada, sistem pemidanaan yang berlaku
belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu (integrated justice), yaitu keadilan
1 Rocky Marbun, S.H., M.H., Restorative Justice Sebagai alternatif Sistem Pemidanaan
Masa Depan , diakses dari
http://forumduniahukumblogku.wordpress.com/2013/01/17/restorative-justice-sebagaialternatif-sistem-pemidanaan-masa-depan/, pada tanggal 15 november 2014 pukul 20.24

bagi pelaku, keadilan bagi korban, dan keadilan bagi masyarakat. Hal inilah yang
mendorong kedepan konsep restorative justice.
Konsep mengenai suatu penyelesaian perkara pidana yang menghendaki
penyelesaian perkara dengan memperhatikan kebutuhan baik kebutuhan korban
maupun pelaku kejahatan telah dikaji dan dipelajari dalam suatu cabang ilmu yang
disebut dengan kriminologi. Bonger memberikan definisi bahwa kriminologi
sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluasluasnya.2 Kriminologi nantinya tidak hanya terfokus pada pengkajian terhadap
gejala-gejala kejahatan dan berbagai faktor-faktor penyebab seseorang melakukan
kejahatan, tetapi juga berusaha mencari upaya yang paling baik untuk
menyelesaikan berbagai macam kejahatan sebagai bentuk penanggulangan dari
kejahatan itu sendiri. Dengan mengkaji suatu permasalahan menggunakan ilmu
kriminologi, akan diketahui fakta-fakta social yang terjadi di masyarakat,
sehingga kita akan melihat suatu permasalahan hukum tidak hanya dari satu sisi
yakni sisi normative saja, tetapi dapat melihatnya dari segi sosial dan kepentingan
bagi pelaku maupun korban. Sehingga dari situ kita akan dapat memahami bahwa
sesungguhnya tujuan dari pemidanaan itu tidak harus selalu menghukum
seseorang, tetapi seharusnya dapat memperbaiki pelaku dari kejahatan tersebut
serta memberikan pembelajaran bagi masyarakat pada umumnya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin mengkaji lebih jauh mengenai
penerapan prinsip restorative justice dalam tindak pidana narkotika yang ditinjau
dari sudut pandang kriminologi, sehingga dalam karya tulis ini penulis mengambil
tema tentang restorative justice dengan judul TINJAUAN KRIMINOLOGI
TERHADAP PRINSIP RESTORATIVE JUSTICE DALAM PERKARA PIDANA
DI INDONESIA.

2 Topo Santosa, 2013, Kriminologi, Jakarta, Rajawali Press, hlm. 9.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya, penulis
membuat beberapa rumusan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penerapan prinsip restorative justice dalam penanganan
perkara pidana di Indonesia?
2. Mengapa restorative justice harus diterapkan sebagai upaya melindungi
korban serta pelaku tindak pidana Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Mengetahui penerapan prinsip restorative justice dalam penanganan
perkara pidana di Indonesia.
b. Mengkaji penerapan prinsip restorative justicese bagai upaya
perlindungan bagikorban serta pelaku tindak pidana di Indonesia.
2. Tujuan Subyektif
a. Memperoleh jawaban dari permasalahan yang diangkat sehingga
mampu menarik kesimpulan.
b. Menambah pengetahuan dan keterampilan hukum baik dalam aspek
teori maupun praktik.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Negara
Sebagai masukan bagi negara mengenai penerapan prinsip restorative
justice dalam penyelesaian perkara pidana di Indonesia agar dapat
memberikan jaminan hak terhadap korban serta pelaku kejahatan.
2. Bagi ilmu pengetahuan
a. Mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana
khususnya dalam hal penyelesaian perkara dengan menerapkan prinsip
restorative justice.

b. Memberikan gambaran secara teoritis mengenai penerapan prinsip


restorative justice sebagai upaya dalam perkara pidana di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pada pengetahuan penulis, terdapat 4 (empat) penulisan
hukum dengan tema restorative justice yang telah dibuat oleh mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada.
Pertama, tesis yang ditulis oleh Zahru Arqom pada tahun 201 dengan judul
PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP DELINKUEN ANAK
DALAM PERKARA ANAK NAKAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DI KOTA
YOGYAKARTA

DAN

PENGEMBANGAN

KONSEP

KEADILAN

RESTORATIF DENGAN CARA DIVERSI DALAM RANCANGAN UNDANGUNDANG PENGADILAN ANAK DI INDONESIA. Tesis tersebut membahas
tentang penegakan hukum bagi delikuen anak dalam perkara anak nakal
berdasarkan Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak di Kota
Yogyakarta dan juga cerminan pendekatan keadilan restoratif bagi delinkuen
dalam putusan perkara anak nakal tahun 2010 di Kota Yogyakarta.
Kedua, penulisan hukum yang ditulis oleh Fani Phisca Purbayanti pada
tahun 2012 dengan judul PERAN APARAT PENEGAK HUKUM DALAM
PENERAPAN KONSEP RESTORATIVE JUSTICE PADA PERKARA PIDANA
ANAK DI KABUPATEN PURBALINGGA DAN KOTA YOGYAKARTA.
Penulisan hukum tersebut membahas tentang penerapan konsep restorative justice
dalam proses penegakan hukum pada perkara pidana anak di Kabupaten
Purbalingga dan Kota Yogyakarta dan juga hambatan aparat penegak hukum
dalam menerapkan konsep restorative justice pada perkara pidana anak di
Kabupaten Purbalingga dan Kota Yogyakarta.
Ketiga, penulisan hukum yang ditulis oleh Mohamad Yogi Hidayat pada
tahun 2012 dengan judul PELAKSANAAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM
PROSES PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA. Penulisan hukum
tersebut membahas tentang ide dasar penggunaan restorative justice dalam sistem
peradilan pidana anak di Indonesia dan juga hambatan yuridis yang

mempengaruhi penggunaan restorative justice dalam sistem peradilan pidana


anak.
Keempat, penulisan hukum yang ditulis oleh Ardining Tyas Prawitasari
pada tahun 2014 dengan judul PERAN PENYIDIK DALAM PENERAPAN
KONSEP KEADILAN RESTORATIF PADA PERKARA KECELAKAAN
LALU LINTAS DI KOTA YOGYAKARTA. Penulisan hukum tersebut membahas
tentang peran penyidik dalam penerapan konsep keadilan restoratif pada perkara
kecelakaan lalu lintas di Kota Yogyakarta dan juga hambatan pagi penyidik dalam
melaksanakan keadilan restoratif pada perkara kecelakaan lalu lintas di Kota
Yogyakarta.
Perbedaan keempat penulisan hukum tersebut dengan penulisan hukum
yang dibuat penulis adalah bahwa keempat penulisan hukum tersebut membahas
tentang restorative justice secara lebih khusus. Penulisan hukum tesis yang ditulis
Zahru Arqom lebih khusus membahas konsep restorative justice ini dalam
kaitannya dengan perkara anak nakal berdasarkan UU No 3 tahun 1997, penulisan
hukum yang ditulis oleh Fani Phisca Purbayanti lebih khusus membahas tentang
penerapan konsep restorative justice pada perkara pidana anak di Kabupaten
Purbalingga dan Kota Yogyakarta, penulisan hukum yang ditulis oleh Mohamad
Yogi Hidayat lebih khusus membahas tentang pelaksanaan restorative justice
dalam proses peradilan pidana anak di Indonesia, penulisan hukum yang ditulis
oleh Ardining Tyas Prawitasari lebih khusus membahas tentang peran penyidik
dalam penerapan keadilan restoratif pada perkara kecelakaan lalu lintas di kota
yogyakarta. Sedangkan penulisan hukum yang ditulis oleh penulis lebih
membahas konsep restorative justice secara umum dan penarapannya dalam
perkara pidana di Indonesia yang ditinjau dari segi kriminologi.
Dengan tidak ditemukannya penulisan hukum lain yang sama dengan
penulisan hukum penulis, maka penulis menyatakan bahwa karya ilmiah ini
adalah asli. Namun jika ternyata ada penulisan lain di luar pengetahuan penulis
yang dilakukan sebelum ditulisnya penulisan hukum ini yang sama dengan
penulisan hukum penulis, maka tanpa adanya itikad buruk penulis berharap
penulisan hukum yang ditulis oleh penulis dapat menjadi pelengkap bagi karya
ilmiah tersebut.

F. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Umum tentang Kriminologi
a. Kriminilogi dan Obyek Studi Kriminilogi
Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala
kejahatan seluas-luasnya (kriminologi teoritis atau murni).3 Kriminologi berasal
dari kata crimen yang berarti kejahatan, dan logos yang berarti pengetahuan atau
ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi adalah ilmu/pengetahuan tentang
kejahatan. Istilah kriminologi untuk pertama kali (1879) digunakan oleh P.
Topinard, ahli antropologi Perancis, sementara istilah yang banyak dipakai
sebelumnya adalah antropologi kriminal.4Menurut Sutherland, kriminologi terdiri
dari tiga bagian utama, yaitu:
a. Etiologi Kriminal, yaitu usaha secara ilmiah untuk mencari sebabsebab kejahatan.
b. Penologi, yaitu pengetahuan yang mempelajari tentang sejarah
lahirnya hukuman, perkembangannya serta arti dan faedahnya.
c. Sosiologi hukum (pidana), yaitu analisis ilmiah terhadap kondisikondisi mempengaruhi perkembangan hukum pidana.
Secara garis besar, obyek studi kriminologi adalah:
a. Kejahatan
dalam hal ini membicarakan mengenai hubungan kriminologi,
kejahatan, dan peraturan perundan-undangan. Meskipun kriminologi
terutama mempelajari perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang
dinyatakan sebagai tindak pidana, namun perkembangan kriminologi
setelah tahun 1960-an khususnya studi sosiologi terhadap peraturan
perundang-undangan pidana telah menyadarkan bahwa dijadikannya
perbuatan tertentu sebagai kejahatan (tindak pidana) tidak semata-mata
3W.A Bonger, 1982, Pengantar tentang Kriminologi, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm. 21.
4I. S. Susanto, 2011, Kriminologi, Yogyakarta, Genta Publishing, hlm. 1.

dipengaruhi oleh besar kecilnya kerugian yang ditimbulkan atau


karena bersifat amoral, melainkan lebih dipengaruhi oleh kepentingankepentingan (politik). Sebagai akibatnya kriminologi memperluas
studinya
merugikan

terhadap

perbuatan-perbuatanyang

masyarakat

luas,

baik

dipandang

kerugian

materi

sangat
maupun

kerugian/bahaya terhadap jiwa dan keselamatan manusia, walaupun


tidak diatur dalam undang-undang pidana.
b. Pelaku
Pelaku yaitu orang yang melakukan kejahatan atau sering disebut
penjahat. Studi terhadap pelaku ini terutama dilakukan oleh
kriminologi positivis dengan tujuan untuk mencari sebab-sebab orang
melakukan

kejahatan.

Dalam

mencari

sebab-sebab

kejahatan,

kriminologi positivis menyadarkan pada asumsi dasar bahwa penjahat


berbeda dengan bukan penjahat, perbedaan tersebut pada aspek
biologis,

psikologik,

maupun

sosio-kultural.

Di

dalam

perkembangannya, studi terhadap pelaku diperluas dengan studi


tentang korban kejahatan. Hal ini sebagai pengaruh dari tulisan Hans
von Hentig dan B. Mendehlsohn dalam bukunya The Criminal and
His Victim. Von Hentig menunjukkan bahwa di dalam kejahatankejahatan tertentu korban mempunyai peranan yang sangat penting
dala terjadinya kejahatan. Studi tentang korban ini kemudian
berkembang pesat dan munculah Viktimologi yaitu pengetahuan yang
membahas masalah korban dengan segala aspeknya.
c. Reaksi Masyarakat terhadap Kejahatan dan Pelaku
Studi mengenai masyarakat terhadap kejahatan bertujuan untuk
mempelajarai

pandanan

serta

tanggapan

masyarakat

terhadap

perbuatan-perbuatan atau gejala yang timbul di masyarakat yang


dipandang sebagai merugikan atau membahayakan masyarakat luas.
Studi mengenai reaksi masyarakat terhadap pelaku (penjahat)
bertujuan untuk mempelajari pandangan-pandangan dan tindakantindakan masyarakat terhadap pelaku kejahatan. Bidang ini secara
khusus dipelajari oleh Penologi. Dengan perkembangan krimiologi

10

setelah tahun 1960-an, yaitu sebagai pengaruh berkembangnya


perspektif labeling dan kriminologi kritis, studi mengenai reaksi
masyarakat ini terutama diarahkan untuk mempelajari proses
bekerjanya (dan pembuatan) hukum, khususnya bekerjanya aparat
penegak hukum.
b. Penologi
Sejarah perkembangan hukuman penjara bergerak dari menghukum dan
membina, dan sesuai dengan perkembangan zaman bergerak ke arah tindakantindakan untuk memperbaiki terhukum. Secara teoritis usaha perbaikan ini
merupakan perampasan kemerdekaan seseorang dengan tujuan untuk mengubah
perilakunya yang jahat menjadi mematuhi hukum.
Peraturan

tentang

penjara

terdapat

dalam

Gestichten

Reglement

(Regelemen Penjara) yang diundangkan dengan ordonasi tanggal 10 Desember


1917 (S.1917:708) yang kemudian mengalami beberapa kali perubahan.
Pembaharuan di bidang penjara ini secara menyeluruh dimulai tahun 1963 oleh
menteri kehakiman Dr. Sahardjo, SH. Yang dimaksud konsep pemasyarakatan
dalam konsep tersebut dirumuskan sebagai berikut:5
a. Tujuan dari penjara ialah: pemasyarakatan, yang mengandung makna
bahwa hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya
perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang-orang yang telah
sesat diayomi dan diberikan bekal hidup, sehingga menjadi kawula
yang berfaedah di dalam masyarakat indonesia.
b. Pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana
karena kehilangan kemerdekaan bergerak, membimbing agar terpidana
bertobat, mendidik agar dia menjadi anggota masyarakat sosial yang
berguna.

5Ibid, hlm. 110.

11

Untuk merealisir ide tersebut, langkah selanjutnya adalah dengan


mengganti nama penjara (sebagai tempat dijalankannya hukuman) dengan
lembaga pemasyarakatan.
c. Teori Labeling
Penyusunan teori-teori kriminologi tentang berbagai perilaku sejak
permulaannya sudah merupakan bagian dari perkembangan sosiologi, dimana
penjahat dipandang sebagai orang yang terpisah dari masyarakat luas yang terdiri
dari orang-orang jujur dan warga yang patuh. Penjahat dipandang sebagai
pembawa penyakit masyarakat dan dianggap sebagai hasil dari berbagai ciri
khusus individu, baik biologisnya atau sosialnya.
Dalam perkembangannya, kejahatan ditafsirkan sebagai hasil dari keadaan
disorganisasi sosial dan kejahatan diakibatkan dari berbagai hal yang bersifat
sosial, seperti industrialisasi, urbanisasi, perubahan sosial yang cepat dan
modernisasi.

Pandangan-pandangan

tersebut

hampir

tidak

pernah

mempertanyakan tentang dasar atau asal dari norma-norma yang telah dikenakan
pada pelaku kejahatan. Juga teori-teori tersebut mengarahkan perhatiannya pada
perilaku menyimpang dengan mengikuti asumsi pelanggar hukum yang ditangkap
sebagai sampel yang representatid dari seluruh pelanggar.
Pada tahun 1962. Howard Becker dalam bukunya Outsiders, mengajukan
teori labeling. Dia mengatakan, kejahatan sebagai hal yang problematik dan
merupakan hasil dari batasan masyarakat, sebab ukuran-ukuran atau norma-norma
yang dilanggar tidak bersifat universal dan tidak dapat berubah. Ada dua dalil
yang diajukan dalam teorinya, yaitu:
a. Kelompok sosial menciptakan penyimpangan dengan membuat
peraturan

barangsiapa

melanggarnya

akan

menghasilkan

penyimpangan, dan
b. Perilaku menyimpang adalah perilaku yang oleh orang-orang diberi
cap demikian.

12

Maka kejahatan bukanlah kualitas suatu perbuatan yang telah dilakukan


oleh orang, melainkan sebagai akibat diterapkannya peraturan dan sanksi oleh
orang-orang lain kepada seorang pelanggar. Penjahat adalah seseorang terhadap
siapa cap (label) tersebut telah dikenakan. Perilaku kejahatan adalah perbuatan
yang oleh orang-orang diberikan label demikian.
d. Teori Konflik
Teori konflik mempertannyakan hubungan antara kekuasaan dalam
pembuatan undang-undang (pidana) dengan kejahatan. Teori tersebut menganggap
orang-orang memiliki perbedaan tingkatan kekuasaan dalam mempengaruhi
pembuatan dan bekerjannya undang-undang. Secara umum, mereka yang
memiliki tingkat yang lebih besar, memiliki kesempatan yang lebih besar untuk
menunjuk perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan
kepentingannya sebagai kejahatan (tindak pidana).
e. Sosiologi Hukum Pidana
Chambliss

dan

Seidman

menyimpulkan

bahwa

kejahatan

bukan

merupakan persoalan moral, melainkan masalah yang bersifat politik, karena


undang-undang

(pidana)

seringkali

merupakan

jalan

untuk

menangani

kepentingan dan kebutuhan sosial dari kelompok yang berkuasa.


Salah satu teori sosiologi tentang terbentuknya peraturan pidana yang
senada dengan pandangan Chambliss dan Seidman dikemukakan oleh Quinney
dalam bukunya Crime and Justice in Society (1969). Dalam teorinya tersebut
(the sociological theory of interest), Quinney mengatakan, masyarakat lebih
ditandai oleh ciri-ciri perbedaan, konflik, paksaan dan perubahan dari pada oleh
konsensus dan keajegan (stabilitas). Selanjutnya Quinney mengajukan empat dalil
untuk teorinya tersebut:6

6Ibid, hlm. 121.

13

a. Hukum terdiri dari peraturan peraturan khusus yang diciptakan dan


diinterpretasikan dalam masyarakat yang diatur secara politis, artinya
hukum bukan semata-mata merupakan seperangkat aturan yang
abstrak, melainkan merupakan proses untuk berbuat sesuatu yang
dilakukan untuk bertindak atas nama masyarakat. Sebagai alat
kekuasaan, sebagai alat politik, maka hukum tidak mewakili normanorma dan nilai-nilai dari semua anggota masyarakat, melainkan hanya
berisi kepentingan (interest) dari beberapa orang/kelompok.
b. Masyarakat yang diatur secara politis adalah masyarakat yang
didasarkan atas kepentingan. Perbedaan-perbedaan sosial dalam
masyarakat merupakan basis dari kehidupan politik negara. Oleh
karena beberapa bentuk kepentingan terbagi dalam berbagai posisi, dan
posisi-posisi tersebut memiliki perlengkapan untuk memerintah yang
berbeda-beda, sehingga kebijaksanaan umum (public policy) mewakili
kepentingan tertentuu di dalam masyarakat. Oleh karena itu,
masyarakat yang diatur secara politis dapat diandang sebagai struktur
kepentingan yang berbeda-beda. Masing-masing bagian masyarakat
memiliki nilai-nilai dan mereka (interest groups) berusaha untuk dapat
memasukkan kepentingannya dalam kebijaksanaan umum, sehingga
dapat dikatakan bahwa kebijaksanaan umum merupakan sukses yang
diperoleh oleh kelompok tersebut.
c. Struktur kepentingan tersebut ditandai oleh distribusi kekuasaan yang
tidak seimbang dan konflik di antara bagian-bagian dari masyarakat
yang diatur secara politis. Sehingga kebijaksanaan umum sebenarnya
merupakan perwujudan dari struktur kepentingan dari masyarakat yang
diatur secara politis tersebut.
d. Hukum dirumuskan dan ditata dalam struktur kepentingan dari suatu
masyarakat yang diatur secara politis. Artinya hukum merupakan salah
satu bentuk dari kebijaksanaan umum yang mengatur tingkah laku dan
aktivitas dari seluruh anggota masyarakat yang dapat memasukkan
kepentingan kelompok masyarakat yang mempunyai kekuasaan
(power) untuk menentukan kebijaksanaan umum. Dengan merumuskan

14

undang-undang

tersebut,

maka

sekelompok

masyarakat

dapat

melakukan kontrol terhadap yang lain demi kepentingannya sendiri.


2. Tinjauan Umum tentang Pemidanaan
a. Pemidanaan Menurut Pandangan Ahli
Sebagian ahli memandang bahwa pemidanaan adalah sebuah persoalan
yang murni hukum (purely legal matter). Salah seorang ahli, J.D.Mabbott
memandang seorang penjahat sebagai seorang yang telah melanggar suatu
hukum, bukan orang jahat. Menurutnya, seorang yang tidak bersalah adalah
seorang yang belum melanggar suatu hukum, meskipun dia bisa jadi merupakan
orang jahat dan telah melanggar hukum-hukum lain.7 Sebagai seorang retributivis,
Mabbott memandang pemidanaan merupakan akibat wajar yang disebabkan
bukan dari hukum, tetapi dari pelanggaran hukum.8
Profesor Jerome Hall, sebagaimana dikutip Gerber dan McAnany dalam
memberi batasan konseptual tentang pemidanaan dianggap sebagai kemajuan
besar yang telah dicapai mengenai konsep pemidanaan. Hall membuat deskripsi
terperinci tentang pemidanaan sebagai berikut: Pertama, pemidanaan adalah
kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup. Kedua, ia memaksa dengan
kekerasan. Ketiga, ia diberikan atas nama Negara. Keempat, pemidanaan
mensyaratkan adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya, dan penentuannya,
yang diekspresikan dalam putusan. Kelima, ia diberikan kepada pelanggar yang
telah melakukan kejahatan, dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai
yang dengan beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam
etika. Keenam, tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan

7 M. Sholehuddin, 2007, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana; Ide dasar Double Track
System & Implementasinya, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hlm. 68.
8 Ibid, hlm. 69.

15

kejahatan, dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas


(kepribadian) si pelanggar, motif dan dorongannya.9
Sedangkan Ted Honderich berpendapat bahwa pemidanaan harus memuat
3 (tiga) unsur berikut:10
Pertama,

pemidanaan

harus

mengandung

semacam

kehilangan

(deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan


sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur pertama ini pada dasarnya
merupakan kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subjek yang menjadi
korban sebagai akibat dari tindakan sadar subjek lain. Tindakan subjek lain itu
dianggap salah bukan saja karena mengakibatkan penderitaan bagi orang lain,
tetapi juga karena melawan hukum yang berlaku secara sah.
Kedua, setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang
secara hukum pula. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu
tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu
lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan merupakan tindakan balas
dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.
Ketiga, penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan
hanya kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau
peraturan yang berlaku dalam masyarakaatnya.
3. Sistem Pemidanaan dengan Double Track System
Sistem pemindanaan dengan sistem dua jalur atau double track system
adalah sistem pemidanaan dimana seorang pelaku kejahatan dapat dijatuhi sanksi
berupa sanksi pidana maupun sanksi yang berupa tindakan. Sistem pemidanaan
dua jalur ini dalam sistem hukum di Indonesia terdapat dalam rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
9 Ibid, hlm 70
10 Ibid

16

Dalam praktek di lapangan, perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi


tindakan sering agak samar, namun sebenarnya keduanya memiliki perbedaan
yang mendasar. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar: mengapa diadakan
pemidanaan. Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar: untuk apa
diadakan pemidanaan itu. Sanksi pidana bersifat reaktif terhadap suatu
perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku
perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah
dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan
menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberi
pertolongan pada pelaku agar ia berubah.11
Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak
dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan
istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat
perbuatannya.12 Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik.
Jika ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan
sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus,
yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan
masyarakat itu.13 Jadi, sanksi pidana lebih berorientasi pada ide pengenaan sanksi
terhadap pelaku suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan berorientasi pad aide
perlindungan masyarakat.14
b. Tujuan Pemidanaan

11 Ibid, hlm. 17.


12 Ibid, hlm. 32.
13 Ibid, hlm. 33.
14 Ibid.

17

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap
pemberian sanksi dalam hukum pidana. 15 Terdapat beberapa teori tentang tujuan
dari pemidanaan. Teori tersebut diantaranya adalah:
Teori Absolut (teori retributif), teori ini memandang bahwa pemidanaan
merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan. Jadi teori ini
berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri.
Teori retributif mencari pendasaran pemidanaan dengan memandang ke masa
lampau, yaitu memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan yang sudah
dilakukan. Menurut Sahetapy, teori absolut adalah teori tertua, setua sejarah
manusia. Teori ini memandang pidana sebagai pembalasan terhadap pelaku
kejahatan.16
Teori Relatif (teori tujuan), teori ini berporos pada tiga tujuan utama
pemidanaan, yaitu: preventif, deterrence dan reformatif. Tujuan preventif dalam
pemidanaan adalah untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku
kejahatan terpisah dari masyarakat. Dalam istilah pemidanaan, hal ini disebut
incapacitation.17 Tujuan menakuti atau deterrence dalam pemidanaan adalah
untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan. Tujuan ini dibedakan dalam
tiga bagian, yaitu: tujuan yang bersifat individual, tujuan yang bersifat publik dan
tujuan yang bersifat jangka panjang. Tujuan yang bersifat individual dimaksudkan
agar pelaku menjadi jera untuk kembali melakukan kejahatan, sedangkan tujuan
yang bersifat publik adalah agar anggota masyarakat lain merasa takut untuk
melakukan kejahatan dan tujuan yang bersifat jangka panjang adalah agar dapat
memelihara keajegan sikap masyarakat terhadap pidana.18

15 Ray Pratama Siadari, Pengertian, Jenis-jenis, dan Tujuan Pemidanaan, diakses dari
http://www.academia.edu/6377313/PENGERTIAN_JENIS_JENIS_DAN_TUJUAN_PE
MIDANAAN, pada tanggal 22 Desember 2014 pukul 19.45
16 M. Sholehuddin, Op. Cit., hlm. 34.
17 Ibid. hlm 41.

18

Teori relatif ini memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan


atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat
untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Dari teori ini
muncullah tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan
khusus yang ditujukan pada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan
pada masyarakat.
Teori integrative atau teori paduan, teori ini pernah diperkenalkan oleh
R.A. Duff. Teori ini bercorak ganda: pemidanaan mengandung karakter
retributivis sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab
tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa
tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku si
terpidana di kemudian hari.19
4. Tinjauan Umum tentang Restorative Justice
Restorative Justice atau keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan
dalam menyelesaikan suatu perkara hukum, khususnya pidana yang lebih menitik
beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak
pidana serta bagi korbannya. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan
keadilan restorative menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam
memahami dan menangani suatu tindak pidana. Seperti definisi yang
dikemukakan oleh Dignan berikut:
Restorative justice is a new framework for responding to wrong doing
and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by
edsucational, legal, social work, and counceling professionals and
community groups. Restorative justice is a valued-based approach to
responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the
person harmed, the person causing the harm, and the affected
community20

18 Ibid.
19 Ibid.

19

Definisi tersebut mensyaratkan adanya suatu kondisi tertentu yang


menempatkan keadilan restorative sebagai

nilai dasar yang dipakai dalam

merespon suatu perkara pidana. Dalam hal ini disyaratkan adanya keseimbangan
fokus perhatian antara kepentingan pelaku dan korban serta memperhitungkan
pula dampak penyelesaian perkara pidana tersebut dalam masyarakat. Dalam
Undang-Undang sistem peradilan anak yakni UU No 11 tahun 2012 tentang
sistem peradilan anak, restorative justice didefinisikan sebagai penyelesaian
perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban,
dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan.
Model atau konsep restorative justice ini adalah konsep yang diajukan
oleh kaum abolisionis pada tahun 1985. Kaum abolisionis adalah gerakan
akademis yang menampakkan dirinya pada tahun 1985 di Vienna, Austria pada
The Ninth World Conference on Criminology. Gerakan ini dipengaruhi pandangan
kriminologis kritis, seperti labeling approach. Tokoh-tokohnya antara lain: L.
Hulsman, H. Bianchi, Mils Christie, dan Thomas Mathiesen. Gerakan yang
mendasar dari kaum ini adalah penolakannya terhadap sarana koersif yang berupa
sarana penal dan diganti dengan sarana reparative.21
Secara umum, Muladi menjabarkan cirri-ciri dari konsep restorative
justice ini yang membedakannya dengan konsep yang lain. Ciri-ciri tersebut
diantaranya adalah:22

20 Anonim, Restorative Justice dan Penerapannya Dalam Hukum Nasional, diakses dari
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/kegiatan-umum/927-restorative-justice-danpenerapannya-dalam-hukum-nasional.html, pada tanggal 22 desember 2014 pukul 20.00
21 M. Sholehuddin, Op. Cit., hlm. 64.
22 Ibid, hlm. 65.

20

a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang


lain, dan diakui sebagai konflik.
b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan
kewajiban pada masa depan.
c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi.
d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan
restorasi sebagai tujuan utama.
e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas
dasar hasil.
f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian social.
g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restorative.
h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah
maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak
pidana didorong untuk bertanggung jawab.
i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan

sebagai

dampak

pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan


yang terbaik.
j. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, social, dan
ekonomis.
k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.
G. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, kecuali
itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum
tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahanpermasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.23
Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atau isu hukum
yang timbul. Oleh karena itu, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di

23 Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hlm. 43.

21

dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk
memberikan preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.24
Dalam penulisan hukum ini, penulis menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam penulisan hukum ini termasuk
dalam kategori penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
kepustakaan. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang
mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder
seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori
hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.25
2. Bentuk Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam penulisan hukum ini termasuk
dalam penelitian evaluatif. Penelitian evaluatif adalah penelitian yang
bertujuan untuk menilai, baik penelitian tersebut melalui pengujian
maupun melalui analisis mengenai hubungan yang terjadi antar
variable.26
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Johnny Ibrahim, dalam penelitian hukum terdapat
bebarapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statue
24 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, hlm. 41.
25Anonim, Pengertian Penelitian Hukum Normatif, diakses dari
http://idtesis.com/pengertian-penelitian-hukum-normatif-adalah/ pada tanggal 25
desember 2014 pukul 20.30
26 Anonim, Penelitian Hukum Dikelompokkan Berdasar Sifat dan Fokus Kajian ,
diakses dari http://idtesis.com/penelitian-hukum-dikelompokkan-berdasar-sifat-danfokus-kajian/ pada tanggal 25 desember 2014 pukul 20.30

22

approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan


analitis (analytical approach), pendekatan perbandingan (comparative
approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan filsafat
(philosophical approach) dan pendekatan kasus (case approach). Yang
dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah pendekatan perundangundangan, pendekatan analitis, pendekatan konseptual dan pendekatan
kasus.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam melakukan penelitian
ini berupa data sekunder. Menurut Gregory Churchill data sekunder ini
dapat berupa:27
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
mengikat, dan terdiri dari:
1) Norma atau kaedah dasar, yakni pembukaan UndangUndang Dasar 1945
2) Peraturan dasar
3) Peraturan perundang-undangan
4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti
misalnya hukum adat
5) Yurisprudensi
6) Traktat
7) Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini
masih berlaku, seperti misalnya Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan
jalan membaca peraturan perundang-undangan, maupun literatur-literatur
yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan data
sekunder. Dari data tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai
data penunjang di dalam penelitian ini.

27 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Op.Cit., hlm. 52.

23

Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yaitu


menarik kesimpulan dari suatu masalah yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis
kualitatif yaitu dengan mengumpulkan bahan, mengkualifikasikan
kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan
menarik kesimpulan untuk menentukan hasil.

DAFTAR PUSTAKA
Bonger. W. A. 1982. Pengantar tentang Kriminologi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Marzuki Mahmud, Peter. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

24

Santoso, Topo. 2013. Kriminologi. Jakarta: Rajawali Press.


Sholehuddin. M. 2007. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana; Ide dasar Double
Track System & Implementasinya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Susanto. I.S. 2011. Kriminologi. Yogyakarta: Genta Publishing.
Anonim. Restorative Justice dan Penerapannya Dalam Hukum Nasional.
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/kegiatan-umum/927-restorative-justicedan-penerapannya-dalam-hukum-nasional.html.

Diakses

Tanggal

22

Desember 2014 pukul 20.00.


Anonim. Pengertian Penelitian Hukum Normatif. http://idtesis.com/pengertianpenelitian-hukum-normatif-adalah//. Diakses tanggal 25 Desember 2014
pukul 20.30.
Anonim. Penelitian Hukum Dikelompokkan Berdasar Sifat dan Fokus Kajian.
http://idtesis.com/penelitian-hukum-dikelompokkan-berdasar-sifat-dan-fokuskajian/. Diakses tanggal 25 Desember 2014 pukul 20.30.
Anonim.

Restorative

Justice,

Alternatif

Baru

Sistem

Pemidanaan.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol9768/irestorative-justiceialternatif-baru-sistem-pemidanaan. Diakses tanggal 23 Desember 2014 pukul


21.10.
Siadari Pratama, Ray. Pengertian, Jenis-jenis, dan Tujuan Pemidanaan.
http://www.academia.edu/6377313/PENGERTIAN_JENIS_JENIS_DAN_TU
JUAN_PEMIDANAAN. Diakses tanggal 22 Desember 2014 pukul 19.45.

Anda mungkin juga menyukai