Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PENEMUAN HUKUM DALAM MASYARAKAT

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3

NAMA: NPM:

1.ALFRIDOLF PURNA WIJAYA NEHE (190600065)


2.CHANDRA PALMA SINURAYA (190600079)
3.LITA O. TURNIP (190600058)
4.LASRO LUMBAN GAOL (190600070)
5.WINDA SITUMORANG (190600051)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK SANTO THOMAS
MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih kami panjatkan kepada Tuhan

Yang Maha Esa karena berkat dan rahmatnya makalah ini dapat hadir dihadapan pembaca

Adalah hanya dari pertolongan dari Tuhan. Makalah yang berada dihadapan pembaca ini

membahas tentang “PENEMUAN HUKUM” Dan kami berharap, semoga makalah ini dapat

menambah wawasan bagi para pembacanya dan bernilai ibadah bagi penulisnya. Adalah sebagai

konsekwensi logis bahwa bila nantinya disana-sini akan didapati beberapa cacat, kesalahan dan

kekurangan dalam makalah ini, kami selaku penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Akhirnya, dengan segala kerendahan segala bentuk saran maupun kritik dari pihak manapun.

Juga tak lupa penulis sampaikan beribu-ribu terima kasih kepada pihak-pihak yang turut

membantu dalam penyelesaian makalah ini. Paling terakhir, hanya kepada Tuhan penulis

panjatkan rasa syukur dan hanya kepada-Nya pula urusan penulis kembalikan. Mudah-mudahan

makalah ini dapat memenuhi keperluan pembaca dan semoga berguna sesuai tujuan untuk

kepentingan Agama, Bangsa, dan Umat Islam pada umumnya. Dan sekali lagi kami berharap

supaya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya, terimakasih.

Medan , 6 Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………….…..ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………………. 1

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………………….. 2

1.3 Tujuan……………………………………………………………………………………..3

BAB II PEMBAHASAN

Pembentukan Hukum Oleh Hakim………………………………………………….. 3

Penafsiran Hukum………………………………………………………………………… 5

Pengisian Kekosongan Hukum……………………………………………………….. 10

BAB III
PENUTUP……………………………………………………………………………………. 12

Kesimpulan………………………………………………………………………………….. 12

Saran…………………………………………………………………………………………… 12

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….. 13
BAB 1

Pendahuluan

Salah satu fungsi dari hukum ialah sebagai alat untuk melindungi kepentingan manusia atau
sebagai perlindungan kepentingan manusia. Salah satu upaya yang semestinya dilakukan guna
melindungi kepentingan manusia ialah hukum hams dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan
hukum dapat berlangsung secara damai, normal, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran
hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan
dalam penegakan hukurn inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan.Dalam hal penegakan
hukum tersebut, setiap prang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal
terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleli
menyimpang dan hams ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada
akhirnya nanti kepastian hukum dapat diwujudkan Diakui bahwa tanpa kepastian hukum orang
tidak mengetahui apa yang harus diperbuatnya yang pada akhirnya akan menimbulkan
keresahan. Akan tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati
peraturan hukum. Akibatnya juga akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat
menimbulkan rasa ketidakadilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan
harus ditaati dan dilaksanakan. Dan kadang undangundang itu sering terasa kejam apabila
dilaksanakan secara ketat (lex dura sed tamenscripta).

1.1. LATAR BELAKANG

Dalam pelajaran tentang sumber-sumber hukum telah dijelaskan, bahwa keputusan hakim juga
diakui sebagai sumber hukum formal. Dengan demikian oleh peraturan perundangan telah
diakui, bahwa pekerjaan hakim merupakan faktor pembentuk hukum. Hukum mempunyai
fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia (seluruh manusia tanpa
terkecuali). Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia
tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat berlangsung secara normal
dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya.
Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum
inilah hukum ini menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu
harus diperhatikan : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan
keadilan (Gerechtigkeit). Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang
mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana
hukumnya itulah yang harus berlaku “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini
runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Masyarakat
mengharapkan adanya kepastian hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat
akan lebih tertib. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus
adil. Tetapi dalam usaha menyelesaikan suatu perkara adakalanya hakim menghadapi masalah
belum adanya peraturan perundang-undangan yang dapat langsung digunakan untuk
menyelesaikan perkara yang bersangkutan, walaupun semua metode penafsiran telah
digunakan.

1.2. RUMUSAN MASALAH

- Bagaimana Pembentukan Hukum Oleh Hakim

- Apa itu Penafsiran Hukum

- Bagaimana cara untuk melakukan Pengisian Kekosongan Hukum

1 3. TUJUAN MAKALAH

Mengetahui dan memahami Pembentukan Hukum Oleh Hakim

Mengerti dan mengetahui tentang Penafsiran Hukum

Mengetahui cara untuk melakukan Pengisian Kekosongan Hukum


BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pembentukan Hukum Oleh Hakim

Sebelum kita masuk pada pembahasab mengenai judul di atas, terlebih dahulu kita harus
mengetahui apa itu “Penemuan Hukum”. Penemuan Hukum, pada hakekatnya mewujudkan
pengembangan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah
reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum
berkenaan dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-konflik
hukum atau sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian
terhadap sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-
pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-
pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan.
Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-
jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum. Penemuan hukum termasuk kegiatan sehari-hari
para yuris, dan terjadi pada semua bidang hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata,
hukum pemerintahan dan hukum pajak. Ia adalah aspek penting dalam ilmu hukum dan
praktek hukum. Dalam menjalankan profesinya, seorang ahli hukum pada dasarnya harus
membuat keputusan-keputusan hukum, berdasarkan hasil analisanya terhadap fakta-fakta yang
diajukan sebagai masalah hukum dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah hukum positif.
Sementara itu, sumber hukum utama yang menjadi acuan dalam proses analisis fakta tersebut
adalah peraturan perundangan-undangan. Dalam hal ini yang menjadi masalah, adalah situasi
dimana peraturan Undang-undang tersebut belum jelas, belum lengkap atau tidak dapat
membantu seorang ahli hukum dalam penyelesaian suatu perkara atau masalah hukum. Dalam
situasi seperti ini, seorang ahli hukum tidak dapat begitu saja menolak untuk menyelesaikan
perkara tersebut. Artinya, seorang ahli hukum harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk
menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Seorang ahli hukum harus mampu berperan dalam
menetapkan atau menentukan apa yang akan merupakan hukum dan apa yang bukan hukum,
walaupun peraturan perundang-undangan yang ada tidak dapat membantunya. Tindakan
seorang ahli hukum dalam situasi semacam itulah yang dimaksudkan dengan pengertian
penemuan hukum atau Rechtsvinding. Dalam proses pengambilan keputusan hukum, seorang
ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi utama,
diantaranya yaitu :

1. Ia senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit (perundang-


undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan selalu
memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang hidup didalam
masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan oleh seorang ahli
hukum karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan
untuk mengatur semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya
dibuat untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.

2. Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau
melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang
terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab adakalanya pembuat Undang-
undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan perkembangan didalam masyarakat.

Penemuan hukum merupakan pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya
yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit, juga
merupakan proses konkretisasi atau individualis peraturan hukum (das sollen) yang bersifat
umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu, jadi dalam penemuan
hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk
peristiwa konkrit. Seorang hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum dalam hal
peraturan perundangan tidak menyebutkan suatu ketentuan untuk menyelesaikan suatu perkara
yang terjadi. Dengan perkataan lain dapatlah dikatakan bahwa hakim harus menyesuaikan
undang-undang dengan hal yang konkrit, oleh karena peraturan- peraturan tidak dapat
mencakup segala peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat. Oleh karena Hakim turut
serta turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan yang tidak, maka Prof. Mr Paul
Scholten mengatakan bahwa hakim itu menjalankan “rechtsvinding” (turut serta menemukan
hukum). Akan tetapi walaupun hakim ikut menentukan hukum, menciptakan peraturan-
perundangan, namun kedudukan hakim bukanlah sebagai pemegang kakuasaan legilatif
(Badan pembentuk perundang-undangan), yaitu Dewan perwakilan Rakyat, oleh karena
keputusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan umum.
Keputusan hakim berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Hal tersebut ditegaskan
dalam pasal 21 A.B., bahwa hakim tidak dapat memberi keputusan yang akan berlaku sebagai
peraturan umum. Lebih jauh ditegaskan dalam kitab undang-undang Hukum Sipil pasal 1917
ayat 1, bahwa kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan
dalam keputusan itu.

2.2 Penafsiran Hukum

Dengan adanya kodifikasi, hukum itu menjadi beku, statis, sukar berubah. Adapun yang selalu
melaksanakan kodifikasi hukum ialah Hakim, karena dialah yang berkewajiban menegakkan
hukum di tengah-tengah masyarakat. Walaupun kodofikasi telah diatur selengkap-lengkapnya,
namun tetap juga kurang sempurna dan masih banyak terdapat banyak kekurangan-
kekurangannya, hingga menyulita pelaksanaannya. Hal ini disebabkan karena pada waktu
kodifikasi ini dibuat, ada hal-hal atau benda-benda yang belum ada atau belum dikenal,
misalnya listrik. Aliran listrik juga sekarang telah dianggap benda, sehingga barang siapa yang
dengan sengaja menyambung aliran listrik tanpa izin yang berwajib, termasuk perbuatan yang
melanggar hukum, yaitu tindak pidana pencurian. Oleh karena hukum bersifat dinamis, maka
Hakim sebagai penegak hukum hanya memandang kodifikasi sebagai suatu pedoman agar ada
kepastian hukum, sedangkan di dalam memberi putusan Hakim harus juga mempertimbangkan
dan mengingat perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

- Ada beberapa macam penafsiran,antara lain :

a.Penfsiran Interprestasi Tata Bahasa (grammatikal)

Yaitu cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman
pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang
dipakai oleh undang-undang ; yang dianut oleh semata-mata arti perkataa menurut tatabahasa
atau menurut kebiasaab, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari. Kata-kata itu harus singkat,
jelas dan tepat. Untuk mempergunakan kata-kata tidak mudah. Oleh karenanya hakim apabila
hakim ingin mengetahui apa yang dimaksud Undang-undang atau apa yang dikehendaki oleh
pembuat Undang-undang, hakim harus menafsirkan kata-kata dalam Undang-undang tersebut

b.Penafsiran Interprestasi Sosiologis/ teleologis

Adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Pentingnya penafsiran


sosiologis adalah sewaktu Undang-undang itu dibuat keadaan sosial masyarakat sudah lain
daripada sewaktu Undang-undang diterapkan, karena hukum itu gejala sosial yang senantiasa
berubah mengikuti perkembangan masyarakat. Penafsiran sosiologis memang penting sekali
bagi hakim terutama kalau diingat banyak Undang-undang yang dibuat jauh daripada waktu
dipergunakan. Khususnya Indonesia banyak memakai Undang-undang zaman penjajahan,
sehingga tidak cocok dengan keadaan sosial masyarakat pada waktu sekarang.

c.Penafsiran Interprestasi Sistematis (dogmatis)

Penafsiran sistematis adalah penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal
yang lain dalam suatu Perundang-undangan yang bersangkutan atau pada Perundang-undangan
hukum lainnya atau membaca penjelasan suatu Perundang-undangan, sehingga mengerti
maksudnya. Kita harus membaca UU dalam keseluruhannya, tidak boleh mengeluarkan suatu
ketentuan lepas dari keseluruhannya, tetapi kita harus meninjaunya dalam hubungannya
dengan ketentuan sejenis. Antara banyak peraturan terdapat hubungan, yang satu timbul dari
yang lain. Seluruhnya merupakan satu sistem besar.
d.Penafsiran Interprestasi Historis

Penafsiran cara ini adalah meneliti sejarah dari Undang-undang yang bersangkutan. Tiap
ketentuan Perundang-undangan tentu mempunyai sejarah dan dari sejarah perundang-
undangan ini hakim mengetahui maksud dari pembuatnya

e.Penafsiran Interprestasi Perbandingan

Penafsiran perbandingan ialah penafsiran dengan membandingkan antara hukum lama dengan
hukum positif, antara hukum nasional dengan hukum internasional dengan hukum asing.

f.Penafsiran Nasional

Ialah penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku misalnya hak
milik pasal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik sistem hukum Indonesia
(Pancasila).

g. Penafsiran ekstensif

Yaitu memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu
peristiwa dapat dimasukannya seperti “aliran listrik” terasuk juga “benda”.

h.Penafsiran Restriktif

Ialah penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu,
misalnya “kerugian” tidak termasuk kerugian yang “tak berwujud” seperti sakit, cacad,dan
sebagainya.

i.Penafsiran Analogis

Yaitu memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada
kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya
tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya
“menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik

2.3.Pengisian Kekosongan Hukum

Dalam pelajaran yang lalu telah dijelaskan, bahwa Badan Legislatif menetapkan peraturan
perundangan yang berlaku sebagai peraturan umum, sedangkan pertimbangan dalam
pelaksanaan hal-hal yang konkrit diserahkan kepada Hakim, sebagai pemegang kekuasaan
hukum. Penyusunan suatu undang-undang menurut kenyataannya memerlukan waktu yang
lama sekali, sehingga pada waktu undang-undang itu dinyatakan berlaku, hal-hal atau keadaan
yang hendak diatur oleh undang-undang itu sudah berubah; terbentuknya suatu peraturan-
perundangan senantiasa terbelakang dibanding dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan
masyarakat. Berhubungan dengan itulah (peraturan perundangan yang statis dan masyarakat
yang dinamis), maka Hakim harus sering memperbaiki undang-undang itu, agar sesuai dengan
kenyataan hidup dalam masyarakat. Dalam bagian Pengisian Kekosongan Hukum ini,terbagi
menjadi dua :

1. Hakim memenuhi kekosongan hukum

Dalam hubungan ini, apabila Hakim menambah peraturan-perundangan, maka hal ini
berarti bahwa Hakim memenuhi ruangan kosong (leemten) dalam sistem hukum formal
dari Tata Hukum yang berlaku.Adapun pendapat bahwa dalam sistem formal dari
hukum ada ruangan kosong (ada kekosongan) yang dapat diisi oleh Hakim, belumlah
lama dianut orang. Hakim mengisi kekosongan hukum apabila perkara yang diajukan
kepadanya tidak ada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam peraturan perundang-
undangan meskipun sudah ditafsirkan menurut bahasa, sejarah, sistematis dan
sosiologis. Sejak ahkir abad ke-19,banyak para sarjana hukum berpendapat bahwa
hukum itu adalah merupakan suatu kesatuan utuh yang tertutup. Di luar undang-undang
tidak ada hukum yang berlaku dan Hakim tidak boleh mejalankan hukum yang tidak
disebutkan dalam peraturan-perundangan. Namun demikian, ada sebagian para sarjana
hukum yang tidak dengan pendapat tersebut. Menurut Prof. Mr Paul Scholten bahwa
hukum itu merupakan suatu sistem yang terbuka (open system). Pendapat ini lahir
berdasarkan kenyataan, bahwa hukum itu bersifat dinamis, yaitu mengikuti proses
perkembangan masyarakat. Berdasarkan dari pemaparan diatas dapat disimpulkan
bahwa hakim dapat dan bahkan harus memenuhi kekosongan hukum, tetapi dengan
catatan perubahan yang Hakim buat tidak membawa kerugian dan dampak buruk
terhadap sistem hukum yang berlaku.

2. Kontruksi Hukum

Konstruksi hukum dapat dilakukan apabila suatu perkara yang dimajukan kepada
hakim, tetapi tidak ada ketentuan yang dapat dijalankan untuk menyelesaikan perkara
tersebut, meskipun telah dilakukan penafsiran hukum. Begitu juga setelah dicari dalam
hukum kebiasaan atau hukum adat, namun tidak ada peraturan yang dapat membawa
penyelesaian terhadap kasus tersebut. Dalam hal demikian hakim harus memeriksa lagi
sistim hukum yang menjadi dasar lembaga hukum yang bersangkutan. Apabila dalam
beberapa ketentuan ada mengandung kesamaan, maka hakim membuat suatu
pengertian hukum (rechtsbegrip) sesuai dengan pendapatnya. Mencari asas hukum
yang menjadi dasar peraturan hukum yang bersangkutan. Misalnya, perbuatan menjual,
perbuatan memberi, menghadiahkan, perbuatan menukar dan mewariskan secara
legat(legateren, membuat testament) mengandung kesamaan-kesamaan.Kesamaan itu
adalah perbuatan yang bermaksud mengasingkan (vervreemden) atau mengalihkan.
Berdasarkan kesamaan tersebut, maka hakim membuat pengertian hukum yang
disebutnya pengasingan. Pengasingan itu meliputi penjualan, pemberian, penukaran
dan pewarisan. Pengasingan adalah suatu perbuatan hukum oleh yang melakukannya
diarahkan ke penyerahan (pemindahan) suatu benda. Elemen yang terdapat dalam baik
penjualan, pemberian, penukaran maupun pewarisan secara legat. Tindakan hakim
yang demikian ini adalah dikenal sebagai perbuatan melakukan konstruksi hukum.

- Sebagai contoh pengisian kekosongan hukum dapat disebutkan dalam pasal 1576
KUHS (Kitab Undang-undang hukum sipil) mengatakan bahwa penjualan(jual-beli)
tidak dapat memutuskan perjanjian sebelum jangka waktu sewa-menyewa tersebut
berakhir.

BAB 3

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan dalam makalah ini yang telah diuraikan secara
rinci di atas, dapat diambil kesimpulan, sebagai berikut: Penemuan hukum merupakan
pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan
peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit, juga merupakan proses konkretisasi
atau individualis peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan
peristiwa konkrit (das sein) tertentu, jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah
bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit. Dengan demikian
oleh peraturan perundangan telah diakui, bahwa pekerjaan hakim merupakan faktor pembentuk
hukum.

Ada 9 Penafsiran hukum yaitu :

1). Penfsiran Interprestasi Tata Bahasa (grammatikal)

2). Penafsiran Interprestasi Sosiologis/ teleologis

3). Penafsiran Interprestasi Sistematis (dogmatis)

4). Penafsiran Interprestasi Historis

5). Penafsiran Interprestasi Perbandingan

6). Penafsiran Nasional


7). Penafsiran ekstensif

8). Penafsiran Restriktif

9). Penafsiran Analogis

3.2. Saran

Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih ada banyak kekurangan dan kesalahan oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa penambahan wawasan tentang Penemuan
Hukum. Kami hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan, maka dari itu
kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

1985. Pengantar Hukum Indonesia.Bandung. Penerbit: CV. Armico

1992. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Penerbit: Sinar Grafika

Sudikno,Mertokusumo.1992. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Yogyakarta. Penerbit:


PT.Citra Aditya Bakti

http://hennyolgarebekka.wordpress.com/2011/05/23/pengisian-kekosongan-hukum/

Kansil,C.S.T,S.H. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Cetakan ketujuh: Balai
Pustaka. 1986

Anda mungkin juga menyukai