Anda di halaman 1dari 22

Makalah

“PROSES TERBENTUKNYA HUKUM’’

Disusun Oleh

Mohammad Zulfikar
NIM: 1011416150

FAKULTAS HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

Kata Pengantar
Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, yang
selalu mencurahkan nikmat-Nya kepada seluruh alam. Semoga hidayah dan istiqomah dalam
iman serta taqwa dilimpahkan kepada kita semua.
Makalah ini adalah sebuah tanggung jawab, dan kewajiban akademik sebagai Mahasiswa
ilmu hukum, khususnya pada mata kuliah Agama. Dalam penyusunan makalah ini tentu
penyusun mengalami beerbagai hambatan, akan tetapi hal tersebut dijadikan sebagai suatu
kekuatan untuk bisa menjadi manusia yang ingin terus berjuang dalam khazanah ilmu dan
pengatahuan .
Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak yang telah memberikan dukungan bantuan
baik secara materil maupun non materil dalam penyusunan makalah ini, selanjutnya ucapan
terima kasih punya penyusun sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah yang terus
memberikan ilmu dan pengetahuan serta membimbing penyusun kearah yang lebih baik nan
progresif.
Makalah ini tentu jauh dari konsep kesempurnaan yang sejati, sebab tidak ada hal yang
sempurna kecuali sang pencipta dan pemilik semesta, akan tetapi kritik yang konstruktif serta
saran sangat diharapkan demi kemajuan ilmu dan pengetahuan dan kemajuan penyusun secara
pribadi, dengan kritik dan sarat tersebut kiranya makalah ini dapat mendekati konsep
kesempurnaan yang semestinya.

Gorontalo, 26 Oktober 2016

Penyusun
Mohammad Zulfikar

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ii

BAB I       PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang............................................................................................................1
1.2    Rumusan Masalah........................................................................................................3
1.3    Tujuan penulisan..........................................................................................................3
1.4 Manfaat penulisan........................................................................................................3

BAB II       PEMBAHASAN


2.1   Pengertian Hukum Perundang-Undangan ..........................................................................4
2.2    Penyebarluasan.................................................................................................................8
2.3    Hukum yudisprudensi........................................................................................................10
2.4 Hukum Adat.....................................................................................................................13

BAB III    PENUTUP


3.1    Kesimpulan.........................................................................................................................18
3.2 Saran................................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Dalam kehidupan sosial tentu sering terjadi perbedaan paham, perang opini,bentrok
fisik,perebutan hak, dan bahkan pelanggaran-pelanggaran lainnya. Nah, untuk menengahi
permasalahan atau mungkin pelanggaran-pelanggaran lain yang mayoritas terjadi,itulah
di antara alasan kenapa ada Hukum. Ketika manusia hidup berdampingan satu sama lain,
maka berbagai kepentingan akan saling bertemu. Pertemuan kepentingan antara manusia
yang satu dengan yang lain ini, tak jarang,menimbulkan pergesekan ataupun perselisihan.
Perselisihan yang di timbulkan bisa berakibat fatal, apabila tidak ada sarana untuk
mendamaikannya. Perlu sebuah mediator atau fasilitator untuk mempertemukan dua buah
kepentingan yang bergesekan tersebut. Tujuannya adalah manusia yang saling
bersengketa (berselisih) tersebut sama-sama memperoleh keadilan. Langkah awal ini di
pahami sebagai sebuah proses untuk menuju sebuah sistem (tatanan) hukum.

Kenyataan ini menjadikan manusia mulai berpikir secara rasional. Di berbagai


komunitas (masyarakat) adat, hal ini menjadi pemikiran yang cukup serius. Terbukti,
kemudian mereka mengangkat pemangku (ketua) adat, yang biasanya mempunyai
'kelebihan' tertentu untuk 'menjembatani' berbagai persoalan yang ada. Dengan kondisi
ini, ketua adat yang di percaya oleh komunitasnya mulai menyusun pola kebijakan
sebagai panduan untuk komunitas tersebut. Panduan tersebut berisikan aturan mengenai
larangan, hukuman bagi yang melanggar larangan tersebut, serta bentuk-bentuk
perjanjian lain yang sudah di sepakati bersama. Proses inilah yang mengawali terjadinya
konsep hukum di masyarakat. Ini artinya,(komunitas) masyarakat adat sudah terlebih
dahulu mengetahui arti dan fungsi hukum yang sebenarnya. Inilah yang kemudian di
sebut sebagai hukum adat. Dapat di rumuskan bersama, bahwa hukum adat merupakan
1
hukum yang tertua yang hidup di masyarakat. Hanya saja, mayoritas hukum adat ini
biasanya tidak tertulis. Inilah istilah hukum adat terjadi

Apa yang terjadi pada masyarakat adat inilah yang kemudian menginspirasi
manusia modern untuk melakukan hal serupa. Sesuai dengan perkembangan zaman,
masyarakat adat harus melakukan kontak dengan masyarakat adat yang lain untuk
memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan yang di maksud , biasanya masih terbatas pada
pemenuhan kebutuhan pokok. Makanan dan sandang menjadi alat tukar (transaksi) yang
kemudian di kenal dengan istilah barter. Semakin lama, hubungan antar masyarakat adat
ini semakin luas dan semakin berkembang. Masyarakat-masyarakat adat yang saling
berinteraksi akhirnya mengadakan perjanjian bersama untuk membentuk sebuah ikatan
yang lebih luas, yang kemudian di kenal sebagai istilah 'negara'. Sejatinya, 'negara' ini
sebenarnya berisikan berbagai kumpulan hukum adat. Terkadang, antara hukum adat
yang satu dengan hukum adat yang lain juga saling berbenturan.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, muncullah musyawarah untuk menentukan


sebuah hukum yang akan di gunakan bersama. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir
pergesekan atau perselisihan yang mungkin terjadi antara masyarakat adat. Lalu, di
bentuklah perjanjian bersama untuk menjembatani persoalan tersebut. Tak lain dan tak
bukan, tujuan di bentuknya hukum dalam sebuah 'negara' adalah untuk memperoleh
keadilan. Seiring dengan berkembangnya waktu, manusia modern memerlukan tatanan
yang lebih selaras, seimbang dalam menjembatani berbagai kepentingan yang semakin
dinamis dan kompleks. Hukum yang tadinya tidak tertulis, akhirnya di sepakati bersama
untuk di bakukan dan di jadikan pedoman. Tentunya, pedoman yang di maksud kemudian
di lakukan secara tertulis. Hukum tertulis inilah yang kita kenal sampai sekarang. Hukum
tertulis ini bersifat dinamis. Akan terus berubah sesuai perkembangan zaman dan
perkembangan kepentingan manusia.

2
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari pengantar yang di atas maka saya merumusan beberapa masalah yang
berkaitan dengan judul makalah ini. Yaitu :
1. Bagaimana proses terbentuknya hukum perundang – undangan
2. Bagaimana proses terbentukan hukum yurispudensi
3. Bagaimana proses terbentuknya hukum adat
4. Bagaimana proses terbentuknya hukum volunter
5. Bagaimana proses terbentuknya doktrin ilmu hukum

1.3 TUJUAN PENULISAN


 Sebagai kewajiban akademik dalam perihal memenuhi tugas yang diberikan dalam mata
kuliah Pengantar Ilmu Hukum
 Untuk mengetahui, mengerti dan memahami tentang Terbentuknya Hukum

1.4 MANFAAT PENULISAN


Adapun manfaat dari makalah ini adalah :
 Dapat menjadi bahan kajian dalam pembelajaran Ilmu Hukum

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Perundang – Undangan

Undang-undang (UU) adalah produk hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Presiden, serta, untuk UU tertentu, melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Secara garis besar proses pembentukan undang-undang terbagi menjadi 5 (lima) tahap, yakni
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan (lihat skema di bawah).

1. Perencanaan
Perencanaan adalah tahap dimana DPR dan Presiden (serta DPD terkait RUU
tertentu) menyusun daftar RUU yang akan disusun ke depan. Proses ini umumnya kenal
dengan istilah penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hasil pembahasan
tersebut kemudian dituangkan dalam Keputusan DPR.

Ada dua jenis Prolegnas, yakni yang disusun untuk jangka waktu 5 tahun (Prolegnas
Jangka Menengah/ProlegJM) dan tahunan (Prolegnas Prioritas Tahunan/ProlegPT).
Sebelum sebuah RUU dapat masuk dalam Prolegnas tahunan, DPR dan/Pemerintah sudah
harus menyusun terlebih dahulu Naskah Akademik dan RUU tersebut.

Namun Prolegnas bukanlah satu-satunya acuan dalam perencanaan pembentukan UU.


Dimungkinkan adanya pembahasan atas RUU yang tidak terdapat dalam proleganas, baik
karena muncul keadaan tertentu yang perlu segera direspon.

4
Secara umum, ada 5 tahap yang dilalui dalam penyusunan Prolegnas:

1. Tahap mengumpulkan masukan


2. Tahap penyaringan masukan
3. Tahap penetapan awal
4. Tahap pembahasan bersama
5. Tahap penetapan prolegnas

Pada tahap mengumpulkan masukan, Pemerintah, DPR, dan DPD secara terpisah
membuat daftar RUU, baik dari kementerian/lembaga, anggota DPR/DPD, fraksi, serta
masyarakat. hasil dari proses pengumpulan tersebut kemudian disaring/dipilih untuk
kemudian ditetapkan oleh masing-masing pihak (Presiden, DPR dan DPD -untuk proses di
DPD belum diatur). Tahap selanjutnya adalah pembahasan masing-masing usulan dalam
forum bersama antara Pemerintah, DPR dan DPD. Dalam tahap inilah seluruh masukan
tersebut diseleksi dan kemudian, setelah ada kesepakatan bersama, ditetapkan oleh DPR
melalui Keputusan DPR.

2. Penyusunan

Tahap Penyusunan RUU merupakan tahap penyiapan sebelum sebuah RUU dibahas


bersama antara DPR dan Pemerintah. Tahap ini terdiri dari:

a) Pembuatan Naskah Akademik


b) Penyusunan Rancangan Undang-Undang
c) Harmonisasi, Pembulatan, Dan pemantapan Konsepsi

5
a. Naskah Akademik

Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya tehadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan peraturan sebagai
solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

b. Penyusunan Rancangan Undang-Undang


Penyusunan RUU adalah pembuatan rancangan peraturan pasal demi pasal dengan
mengikuti ketentuan dalam lampiran II UU12/2011
c. Harmonisasi, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi
Harmonisasi, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi adalah suatu tahapan untuk:

1. Memastikan bahwa RUU yang disusun telah selaras dengan:


a. Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, dan UU lain
b. Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan
2. Menghasilkan kesepakatan terhadap substansi yang diatur dalam RUU.

3. Pembahasan

Pembahasan materi RUU antara DPR dan Presiden (juga dengan DPD, khusus untuk
topik-topik tertentu) melalui 2 tingkat pembicaraan. Tingkat 1 adalah pembicaraan dalam
rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran atau rapat
panitia khusus. Tingkat 2 adalah pembicaraan dalam rapat paripurna. Pengaturan sebelum
adanya putusan MK 92/2012 hanya “mengijinkan” DPD untuk ikut serta dalam
pembahasan tingkat 1, namun setelah putusan MK 92/2012, DPD ikut dalam pembahasan

6
tingkat 2. Namun peran DPD tidak sampai kepada ikut memberikan persetujuan terhadap
suatu RUU. Persetujuan bersama terhadap suatu RUU tetap menjadi kewenangan Presiden
dan DPR.

Apa yang terjadi pada tahap pembahasan adalah “saling kritik” terhadap suatu RUU.
Jika RUU tersebut berasal dari Presiden, maka DPR dan DPD akan memberikan pendapat
dan masukannya. Jika RUU tersebut berasal dari DPR, maka Presiden dan DPD akan
memberikan pendapat dan masukannya. Jika RUU tersebut berasal dari DPD, maka
Presiden dan DPR akan memberikan masukan dan pendapatnya.

4. Pengesahan
Setelah ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden terkait RUU yang dibahas
bersama, Presiden mengesahkan RUU tersebut dengan cara membubuhkan tanda tangan
pada naskah RUU. Penandatanganan ini harus dilakukan oleh presiden dalam jangka waktu
maksimal 30 hari terhitung sejak tanggal RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden. Jika presiden tidak menandatangani RUU tersebut sesuai waktu yang ditetapkan,
maka RUU tersebut otomatis menjadi UU dan wajib untuk diundangkan. Segera setelah
Presiden menandatangani sebuah RUU, Menteri Sekretaris negara memberikan nomor dan
tahun pada UU tersebut.

5. Pengundangan
Pengundangan adalah penempatan UU yang telah disahkan ke dalam Lembaran
Negara (LN), yakni untuk batang tubung UU, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN)m
yakni untuk penjelasan UU dan lampirannya, jika ada. TLN.Sebelum sebuah UU
ditempatkan dalam LN dan TLN, Menteri Hukum dan HAM terlebih dahulu membubuhkan
tanda tangan dan memberikan nomor LN dan TLN pada naskah UU. Tujuan dari
pengundangan ini adalah untuk memastikan setiap orang mengetahui UU yang akan
mengikat mereka.

7
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa tahap Pembahasan hanya ada pada
proses pembentukan UU. Pembentukan PP dan Perpres tidak melalui tahap Pembahasan
dikarenakan tidak melibatkan DPR. Perbedaan lainnya adalah, dalam penyusunan PP dan
Perpres, dokumen Naskah Akademik tidak diperlukan.

Skema Penyusunan, Penetapan dan Pengundangan RPP:

2.2 Penyebarluasan
Penyebarluasan adalah kegiatan yang selalu “melekat” dalam setiap tahapan
pembentukan peraturan perundang-undangan. Pasal 88 ayat (1) UU 12/2011 (setelah
dimaknai oleh MK dalam putusan MK 92/2012) menyebutkan bahwa, “Penyebarluasan
dilakukan oleh DPR, DPD dan Pemerintah sejak Penyusunan Prolegnas, pembahasan
RUU, hingga Pengundangan Undang-Undang,” hal tersebut dilakukan
untuk, “memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para
pemangku kepentingan.”

8
Dasar Hukum Proses Pembentukan UU

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 D ayat (1), dan Pasal 22 D ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan;
5. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1/DPR RI/TAHUN
2009 tentang Tata Tertib;
6. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Tata Cara Penyusunan Program Legislasi Nasional;
7. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang;
8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.

9
2.3 Hukum yurispudensi

Sampai sekarang belum ada kesepakatan antar para sarjana atau ahli hukum
mengenai definisi yurisprudensi, sehingga belum ditemukan definisi yang baku untuk
dijadikan pegangan.

Dalam Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris yang
disusun oleh Yan Pramadya Puspa (C.V. Aneka, Semarang tahun 1977 hal 927) disebutkan
bahwa yurisprudensi ialah kumpulan atau sari keputusan Mahkamah Agung tentang
berbagai vonis jenis kasus perkara berdasarkan kebijaksanaan para hakim sendiri yang
kemudian dianut oleh para Hakim lainnya dalam memutuskan kasus-kasus perkara yang
(hampir) sama. Selanjutnya diterangkan dalam kamus tersebut bahwa dengan adanya
yurisprudensi itu para hakim secara tidak langsung membentuk materi hukum, atau dengan
perkataan lain, yurisprudensi itu menjadi sumber hukum juga.

Ridwan Halim, dalam bukunya Pengantar Tata Hukum Indonesia dalam Tanya
Jawab, (Ghalia Indonesia, 1985,hal32) menyebutkan bahwa yurisprudensi adalah putusan
hakim atas suatu perkara yang belum ada pengaturannya dalam undang-undang, yang
selanjutnya menjadi pedoman bagi hakim-hakim lain yang mengadili kasus-kasus atau
perkara yang serupa.

Putusan Pengadilan Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia

Secara umum berdasarkan hasil riset Aria Suyudi, dalam praktek


mengenal dua jenis putusan yang dianggap penting bagi proses pembentukan
hukum, yaitu :

Yurisprudensi Tetap (Constant Jurisprudence)

Tidak semua putusan yang telah Berkekuatan Hukum Tetap (BHT)


memiliki nilai yurisprudensi. Hanya putusan yang telah melalui mekanisme

10
alamiah memperoleh pengakuan dan persetujuan oleh hakim-hakim lain
dalam bentuk diadopsinya pendapat hakim yang pertama tersebut oleh para
hakim lainnya, baru memberikan status suatu putusan sebagai yurisprudensi.

Pembentukan hukum melalui yurisprudensi tetap juga merupakan proses


yang rigid, hakim-hakim yang pernah ditemui dan membicarakan Yurisprudensi
Tetap menyatakan bahwa tidak ada standar yang jelas tentang berapa kali suatu
putusan harus diikuti oleh hakim lain untuk dapat dikatakan sebagai
yurisprudensi tetap, namun satu hal yang pasti, diadopsi nya pendapat seorang
hakim oleh hakim lain belumlah cukup untuk dianggap sebagai suatu
Yurisprudensi Tetap.

Masalahnya Yurisprudensi Tetap memerlukan infrastruktur yang kuat


untuk dapat beroperasi secara baik. Akses terhadap putusan yang telah diputus
secara sistematis dan terstruktur harus sangatlah baik, lalu budaya diskursus
ilmiah juga haruslah mampu mendukung pengembangan sistem tersebut.
Sehingga tidaklah mengherankan, apabila fokus proyek Bantuan Teknis IGGI pada
awal 1990 an menitikberatkan kepada pembentukan Klasifikasi Putusan, sebagai
gerbang masuk ke dalam pembentukan infrastruktur Yurisprudensi Tetap.

6. Putusan Penting (Landmark Decisions)

Tidak melulu hukum terbentuk melalui Yurisprudensi Tetap. Adakalanya,


beberapa putusan penting atas masalah-masalah baru yang belum pernah diputus
sebelumnya, dianggap sedemikian penting, sehingga meletakkan pondasi bagi
penanganan masalah tersebut di masa yang akan datang, dan dengan sendirinya
dianggap juga memberikan kontribusi bagi pembentukan hukum tanpa melalui
proses Yurisprudensi Tetap.

11
Hal ini tidak kalah pentingnya, karena pembentukan hukum bisa
dilakukan dengan cepat, dan instant, sehingga memang fungsi penerbitan Putusan
Penting ini terpisah dari pembentukan Yurisprudensi Tetap.

Dalam praktek masih pula dibedakan antara yurisprudensi itu merupakan


yurisprudensi tetap ataukah tidak tetap atau antara standaard arresten dan yang
bukan (di Nederland), seperti halnya di Perancis disebut sebagai Arret de Principe.
Ukuran yang dipakai untuk menentukan apakah yurisprudensi tetap ataukah tidak
tetap, tidaklah didasarkan pada hitungan matematis, yaitu berapa kali sudah
diputuskan yang sama mengenai kasus yang sama, tetapi ukurannya secara
prinsipiil berbeda dengan pandangan sebelumnya, sehingga dapat diterima
sebagai standar.

Bahkan upaya untuk mempercepat, memperluas dan memperkuat


yurisprudensi tetap oleh Prof. Dr. Sunaryati Hartono, S.H., dikemukakan dalam
Seminar Hukum Nasional VI tahun 1994 di Jakarta, bahwa perlu diakuinya asas
bahwa hakim yang lebih rendah wajib mengikuti hakim putusan hakim yang lebih
tinggi dalam perkara yang fakta maupun materinya kurang lebih sama. Sehingga
tidak perlu dipertanyakan lagi:

1.    Berapa kali putusan hakim harus diikuti oleh hakim lain.

2.    Apakah putusan hakim yang sama harus diikuti berturut-turut atau tidak.

3.     Apakah harus putusan hakim Mahkamah Agung atau putusan hakim


Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Negeri.

Dalam pembentukan hukum melalui yurisprudensi ini, perlu senantiasa diingat


akan 3 (tiga) nilai dasar yang penting, yaitu:

1. Nilai filosofis, yang berarti bahwa putusan hakim harus mencerminkan dan berintikan
rasa keadilan dan kebenaran.

12
2. Nilai sosiologis, yang  berarti bahwa putusan hakim harus sesuai dengan tata nilai
budaya maupun nilai hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat.

3. Nilai yuridis, yang berarti bahwa putusan hakim harus sesuai dan mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.4 Hukum adat

Pengertian Hukum Adat


Secara bahasa hukum adat terbagi dari dua kata yakni hukum dan adat. Hukum adalah
kumpulan aturan atau norma yang apabila dilanggar akan dikenai sanksi, dan yang membuat
hukum adalah orang yang memiliki kewenangan atasnya. Sedangkan kata adat, menurut Prof.
Amura, istilah ini berasal dari bahasa Sansekerta karena menurutnya istilah ini telah
dipergunakan oleh orang Minangkabau kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Menurutnya
adat berasal dari dua kata, a dan dato. A berarti tidak dan dato berarti sesuatu yang bersifat
kebendaan.

Dan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat adalah aturan (perbuatan dsb) yg
lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Karena istilah Adat yang telah diserap
kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan maka istilah hukum adat dapat disamakan
dengan hukum kebiasaan.

Hukum adat merupakan hukum yang dinamis, berubah sesuai zaman. Walaupun
tidak tertulis di sebuah buku aturan yang jelas, tapi setiap orang yang mengetahui dan
memahaminya akan selalu patuh di bawahnya, karena hukum adat adalah sesuatu yang sakral
dan harus diikuti selama tidak menyimpang dari rasa keadilan.
Hukum adat yang juga merupakan peraturan adat istiadat sudah ada semenjak zaman
kuno dan zaman pra-Hindu. Hingga akhirnya masuklah kultur-kultur budaya masyarakat luar
yang cukup mempengaruhi kultur asli pada daerah tersebut. Seperti datangnya kultur Hindu,
13
kultur Islam, dan kultur Kristen, sehingga hukum adat yang ada pada saat ini merupakan
akulturasi dari berbagai kultur pendatang. Unsur-unsur yang menjadi dasar pembentukan
Hukum Adat adalah sebagai berikut; Pertama adalah kegiatan yang sebenarnya dengan
melalui penelitian-penelitian, Kedua adalah dengan menggunakan kerangka mengenai unsur-
unsur hukum yang dapat dibedakan antara unsur idiil dan unsur riil. Unsur idiil terdiri dari
rasa susila, rasa keadilan, dan rasio manusia, rata susila merupakan suatu hasrat dalam diri
manusia untuk hidup dengan hati nurani yang bersih. Ketiga adalah dengan mempergunakan
ketiga unsur tersebut sehingga dihasilkan suatu gambaran perbandingan yang konkret.
Tapi yang akan lebih jauh dikaji ialah sistem hukum adat, dimana suatu sistem
hukum sudah hidup dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, setiap hukum
merupakan suatu sistem yang peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan 
berdasarkan atas kesatuan pemikiran, begitu pula hukum adat. Sistem hukum adat bersendi
atas dasar-dasar pemikiran bangsa indonesia, yang tidak sama dengan yang ada dalam sistem
hukum barat. Agar kita sadar terhadap sistem hukum adat, kita harus mengetahui dasar-dasar
pemikiran yang hidup didalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu untuk memahami lebih
lanjut, akan di bahas masalah sistem hukum adat tersebut.
Sumber Hukum Adat adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh
dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena
peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh berkembang, maka hukum adat memiliki
kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Adapun Penegak hukum adat adalah pemuka adat
sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat
adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

Manfaat Mempelajari Hukum Adat :


Menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH menyatakan manfaat hukum adalah
tersebut adalah: dengan memepelajari hukum adat maka kita akan memahami budaya hukum
Indonesia, kita tidak menolak budaya hukum asing sepanjang ia tidak bertentangan dengan
budaya hukum Indonesia. Begitu pula dengan mempelajari hukum adat maka akan dapat kita
ketahui hukum adat yang mana yang ternyata tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman,

14
dan hukum adat yang mana yang mendekati keseragaman yang dapat diperlakukan sebagai
hukum nasional.

Sistem Hukum Adat


Sistem hukum adat merupakan sistem hukum khas, yang bersifat religiomagiskomun,
kontant, dan konkret. Apabila sistem hukum adat diperbandingkan dengan sistem hukum
barat maka akan tampak perbedaan pokok sebagai berikut:

- Sistem Hukum Barat


1)    Menjunjung tinggi nilai kondifikasi
2)    Memuat peraturan yang kasuistis artinya merinci
3)    Hakim terikat penetapan darikodifikasi.
4)    Mengenal benda kebendaan,yaitu hak-hak yang berlaku terhadap setiap orang dan hak-hak
perorangan yaitu hak-hak atas suatu objek yang hanya berlaku terhadap seseorang tertentu
saja.
5)    Terdapat pembagian hukum dalam hukum privat dan hukum publik.
6)    Dikenal perbedaan benda dalam benda tetap dan benda bergerak
7)    Perlu adanya sanski sebagai jaminan terlaksananya penertipan.

- Sistem Hukum Adat


a)    Tidak menghendaki kodifikasi
b)    Menyadarkanpada asas-asas hukum saja artinya hanya mengatur dalam garis besar saja.
c)    Karena tidak ada penetapan yang prae existence maka hakim diberi kebebasan leluasa dalam
mewujudkan keadilan yang hidup dalam masryarakat karena hakimnya aktif.
d)    Hak-hak kebendaan dan perorangan seperti itu tidak dikenal dalam hukum adat.

15
e)    Tidak dikenal pembagian seperti itu
f)     Perbedaan benda seperti itu tidak dikenal dalam hukum adat
g)    Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang harus disertai syarat yang menjamin
terlaksananya ketertiban dengan jalan mempergunakan sanksi.

Dasar Berlakunya Hukum Adat :


a. Dasar yuridis dahulu dan sekarang
b. Dasar berlaku sosiologis
c. Dasar berlaku filosofis

Unsur-Unsur Pembentuk Hukum Adat

Hasil seminar Hukum adat dan pembinaan hukum nasional diselenggarakan di


Yogyakarta oleh pakar-pakar hukum adat di Indonesia, maka dapatlah dinyatakan bahwa
terwujudnya hukum adat itu dipengaruhi oleh agama. Menurut Prof. Dr. Mr. Soekanto unsur-
unsur adat itu adalah:
“Jika kita mengeluarkan pertanyaan hukum apakah menurut kebenaran, keadaan yang
bagian terbesar terdapat di dalam hukum adat, maka jawabanya adalah hukum Melayu
Polinesia yang asli itu dengan di sana sini sebagai bahagian yang sangat kecil adalah hukum
agama”
Menurut Prof. Djojodigoeno mengemukakan batasan yang sama beliau menyatakan bahwa:
“unsur lainya yang tidak begitu besar artinya atau luas pengaruhnya adalah unsur-unsur
keagamaan, teristimewa unsur-unsur dibawa oleh agama Islam, pengaruh agama Kristen,
dan agama Hindu”.
a.       Unsur Kenyataan
Adat dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat dan secara berulang-
ulang serta berkesinambungan dan rakyat mentaati serta mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari.

16
b.       Unsur Psikologis
Setelah hukum adat ini ajeg atau berulang-ulang yang dilakukan selanjutnya terdapat
keyakinan pada masyarakat bahwa adat yang dimaksud mempunyai kekuatan hukum, dan
menimbulkan kewajiban hukum (opinion yuris necessitatis).

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam proses pembelajaran ilmu hukum sangan penting untuk dapat mengetahui,
mengerti, dan memahami tentang bagaimana proses terbentuknya hukum, sebab hal
tersebut merupakan salah satu bagian aspek penting dan mendasar dalam disiplin ilmu
hukum.

3.2 Saran

Pemahaman secara seksama sangat dibutuhkan dalam memahami proses


terbentuknya hukum, sebab hal tersebut merupakan hal yang penting dan mendasar dalam
kontekstual ilmu hukum. Kritik konstruktif pula sangat dibutuhkan demi perbaikan
makalah ini dan evaluasi untuk penyusun secara pribadi kedepannya.

18
Daftar Pustaka
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012

19

Anda mungkin juga menyukai