Disusun Oleh
Mohammad Zulfikar
NIM: 1011416150
FAKULTAS HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kata Pengantar
Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, yang
selalu mencurahkan nikmat-Nya kepada seluruh alam. Semoga hidayah dan istiqomah dalam
iman serta taqwa dilimpahkan kepada kita semua.
Makalah ini adalah sebuah tanggung jawab, dan kewajiban akademik sebagai Mahasiswa
ilmu hukum, khususnya pada mata kuliah Agama. Dalam penyusunan makalah ini tentu
penyusun mengalami beerbagai hambatan, akan tetapi hal tersebut dijadikan sebagai suatu
kekuatan untuk bisa menjadi manusia yang ingin terus berjuang dalam khazanah ilmu dan
pengatahuan .
Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak yang telah memberikan dukungan bantuan
baik secara materil maupun non materil dalam penyusunan makalah ini, selanjutnya ucapan
terima kasih punya penyusun sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah yang terus
memberikan ilmu dan pengetahuan serta membimbing penyusun kearah yang lebih baik nan
progresif.
Makalah ini tentu jauh dari konsep kesempurnaan yang sejati, sebab tidak ada hal yang
sempurna kecuali sang pencipta dan pemilik semesta, akan tetapi kritik yang konstruktif serta
saran sangat diharapkan demi kemajuan ilmu dan pengetahuan dan kemajuan penyusun secara
pribadi, dengan kritik dan sarat tersebut kiranya makalah ini dapat mendekati konsep
kesempurnaan yang semestinya.
Penyusun
Mohammad Zulfikar
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ii
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sosial tentu sering terjadi perbedaan paham, perang opini,bentrok
fisik,perebutan hak, dan bahkan pelanggaran-pelanggaran lainnya. Nah, untuk menengahi
permasalahan atau mungkin pelanggaran-pelanggaran lain yang mayoritas terjadi,itulah
di antara alasan kenapa ada Hukum. Ketika manusia hidup berdampingan satu sama lain,
maka berbagai kepentingan akan saling bertemu. Pertemuan kepentingan antara manusia
yang satu dengan yang lain ini, tak jarang,menimbulkan pergesekan ataupun perselisihan.
Perselisihan yang di timbulkan bisa berakibat fatal, apabila tidak ada sarana untuk
mendamaikannya. Perlu sebuah mediator atau fasilitator untuk mempertemukan dua buah
kepentingan yang bergesekan tersebut. Tujuannya adalah manusia yang saling
bersengketa (berselisih) tersebut sama-sama memperoleh keadilan. Langkah awal ini di
pahami sebagai sebuah proses untuk menuju sebuah sistem (tatanan) hukum.
Apa yang terjadi pada masyarakat adat inilah yang kemudian menginspirasi
manusia modern untuk melakukan hal serupa. Sesuai dengan perkembangan zaman,
masyarakat adat harus melakukan kontak dengan masyarakat adat yang lain untuk
memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan yang di maksud , biasanya masih terbatas pada
pemenuhan kebutuhan pokok. Makanan dan sandang menjadi alat tukar (transaksi) yang
kemudian di kenal dengan istilah barter. Semakin lama, hubungan antar masyarakat adat
ini semakin luas dan semakin berkembang. Masyarakat-masyarakat adat yang saling
berinteraksi akhirnya mengadakan perjanjian bersama untuk membentuk sebuah ikatan
yang lebih luas, yang kemudian di kenal sebagai istilah 'negara'. Sejatinya, 'negara' ini
sebenarnya berisikan berbagai kumpulan hukum adat. Terkadang, antara hukum adat
yang satu dengan hukum adat yang lain juga saling berbenturan.
2
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari pengantar yang di atas maka saya merumusan beberapa masalah yang
berkaitan dengan judul makalah ini. Yaitu :
1. Bagaimana proses terbentuknya hukum perundang – undangan
2. Bagaimana proses terbentukan hukum yurispudensi
3. Bagaimana proses terbentuknya hukum adat
4. Bagaimana proses terbentuknya hukum volunter
5. Bagaimana proses terbentuknya doktrin ilmu hukum
3
BAB II
PEMBAHASAN
Undang-undang (UU) adalah produk hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Presiden, serta, untuk UU tertentu, melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Secara garis besar proses pembentukan undang-undang terbagi menjadi 5 (lima) tahap, yakni
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan (lihat skema di bawah).
1. Perencanaan
Perencanaan adalah tahap dimana DPR dan Presiden (serta DPD terkait RUU
tertentu) menyusun daftar RUU yang akan disusun ke depan. Proses ini umumnya kenal
dengan istilah penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hasil pembahasan
tersebut kemudian dituangkan dalam Keputusan DPR.
Ada dua jenis Prolegnas, yakni yang disusun untuk jangka waktu 5 tahun (Prolegnas
Jangka Menengah/ProlegJM) dan tahunan (Prolegnas Prioritas Tahunan/ProlegPT).
Sebelum sebuah RUU dapat masuk dalam Prolegnas tahunan, DPR dan/Pemerintah sudah
harus menyusun terlebih dahulu Naskah Akademik dan RUU tersebut.
4
Secara umum, ada 5 tahap yang dilalui dalam penyusunan Prolegnas:
Pada tahap mengumpulkan masukan, Pemerintah, DPR, dan DPD secara terpisah
membuat daftar RUU, baik dari kementerian/lembaga, anggota DPR/DPD, fraksi, serta
masyarakat. hasil dari proses pengumpulan tersebut kemudian disaring/dipilih untuk
kemudian ditetapkan oleh masing-masing pihak (Presiden, DPR dan DPD -untuk proses di
DPD belum diatur). Tahap selanjutnya adalah pembahasan masing-masing usulan dalam
forum bersama antara Pemerintah, DPR dan DPD. Dalam tahap inilah seluruh masukan
tersebut diseleksi dan kemudian, setelah ada kesepakatan bersama, ditetapkan oleh DPR
melalui Keputusan DPR.
2. Penyusunan
5
a. Naskah Akademik
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya tehadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan peraturan sebagai
solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
3. Pembahasan
Pembahasan materi RUU antara DPR dan Presiden (juga dengan DPD, khusus untuk
topik-topik tertentu) melalui 2 tingkat pembicaraan. Tingkat 1 adalah pembicaraan dalam
rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran atau rapat
panitia khusus. Tingkat 2 adalah pembicaraan dalam rapat paripurna. Pengaturan sebelum
adanya putusan MK 92/2012 hanya “mengijinkan” DPD untuk ikut serta dalam
pembahasan tingkat 1, namun setelah putusan MK 92/2012, DPD ikut dalam pembahasan
6
tingkat 2. Namun peran DPD tidak sampai kepada ikut memberikan persetujuan terhadap
suatu RUU. Persetujuan bersama terhadap suatu RUU tetap menjadi kewenangan Presiden
dan DPR.
Apa yang terjadi pada tahap pembahasan adalah “saling kritik” terhadap suatu RUU.
Jika RUU tersebut berasal dari Presiden, maka DPR dan DPD akan memberikan pendapat
dan masukannya. Jika RUU tersebut berasal dari DPR, maka Presiden dan DPD akan
memberikan pendapat dan masukannya. Jika RUU tersebut berasal dari DPD, maka
Presiden dan DPR akan memberikan masukan dan pendapatnya.
4. Pengesahan
Setelah ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden terkait RUU yang dibahas
bersama, Presiden mengesahkan RUU tersebut dengan cara membubuhkan tanda tangan
pada naskah RUU. Penandatanganan ini harus dilakukan oleh presiden dalam jangka waktu
maksimal 30 hari terhitung sejak tanggal RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden. Jika presiden tidak menandatangani RUU tersebut sesuai waktu yang ditetapkan,
maka RUU tersebut otomatis menjadi UU dan wajib untuk diundangkan. Segera setelah
Presiden menandatangani sebuah RUU, Menteri Sekretaris negara memberikan nomor dan
tahun pada UU tersebut.
5. Pengundangan
Pengundangan adalah penempatan UU yang telah disahkan ke dalam Lembaran
Negara (LN), yakni untuk batang tubung UU, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN)m
yakni untuk penjelasan UU dan lampirannya, jika ada. TLN.Sebelum sebuah UU
ditempatkan dalam LN dan TLN, Menteri Hukum dan HAM terlebih dahulu membubuhkan
tanda tangan dan memberikan nomor LN dan TLN pada naskah UU. Tujuan dari
pengundangan ini adalah untuk memastikan setiap orang mengetahui UU yang akan
mengikat mereka.
7
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa tahap Pembahasan hanya ada pada
proses pembentukan UU. Pembentukan PP dan Perpres tidak melalui tahap Pembahasan
dikarenakan tidak melibatkan DPR. Perbedaan lainnya adalah, dalam penyusunan PP dan
Perpres, dokumen Naskah Akademik tidak diperlukan.
2.2 Penyebarluasan
Penyebarluasan adalah kegiatan yang selalu “melekat” dalam setiap tahapan
pembentukan peraturan perundang-undangan. Pasal 88 ayat (1) UU 12/2011 (setelah
dimaknai oleh MK dalam putusan MK 92/2012) menyebutkan bahwa, “Penyebarluasan
dilakukan oleh DPR, DPD dan Pemerintah sejak Penyusunan Prolegnas, pembahasan
RUU, hingga Pengundangan Undang-Undang,” hal tersebut dilakukan
untuk, “memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para
pemangku kepentingan.”
8
Dasar Hukum Proses Pembentukan UU
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 D ayat (1), dan Pasal 22 D ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan;
5. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1/DPR RI/TAHUN
2009 tentang Tata Tertib;
6. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Tata Cara Penyusunan Program Legislasi Nasional;
7. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang;
8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
9
2.3 Hukum yurispudensi
Sampai sekarang belum ada kesepakatan antar para sarjana atau ahli hukum
mengenai definisi yurisprudensi, sehingga belum ditemukan definisi yang baku untuk
dijadikan pegangan.
Dalam Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris yang
disusun oleh Yan Pramadya Puspa (C.V. Aneka, Semarang tahun 1977 hal 927) disebutkan
bahwa yurisprudensi ialah kumpulan atau sari keputusan Mahkamah Agung tentang
berbagai vonis jenis kasus perkara berdasarkan kebijaksanaan para hakim sendiri yang
kemudian dianut oleh para Hakim lainnya dalam memutuskan kasus-kasus perkara yang
(hampir) sama. Selanjutnya diterangkan dalam kamus tersebut bahwa dengan adanya
yurisprudensi itu para hakim secara tidak langsung membentuk materi hukum, atau dengan
perkataan lain, yurisprudensi itu menjadi sumber hukum juga.
Ridwan Halim, dalam bukunya Pengantar Tata Hukum Indonesia dalam Tanya
Jawab, (Ghalia Indonesia, 1985,hal32) menyebutkan bahwa yurisprudensi adalah putusan
hakim atas suatu perkara yang belum ada pengaturannya dalam undang-undang, yang
selanjutnya menjadi pedoman bagi hakim-hakim lain yang mengadili kasus-kasus atau
perkara yang serupa.
10
alamiah memperoleh pengakuan dan persetujuan oleh hakim-hakim lain
dalam bentuk diadopsinya pendapat hakim yang pertama tersebut oleh para
hakim lainnya, baru memberikan status suatu putusan sebagai yurisprudensi.
11
Hal ini tidak kalah pentingnya, karena pembentukan hukum bisa
dilakukan dengan cepat, dan instant, sehingga memang fungsi penerbitan Putusan
Penting ini terpisah dari pembentukan Yurisprudensi Tetap.
2. Apakah putusan hakim yang sama harus diikuti berturut-turut atau tidak.
1. Nilai filosofis, yang berarti bahwa putusan hakim harus mencerminkan dan berintikan
rasa keadilan dan kebenaran.
12
2. Nilai sosiologis, yang berarti bahwa putusan hakim harus sesuai dengan tata nilai
budaya maupun nilai hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat.
3. Nilai yuridis, yang berarti bahwa putusan hakim harus sesuai dan mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat adalah aturan (perbuatan dsb) yg
lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Karena istilah Adat yang telah diserap
kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan maka istilah hukum adat dapat disamakan
dengan hukum kebiasaan.
Hukum adat merupakan hukum yang dinamis, berubah sesuai zaman. Walaupun
tidak tertulis di sebuah buku aturan yang jelas, tapi setiap orang yang mengetahui dan
memahaminya akan selalu patuh di bawahnya, karena hukum adat adalah sesuatu yang sakral
dan harus diikuti selama tidak menyimpang dari rasa keadilan.
Hukum adat yang juga merupakan peraturan adat istiadat sudah ada semenjak zaman
kuno dan zaman pra-Hindu. Hingga akhirnya masuklah kultur-kultur budaya masyarakat luar
yang cukup mempengaruhi kultur asli pada daerah tersebut. Seperti datangnya kultur Hindu,
13
kultur Islam, dan kultur Kristen, sehingga hukum adat yang ada pada saat ini merupakan
akulturasi dari berbagai kultur pendatang. Unsur-unsur yang menjadi dasar pembentukan
Hukum Adat adalah sebagai berikut; Pertama adalah kegiatan yang sebenarnya dengan
melalui penelitian-penelitian, Kedua adalah dengan menggunakan kerangka mengenai unsur-
unsur hukum yang dapat dibedakan antara unsur idiil dan unsur riil. Unsur idiil terdiri dari
rasa susila, rasa keadilan, dan rasio manusia, rata susila merupakan suatu hasrat dalam diri
manusia untuk hidup dengan hati nurani yang bersih. Ketiga adalah dengan mempergunakan
ketiga unsur tersebut sehingga dihasilkan suatu gambaran perbandingan yang konkret.
Tapi yang akan lebih jauh dikaji ialah sistem hukum adat, dimana suatu sistem
hukum sudah hidup dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, setiap hukum
merupakan suatu sistem yang peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan
berdasarkan atas kesatuan pemikiran, begitu pula hukum adat. Sistem hukum adat bersendi
atas dasar-dasar pemikiran bangsa indonesia, yang tidak sama dengan yang ada dalam sistem
hukum barat. Agar kita sadar terhadap sistem hukum adat, kita harus mengetahui dasar-dasar
pemikiran yang hidup didalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu untuk memahami lebih
lanjut, akan di bahas masalah sistem hukum adat tersebut.
Sumber Hukum Adat adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh
dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena
peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh berkembang, maka hukum adat memiliki
kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Adapun Penegak hukum adat adalah pemuka adat
sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat
adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
14
dan hukum adat yang mana yang mendekati keseragaman yang dapat diperlakukan sebagai
hukum nasional.
15
e) Tidak dikenal pembagian seperti itu
f) Perbedaan benda seperti itu tidak dikenal dalam hukum adat
g) Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang harus disertai syarat yang menjamin
terlaksananya ketertiban dengan jalan mempergunakan sanksi.
16
b. Unsur Psikologis
Setelah hukum adat ini ajeg atau berulang-ulang yang dilakukan selanjutnya terdapat
keyakinan pada masyarakat bahwa adat yang dimaksud mempunyai kekuatan hukum, dan
menimbulkan kewajiban hukum (opinion yuris necessitatis).
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam proses pembelajaran ilmu hukum sangan penting untuk dapat mengetahui,
mengerti, dan memahami tentang bagaimana proses terbentuknya hukum, sebab hal
tersebut merupakan salah satu bagian aspek penting dan mendasar dalam disiplin ilmu
hukum.
3.2 Saran
18
Daftar Pustaka
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012
19