Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-NYa kepada kita sehingga kita dapat
menyelesaikan Tugas Perbandingan Hukum Pidana. Tidak lupa juga kami ucapkan
terima kasih kepada teman – teman yang telah membantu kita dalam pembuatan tugas
ini.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan tugas ini, untuk
itu kami membutuhkan kritik dan saran yang mendukung. Kami berharap semoga
tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan dapat menjadikan kita lebih baik
untuk dimasa yang akan datang.

Palu, 27 November 2019

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

SAMPUL
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................1
1.3 Tujuan.........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Hukum Pidana.............................................................................................3
2.1.1 Pengertian Tindak Pidana..................................................................3
2.1.2 Unsur-unsur Tindak Pidana...............................................................4
2.2 Perbedaan Asas Legalitas KUHP antara Indonesia dengan KUHP
Filipina........................................................................................................5
2.2.1 Sistem Hukum Pidana Indonesia......................................................5
2.2.2 Sistem Hukum Pidana Filipina.........................................................9
2.3 Peranana dan Manfaat Perbandingan Asas Legalitas KUHP Indonesia
dan Filiphina bagi Pembaharuan Pidana Nasional.......................................14
2.3.1 Manfaat Ilmiah dan Praktis...............................................................14
2.3.2 Pembentukan Hukum Pidana Nasional yang Bermutu dan Up To
Date....................................................................................................15
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN...........................................................................................18
3.2 SARAN ......................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Paton mengatakan bahwa semua masyarakat yang telah mencapai tingkat
perkembangan tertentu harus menciptakan suatu sistem hukum untuk melindungi
kepentingan-kepentingan tertentu. Jika masyarakat berkembang, maka konsepsi-
konsepsi hukum akan menjadi lebih sempurna dan kepentingan yang dilindungi akan
berubah. Menurut Paton selanjutnya, tidak ada alasan bagi kita untuk berusaha tidak
menjawab berbagai permasalahan tersebut.1
Statement yang dikemukakan G.W. Paton tersebut adalah suatu hal yang tidak
dapat dipungkiri lagi. Kemajuan-kemajuan dalam bidang sosial, budaya, dan
teknologi bergerak begitu cepat. Akibatnya, berbagai sarana dan pranata-pranata yang
telah ada seperti peraturan perundang-undangan menjadi ketinggalan dan tidak sesuai
lagi dengan dinamika masyarakat dan pembangunan zaman.
Dalam rangka pembangunan hukum itu, diperlukan terlebih dahulu adanya
perencanaan hukum (legal planning) yang dapat menampung segala kebutuhan dalam
suasana perubahan-perubahan sosial atau dinamika masyarakat. Namun sebagaimana
dikatakan Sunaryati Hartono., “Legal Planning” itu bukan pekerjaan yang mudah.
Harus terlebih dahulu kita mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam tentang
sistem hukum asing.2 Di sinilah letak perlunya Perbandingan Hukum (Comparative
Law).
Dengan perbandingan hukum akan memperluas cakrawala berpikir serta
memberi kesadaran kepada perencana/pelaksana pembangunan hukum itu bahwa bagi
setiap masalah hukum terbuka lebih dari hanya satu cara untuk mengatasinya.
Apalagi dalam perkembangan kehidupan masyarakat modern sekarang ini.
Akibat kemajuan teknologi, jarak-jarak antar negara semakin rapat, hubungan
komunikasi semakin cepat, maka setiap negara akan cenderung memperbandingkan
dirinya dengan negara lain, dengan maksud untuk memelihara keseimbangan dan
harmonisasi antar negara sehingga tujuan nasional masing-masing dapat tercapai.

1.2 Rumusan Masalah


Dalam makalah ini, penulis mencoba merumuskan batasan masalah, agar
masalah yang akan dibahas dapat terarah. Sehubungan dengan hal itu, terdapat
beberapa masalah yang diidentifikasi sebagai berikut:

1
1. Perbedaan sistem hukum pidana antara Indonesia yang menganut sistem
hukum eropa kontinental dengan Filipina yang menganut sistem hukum anglo
saxon dan karakteristiknya masing-masing?
2. Peranan dan manfaat perbandingan hukum pidana kedua negara bagi
pembaharuan hukum pidana nasional?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui perbedaan sistem hukum pidana antar Indonesia yang


menganut sistem hukum eropa continental dengan Filiphina yang menganut
sistem hukum anglo saxon dan karakteristiknya masing-masing.
2. Untuk mengetahui peranan dan manfaat perbandingan hukum pidana kedua
negara bagi pembaharuan hukum pidana nasional.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hukum Pidana
2.1.1 Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana di Indonesia. Menurut Moeljatno, hukum pidana
adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut. 1
W. L. G. Lemaire menyatakan bahwa hukum pidana itu terdiri dari norma-
norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk
undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu
penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa
hukum pidana merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap
tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
di mana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-
keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana
yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.2 Atau bisa dikatakan
sesungguhnya yang dibahas dalam Hukum Pidana adalah perbuatan pidana,
pertanggungjawaban pidana dan sanksi pidana.

Definisi mengenai Kejahatan atau Tindak Pidana di Filipina disebutkan dalam


Pasal 3 RPC:
“Acts and omissions punishable by law are felonies (delitos).
Felonies are committed not only be means of deceit (dolo) but also by means

1
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, ctk. Keenam, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2000), hlm. 1
2
P. A. F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia , ctk.Ketiga, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hlm. 2

3
of fault (culpa). There is deceit when the act is performed with deliberate
intent and there is fault when the wrongful act results from imprudence,
negligence, lack of foresight, or lack of skill.”
Bisa dikatakan bahwa pengertian tindak pidana di Filipina adalah tindakan-
tindakan/ perbuatan-perbuatan dan kelalaian-kelalaian yang dapat dipidana oleh
undang-undang. Kejahatan (delitos) tidak hanya dilakukan dengan cara sengaja
menipu/ memperdayakan (dolo) tetapi juga dengan kekhilafan (culpa). Memperdaya
ada apabila perbuatan dilakukan dengan sengaja dan kekhilafan ada apabila perbuatan
salah itu disebabkan oleh kealpaan, kelalaian, kurangnya perhatian ke depan, atau
kurangnya keterampilan.
Kejahatan adalah istilah umum yang mengacu pada tindakan atau kelalaian
yang diancam akan dihukum oleh hukum pidana. Suatu tindakan atau kelalaian
dihukum hanya jika ada undang-undang yang melarang dilakukannya suatu tindakan
atau memerintahkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan, tetapi ia gagal/ lalai
untuk melakukan.
Kejahatan akibat kelalaian juga merupakan tindak pidana menurut RPC. Di
bawah RPC, tindakan dan kelalaian dihukum oleh undang-undang disebut felonies
(kejahatan berat). Dengan demikian, kejahatan berat harus ada perbuatan
memperdaya dan kelalaian.

2.1.2 Unsur-unsur Tindak Pidana


Van Apeldoorn menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana atau peristiwa
pidana adalah segi obyektif dan subyektif. Ditilik dari sudut obyektif, maka peristiwa
pidana adalah suatu tindakan (berbuat atau lalai berbuat) yang bertentangan dengan
hukum positif jadi yang bersifat tanpa hak yang menimbulkan akibat yang oleh
hukum dilarang dengan ancaman hukuman. Unsur yang perlu sekali untuk peristiwa
pidana (ditilik dari sudut obyektif) adalah sifat tanpa hak, yakni sifat melanggar
hukum. Dimana tak terdapat unsure tanpa hak, tak ada peristiwa pidana. Segi
subyektif dari peristiwa pidana adalah segi kesalahan (schuldzijde), yakni bahwa
akibat yang tidak diingini undang-undang yang dilakukan oleh pelaku dapat
diberatkan kepadanya.
Menurut Moeljatno, unsur-unsur perbuatan pidana adalah kelakuan dan akibat
(perbuatan), hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan
yang memberatkan pidana, unsure melawan hukum yang obyektif, dan unsure
melawan hukum yang subyektif.3

3
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, ctk. Keenam, RinekaCipta, Jakarta, 2000,
hlm. 63

4
2.2 Perbedaan Asas Legalitas KUHP Antara Indonesia Dengan KUHP
Filipina
Di dunia sebenarnya terdapat berbagai sistem hukum dengan karakteristiknya
maupun dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dalam Ilmu
Hukum Pidana dewasa ini lazim dikenal adanya 2 (dua) sistem hukum pidana yang
paling menonjol dan mengemuka yang masing-masing mempunyai ciri-ciri khas
ataupun karakteristik sendiri pula. Walaupun pada akhirnya kita dapat melihat suatu
kecenderungan (tendency) bahwa ciri-ciri khas masing-masing sistem hukum pidana
tersebut semakin tidak tegas lagi. Hal ini baik karena pertimbang-pertimbangan teknis
maupun karena adanya kebutuhan hukum yang semakin kompleks. Dalam bab ini
penulis mencoba megemukakan tentang dua sistem hukum pidana yang, yaitu sistem
hukum pidana eropa kontinental yang dianut oleh Indonesia dan sistem hukum pidana
anglo saxon yang dianut oleh Filipina.

2.2.1 Sistem Hukum Pidana Indonesia


a. Sistem Hukum Dan Riwayat Hukum
Sistem hukum pidana Indonesia adalah sistem hukum pidana yang
menganut sistem hukum pidana eropa kontinental, lazim dipergunakan di negara-
negara Eropa daratan. Pada awalnya sistem hukum pidana Eropa Kontinental ini
berasal dari hukum Romawi kuno yang selanjutnya diresepsi dalam kode Napoleon.
Dari sinilah kemudian menyebatr ke berbagai daratan Eropa seperti Jerman, Belanda,
Spanyol, dan lain sebagainya.
Ketika negara-negara Eropa Kontinental ini melakukan penjajahan ke
berbagai bagian bumi baik di Asia, Afrika, dan lain-lain, selama berpuluh tahun
bahkan beratus tahun, maka mereka turut menerapkan sistem hukum pidana seperti
yang dipakai di negara asal mereka di negara-negara yang mereka jajah, yang pada
umumnya sistem hukum pidana tersebut berlanjut sampai sekarang.
Ada beberapa ciri khas ataupun karakteristik dari sistem hukum pidana
Indonesia yang menganut sistem hukum pidana eropa kontinental, antara lain dalam
hal Pengkodifikasiannya.
Kendatipun dalam perkembangannya sukar untuk menentukan sistem hukum
pidana mana yang lebih terkodifikasi, namun pada umumnya dapat dikatakan bahwa
sistem hukum pidana Eropa Kontinental adalah terkodifikasi, karena diundangkan
sekaligus dalam satu kitab.

5
Hal ini menunjukkan bahwa sumber hukum pidana yang utama dalam negara-
negara yang menganut sistem Eropa Kontinental adalah Kitab Undang-Undang
Hukum Pidananya.
Berbagai ketentuan hukum pidana dalam rangka kodifikasi ini dimuat dan
diatur dalam suatu Kitab Hukum Pidana yang dikenal dengan istilah Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagai contoh dapat disebutkan adalah Hukum
Pidana Belanda (yang semula berasal dari Code Penal Perancis) terdapat dalam satu
kitab yang terdiri dari tiga buku. Hal yang sama juga terdapat di Indonesia yang
memang diresepsi dari hukum pidana Belanda dahulu.
Dalam perkembangannya sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya,
ternyata perundang-undangan Hukum Pidana atau perundang-undangan yang di
dalamnya terdapat materi hukum pidana, semakin lama semakin banyak dan
menumpuk juga. Di Indonesia misalnya dapat dikatakan bahwa materi hukum pidana
di luar KUHP (hukum pidana khusus) justru lebih banyak dan terus bertambah,
seperti:
1) Undang-undang No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.
2) Undang-Undang No.9 Tahun 1976 tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan
Narkotika.
3) Undang-Undang No.7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.
4) UU No.8 Darurat 1955 tentangTindakPidanaImigrasi dan diubahmenjadi UU
No.1 Tahun 1961.

Dengan telah tertulis nya semua ketentuan tentang hukum pidana, dapat
dikatakan bahwa dalam sistem Eropa Continental yang dianut oleh Indonesia, lebih
terjamin adanya kepastian hukum. Walaupun kepastian hukum yang terkandung
dalam sistem ini adalah kepastian hukum yang bersifat formal yang dalam hal-hal
tertentu selalu tertinggal oleh perkembangan peradaban dan kesadaran hukum
masyarakat. Karena itulah di negara-negara Eropa Kontinental sudah semakin
berkembang kepastian hukum yang bersifat materil.
Sistem Hukum Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum
Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik
perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental atau Civil Law,
khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan
wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum

6
Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi
hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan
dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang
merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-
budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Berdasarkan isinya, hukum Indonesia dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum
sipil (privat) dan hukum publik.4 Hukum sipil adalah hukum yang mengatur
hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yang mengatur
hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana merupakan bagian
dari hukum publik.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),Aturan-aturan pidana yang
ada di luar wetboek ini, semuanya tunduk kepada sistem yang dipakai dalam KUHP,
hal mana dinyatakan dalam Pasal 103 KUHP, yang berbunyi: “Ketentuan-ketentuan
dalam Bab I sampai dengan Bab VIII dari buku ke-1 (aturan-aturan umum), juga
berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh aturan-aturan dalam perundangan lain
diancam dengan pidana, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang”.5
KUHP terdiri atas tiga buku. Buku I memuat ketentuan-ketentuan umum
(algemeneleerstukken), yaitu ketentuan-ketentuan untuk semua tindak pidana
(perbuatan yang pembuatnya dapat dikenai hukuman pidana atau strafbarefeiten),
baik yang disebutkan dalam Buku II dan Buku III maupun yang disebutkan dalam
undang-undang lain. Buku II menyebutkan tindak-tindak pidana yang dinamakan
misdrijven atau kejahatan. Sedangkan Buku III menyebutkan tindak-tindak pidana
yang dinamakan overtredingen atau pelanggaran.6
Jenispidana yang ada dalam KUHP adalah :
1. Pidana pokok :
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Pidana kurungan
d. Pidana denda
e. Pidana tutupan
2. Pidana tambahan :
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu

4
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), hlm. 75
5
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, ctk. Keenam, (Jakarta: RinekaCipta,
2000), hlm 16
6
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, edisi ketiga, (Bandung: Refika Aditama,
2003), hlm. 4

7
c. Pengumuman putusan hakim

Selanjutnya sistem hukum pidana Indonesia mempergunakan sistem peradilan


yang berbeda dengan sistem hukum pidana Filipina. Di Indonesia dianut sistem di
mana Hakim atau Majelis Hakim yang mengadili perkara pidana, dengan kata lain
hakim atau majelis hakimlah yang menentukan bersalah atau tidaknya seorang
terdakwa dan sekaligus menjatuhkan putusannya baik berupa pemidanaan ataupun
pembebasan.

b. Asas Legalitas
Asas hukum pidana antara lain adalah Asas Legalitas, yang termuat dalam
Pasal 1 ayat 1 KUHP; "Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali atas
kekuatan undang-undang yang telah ada terlebih dahulu sebelumnya atau dari
perbuatan tersebut". Ini berarti bahwa tiap-tiap perbuatan pidana atau tindak pidana
harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang atau setidak-
tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada dan berlaku bagi terdakwa.
Pasal 1 ayat 1 ini mengandung 3 makna. Pertama, undang-undang hukum
pidana harus tertulis, dan kedua, undang-undang hukum pidana tidak bolehberlaku
surut. Namun dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP berbunyi: Apabila ada perubahan dalam
perundang-undangan terjadi sesudah suatu tindak pidana diperbuat, maka yang
diperlakukan adalah ketentuan-ketentuan dari hukum lama atau hukum baru, yang
lebih menguntungkan bagi sitersangka. Ini yang disebut sebagai asas retroaktif.
Pasal 1 ayat 2 KUHP merupakan penyimpangan dari larangan berlaku surut
dari hukum pidana, sepanjang mengenai hal bahwa hukum yang baru lebih
menguntungkan bagi tersangka daripada hukum yang lama, yaitu apabila seorang
pelanggar hukum pidana belum diputus perkaranya oleh hakim dalam putusan
terakhir.

2.2.2 Sistem Hukum Pidana Filipina


a. Sistem hukum dan riwayat hukum
Sistem hukum pidana Filipina adalah suatu sistem hukum pidana yang berasal
dari negara-negara Anglo Saxon yaitu Amerika Serikat dan Inggris. Temasuk ke
dalam sistem ini adalah negara-negara lain baik itu di Asia, Australia, Afrika, dan
Amerika yang dalam sejarahnya pernah mengalami penjajahan dari negara-negara

8
Anglo Saxon tersebut yang sampai saat ini masih menganut dan menerapkan sistem
hukum pidana Anglo Saxon tersebut. Sebagaimana sistem Eropa Kontinental maka
sistem hukum pidana Anglo Saxon mempunyai ciri-ciri yang khas pula.
Sebuah Negara yang menganut Civil Law, memperkenalkan praktek
kodifikasi pada Filipina sebagai Negara yang dijajahnya. Saat itu Kitab undang-
undang yang diterapkan oleh Spanyol di Filipina adalah Civil Code (Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata) dan Penal Code (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Praktek Kodifikasi tetap digunakan selama periode pendudukan Amerika meskipun
Amerika adalah Negara yang menggunakan Common Law.7
Ada dua sumber utama hukum di Filipina8, yaitu :
1. Undang-undang, yang merupakan hukum tertulis sebagai produk kebijakan
dari legislatif. Undang-undang dibuat atau ditulis sesuai dengan format atau hukum
yang dibuat oleh Kongres. Secara umum ada 2 tipe Undang-undang yaitu Konstitusi
dan Undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Hal ini juga mencakup; perjanjian-
perjanjian, undang-undang, kebijakan tertulis legislatif, piagam daerah, peraturan
daerah, peraturan-peraturan pengadilan dan peraturan presiden.
2. Yurisprudensi, adalah putusan-putusan kasus terdahulu atau opini tertulis
yang dibuat oleh pengadilan atau orang-orang yang menjalankan fungsi peradilan.
Yang termasuk dalam yurisprudensi adalah semua peraturan yang dihasilkan badan
administratif dan legislatif semisal keputusan-keputusan yang dibuat oleh Presiden
atau Senat atau Kantor Pengadilan Pemilihan Umum. Untuk warga Negara yang
beragama Islam (muslim), sumber utama hukum adalah Shariah (Al Quran),
Sunnaqh, Ijma dan Qiyas.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Filipina yang berlaku saat ini adalah
Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Filipina – Revised Penal Code
(RPC). Kitab ini disahkan pada tahun 1930 dan diberlakukan efektif sejak 1 Januari
1932.9 Perubahan tersebut terdiri dari 2 bagian, yaitu Buku Pertama berisi Ketentuan
Umum untuk pelaksanaan hukum dan prinsip-prinsip umum hukum pidana. Buku ini
7
http:\\wikipedia.com, Diakses pada tanggal 25 November 2019
8
Milagros Santos-Ong, Philippine Legal Research, dalam http:\\GlobaLex.com,
Diakses pada tanggal
25 November 2019
9
http:\\www.wikipedia.com\philippinelegalcode, Diaksespadatanggal 25
November 2019

9
mendefinisikan tentang tindak pidana kejahatan dan keadaan tidak cakap melakukan
tindak pidana, alasan pembenar dan alasan pemaaf, mengurangi atau memperburuk
pertanggungjawaban pidana, dan mendefinisikan klasifikasi, masa waktu ancaman
sanksi pidana dan akibat dari saksi pidana.
Buku kedua mendefinisikan kejahatan secara spesifik dan ancaman pidana
terhadap masing-masing kejahatan tersebut. Kejahatan diklasifikasikan ke dalam
kejahatan terhadap keamanan negara (seperti pengkhiatan, mata-mata dan
pembajakan), kejahatan terhadap hukum fundamental negara (pemberontakan,
kudeta, penghasutan dan pembangkangan publik), kejahatan terhadap kepentingan
publik (pemalsuan uang dan pemalsuan dokumen), kejahatan asusila, kejahatan yang
dilakukan pegawai pemerintah, kejahatan terhadap perorangan (pembunuhan,
penganiayaan, perkosaan), kejahatan terhadap keamanan (penculikan), kejahatan
terhadap barang-barang (pencurian), dan lainnya. Kejahatan yang disebabkan
kelalaian juga diatur dalam Perubahan KUHP tersebut. RPC ini merupakan
pelengkap undang-undang khusus, jadi mirip dengan ketentuan Pasal 103 KUHP
Indonesia.10
Pada Titel Pendahuluan, diatur tentang berlakunya RPC. Sebagaimana
berlakunya KUHP Indonesia, maka dalam RPC juga menganut asas teritorialitas dan
personalitas. Pada Titel Tiga diatur tentang asas legalitas dan menyatakan bahwa
hukum pidana berlaku surut sepanjang menguntungkan terdakwa. Ditentukan pula
dalam RPC bahwa kitab ini merupakan pelengkap undang- undang khusus yang
mengatur hukum pidana di Filipina.
Diperinci bahwa delik (peristiwa/ tindak pidana) tetap dianggap terjadi
meskipun akibat suatu perbuatan lain daripada yang dimaksud. Kejahatan dibagi atas
kejahatan berat, cukup berat dan ringan. Perbedaan terjadi dalam hal pidananya, yaitu
pidana mati dan yang menimbulkan penderitaan lahir batin bagi kejahatan berat,
pidana koreksi dan penahanan ringan (arresto menor) bagi kejahatan cukup berat, dan
pidana denda bagi kejahatan ringan.Jenis-jenis pidana Filipina sangat berbeda dengan
jenis pidana Indonesia.
Jenis pidana dalam RPC dibagi atas :11
1) Pidana mati
2) Pidana afliktif (dapat disejajarkan pidana pokok yang berat) :
a) Reclusion perpetua (pengasingan tetap/ pidana seumur hidup)
b) Reclusion temporal (pengasingan sementara
c) Diskualifikasi mutlak secara tetap atau sementara
d) Diskualifikasi khusus secara tetap atau sementara
10
Andi Hamzah, KUHP Filipina sebagai Perbandingan, ctk. 1, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1987), hlm. 37
11
Ibid; hlm. 39-41

10
e) Prison mayor (pidana penjara berat)
3) Pidana yang bersifat koreksi (correctional penalties) :
a) Prison correctional (penjara koreksi)
b) Arresto mayor (pidana penahanan berat
c) Suspension (skorsing)
d) Destierro (pidana tidak boleh memasuki suatu tempat, menurut radius
tertentu)
4) Pidana ringan :
a) Arresto menor (pidana penahanan ringan)
b) Public censure (pencelaan di muka umum)
5) Pidana yang umumnya menyertai pidana tersebut terdahulu
a) Pidana denda
b) Kewajiban memelihara ketertiban/ perdamaian
6) Pidana tambahan :
a) Diskualifikasi mutlak secara tetap atau sementara
b) Diskualifikasi khusus secara tetap atau sementara
c) Skorsing dari jabatan pemerintahan, hak memilih dan dipilih, profesi
atau panggilan (untuk menduduki suatu profesi)
d) Larangan perdata (civil interdiction)
e) Ganti kerugian
f) Penyitaan instrumen-instrumen da uang yang diperoleh dari hasil
kejahatan/ pelanggaran
g) Pembayaran biaya perkara

Meskipun banyak perbedaan dengan jenis pidana Indonesia, namun pada


prakteknya banyak persamaan yaitu pidana penjara, denda, pencabutan hak dan
sebagainya. Pada ketentuan pidana pengasingan tetap, akan diampuni setelah
melewati masa 30 tahun, kecuali dalam hal-hal tertentu.
Berakhirnya pertanggungjawaban pidana disebutkan dalam Titel Empat RPC
yang menyatakan bahwa, pertanggungjawaban pidana berakhir apabila :
1) Meninggalnya terpidana
2) Dijalankannya pidana
3) Dengan amnesti
4) Dengan pengampunan mutlak
5) Dengan penentuan kejahatan
6) Dengan penentuan pidana
7) Dengan kawinnya perempuan yang diserang
Sumber-sumber ini berkembang terus dan bertambah tahun demi tahun,
sehingga untuk memperlajarinya harus mengumpulkan terlebih dahulu berbagai

11
yurisprudensi dan perundang-undangan yang bersangkutan. Usaha untuk
mengkofikasikannya baru bagian demi bagian yang sudah tercapai, seperti:
1) Undang-undang tentang kejahatan terhadap orang (Offences against the

person act);
2) Undang-Undang tentang Kejahatan Seksual (Sexual Act);
3) Undang-Undang tentang Pencurian (Theft Act), dan lain-lain.

Sistem peradilan di Filipina terdiri dari hierarki pengadilan dengan Mahkamah


Agung di posisi puncak. Kongres memiliki kekuasaan untuk menggambarkan,
menentukan, dan membagi secara adil yurisdiksi dari berbagai pengadilan tetapi tidak
dapat menghilangkan yurisdiksi Mahkamah Agung yang diberikan dalam konstitusi
atas kasus-kasus tertentu. Sistem hukum pidana Filipina bekerja di bawah kerangka
tradisi Civil Law. Ada dua jenis hukum yang berlaku:

1) The Revised Penal Code (Revisi Undang-Undang Hukum Pidana) atau


dikenal sebagai RPC (serupa dengan KUHP di Indonesia)
2) The Rules of Court (serupa dengan KUHAP di Indonesia).
Tidak ada pengadilan oleh juri di Filipina. Hakim menentukan semua
pertanyaan hukum dan fakta hukum kasus yang dibawa ke hadapannya.Pembelaan,
praktek dan prosedur di hadapan pengadilan diatur oleh The Rules of Court (Aturan
Pengadilan). Filipina merupakan koloni dari Spanyol selama lebih dari 300 tahun,
yang dimulai pada 1565 hingga 1898. Karena itu, berbagai bidang hukum di Filipina
seperti Hukum Perdata dan Hukum Pidana mengikuti tradisi Civil Law, yang
bertentangan dengan Undang-Undang Komersial dan Hukum Konstitusi yang
mengikuti tradisi Common Law.
Saat Spanyol menaklukkan Filipina, Codigo Penal (Hukum Pidana) Spanyol
berlaku secara umum dan meluas ke Filipina oleh Royal Decree 1870. Ini telah
digantikan dengan Undang-Undang Hukum Pidana yang lama yang telah dimasukkan
ke dalam tempat oleh pemerintah Spanyol, dan membawa efek di Filipina pada 14
Juli 1876. Undang-undang ini berlaku di Filipina hingga penjajahan Amerika di
Filipina. Pada 8 Desember 1930, di bawah undang- undang. No. 3815, Codigo Penal
Spanyol tersebut direvisi dan akhirnya keluar The Revised Penal Code (selanjutnya
disebut sebagai RPC).
Revisi Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku secara efektif pada
tanggal 1 Januari 1932 ini terdiri dari dua bagian buku. Buku Satu RPC mengatur
tentang ketentuan-ketentuan tentang penerapan hukum dan prinsip-prinsip umum

12
hukum pidana. Ia mendefinisikan kejahatan (tindak pidana) dan keadaan yang
mempengaruhi pertanggung jawaban pidana, alasan pemaaf dan alasan pembenar,
hal-hal yang menghapus, mengurangi atau memberatkan pidana, dan menetapkan
klasifikasi, jangka waktu, dan dampak dari hukuman pidana.
Namun usaha untuk mengkofikasikan keseluruhannya dan
mengunifikasikannya belum berhasil sepenuhnya. Oleh karena sumber hukum pidana
yang utama adalah Common Law, kepastian hukum yang bersifat material yang
dalam prakteknya senantiasa dapat mengikuti perkembangan kesadaran hukum dalam
masyarakat.
Hal ini nampaknya sejalan dengan ajaran Paul Van Schalten tentang “Het
Open Sistem vanm Het Recht” yang pada dasarnya mengakui kesadaran hukum yang
berkembang baik di kalangan penegak hukum dan masyarakat. Kepastian hukum
yang bersifat material ini lebih dihargai lagi bila kita lihat dari sistem pelaksanaan
peradilan di negara Filipina yaitu sistem Juri. Menurut sistem ini dalam suatu
persidangan perkara pidana para Juri-lah yang menentukan apakah terdakwa atau
tertuduh itu bersalah (guilty) atau tidak bersalah (not guilty) setelah pemeriksaan
selesai. Jika Juri menentukan bersalah barulah Hakim (biasanya tunggal) berperan
menentukan berat ringannya pidana atau jenis pidananya. Bila Juri menentukan tidak
bersalah maka Hakim membebaskan terdakwa (tertuduh).

b. Asas-Asas Hukum Pidana


Asas Legalitas, yang termuat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP Indonesia juga
terdapat dalam Pasal 21 RPC yang berbunyi: Tidak ada suatu kejahatan yang dapat
dikenakan suatu pidana yang tidak ditetapkan dalam undang-undangsebelum
dilaksanakannya kejahatan tersebut. Sehingga bisa dikatakan bahwa sama seperti
Indonesia, Filipina juga menganut asas “Nullum Crimen Nulla Poena Sine Lege”
yang berarti "tidak ada kejahatan jika tidak ada hukum pidana menghukum hal itu".
Oleh karena itu, agar suatu tindakan atau kelalaian bisa dihukum, harus ada undang-
undang yang melarang dan undang-undang itu juga harus menyebutkan sanksi bagi
yang melanggar undang-undang tersebut.

2.3 Peranan dan Manfaat Perbandingan Asas Legaliitas KUHP Indonesia


dan Filipina Bagi Pembaharuan Hukum Pidana Nasional

2.3.1 Manfaat Ilmiah dan Praktis


Apabila kita melakukan perbandingan hukum pidana pada umumnya dan
perbandingan hukum pidana antara Indonesia yang menganut sistem eropa

13
continental dengan Filipina yang menganut sistem hukum anglo saxon, maka hal itu
adalah karena didorong adanya kebutuhan-kebutuhan akan manfaatnya bagi kita, di
mana manfaat-manfaat tersebut secara garis besarnya dapat dibedakan dalam :
a. Manfaat perbandingan hukum pidana secara ilmiah.
Dengan membanding-bandingkan berbagai sistem hukum pidana dari
berbagai negara maka pengetahuan kita tentang hukum dan pranata-pranatanya akan
semakin dalam dan luas. Hal ini karena kita dapat melihat bahwa terhadap suatu
problem atau kebutuhan yang sama dapat dicapai suatupenyelesaian atau problem
solving yang berbeda-beda.
Di samping itu dapat juga dilihat bahwa walaupun masyarakat dan
kebudayaannya berbeda-beda tetapi dapat menyelesaikan persoalan yang sama
dengan cara yang sama pula, sedang suatu masyarakat yang mempunyai budaya yang
sama mungkin dapat menyelesaikan suatu persoalan dengan cara yang berbeda. Hal
ini tentulah akan memperluas cakrawala ataupun wawasan berpikir kita sekaligus
menghindarkan diri dari kepicikan dan mempunyai anggapan yang baik berupa
anggapan bahwa hukum kitalah yang terbaik (chauvinistis) dan menilai orang baik
tidak baik atau menganggapbahwa sistem kita tidak baik dibandingkan dengan sistem
hukum negara lain (rasa rendah diri).
Selanjutnya dengan perbandingan hukum dapat ditingkatkan kualitas
pendidikan hukum. Para sarjana hukum akan mempunyai legalr reasoning tentang
suatu lembaga hukum yang ada, di samping itu juga degan perbandingan hukum ini
akan menimbulkan banyak inspirasi atas berbagai hal yang sekaligus merupakan
usaha dan sumbangan yang berharga bagi perkembangan ilmu hukum pidana yang
nantinya dapat berguna dalam praktek.

b. Manfaat Perbandingan Hukum Pidana bagi Kegiatan Praktis


Sebagaimana disebutkan di atas bahwa hukum asing banyak memberi bantuan
dalam memecahkan persoalan-persoalan ang akan digunakan untuk pengembangan
hukum sendiri. Oleh karena iutu, perbandingan hukum sangat berguna bagi Pembuat
Undang-Undang (Legislator) dalam badan legislatif.
Bagi para Hakim, studi Perbandingan Hukum akan banyak manfaatnya. Oleh
karena dengan membandingkan aturan [erundang-undangan sendiri degan aturan
perundang-undangan asing mengenai hal yang sama, para Hakim bisa mendapat
pandangan yang lebih baik mengnai arti ari aturan itu sendiri. Perbandinganhukum
dapat memberi pengetahuan yang lebih baik untuk mentafsirkan suatu aturan
perundang-undangan yang selanjutnya dapat melahirkan yurisprudensi-
yuriusprudensi baru yang bermutu dan up to date.

14
Dengan makin eratnya hubungan antara negara yang satu dengan negara yang
lain (adanya interdependensi antar negara) maka akan timbul kebutuhan yang sangat
akan adanya persesuaian (harmonisasi hukum pidana yang satu dengan yang lain).
Pada mulanya ini akan berpengaruh sekali dalam bidang perdagangan dan politik,
tetapi terjadi suatu tindak pidana yang menimbulkan adanya titik-taut dalam hukum
pidana maa terasalah perlunya harmoniasi hukum pidana antar negara itu. Sebagai
contohnya dapat disebutkan adalah masalah-masalah kejahatan yang dapat
diekstradisi.

2.3.2 Pembentukan Hukum Pidana Nasional yang Bermutu dan Up to


Date
Indonesia sampai sekarang mewarisi KUHP yang berasal dari masa
penjajahan Belanda, walaupun memang di sana-sini banyak yang sudah ditambah,
diubah, dan diganti. Namun bagaimanapun juga, KUHP tersebut dahulu disusun
sesuai dengan ideologi penjajah dan sudah pasti sebagian ketentuannya telah
ketinggalan zaman (out to date). Oleh karena itulah kita sambut baik usaha
pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehakiman, yang sedang berusaha
mempersiapkan Rancangan KUH Pidana Nasional yang baru, yang lebih sesuai
dengan kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini dan saat yang akan datang.
Dalam usaha untuk membentuk KUHP Nasional yang baru dan bermutu itulah
kita suka atau tidak suka membutuhkan pengetahuan tentang berbagai sistem hukum
pidana asing maupun juga dalam konteks ini Hukum Pidana Adat. Hal ini
dikarenakan kita dapat mengambil bahan-bahan yang berguna bagi kita di Indonesia.
Apalagi hukum pidana suatu negara modern harus mencerminkan “several world
view”. Termasuk juga, sebagaimana disebutkan di atas, mempelajari hukum pidana
adat Indonesia oleh karena KUHP yang baru nanti sudah tentu harus mencerminkan
keperibadian Indonesia.
Dengan demikian para perencana undang-undang dan pembuat undang-
undang pidana baik DPR maupun pihak pemerintahan dapat menarik manfaat dari
studi perbandingan hukum pidana.
Ada beberapa ketentuan dalam KUHP Indonesia sekarang yang harus
didekriminalisasi dan ada pula hal-hal yang terjadi dalam masyarakat yang perlu
didekriminalisasi dengan segera untuk mengantisipasi perkembangan zaman.
Masalah yang berhubungan dengan Keluarga Berencana, penjualan alat-alat untuk
menegah kehamilan yang dilarang dalam KUHP perlu ditinjau kembali. Selanjutnya
hal-hal seperti kejahatan yang dilakukan oleh korporasio atau badan hukum,

15
kejahgatan dalam kegiatan bursa saham perlu mendapat perhatian pula untuk
dimasukkan ke dalam ketentuan undang-undang pidana.
KUHP Nasional yang baru harus mempunyai jangkauan puluhan tahun ke
depan agar tidak berubah-ubah tiap sebentar. Untuk itulah hukum pidana negara lain
yang telah puluhan tahun lebih maju kehidupannya perlu dipelajari.
Selanjutnya, studi perbandingan hukum pidana adalah untuk memenuhi
perintah Pasal 32 UUD 1945 dan penjelasannya yang berbunyi: Pemerintah
memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
Penjelasan Pasal 32 UUD 1945: Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang
timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia. Kebudayaan di daerah-daerah di
seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus
menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-
bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya
kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
Indonesia.
Sebagai contoh oleh Prof. Oemar Seno Adji, S.H. dikemukakan bahwa dalam
rancangan KUHP yang baru di buku I dicantumkan adanya suatu sanksi adat pidana
sebagai memenuhi kewajiban adat dan pembayaran ganti kerugian khususnya kepada
korban pelanggaran.
Dalam peraturan-peraturan modern mengenai kompensasi ataupun restitusi
kepada “victim” tersebut ketentuan adat dapat berkembang ke dalamnya. Dalam hal
ganti rugi kepada victim ini kita dapat mengambil pengalaman dari penerapan Bab V
KUHP Philipina tentang Pertanggungjawaban Perdata yang antara lain menyatakan:
“Bahwa setiap orang yang dipertanggungjawabkan pidana karena suatu kejahatan
juga dipertanggungjawabkan karena kejahatan tersebut.”
Dengan demikian dapatlah kita melihat bahwa perbandingan hukum pidana
sangat perlu terutama dalam menyusun KUHP Nasional yang baru, bermutu, dan up
to date, serta dapat mengantisipasi permasalahan-permasalahan hukum yang timbul
di masa sekarang dan di masa depan.

16
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Setelah melalui pembahasan pada bab-bab terdahulu maka penulis sampai
kepada suatu kesimpulan yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
1. Perbandingan hukum (rechtvergelijking) adalah suatu kegiatan membanding-
bandingkan sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain ataupun
membanding-bandingkan lembaga hukum (legal institution) dari suatu sistem hukum
dengan lembaga hukum dari sistem hukum yang lain. Perbandingan hukum itu dapat
dilakukan antara:
a. hukum tertentu pada masa lampau dengan hukum yang sama dengan hukum

yang sedang berlaku pada masa sekarang;


b. hukum yang sifatnya deskriptive dengan yang bersifat applied (praxis);
c. hukum publik dengan hukum privat;
d. hukum tertulis dengan hukum yang tidak tertulis (hukum adat), dan lain
sebagainya.

17
Asas legalitas adalah suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan
memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini juga
melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim, menjamin keamanan individu
dengan informasi yang boleh dan dilarang. Ada beberapa ciri khas ataupun
karakteristik dari sistem hukum pidana Indonesia yang menganut sistem hukum
pidana eropa kontinental, antara lain dalam hal Pengkodifikasiannya. Asas Legalitas,
yang termuat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP Indonesia juga terdapat dalam Pasal 21
RPC yang berbunyi: Tidak ada suatu kejahatan yang dapat dikenakan suatu pidana
yang tidak ditetapkan dalam undang-undangsebelum dilaksanakannya kejahatan
tersebut. Sehingga bisa dikatakan bahwa sama seperti Indonesia, Filipina juga
menganut asas “Nullum Crimen Nulla Poena Sine Lege” yang berarti "tidak ada
kejahatan jika tidak ada hukum pidana menghukum hal itu". Oleh karena itu, agar
suatu tindakan atau kelalaian bisa dihukum, harus ada undang-undang yang melarang
dan undang-undang itu juga harus menyebutkan sanksi bagi yang melanggar undang-
undang tersebut.

2. Studi Perbandingan Hukum pada hakekatnya adalah merupakan


pelaksanaan dari Pasal 32 UUD 1945 beserta penjelasanya yaitu untuk memajukan
kebudayaan nasional. Perbandingan hukum pidana sangat dibutuhkan dalam rangka
penyusunan KUHP Nasional yang baru dan bermutu, yaitu dengan menggali puncak-
punak kebudayaan daerah berupa hukum pidana adat yang mempunyai nilai tinggi
dan universal dan dengan memilih dan mengambil unsur-unsur hukum pidana negara
lain yang lebih maju dan berguna. Peranan perbandingan hukum pidana yaitu
pembentukan hukum pidana nasional yang bermutu dan up to date dan manfaat
ilmiah dan praktis.

B. Saran-Saran
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas penulis mencoba
memberikan beberapa saran yang kiranya dapat berguna, sebagai berikut:
1. Diharapkan agar kitanya lembaga-lembaga pendidikan khususnya fakultas-
fakultas hukum menjadikan mata kuliah perbandingan hukum pidana (Comparative
Criminal Law) sebagai mata kuliah wajib dan termasuk dalam kurikulum minimal di
Fakultas \fakultas hukum tersebut.

18
2. Studi perbandingan hukum sebaiknya tidak hanya mempelahjari hukum
pidana negara-negara lain tetapi juga mempelajari hukum pidana adat Indonesia yang
cukup beraneka-ragam.
3. Pengambilan nilai-nilai budyaa asing dalam bidang hukum hendaklah
dilakukan secara selektif dan tidak mengorbankan nilai-nilai kepribadian bangsa.
4. Sebaiknya dapat dintensifkan kegiatan-kegiatan seperti up grading,
lokakarya, dan lain-lain tentang perbandingan hukum (pidana) bagi pihak-pihak yang
berkepentingan seperti para hakim, jaksa, anggota DPR maupun para Staf Pengajar di
Perguruan-Perguruan Tinggi khususnya di Jurusan Hukum Pidana Fakultas-Fakultas
Hukum.

19
DAFTAR PUSTAKA
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, ctk. Keenam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000),
hlm. 1
P. A. F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia , ctk.Ketiga, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 2
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, ctk. Keenam, RinekaCipta, Jakarta, 2000, hlm.
63
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), hlm. 75
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, ctk. Keenam, (Jakarta: RinekaCipta, 2000),
hlm 16
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, edisi ketiga,
(Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm. 4
http:\\wikipedia.com, Diaksespadatanggal 25 November 2019
Milagros Santos-Ong, Philippine Legal Research, dalam http:\\GlobaLex.com,
Diakses pada tanggal 25 November 2019
http:\\www.wikipedia.com\philippinelegalcode, Diaksespadatanggal 25 November
2019
Andi Hamzah, KUHP Filipina sebagai Perbandingan, ctk. 1, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1987), hlm. 37
Ibid; hlm. 39-41

1
2
3

Anda mungkin juga menyukai