Anda di halaman 1dari 17

HUKUM PENITENSIER

Makalah Lembaga Pemasyarakatan


Dosen Pengampu :

Dr (c ). Ir. Yapiter Marpi, S.Kom., SH., MH., CMLC., C.Med., CTA.

DISUSUN OLEH :
Affandi_03210003
Alfrianus Panjoi_03210006
Budi Aryanto_03210014
Fauzan Fajz Hadiyan_03210022
Jhon Roy P. Siregar_03210031
Mudjiono_03210042

Jl. Pulomas Barat Villa Tanah Mas, Kota Jakarta Timur,


Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13210

a
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat, rahmat, dan karunia-Nyalah
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Selanjutnya Salam dan Shalawat
juga kami hanturkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW sebagai suri tauladan bagi
seluruh umat islam yang juga telah membawa kita dari alam yang gelap gulita ke alam yang terang
benderang.Dalam penyelesaian makalah ini telah banyak pelajaran yang dapat kami peroleh
terutama dalam hal mata kuliah ini sendiri. Mungkin masih banyak kesalahan yang terdapat dalam
penyusunan makalah ini, dikarenakan kurangnya ilmu pengetahuan yang dimiliki. Tapi karena
adanya teknologi seperti internet dan buku yang bersangkutan dengan mata kuliah ini, yang
mendukung kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang diberikan tepat pada waktunya.
Makalah ini menjelaskan banyak hal tentang “Makalah Hukum Penitensier Tentang Tema
Lembaga Pemasyarakatan”. Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, baik itu kesalahan dari penulisannya maupun dari penyusunannya, untuk itu
kami sangat mengharapkan saran dan kritikan yang konstruktif, dan juga berharap agar makalah
ini dapat bermanfaat dan dapat diterima dengan baik. Terima kasih.

Jakarta, 24 November 2023


Penulis

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI
Kata pengantar ----------------------------------------------------------------------------------- i

Daftar isi ------------------------------------------------------------------------------------------ ii

PENDAHULUAN ------------------------------------------------------------------------------- 1

RUMUSAN MASALAH ----------------------------------------------------------------------- 3

PEMBAHASAN --------------------------------------------------------------------------------- 4

A. Perkembanagan Sistem Pemasyarakatan -------------------------------------------- 4

B Sistem Pemasyarakatan Dalam Hukum Positif -------------------------------------- 5

C.Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan diIndonesia ----------------------------------- 11

PENUTUP --------------------------------------------------------------------------------------- 12

A.Kesimpulan ------------------------------------------------------------------------------ 12

B.Saran -------------------------------------------------------------------------------------- 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Apabila kita menilik mengenai tujuan dan fungsi dari hukum pidana ataupun pidana itu
sendiri, kita kerap mendengar bahwa fungsi dari hukum pidana adalah memberikan penderitaan
ke seseorang atau memberikan nestapa kepada seseorang, pemberian derita ataupun nestapa
merupakan salah satu jalan untuk membuat jera para pelaku tindak pidana. Salah satunya adalah
dengan Penjara, pidana penjara identik dengan penyiksaan di dalam penjara bahkan pada
pengasingan yang membatasi ruang lingkup seseorang pelaku tindak pidana. Gagasan bahwa
pemidanaan menggunakan mekanisme penjara yang identik dengan penyiksaan dan kekerasan
menuju pada sebuah pergeseran ide yang reformis dimana Indonesia sebagai negara yang
berlandaskan Pancasila tidak lagi sekedar memberikan penderitaan sebagai fungsi pemidanaan,
melainkan Pemidanaan juga bisa difungsikan untuk memberikan upaya rehabilitasi dan upaya
untuk mengintegrasikan para pelaku tindak pidana melalui Lembaga Pemasyarakatan.

Gagasan yang memperbaharui citra pemidanaan sendiri adalah dengan adanya Konsep
Pemasyarakatan yang dicetuskan oleh Menteri Kehakiman Dr. Sahardjo pada tahun 1962 pada
sebuah Konferensi di Universitas Indonesia . Dalam konferensi tersebut Dr.Sahardjo menyebutkan
jika poin utama dari Konsep Pemasyarakatan ini adalah meyakinkan bahwa konsep atau sistem
pemasyarakatan yang berkeadilan dan terciptanya reintegrasi sosial sehingga tercipta pemulihan
sosial sebagai tujuan dari pidana penjara juga menegasikan konsep ini untuk mendukung sistem
pembinaan narapidana yang lebih humanis.

Sejalan dengan perkembangan ide yang reformis mengenai pemidanaan dengan konsep
pemasyarakatan tersebut lah sebagai upaya dalam penegakan hak asasi manusia dalam sistem tata
peradilan pidana, maka dilakukan pembenahan serta perubahan-perubahan pada sistem
kepenjaraan melalui payung hukum pemasyarakatan yaitu Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun

1
1995 tentang Pemasyarakatan. Pembaharuan sistem pidana penjara secara lebih manusiawi dengan
tidak melakukan perampasan hak-hak serta kemerdekaan warga binaan pemasyarakatan,
melainkan hanya pembatasan kemerdekaan yang wajar sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku dan norma-norma yang ada di masyarakat, merupakan dasar
pertimbangan sistem pemasyarakatan yang bertujuan untuk mempersiapkan warga binaan
pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dan bertanggung jawab di masyarakat.

Perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dengan sistem pembinaan pemasyarakatan


disamping untuk mencegah diulangnya kejahatan serta perlindungan terhadap masyarakat, juga
berupaya untuk mengintegrasikan warga binaan pemasyarakatan dalam derap langkah kehidupan
masyarakat yang dinamis. Ditempatkannya warga binaan pemasyarakatan di masyarakat,
diharapkan melalui pembinaan yang terus menerus akan tumbuh partisipasi masyarakat terhadap
sistem pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan, yang sangat diperlukan bagi keberhasilan
sistem pembinaan.

Melalui latar belakang itulah dapat ditarik sebuah benang merah bahwa Sistem Pemasyarakatan
merupakan sistem yang idealis bagi perkembangan hukum dan penegakan hukum di Indonesia,
selain tetap memberikan konsekuensi yuridis terhadap pelaku tindak pidana, sistem ini juga lebih
manusiawi dan bertujuan untuk terciptanya reintegrasi sosial yang mana akan mengecilkan angka
kejahatan akibat peristiwa tidak diterima nya para narapidana ataupun tidak terpenuhinya hak asasi
manusia para narapidana, menilik hal tersebut perlu diketahui bagaimana erkembangan sistem
pemasyarakatan di Indonesia dalam berbagai periode? Bagaimana konsep sistem pemasyarakatan
menurut hukum positif di Indonesia? Apa hambatan yang timbul dalam melaksanakan sistem
pemasyarakatan di Indonesia?

2
BAB II

PERMASALAHAN

A. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan sistem pemasyarakatan di Indonesia dalam berbagai periode?

2. Bagaimana konsep sistem pemasyarakatan menurut hukum positif di Indonesia?

3. Apa hambatan yang timbul dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan di Indonesia?

B. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, dapat dikemukakan tujuan yang akan dicapai dalam tulisan
ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan sistem pemasyarakatan di Indonesia 2.
Untuk mengetahui sistem pemasyarakatan dalam hukum positif Indonesia 3. Untuk mengetahui
pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Indonesia

3
BAB III

PEMBAHASAN

A. PERKEMBANGAN SISTEM PEMASYARAKATAN

1. Periode Pemasyarakatan I (1963-1966)

Periode ini ditandai dengan adanya konsep baru yang diajukan oleh Dr. Saharjo, SH berupa konsep
hukum nasional yang digambarkan dengan sebuah pohon beringin yang melambangkan
pengayoman dan pemikiran baru bahwa tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan. Pada
konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang Bandung tahun 1964, terjadi perubahan
istilah pemasyarakatan dimana jika sebelumnya diartikan sebagai anggota masyarakat yang
berguna menjadi pengembalian integritas hidup-kehidupan-penghidupan.

2. Periode Pemasyarakatan II (1966-1975)

Periode ini ditandai dengan pendirian kantor-kantor BISPA (Bimbingan Pemasyarakatan dan
Pengentasan Anak) yang sampai tahun 1969 direncanakan 20 buah. Periode ini telah
menampakkan adanya trial and error dibidang pemasyarakatan, suatu gejala yang lazim terjadi
pada permulaan beralihnya situasi lama ke situasi baru. Ditandai dengan adanya perubahan nama
pemasyarakatan menjadi bina tuna warga.

3. Periode pemasyarakatan III (1975-sekarang)

Periode ini dimulai dengan adanya Lokakarya Evaluasi Sistem Pemasyarakatan tahun 1975 yang
membahas tentang sarana peraturan perundangundangan dan peraturan pelaksanaan sebagai
landasan struktural yang dijadikan dasar operasional pemasyarakatan, sarana personalia, sarana
keuangan dan sarana fisik. Pada struktur organisasi terjadi pengembalian nama bina tuna warga
kepada namanya semula yaitu pemasyarakatan.

4
B. SISTEM PEMASYARAKATAN DALAM HUKUM POSITIF

Bertolak dari pandangan Saharjo untuk menghapuskan penderitaan orang-orang di penjara dengan
mengubah konsep menjadi lebih manusiawi, maka Saharjo melontarkan gagasan perubahan tujuan
pembinaan narapidana dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan. (Sahardjo, 1983, hal.
8). Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang
disertai dengan lembaga “rumah penjara” secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem
dan saran yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Menghadapi
fenomena tersebut, pembinaan dan kegiatan bimbingan di dalam lembaga perlu dikembangkan
lebih lanjut sesuai dengan prinsip pembaharuan pidana melalui sistem pemasyarakatan.

Sistem pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan dari seseorang yang tadinya melakukan
pelanggaran hukum dan telah menerima putusan hukum sah dari pengadilan untuk menjalani
hukuman di Lembaga Pemasyarakatan untuk rentang waktu tertentu, mengalami proses
pembinaan untuk menyadari kesalahannya dan berubah menjadi lebih baik. Terkait dengan ruang
lingkup pemasyarakatan, jelas secara aturan hukum telah memiliki payung hukum yaitu Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995. Berdasarkan pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tertulis bahwa “Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan
mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan
Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk
meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki
diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga
yang baik dan bertanggung jawab”.

Dalam sistem pemasyarakatan, tujuan dari pemasyarakatan menurut UndangUndang Nomor 12


Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah agar warga binaan pemasyarakatan menyadari
kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup

5
secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Dengan demikian maka pemidanaan
tidak lagi berorientasi pada tujuan pembalasan atau penjeraan yang bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Dengan dasar mempertahankan hak asasi manusia narapidana sebagai sebuah
keharusan dalam perlindungan hukum maka dalam Konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan
pada tahun 1964 dirumuskan prinsip-prinsip pokok dari konsepsi pemasyarakatan yang kemudian
dikenal sebagai Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan yang dirumuskan dalam Keputusan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02.PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan
Narapidana/Tahanan. Adapun kesepuluh prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

a. Ayomi dan berikan bekal hidup agar narapidana dapat menjalankan peranannya sebagai
warga masyarakat yang baik dan berguna Yang dimaksud adalah orang-orang yang tersesat
diayomi juga, dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna
dalam masyarakat. Jelas bahwa yang dimaksud disini adalah masyarakat Indonesia yang menuju
masyarakat yang adil dan makmur, bekal hidup bukan hanya berupa finansial dan material tetapi
yang lebih penting adalah mental fisik, keahlian, keterampilan, hingga orang mempunyai kemauan
dan kemampuan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar
hukum lagi dan berguna dalam pembangunan bangsa.

b. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan Yang dimaksud
adalah menjatuhkan pidana bukan tindakan balas dendam dari negara. Maka tidak boleh ada
penyiksaan terhadap narapidana baik yang berupa tindakan, ucapan, cara perawatan ataupun
penempatan. Satu-satunya derita yang dialami narapidana hendaknya hanya dihilangkan
kemerdekaanya.

c. Berikan bimbingan supaya mereka bertobat Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan,
melainkan dengan bimbingan. Maka kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai
norma-norma hidup dan kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya
yang lampau. Narapidana dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk
menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan.

d. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat daripada
sebelum dijatuhi pidana Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat
daripada sebelum masuk lembaga. Untuk itu perlu ada pemisahan antara:

6
1) Yang residivis dan yang bukan

2) Yang tindak pidana berat dan ringan

3) Macam tindak pidana yang dilakukan

4) Dewasa, dewasa muda dan anak-anak

5) Laki-laki dan wanita

6) Orang terpidana dan orang tahanan/titipan.

e. Selama kehilangan kemerdekaan bergeraknya, para narapidana dan anak didik tidak boleh
diasingkan dari masyarakat Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus
dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari padanya. Adapun yang dimaksud
sebenarnya adalah tidak diasingkan secara culture bahwa mereka secara bertahap akan dibimbing
di luar lembaga (ditengah-tengah masyarakat) itu merupakan kebutuhan dalam proses
pemasyarakatan. Dan memang sistem pemasyarakatan didasarkan pada pembinaan yang
community centered serta berdasarkan interaktivitas dan interdisipliner approach antara unsur-
unsur pegawai, masyarakat dan narapidana.

f. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar pengisi
waktu Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya
diperuntukkan kepentingan jawatan atau kepentingan negara sewaktu saja. Pekerjaan harus satu
dengan pekerjaan di masyarakat dan untuk ditujukan kepada pembangunan nasional. Maka harus
ada integrasi pekerjaan narapidana dengan pembangunan nasional.

g. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik adalah berdasarkan
Pancasila Bimbingan dan didikan harus berdasarkan pancasila. Maka pendidikan dan bimbingan
itu harus berisikan asas-asas yang tercantum didalamnya. Kepada narapidana harus diberikan
pendidikan agama serta diberi kesempatan untuk melaksanakan ibadahnya. Harus ditanamkan jiwa
gotong royong, jiwa toleransi, dan jiwa kekeluargaan. Narapidana juga harus ditanamkan rasa
persatuan dan kesatuan, rasa kebangsaan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat yang positif.

7
h. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit perlu diobati agar mereka sadar bahwa
pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya adalah merusak dirinya, keluarganya, dan
lingkungannya kemudian dibina ke jalan yang benar Tiap orang adalah manusia dan harus
diperlakukan sebagai manusia meskipun telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada
narapidana bahwa dirinya itu penjahat, sebaliknya harus merasa dipandang dan diperlakukan
sebagai manusia. Maka petugas pemasyarakatan tidak boleh memakai kata-kata yang dapat
menyinggung narapidana khususnya yang berkaitan dengan perbuatannya yang telah lampau yang
telah menyebabkannya masuk lembaga. Segala bentuk “label” yang negatif hendaknya sedapat
mungkin dihapuskan.

i. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi kemerdekaannya dalam
jangka waktu tertentu Kehilangan kemerdekaan dalam jangka waktu tertentu merupakan bentuk
bahwa narapidana hanya ditempatkan sementara waktu di Lembaga Pemasyarakatan untuk
mendapatkan rehabilitasi dari negara.

j. Untuk pembinaan para narapidana dan anak didik maka disediakan sarana yang diperlukan
Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan maka perlu diusahakan supaya
narapidana mendapat mata pencaharian untuk kelangsungan hidup keluarganya menjadi tanggung
jawabnya, dengan disediakan pekerjaan ataupun dimungkinkan bekerja dan diberi upah untuk
pekerjaanya. Sedangkan untuk pemuda dan anak-anak hendaknya disediakan lembaga pendidikan
yang diperlukan ataupun yang diberi kesempatan kemungkinan untuk mendapat pendidikan diluar
lembaga. (Parwata, 2017, hal. 27)

Dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan merupakan ujung


tombak sebagai tempat untuk mencapai tujuan sistem pemasyarakatan itu sendiri dengan
melakukan pembinaan melalui pendidikan, rehabilitasi, dan integrasi (Priyatno, 2006, hal. 103).
Berdasarkan pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan
narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana
Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia yang memiliki kedudukan di setiap ibukota kabupaten atau kotamadya, serta apabila
dianggap perlu maka di tingkat kecamatan atau kota administrasi dapat didirikan cabang Lembaga
Pemasyarakatan.

8
Adapun tentang siapa saja orang yang dapat menjalani pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 adalah
terhadap warga binaan pemasyarakatan. Warga binaan pemasyarakatan adalah narapidana, anak
didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan. Narapidana adalah terpidana yang menjalani
pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Lalu, anak didik pemasyarakatan adalah:

a. Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di
Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

b. Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara
untuk dididik dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18
(delapan belas) tahun;

c. Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh
penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan
belas) tahun. Adapun pegangan atau pedoman bagi Lembaga Pemasyarakatan agar tujuan
pembinaan yang dilaksanakan dapat tercapai dengan baik, yaitu berlandaskan pada asas:

a. Pengayoman Yang dimaksud dengan pengayoman adalah perlakuan kepada warga


binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari pengulangan perbuatan pidana
oleh warga binaan dengan cara memberikan pembekalan melalui proses pembinaan (Simon &
Sunaryo, 2010, hal. 1).

b. Persamaan perlakuan dan pelayanan Yang dimaksud dengan persamaan perlakuan dan
pelayanan adalah seluruh warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan diperlakukan dan dilayani
sama tanpa membeda-bedakan latar belakang orang.

c. Pendidikan Pendidikan di bidang ini dilandasi dengan jiwa kekeluargaan, budi pekerti,
pendidikan rohani, kesempatan menunaikan ibadah, dan keterampilan dengan berlandaskan
Pancasila.

d. Pembimbingan Bimbingan bidang ini dilandasi dengan jiwa kekeluargaan, budi pekerti,
pendidikan rohani, kesempatan menunaikan ibadah, dan keterampilan dengan berlandaskan
pancasila

9
e. Penghormatan harkat dan martabat manusia; Yang dimaksud dengan penghormatan
harkat dan martabat manusia adalah sebagai bentuk perlakuan kepada warga binaan yang dianggap
orang yang “tersesat”, tetapi harus diperlakukan sebagai manusia.

f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan Yang dimaksud dengan


kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan adalah bahwa warga binaan hanya
ditempatkan sementara waktu di Lembaga Pemasyarakatan untuk mendapatkan rehabilitasi dari
negara.

g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu
Yang dimaksud dengan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-
orang tertentu adalah adanya upaya didekatkan dan dikenalkan kepada masyarakat sehingga tidak
menimbulkan keterasingan dengan cara kunjungan, hiburan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan,
serta berkumpul dengan sahabat maupun keluarga. (Rensiana, 2018, hal. 37)

Berdasarkan pada dasar hukum di atas, jelas tertulis bahwa sistem pemasyarakatan adalah
suatu proses pembinaan dari seseorang yang tadinya melakukan pelanggaran hukum dan telah
menerima putusan hukum sah dari pengadilan untuk menjalani hukuman di Lembaga
Pemasyarakatan untuk rentang waktu tertentu, mengalami proses pembinaan untuk menyadari
kesalahannya dan berubah menjadi lebih baik. Dengan demikian semangat pemasyarakatan
mencerminkan tujuan yang lebih manusiawi daripada sistem penjara (Situmorang, 2019, hal. 86).

C. PELAKSANAAN SISTEM PEMASYARAKATAN DI INDONESIA

Sistem peradilan pidana memfokuskan perhatian kepada kualitas pembinaan personel warga
binaan atau narapidana. Sistem peradilan pidana sekarang bukan merupakan sistem kepenjaraan

10
yang menekankan unsur “penjaraan” dan menggunakan titik tolak pandangannya terhadap
narapidana sebagai individu. Sedangkan sistem pembinaan merupakan pembinaan secara batiniah,
rohaniah, dan mentalitas narapidana membuat jera bagi mereka yang melanggar hukum dan tidak
akan mengulanginya lagi.

Masalah yang sering dihadapi dalam pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga


Pemasyarakatan, yaitu :

1. Masalah dari segi kualitas program pembinaan dan sumber daya manusia, yaitu jumlah petugas
pemasyarakatan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah warga binaan, khususnya petugas di
bidang pembinaan narapidana dan bidang bimbingan kerja.

2. Hambatan dari segi dana, yaitu minimnya dana pemerintah yang dialokasikan kepada lembaga
pemsyarakatan yang dapat menimbulkan ketidaksejahteraan narapidana.

3. Masalah dari segi warga binaan seperti perkelahian antar narapidana, dan sulitnya mengubah
kebiasaan-kebiasaan buruk (bangun pagi, membersihkan kamar, dan menjalankan piket harian)
agar mereka menjadi lebih disiplin.

4. Masalah selanjutnya berupa sarana dan prasarana keterampilan kerja yang kurang memadai.

BAB IV

PENUTUP

11
A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
dalam sistem pemasyarakatan, tujuan dari pemasyarakatan menurut Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah agar warga binaan pemasyarakatan menyadari
kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat
hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Dengan demikian maka
pemidanaan tidak lagi berorientasi pada tujuan pembalasan atau penjeraan yang bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Masalah yang sering dihadapi dalam pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga


Pemasyarakatan yaitu :

1. Masalah dari segi kualitas program pembinaan dan sumber daya manusia, yaitu jumlah
petugas pemasyarakatan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah warga binaan, khususnya
petugas di bidang pembinaan narapidana dan bidang bimbingan kerja.

2. Hambatan dari segi dana, yaitu minimnya dana pemerintah yang dialokasikan kepada
lembaga pemsyarakatan yang dapat menimbulkan ketidaksejahteraan narapidana.

3. Masalah dari segi warga binaan seperti perkelahian antar narapidana, dan sulitnya mengubah
kebiasaan-kebiasaan buruk (bangun pagi, membersihkan kamar, dan menjalankan piket
harian) agar mereka menjadi lebih disiplin.

4. Masalah selanjutnya berupa sarana dan prasarana keterampilan kerja yang kurang memadai,

B. SARAN

12
Dengan demikian perlu adanya peningkatan terhadap Lembaga Pemasyarakatan agar lebih efektif
dalam menjalankan tugas-tugas dan fungsinya untuk mengayomi, mendidik, dan membina
narapidana dengan cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan menambah alokasi dana
bagi Lembaga Pemasyarakatan.

DAFTAR PUSTAKA

13
Dhevy Selviana Apsari, A. T. (2015). Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan Terhadap
Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIa Semarang. Humani, Vol. 5 No
3, 26-37.

Muhammad, R. (2011). Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Yogyakarta: UII Press. Parwata, I.
N. (2017). Bahan Ajar Mata Kuliah Penologi Gagasan Sistem Pemasyarakatan. Bali:
Universitas Udayana.

Priyatno, D. (2006). Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Bandung: Refika


Aditama. Rensiana, M. H. (2018). Peran Lembaga Pemasyarakatan Dalam Memenuhi Hak
Aksesibilitas Narapidana Disabilitas Di Lapas Cebongan Sleman Yogyakarta (Dalam Rangka
Pembinaan Narapidana Disabilitas). Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.

Sahardjo. (1983). Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pancasila, Pidato Pengukuhan pada
tanggal 3. Jakarta: UI Press.

Simon, A. J., & Sunaryo, T. (2010). Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia.
Bandung: Lubuk Agung.

Situmorang, V. H. (2019). Lembaga Pemasyarakatan sebagai Bagian dari Penegakan Hukum


(Correctional Institution as Part of Law Enforcement). Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum
Statistic, 86.

14

Anda mungkin juga menyukai