Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Zat Besi (Fe)

2.1.1. Metabolisme zat besi dalam tubuh

Zat Besi (Fe) merupakan salah satu mikronutrien yang sangat dibutuhkan

oleh tubuh manusia untuk dapat melakukan berbagai jenis aktivitas (Celine,C.

2013). Besi dalam tubuh terdapat dalam bentuk senyawa kompleks yang berikatan

dengan protein (hemoprotein) dengan fugsi utama untuk membawa dan mengikat

oksigen (hemoglobin atau mioglobin), sebagai komponen sintesis protein yang

mengkatalisis metabolisme (sitokrom, Nikotinamide Adenine Dinuleotide

Phosphate Hidrogen (NADPH) oksidase dan mieloreduktase) dan untuk transport

atau penyimpanan besi (transferin, laktoferin dan ferritin) (Bakta et al, 2006;

Ganz, 2013). Hampir sekitar dua pertiga dari total zat besi dalam tubuh ditemukan

dalam bentuk hemoglobin yang ada dalam eritrosit, 25% terkandung dalam

simpanan besi yang mudah dimobilisasi, dan 15% sisanya terikat pada mioglobin

di jaringan otot serta sebagai komponen penyokong pembentukan berbagai enzim

yang terlibat dalam metabolisme oksidatif dan fungsi sel tubuh lainnya

(Abbaspour N. et al., 2014).

Tubuh mendapatkan asupan zat besi dari makanan dalam bentuk besi

heme dan besi non-heme (Restuti, 2015). Besi heme banyak ditemukan pada

makanan yang mengandung protein hewani, dan bersifat sangat mudah dilepaskan

dari protein pembawanya sehingga lebih mudah dicerna untuk memenuhi

kebutuhan besi dalam tubuh. Sedangankan besi non-heme banyak terdapat pada

1
makanan yang mengandung protein nabati. Besi non heme memiliki sifat yang

berbeda dengan besi heme, dimana jenis besi ini bersifat sangat sulit dilepaskan

dari protein pembawanya sehingga sulit untuk segera digunakan untuk

memenuhi kebutuhan tubuh (Celine, C., 2013; Anderson and Fitzgerald, 2010;

Bakta et al, 2006). Penyerapan kedua jenis besi tersebut mempunyai mekanisme

yang berbeda tetapi saling berhubungan (Gibson, 2005). Ada dua bentuk besi

dalam tubuh, yaitu ferri (Fe3+) dan ferro (Fe2+) sebagai elektron donor maupun

electron akseptor. Dua bentuk ini mempunyai peran penting dalam berbagai reaksi

oksidasi reduksi dalam metabolisme tubuh (Restuti, 2015). Absorbsi besi paling

banyak terjadi pada brush border enterosit duodenum (Bakta et al, 2006; Curis,

2013).

Proses absorbsi besi dibagi menjadi 3 fase utama yaitu fase luminal, fase

mukosal, dan fase korporeal. Fase luminal adalah proses pelepasan besi dari

makanan dengan bantuan asam lambung, sehingga siap diserap oleh duodenum

(Bakta et al, 2006). Fase kedua yaitu fase mukosal berupa suatu proses

penyerapan dalam mukosa usus tepatnya terjadi di duodenum dan jejenum

proximal yang merupakan proses aktif . Sebelum proses penyerapan, bentuk ferri

(Fe3+) diubah menjadi bentuk ferro (Fe2+) terlebih dahulu melalui proses oksidasi

dan reduksi (Restuti, 2015). Proses oksidasi dan reduksi ini dikatalisasi oleh

enzim duodenal cythocrome b like ferrireductase (Dcyt B) yang terdapat pada

membran apikal enterosit (Curis, 2013). kemudian, ferro (Fe2+) ditranspor ke

dalam sitosol enterosit melalui membran sel yang difasilitasi oleh protein divalent

metal transporter (DMT)-1 (Ganz, 2013), sedangkan besi heme ditranspor secara

2
langsung ke dalam sitoplasma sel oleh protein heme carier protein (HCP)-1

(Hooda et al., 2014). Protein HCP-1 harus berikatan dengan heme oxygenase

(HO) untuk melepaskan besi heme (Delaby et al, 2012). Di dalam sitoplasma sel,

ferro (Fe2+) direduksi kembali menjadi ferri (Fe3+) dengan bantuan enzim

ferrireduktase yang ada dalam hepaestin, ceruloplasmin ,zyklopen (Bakta et al,

2006; Curis, 2013; Kosman, 2010). Selanjutnya, ferri (Fe3+) disimpan dan

berikatan dengan apoferitin atau chief poly (rC) - binding protein 1 (PCBP1)

untuk membentuk feritin (Restuti, 2015). Apabila simpanan besi dalam enterosit

tidak digunakan, besi akan dibuang bersama feses dalam kurun waktu 2 – 5 hari

(Ganz, 2013). Sebagian ferri (Fe3+) yang lain masuk ke dalam sirkulasi melalui

interaksi dengan protein basolateral transporter atau ferroportin (Bakta et al,

2006; Cairo and Recalcati, 2007). Selain dari enterosit, besi ferri (Fe3+) dalam

sirkulasi juga berasal dari membran makrofag, permukaan hepatosit dan basal

permukaan sinsitiotrofoblas (Ganz, 2013).

Fase ketiga yaitu fase korporeal meliputi proses transpor besi dalam

sirkulasi, penggunaan besi oleh sel – sel tubuh dan penyimpanan besi dalam sel

tubuh (Bakta et al, 2006). Setelah besi melewati bagian basal enterosit dan

memasuki sirkulasi, satu molekul transferin dapat mengikat 2 buah molekul besi

yang kemudian membentuk kompleks besi-tranferin (Restuti, 2015). Kompleks

ikatan besi – tranferin ini akan berinteraksi dengan reseptor tranferin (RTf) yang

ada di permukaan membran sel (Bakta et al, 2006). Melalui mekanisme

endositosis, vesikel yang berisikan kompleks ikatan besi ini masuk ke dalam

sitoplasma dan pecah untuk mengeluarkan besi dalam bentuk bebas. Kemudian

3
transferin akan kembali ke pembuluh darah dalam bentuk apotransferin (Cairo and

Recalcati, 2007). Absorbsi besi heme selain melalui jalur yang sama dengan

absorbsi besi non-heme juga dapat melalui jalur khusus. Jalur khusus ini hanya

dapat di lewati oleh besi heme yaitu melalui Heme Carrier Protein (HCP)-1 dan

Heme Responsive Gene (HRG), kemudian besi heme di eksresikan dari enetrosit

melalui jalur khusus yaitu Feline Leukimia Virus C Reseptor (FLVCR) dan ABC

Transporter (ABCG2) (Ganz, 2013). Mekanisme absorbsi zat besi oleh usus

ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Mekanisme Penyerapan Zat Besi oleh Usus (Milman, 2020)

2.1.2. Regulasi zat besi dalam tubuh

Zat besi sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk dapat menjalankan

serangkaian fungsi selulernya, sehingga keseimbangan konstan antara proses

absorbsi, transportasi, penyimpanan, dan pemanfaatan zat besi diperlukan untuk

mempertahankan homeostasis zat besi. Karena tubuh tidak memiliki mekanisme

4
yang pasti untuk ekskresi zat besi secara aktif, keseimbangan zat besi terutama

diregulasi pada titik absorbsi (Hurrell and Egli, 2010).

Hepsidin merupakan hormon peptida sirkulasi yang disekresikan oleh

liver (hati) dan memainkan peran sentral dalam regulasi homeostatis zat besi

tubuh. Hormon ini adalah regulator utama homeostasis besi sistemik,

mengoordinasikan penggunaan dan penyimpanan besi (Nemeth and Ganz, 2006).

Hepsidin terutama diproduksi oleh hepatosit dan merupakan regulator negatif dari

proses masuknya besi ke dalam plasma. Hepsidin bekerja dengan cara mengikat

ferroportin, suatu transporter besi yang terdapat pada sel-sel duodenum usus,

makrofag, dan sel-sel plasenta. Pengikatan hepsidin menginduksi internalisasi dan

degradasi ferroportin (Nemeth et al., 2004). Hilangnya ferroportin dari permukaan

sel mencegah masuknya besi ke dalam plasma (Gambar 2a). Penurunan proses

masuknya besi ke dalam plasma menghasilkan saturasi transferin yang rendah dan

lebih sedikit besi yang dikirim ke eritroblas yang sedang berkembang. Sebaliknya,

penurunan ekspresi hepsidin menyebabkan peningkatan ferroportin permukaan sel

dan peningkatan penyerapan zat besi (De Domenico et al., 2007) (Gambar 2c).

Pada semua spesies, konsentrasi besi dalam cairan biologis diregulasi secara ketat

untuk menyediakan besi sesuai kebutuhan dan untuk menghindari toksisitas,

karena kelebihan besi dapat menyebabkan pembentukan spesies oksigen reaktif

(Braun and Killman, 1999).

Homeostasis besi pada mamalia diatur pada tingkat absorbsi usus, karena

tidak ada jalur ekskresi untuk besi. Kadar hepsidin plasma diatur oleh stimulasi

yang berbeda, termasuk sitokin, besi plasma, anemia, dan hipoksia. Disregulasi

5
ekspresi hepsidin menyebabkan gangguan zat besi. Overekspresi hepsidin

menyebabkan anemia penyakit kronis, sedangkan produksi hepsidin rendah

menghasilkan hemokromatosis herediter (HFE) dengan akumulasi besi konsekuen

di organ vital (Gambar 2). Sebagian besar kelainan besi herediter dihasilkan dari

produksi hepsidin tidak memadai yang relatif terhadap tingkat akumulasi besi

jaringan tubuh.

A B C

Gambar 2. Regulasi homeostasis besi yang dimediasi oleh hepsidin. (a)


Peningkatan ekspresi hepsidin oleh hati dihasilkan dari rangsangan
inflamasi. Tingginya kadar hepcidin dalam aliran darah
mengakibatkan internalisasi dan degradasi ferroportin pengekspor
besi. Hilangnya ferroportin permukaan sel menghasilkan pemuatan
besi makrofag, kadar besi plasma rendah, dan penurunan
eritropoiesis karena penurunan besi yang terikat transferin.
Penurunan eritropoiesis menimbulkan anemia penyakit kronis. (b)
Kadar hepsidin normal, sebagai respons terhadap kebutuhan zat
besi, mengatur tingkat impor zat besi ke dalam plasma, saturasi
transferin normal, dan tingkat eritropoiesis normal. (c)
Hemokromatosis, atau kelebihan zat besi, hasil dari kadar hepsidin
yang tidak mencukupi, menyebabkan peningkatan impor zat besi
ke dalam plasma, saturasi transferin yang tinggi, dan deposisi zat
besi yang berlebihan di hati. (De Domenico, et al., 2007).

6
2.1.3. Penyimpanan zat besi dalam tubuh

Konsentrasi feritin bersamaan dengan hemosiderin mencerminkan total

simpanan zat besi dalam tubuh. Kedua jenis protein tersebut menyimpan zat besi

dalam bentuk yang tidak larut dan terutama terdapat di hati, limpa, dan sumsum

tulang (Wood et al., 2005). Sebagian besar zat besi terikat pada protein pengikat

besi yang ada di mana-mana dan sangat terkonservasi yaitu ferritin. Hemosiderin

adalah kompleks penyimpanan zat besi yang kurang mudah melepaskan zat besi

untuk kebutuhan tubuh. Di bawah kondisi yang optimal, konsentrasi serum feritin

berkorelasi baik dengan total simpanan besi tubuh (Hunt, 2001). Dengan

demikian, pemeriksaan terhadap serum feritin adalah tes laboratorium yang paling

nyaman untuk memperkirakan simpanan zat besi dalam tubuh.

2.1.4. Pengeluaran zat besi dalam tubuh

Proses kehilangan zat besi dalam tubuh selain karena menstruasi,

pendarahan lain atau kehamilan, zat besi sangat tersimpan dan tidak mudah hilang

dari tubuh (Hunt et al., 2009). Ada beberapa mekanisme tubuh yang membuat zat

besi dikeluarkan dari tubuh yaitu sebagai hasil dari pengelupasan fisiologis sel

dari permukaan epitel, termasuk kulit, saluran genitourinari, dan saluran

pencernaan. Namun, mekanisme kehilangan zat besi melalui cara ini diperkirakan

sangat terbatas (≈1 mg/hari) (Fairbanks, 1994). Kehilangan zat besi melalui

pendarahan bisa sangat besar dan kehilangan darah menstruasi yang berlebihan

adalah penyebab paling umum dari kekurangan zat besi pada wanita.

7
2.1.5. Bioavaibilitas zat besi

Zat besi dalam makanan terjadi dalam dua bentuk: heme dan non heme (Hurrell

and Egli, 2010). Sumber utama zat besi heme adalah hemoglobin dan mioglobin

dari konsumsi daging, unggas, dan ikan, sedangkan zat besi non heme diperoleh

dari sereal, kacang-kacangan, polong-polongan, buah-buahan, dan sayuran

(FAO/WHO, 2001). Zat besi heme sangatlah bioavailable atau tersedia dalam

jumlah banyak (15% -35%) dan faktor makanan memiliki sedikit efek pada

penyerapannya, sedangkan penyerapan zat besi non heme jauh lebih rendah (2% -

20%) dan sangat dipengaruhi oleh adanya komponen makanan lainnya (Hurrell

and Egli, 2010). Sebaliknya, jumlah zat besi non heme dalam makanan berlipat

ganda lebih banyak daripada zat besi heme di sebagian besar makanan. Jadi

meskipun bioavailabilitasnya lebih rendah, zat besi non heme umumnya

memberikan kontribusi lebih banyak untuk nutrisi zat besi daripada zat besi heme.

Penghambat utama penyerapan zat besi adalah asam fitat, polifenol, kalsium, dan

peptida dari protein yang dicerna sebagian. Dan peningkat atau enhancer dari

penyerapan zat besi adalah asam askorbat dan jaringan otot yang dapat mereduksi

besi ferric menjadi besi ferro dan mengikatnya dalam kompleks terlarut yang

tersedia untuk penyerapan.

2.1.6. Sumber zat besi

Sumber-sumber zat besi terdapat luas di dalam makanan, jika dalam

makanan hewani, zat besi berada dalam bentuk protein besi-heme

(besihemoglobin) yang terdapat pada daging merah, telur serta ikan, sedangkan

dalam makanan nabati, zat besi berada dalam bentuk senyawa anorganik

8
kompleks besi non heme yang terdapat pada kacang kedelai, kacang hijau,

berbagai jenis sayuran dan juga buah-buahan*. Zat besi dalam bentuk besi-heme

akan lebih mudah di serap oleh tubuh manusia dibandingkan dengan bentuk besi-

non heme. Tabel 1 dan Gambar 3 berikut menunjukkan kandungan zat besi dalam

beberapa bahan makanan.

Tabel 1. Sumber Makanan Zat Besi

Bahan Makanan Kandungan Zat Besi (mg)

Daging 23.8

Ikan Mas 1.3

Ikan Tongkol 0.7

Sereal 18.0

Kedelai 8.8

Kacang 8.3

Beras 8.0

Bayam 6.4

Hati Sapi 5.2

Pisang 2

Jambu Biji 1.1

*
RS YPK Mandiri. https://rsypkmandiri.co.id/2021/05/04/pentingnya-suplementasi-zat-besi-pada-
anak-untuk-tumbuh-kembang-yang-optimal/. (Diakses pada tanggal 16 Oktober 2021)

9
Gambar 3. Sumber Makanan Yang Mengandung Zat Besi (RS YPK

Mandiri, 2011)

2.1.7. Kebutuhan zat besi

Zat besi merupakan mikro mineral yang penting dalam pembentukan

hemoglobin. Zat besi mempunyai fungsi yang berhubungan dengan

pengangkutan, penyimpanan dan pemanfaatan oksigen. Oleh karena itu,

pemenuhan kebutuhan zat besi harian perlu dilakukan guna mencegah timbulnya

defisiensi zat besi yang berdampak pada munculnya berbagai penyakit.

Kebutuhan harian zat besi per individu bervariasi tergantung pada umur, jenis

kelamin dan aktivitas harian (Hurrell and Egli, 2010). Total kebutuhan zat besi

dapat dilihat pada Tabel 2.

10
Tabel 2. Jumlah Kebutuhan Harian Zat Besi (Institute of Medicine, 2001)†

Kelompok Umur Laki-laki Wanita


(mg/hari) (mg/hari)

Awal lahir hingga 6 bulan 0.27 0.27


7–12 bulan 11 11
1–3 tahun 7 7
4–8 tahun 10 10
9–13 tahun 8 8
14–18 tahun 11 15
19–30 tahun 8 18
31–50 tahun 8 18
51+ tahun 8 8
Hamil — 27
Laktasi (kurang dari usia 18 tahun) — 10

Laktasi (19–50 tahun) — 9

2.1. Fe Heme

Heme merupakan salah satu protein yang komponen dasarnya

mengandung unsur besi (Fe). Besi heme banyak ditemukan pada protein

hewani, dan sangat mudah dilepaskan dari protein pembawanya sehingga lebih

mudah dicerna untuk memenuhi kebutuhan besi dalam tubuh. Heme ditemukan

dalam kelimpahan tertinggi dalam daging dan dalam bentuk hemoglobin dan

mioglobin. Heme dilepaskan dari kedua jenis protein ini karena pH rendah di

lambung dan aksi enzim proteolitik di lambung dan usus kecil (West and Oates,


Institute of Medicine. 2001. Dietary Reference Intakes for Vitamin A, Vitamin K, Arsenic, Boron,
Chromium, Copper, Iodine, Iron, Manganese, Molybdenum, Nickel, Silicon, Vanadium,
and Zinc. Washington, DC: National Academies Press, 800 pp

11
2008) (Gambar 4). Heme pekat yang dihasilkan dari proses hidrolisis hemoglobin

di lambung kurang diserap oleh tubuh, karena heme murni bersifat sulit larut pada

pH lambung yang rendah, tetapi ketersediaan heme tidak dipengaruhi oleh sekresi

lambung (Conrad and Umbreit, 2000). Ada beberapa bukti yang menyatakan

bahwa netralisasi isi lambung oleh getah pankreas juga menyebabkan polimerisasi

heme, yang mengurangi ketersediaannya kecuali produk degradasi protein lain

muncul untuk menghambat pembentukan polimer. Interaksi heme dengan peptida

yang dihasilkan dari pencernaan proteolitik globin mencegah pembentukan

polimer heme yang tidak larut. Kelarutan heme meningkat secara signifikan

dengan adanya protein. Oleh karena itu, peptida dan asam amino yang dihasilkan

dari hidrolisis daging dapat meningkatkan penyerapan zat besi heme dan non-

heme.

Heme diserap oleh mukosa sebagai metalloporfirin utuh [Fe(II)-

protoporfirin-IX] dalam lumen oleh enterosit (Gambar 4). Hal ini dapat difasilitasi

oleh sistem transpor vesikular, yang pertama-tama akan berikatan dengan

membran brush-border enterosit, dan kemudian mengalami internalisasi ke dalam

sitoplasma, akhirnya muncul di dalam vesikel tertutup (Conrad and Umbreit,

2000). Heme yang terinternalisasi dapat dilepaskan ke darah melalui aksi eksportir

heme FLVCR1 (Gambar 4). FLVCR2 adalah pengangkut heme yang mungkin

terlibat dalam impor heme intraseluler. Heme dalam darah dapat diambil langsung

oleh berbagai sel, termasuk sel hati dan eritroid, untuk membuat hemoprotein.

Meskipun heme dari hemoglobin belum terbukti dapat digunakan kembali secara

langsung pada hewan atau manusia, heme telah terbukti diambil langsung oleh

12
sel-sel usus dan non-usus dan meningkatkan respons seluler langsung (Chernova

et al., 2007). Atau, heme bisa menjadi terdegradasi, melepaskan besi melalui aksi

heme oksigenase (HO) (Gambar 4). Besi kemudian memasuki kumpulan besi

dengan berat molekul rendah di enterosit, bersama dengan besi yang diserap

sebagai besi anorganik non heme (Conrad and Umbreit, 2000). Terdapat sebuah
59
studi yang melakukan pelacakan terhadap penyerapan Fe-hemoglobin dalam

loop duodenum yang tertutup, menunjukkan bahwa degradasi heme adalah

sebuah langkah dalam membatasi tingkat penyerapan heme dalam tubuh, sebagai

lawan dari proses degradasi hemoglobin, proses serapan heme, atau transfer besi

ke jalur sirkulasi (West and Oates, 2008). Selanjutnya, unsur besi dilepaskan ke

aliran darah oleh enterosit melalui ferroportin transporter basolateral

(Krishnamurthy et al., 2007). Besi yang diserap dalam darah dikirim ke sumsum

untuk sintesis hemoglobin, dan sejumlah kecil disimpan terutama di hati. Semua

besi ini dibawa oleh protein plasma tunggal yang dikenal sebagai transferin.

Transferin, juga dikenal sebagai siderophilin, memiliki berat molekul sekitar 80

kDa, dengan dua situs pengikatan besi ferric.

Tubuh perlu mendapatkan asupan heme untuk kinerja selular, namun

tingginya konsumsi heme juga bersifat tidak baik untuk tubuh. Daging merupakan

salah satu sumber makanan terbesar heme. Studi epidemiologis dan eksperimental

menunjukkan bahwa kandungan heme yang tinggi dalam daging merah dikaitkan

dengan beberapa penyakit, termasuk penyakit jantung, diabetes, dan kanker.

Daging merah (sapi, domba dan babi) memiliki kandungan heme 10 kali lipat

lebih tinggi dibandingkan dengan daging putih (ayam). Penelitian telah

13
menunjukkan bahwa peningkatan risiko beberapa jenis kanker dikaitkan dengan

diet tinggi daging merah. Sebaliknya, konsumsi sayuran hijau dalam jumlah besar

dikaitkan dengan penurunan risiko kanker usus besar, kemungkinan karena

sayuran mengandung kadar besi heme yang rendah. Oleh karena itu, menjadi

suatu hal penting untuk menjaga pola makan yang baik untuk menstabilkan kadar

heme tubuh (Hooda et al., 2014).

Gambar 4. Penyerapan heme di usus dari protein yang berasal dari makanan. pH
lambung yang rendah melepaskan protein yang mengandung heme
hemoglobin dan mioglobin dari daging makanan. Heme dilepaskan
oleh aksi protease di lambung dan usus. Asupan heme ke dalam
enterosit dapat difasilitasi oleh sistem transpor vesikular ketika heme
berikatan dengan transporter heme atau reseptor heme. Selain itu,
heme dapat langsung di impor ke enterosit oleh HCP1. Heme diangkut
ke sitoplasma dari vesikel oleh HRG-1, dan kemudian dimetabolisme
oleh HO-1 yang ada di retikulum endoplasma. Besi kemudian
dilepaskan. Atau, heme di dalam vesikel dapat dimetabolisme oleh
aksi HO-2 yang ada pada membran vesikel, dan besi yang dilepaskan
(Fe2+) diangkut ke dalam sitoplasma oleh pengangkut logam DMT1
untuk bergabung dengan kumpulan besi yang sama di sitoplasma.
Unsur besi dilepaskan ke dalam aliran darah oleh enterosit melalui
ferroportin yang ada pada membran basolateral. Sebagian kecil dari
heme utuh dapat dilepaskan langsung ke aliran darah melalui
transporter heme FLVCR1. FLVCR1 mengekspor heme sitoplasma,
dan dapat mengekspor heme ke dalam lumen selama peningkatan
konten heme seluler untuk melindungi dari toksisitas heme. HCP1,
protein pembawa heme 1; HRG-1, gen-1 responsif heme; FLVCR1,
reseptor permukaan sel, subkelompok C, reseptor seluler 1; HO-1/2,
heme oksigenase-1/2; DMT1, pengangkut logam divalen 1; FPN1,
ferroportin-1; RE, retikulum endoplasma (Hooda et al., 2014)

14
2.2. Fe Non-Heme

Mayoritas zat besi dari makanan berasal dari zat besi non-heme yang

ditemukan tidak hanya pada daging, ikan, dan unggas tetapi juga dalam sereal,

kacang-kacangan, biji-bijian, telur, dan beberapa sayuran. Hanya 2-20% besi non-

heme yang diserap oleh tubuh, dan penyerapan besi non-heme dipengaruhi oleh

sejumlah faktor. Faktor makanan yang meningkatkan penyerapan besi non-heme

bertindak dengan mengubah bentuk besi yang tidak larut dari ferric (Fe3+) menjadi

bentuk besi yang lebih larut yaitu ferro (Fe2+) atau dengan mempertahankan besi

yang dilepaskan dari makanan selama pencernaan dalam bentuk yang larut

sebelum memasuki sel usus. Vitamin C adalah penambah kuat penyerapan zat

besi non-heme. Asam organik lainnya (misalnya, asam sitrat), alkohol, dan

makanan fermentasi juga meningkatkan penyerapan zat besi non-heme. Dalam

beberapa penelitian mengungkapkan bahwa vitamin A dan karotenoid juga telah

terbukti meningkatkan penyerapan zat besi non-heme. Penyerapan besi non-heme

dihambat oleh asam fitat (ditemukan dalam roti gandum, sereal, kacang-kacangan,

dan biji-bijian), polifenol (ditemukan dalam teh, kopi, buah, sayuran, beberapa

sereal dan kacang-kacangan, dan anggur merah), dan beberapa protein (misalnya,

protein kedelai). Sejumlah makanan tersebut dapat mengikat besi non-heme untuk

membentuk kompleks tidak larut dan menghambat masuknya ke dalam sel usus.

Kalsium menghambat penyerapan zat besi heme dan non-heme. Dosis tambahan

(daripada jumlah yang ditemukan dalam makanan) elemen organik seperti seng,

mangan, dan tembaga juga bersaing dengan besi non-heme untuk transportasi ke

dalam sel usus. Efek enhancer dan inhibitor pada penyerapan zat besi paling kuat

15
bila dikonsumsi dengan makanan yang mengandung zat besi (Hurrell and Egli,

2010). Perbedaan antara besi heme dan non-heme dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbedaan Besi Heme dan Non-Heme

Besi Heme Besi Non-Heme

Sumber Berasal dari hewan Berasal dari tumbuhan


(protein hewani) (protein nabati)
Asal makanan Tiram, Hati Sapi, Kacang-Kacangan,
Daging Merah Dan Lentil, Daun Hijau
Sarden Seperti Bayam, Dan Biji
Labu
Kandungan Terdiri dari protein Tidak mengandung
heme yang melekat protein heme yang
pada besi melekat pada besi
Tingkat Absorbsi Sekitar 15-35% zat besi Sekitar 2-20% zat besi
heme dalam makanan non-heme dalam
diserap oleh tubuh makanan diserap oleh
(Tingkat absorbsi tubuh (Tingkat absorbsi
tinggi) rendah)
Dampak bagi kesehatan Kelebihan zat besi Tidak menyebabkan
heme dapat masalah kesehatan
menyebabkan risiko
kesehatan

2.3. Enhancer Penyerapan Fe dalam Tubuh

Faktor makanan berperan penting dalam perkembangan defisiensi besi

dan kemudian anemia defisiensi besi. Penyerapan besi oleh enterosit usus dapat

mengontrol keseimbangan besi tetapi tidak ada rute ekskresi besi yang terkontrol.

Ini berarti bahwa penyerapan zat besi diatur oleh faktor makanan dan sistemik.

Zat besi pada makanan sebagian besar adalah zat besi non-heme dengan sekitar

5% -10% dalam bentuk zat besi heme dalam makanan yang mengandung daging.

Meskipun besi heme merupakan bagian yang lebih kecil dari zat besi dalam

makanan, akan tetapi besi heme sangat tersedia secara hayati dan 20% -30% besi

16
heme diserap oleh tubuh. Sebaliknya, penyerapan zat besi non-heme jauh lebih

bervariasi dan secara signifikan dipengaruhi oleh komponen lain dari makanan;

dengan 1% -10% dari besi non-heme dapat diserap tubuh (Sharp, 2010).

Selain itu, zat besi di lingkungan dan makanan terutama tersedia dalam

bentuk besi ferric (Fe3+) yang tidak larut. Jadi, sebelum dapat diserap, besi non-

heme harus direduksi dari besi (Fe3+) menjadi besi (Fe2+) oleh agen pereduksi

makanan, seperti asam askorbat atau oleh ferri-reduktase endogen, seperti

sitokrom B duodenum (dcytB). Besi ferro diangkut melintasi membran apikal

duodenum oleh transporter logam divalen 1 (DMT1), yang terlokalisasi pada

membran batas sikat dekat dengan dcytB. Penyerapan ion besi oleh dcytB

didorong oleh co-transportasi proton, sehingga pH duodenum yang asam

memfasilitasi penyerapan besi, dan secara kompetitif dihambat oleh kation

divalen lainnya (Sharp, 2010).

Asam askorbat adalah salah satu enhancer (peningkat) paling efektif

dalam penyerapan zat besi non-heme. Faktor makanan seperti asam sitrat dan

asam organik lainnya, alkohol dan karoten juga mampu meningkatkan penyerapan

zat besi non-heme (Sharp, 2010). Selanjutnya, protein hewani seperti daging, ikan,

dan unggas, juga mampu meningkatkan penyerapan zat besi. Daging juga

meningkatkan penyerapan zat besi non-heme dengan mengaktifkan produksi asam

lambung. Sebaliknya, penyerapan besi non-heme dihambat oleh asam fitat

(inositol hexaphosphate dan inositol pentaphosphate) dalam biji-bijian dan sereal

dan oleh polifenol dalam beberapa sayuran, kopi, teh, dan anggur. Inhibitor ini

terikat pada besi non-heme sehingga tidak tersedia untuk diserap oleh tubuh.

17
Berikut adalah beberapa enhancer penyerapan zat besi dalam tubuh (Milman,

2020) :

a) Asam lambung

Sekresi lambung mengandung asam klorida dengan pH rendah, yang

mendorong reduksi besi ferric dalam makanan menjadi besi ferro. Asam lambung

adalah salah satu faktor luminal terpenting yang wajib untuk penyerapan zat besi

non-heme yang optimal. Pada orang dengan histamin-fast achlorhydria, dengan

menambahkan asam klorida ke dalam larutan besi klorida mampu meningkatkan

penyerapan besi lebih dari empat kali lipat, tetapi tidak berpengaruh pada

penyerapan besi heme. Sebaliknya, penghambatan produksi asam lambung oleh

penghambat reseptor H2 histamin menyebabkan penurunan penyerapan zat besi

yang signifikan. Pemberian antasida yang berhubungan dengan makanan juga

mengurangi penyerapan zat besi secara signifikan dan pasien dengan aklorhidria

sering mengalami defisiensi zat besi.

b) Asam organik

Asam askorbat (vitamin C) adalah agen pereduksi dan antioksidan yang

kuat, ditemukan dalam buah-buahan dan sayuran. Di antara asam organik, asam

askorbat memiliki efek peningkatan yang paling menonjol pada penyerapan zat

besi non-heme. Asam askorbat membentuk kelat larut dengan besi ferric yang

mencegah pembentukan senyawa besi yang tidak larut dan tidak dapat diserap

oleh tubuh serta asam askorbat juga memfasilitasi reduksi besi ferric menjadi besi

ferro. Sebaliknya, sebuah studi in vitro pada garis sel Caco-2 epitel manusia

menunjukkan bahwa asam askorbat meningkatkan serapan besi ferric apikal

18
dengan cara yang bergantung pada konsentrasi dengan perbedaan yang signifikan

antara penyerapan besi dan reduksi besi; asam askorbat juga meningkatkan

penyerapan besi klorida melalui pembentukan kompleks Fe3+-askorbat.

Penambahan 15 mg asam askorbat, yang biasa ditemukan dalam sayuran, mampu

meningkatkan penyerapan besi non-heme sekitar 98% . Oleh sebab itu, Otoritas

Keamanan Pangan Eropa telah meninjau hubungan antara asam askorbat dan

penyerapan zat besi pada tahun 2010 dan 2014 dan menyimpulkan bahwa

―vitamin C berkontribusi untuk meningkatkan penyerapan zat besi non-heme‖.

c) Asam organik asam sitrat, asam malat, dan asam tartarat

Asam sitrat, asam malat, dan asam tartarat terdapat dalam banyak buah

beri, buah-buahan, dan sayuran. Asam sitrat memiliki efek meningkatkan

penyerapan besi non-heme melalui reduksi besi ferric menjadi besi ferro.

Meskipun asam sitrat ditemukan dalam buah-buahan yang sebagian besar juga

mengandung asam askorbat, penelitian menunjukkan bahwa asam sitrat

merangsang penyerapan zat besi. Hasil studi mengenai asam malat juga

menunjukkan bahwa menambahkan asam malat ke makanan nasi secara signifikan

mampu meningkatkan penyerapan zat besi. Sdangkan asam tartarat dari buah

jeruk dan anggur juga memiliki efek stimulasi moderat pada penyerapan zat besi

non-heme.

d) Daging, ikan, dan makanan laut

Daging, ikan, dan unggas tidak hanya menyediakan zat besi heme yang

dapat diserap dengan baik oleh tubuh, tetapi juga dapat merangsang penyerapan

zat besi bentuk non-heme. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa

19
penambahan daging sapi, ayam atau ikan ke dalam makanan berbasis sereal

menghasilkan penyerapan zat besi non-heme sekitar 2-3 kali lebih besar.

Penelitian juga menunjukkan bahwa menambahkan 75 gram daging ke dalam

makanan mampu meningkatkan penyerapan zat besi non-heme sekitar 2,5 kali

lipat, dibandingkan dengan makanan tanpa daging. Berdasarkan penelitian

tersebut, diperkirakan bahwa 1 gram daging, ikan atau unggas memberikan efek

peningkatan yang serupa dengan 1 mg vitamin C.

2.4. Inhibitor Penyerapan Fe dalam Tubuh

Zat besi dalam tubuh dapat dihambat oleh beberapa faktor terutama

kandungan senyawa yang terdapat dalam makanan. Adapun faktor-faktor

penghambat antara lain (Milman, 2020) :

a) Inhibitor asam lambung

Ada dua jenis penghambat asam lambung, yaitu antagonis reseptor

histamin H2, misalnya simetidin, dan penghambat pompa proton, misalnya

lansoprazole. Kedua jenis obat tersebut secara efektif dapat mengurangi produksi

asam lambung. Dalam studi kasus. penggunaan inhibitor asam lambung selama

dua tahun atau lebih dikaitkan dengan peningkatan risiko defisiensi besi. Risiko

meningkat dengan meningkatnya potensi penghambatan asam dan menurun

setelah penghentian obat. pada pasien dengan HFE-hemokromatosis, pengukuran

serum besi berturut-turut menunjukkan penurunan 50% pada area di bawah kurva

(AUC) dari makanan uji setelah 7 hari terapi penghambat pompa proton, yang

menunjukkan penurunan terhadap penyerapan besi non-heme.

20
b) Antasida

Antasida digunakan untuk meredakan refluks gastroesofageal dari asam

lambung yang memberikan gejala tidak menyenangkan yang disebut pirosis,

kardialgia, atau mulas. Antasida biasanya digunakan untuk pengobatan jangka

panjang. Banyak sediaan mengandung kalsium karbonat dan magnesium oksida,

magnesium hidroksida, atau magnesium trisilikat. Jika diminum bersamaan

dengan makanan, obat jenis ini dapat menghambat penyerapan zat besi dari

makanan melalui tiga cara: (i) dengan menetralkan pH asam lambung, (ii) dengan

penghambatan penyerapan zat besi yang diinduksi kalsium, dan (iii) dengan

penghambatan senyawa magnesium pada penyerapan besi.

c) Asam fitat

Asam fitat, heksafosfat dari myo-inositol, adalah senyawa bioaktif yang

tersebar luas dalam makanan nabati (tumbuhan atau sayur-sayuran). Asam fitat

memiliki afinitas untuk membentuk kompleks dengan kation polivalen termasuk

zat besi, yang dimana melalui cara ini dapat mengganggu penyerapan zat besi oleh

usus. Sumber utama fitat dalam makanan sehari-hari adalah sereal dan kacang-

kacangan serta minyak sayur. Makanan ini penting dalam menjaga pola makan

manusia dan mewakili sekitar 40% dari asupan kalori untuk manusia di negara

maju. Akan tetapi, walaupun asam fitat termasuk penghambat kuat dalam

penyerapan zat besi, efek penghambatan fitat pada penyerapan besi dapat dicegah

dengan asam askorbat yang memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap besi

ferric jika dibandingkan dengan asam fitat.

21
d) Polifenol

Polifenol banyak terdapat dalam makanan manusia sebagai komponen

buah-buahan, beri, sayuran, rempah-rempah, kacang-kacangan, dan biji-bijian,

dan mereka sangat tinggi dalam teh, kopi, kakao, anggur merah, dan beberapa teh

herbal. Senyawa fenolik (monomer fenolik, polifenol, misalnya asam tanat dan

tanin) dapat menghambat penyerapan zat besi dengan pembentukan kompleks

khelat dengan zat besi di lumen gastrointestinal, sehingga membuat besi kurang

tersedia untuk diserap. Namun efek penghambatan polifenol pada penyerapan zat

besi bergantung pada dosis yang dikonsumsi.

e) Protein kacang kedelai

Kacang kedelai adalah tanaman protein global terbesar dan sumber

protein nabati paling efisien per hektar area budidaya. Kacang kedelai digunakan

untuk membuat berbagai makanan vegetarian seperti susu kedelai, tahu, dan

edamame, serta miso, tempe, dan natto dari kacang kedelai yang difermentasi.

Sebagian besar tanaman kacang kedelai diproses menjadi tepung kacang kedelai

dan minyak kacang kedelai, dan produk kacang kedelai digunakan di seluruh

dunia sebagai nutrisi kaya protein. Meskipun begitu, kacang kedelai kaya akan

asam fitat, yang dapat menghambat penyerapan zat besi. Selain itu, kacang

kedelai kaya akan kalsium, kandungannya bervariasi dari 150 hingga 277

mg/100g dibandingkan dengan 126 mg/100 g pada susu skim. Kandungan

kalsium juga dapat berkontribusi pada penurunan penyerapan zat besi.

22
f) Kalsium

Nutrisi yang paling kaya kalsium adalah susu sapi dan makanan olahan

susu yang dihasilkan dari susu. Beberapa sayuran berdaun hijau seperti bayam,

brokoli, kubis, okra, dan beberapa kacang-kacangan seperti kacang kedelai juga

mengandung kalsium dalam jumlah yang cukup besar. Kalsium telah terbukti

memiliki efek negatif pada penyerapan zat besi non-heme dan heme, yang

membuatnya berbeda dari inhibitor lain yang hanya mempengaruhi penyerapan

zat besi non-heme. Awalnya, efek penghambatan diperkirakan terjadi selama

proses pengangkutan besi melintasi membran basolateral dari enterosit ke plasma

karena penyerapan kedua bentuk besi sama-sama dihambat, tetapi baru-baru ini,

diperoleh sebuah fakta bahwa penghambatan terjadi selama awal penyerapan ke

dalam enterosit. Efek penghambatan tergantung dosis ditunjukkan pada dosis 75-

300 mg ketika kalsium ditambahkan ke roti gulung dan pada dosis 165 mg

kalsium dari produk susu.

2.5. Metode HemoCue

HemoCue adalah metode untuk pengukuran hemoglobin dalam darah.

Sistem HemoCue menggunakan prinsip oksidasi hemoglobin menjadi hemiglobin

oleh natrium nitrit dan konversi selanjutnya dari hemiglobin menjadi

hemiglobinazide oleh natrium azida. Sistem HemoCue menggunakan mikrokuvet

sekali pakai yang berisi reagen. Setiap mikrokuvet berukuran kira-kira 10 µl, dan

mengandung deoksikolat untuk hemolisis eritrosit, natrium nitrit untuk

mengoksidasi hemoglobin menjadi hemiglobin (methaemoglobin, Hi), dan

natrium azida untuk mengubah hemiglobin menjadi hemiglobinazid (HiN3).

23
Metode ini diawali dengan pengambilan sampel darah yang dapat diperoleh baik

dengan pungsi vena atau tusukan jari, dialirkan ke dalam kuvet dengan aksi

kapiler dan dicampur dengan reagen. Absorbansi kemudian dibaca di fotometer

HemoCue, pada panjang gelombang 565 dan 880 nm. Pengukuran terakhir

mengkompensasi kekeruhan dalam sampel karena lipid, jumlah leukosit tinggi,

dan lain sebagainya. Fotometer menghitung konsentrasi hemoglobin dalam

mmol/l atau g/dl dan menampilkan hasilnya sebagai pembacaan digital dalam 15-

45 detik. Semua pembacaan harus dilakukan dalam waktu 10 menit setelah

pengisian kuvet. Unit ini ditenagai baik dengan menghubungkan ke suplai listrik

utama atau melalui paket baterai nikel-kadmium yang dapat diisi ulang (Hudson-

Thomas et al., 1994).

HemoCue adalah metode lain untuk estimasi Hb. Sebuah studi yang

dilakukan pada donor darah menemukan sensitivitas dan spesifisitas HemoCue

menjadi 94,1% dan 95,2% dibandingkan dengan 90,1% dan 94,2% untuk metode

sianmethemoglobin langsung. Spesifisitas penilaian HemoCue darah kapiler

(95,2%) atau vena (94,2%) ditemukan lebih tinggi dibandingkan dengan metode

sianmethemoglobin langsung (94,2%) atau tidak langsung (68,3% untuk kapiler

dan 76% untuk darah vena) oleh penelitian lain dilakukan di Indonesia (Hudson-

Thomas et al., 1994).

Metode ini banyak digunakan di laboratorium karena sistem HemoCue

memberikan hasil langsung dengan akurasi laboratorium. Dengan sistem ini, para

laboran dapat memantau status glikemik, membuat keputusan transfusi dan

membuat keputusan yang tepat tentang antibiotik.

24
2.6. Metode EasyTouch GCHB

Hb meter adalah alat pemeriksaan secara mudah dan sederhana dan juga

dapat dilakukan oleh siapapun. Salah satu Hb Meter adalah EasyTouch GCHb.

EasyTouch GCHb adalah alat cek darah dengan tiga fungsi yaitu cek kolesterol,

cek gula darah dan cek hemoglobin. EasyTouch GCHb adalah sistem pemantauan

hemoglobin darah yang dirancang untuk pengukuran kuantitatif dalam kapiler

darah. Pengukuran ini didasarkan pada penentuan perubahan arus yang

disebabkan oleh reaksi dari hemoglobin dengan reagen pada elektrodastrip. Ketika

sampel darah menyetuh area target sampel strip, darah secara otomatis ditarik ke

zona reaksi strip. Hasil tes akan ditampilkan setelah 6 detik untuk hemoglobin.

Kenggulan dari EasyTouch GCHb adalah mudah digunakan dilapangan dan sudah

terdaftar Depkes RI AKL NO : 20101902214, prosesnya cepat, murah serta telah

lulus uji, sehingga dapat digunakan sendiri tanpa bantuan tenaga medis. Namun,

penggunaan alat ini masih terbatas karena tidak semua orang mampu membeli dan

menggunakan alat ini, sehingga alat ini kurang umum digunakan di masyarakat.

(Kusumawati et al., 2018). Adapun prosedur menggunakan Hb Meter (EasyTouch

GCHb) adalah :

 Masukan baterai dan nyalakan mesin;

 Atur jam, tanggal dan tahun pada mesin

 Ambil chip masukan ke dalam mesin untuk cek mesin

 Jika layar muncul "error" berarti mesin rusak

 Jika layar muncul "OK" berarti mesin siap digunakan

 Masukan chip Hb dan strip Hb terlebih dahulu

25
 Pada layar akan muncul angka/kode sesuai pada botol strip

 Setelah itu akan muncul gambar tetes darah dan kedip-kedip

 Masukan jarum pada lancing/alat tembak berbentuk pen dan atur

kedalaman jarum

 Gunakan tisu alkohol untuk membersihkan jari

 Tembakkan jarum pada jari dan tekan supaya darah keluar

 Darah di sentuh pada strip dan bukan di tetes diatas strip

 Sentuh pada bagian garis yang ada tanda panah

 Darah akan langsung meresap sampai ujung strip dan bunyi beep

 Tunggu sebentar,hasil akan keluar beberapa detik pada layar

2.7. Metode Sahli

Metode pengukuran hemoglobin (Hb) Sahli atau Haemo-globinometer

merupakan satu cara pemeriksaan hemoglobin secara visual berdasarkan satuan

warna (colorimetric). Prosedur pemeriksaan yang dilakukan adalah

membandingkan warna sampel darah dengan warna merah standar. Pemeriksaan

Hb dengan menggunakan metode Hb Sahli lebih mudah, ekonomis akan tetapi

masih bersifat subjektif karena hasil diperoleh dengan mata telanjang. Hal ini

karena tidak semua hemoglobin berubah menjadi hematin asam dan kemampuan

untuk membedakan warna tidak sama. Adapun prosedur menggunakan metode

sahli adalah (Kusumawati et al., 2018) :

 Setelah memastikan pipet dan tabung hemoglobin kering, tambahkan N/10

HCl ke dalam tabung hingga tanda 2g%.

26
 Campur sampel EDTA dengan lembut dan isi pipet dengan 0,02ml darah.

Pastikan tidak ada gelembung udara yang masuk ke dalam pipet. Jika

masuk, buang dan pipet lagi. Seka permukaan luar pipet untuk

menghilangkan kelebihan darah.

 Masukkan darah ke dalam tabung berisi HCl. Cuci isi pipet hemoglobin

dengan menarik dan meniup asam beberapa kali sehingga darah tercampur

dengan asam secara menyeluruh.

 Diamkan selama 10 menit. (Hal ini karena, konversi maksimum

hemoglobin menjadi asam hematin, terjadi dalam sepuluh menit pertama )

 Tempatkan tabung hemoglobinometer di komparator dan tambahkan air

suling ke larutan setetes demi setetes. Aduk dengan batang kaca hingga

warnanya sesuai dengan warna kaca pembanding. Sambil mencocokkan

warna, batang kaca harus dikeluarkan dari larutan dan dipegang secara

vertikal di dalam tabung.( Perhatikan bahwa pengaduk harus berada di atas

permukaan larutan dan tidak keluar dari tabung )

 Pembacaan meniskus bawah larutan harus dicatat sebagai hasilnya.

Nyatakan kandungan hemoglobin sebagai g%.

Selain itu, metode sahli juga memiliki beberapa kekurangan seperti :

 95% warna asam hematin terbentuk dalam 10 menit. Warna hematin asam

memudar seiring waktu.

 Sulit untuk mencocokkan sempurna dengan komparator kaca.

 Karboksihemoglobin, methemoglobin, dan sulfhemoglobin tidak diubah

menjadi hematin asam.

27
 Larutan hematin asam tidak stabil dan pembentukan warna lambat

 Sumber cahaya akan mempengaruhi perbandingan visual warna.

 Warna standar kaca coklat memudar seiring waktu

 Variasi individu dalam pencocokan warna terlihat.

28
DAFTAR PUSTAKA

Abbaspour, N., Hurrell, R., and Kelishadi, R. 2014. Review on iron and its
importance for human health. Journal of research in medical sciences:
the official journal of Isfahan University of Medical Sciences, 19(2), 164.
Anderson J., Fitzgerald C, 2010, Iron: An Essetial Nutrient. Colorado. Colorado
State University.
Bakta, I.M., Suega, K., Tjokorda, G.D. 2006. Anemia Defisiensi Besi. Halaman
634–640. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi IV. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Braun, V., and Killman, H. 1999. Bacterial solutions to the iron-supply problem.
Trends Biochem Sci, 24:104–109
Cairo, G., and Recalcati, S. 2007. Iron-regulatory proteins: molecular biology and
pathophysiological implications. Expert reviews in molecular medicine,
9(33), 1-13.
Céline, C. 2013. Iron supplementation in nutritional programs: pathophysiological
basis and correlations with health in developing countries. BioSciences
Master Reviews. 1-9.
Chernova, T., Steinert, J. R., Guerin, C. J., Nicotera, P., Forsythe, I. D., and
Smith, A. G. 2007. Neurite degeneration induced by heme deficiency
mediated via inhibition of NMDA receptor-dependent extracellular
signal-regulated kinase 1/2 activation. Journal of Neuroscience, 27(32),
8475-8485.
Conrad, M. E., ans Umbreit, J. N. 2000. Iron absorption and transport—an
update. American journal of hematology, 64(4), 287-298.
De Domenico, I., Ward, D. M., Di Patti, M. C. B., Jeong, S. Y., David, S., Musci,
G., and Kaplan, J. 2007. Ferroxidase activity is required for the stability
of cell surface ferroportin in cells expressing GPI‐ceruloplasmin. The
EMBO journal, 26(12), 2823-2831.
Delaby, C., Rondeau, C., Pouzet, C., Willemetz, A., Pilard, N., Desjardins, M.,
and Canonne-Hergaux, F. 2012. Subcellular localization of iron and
heme metabolism related proteins at early stages of erythrophagocytosis.
Fairbanks, V. F. 1994. Iron in medicine and nutrition. Modern nutrition in health
and disease.
FAO/WHO. Codex Alimentarius Commission. 2001. Food Additives and
Contaminants. Joint FAO/WHO Food Standards programme, ALINORM
01/12A:1-289

29
Ganz, T. 2013. Systemic iron homeostasis. Physiological reviews, 93(4), 1721-
1741.
Gibson, R.S. 2005. Dietary strategies to enhance micronutrient adequacy:
experiences in developing countries. Micronutrients in South and South
East Asia, 3-7.
Hooda, J., Shah, A., and Zhang, L. 2014. Heme, an essential nutrient from dietary
proteins, critically impacts diverse physiological and pathological
processes. Nutrients, 6(3), 1080-1102.
Hudson-Thomas, M., Bingham, K. C., and Simmons, W. K. 1994. An evaluation
of the HemoCue for measuring haemoglobin in field studies in
Jamaica. Bulletin of the World Health Organization, 72(3), 423.
Hunt, J.R. 2001. How important is dietary iron bioavailability?
Hunt, J.R., Zito, C.A., and Johnson, L.K. 2009. Body iron excretion by healthy
men and women. The American journal of clinical nutrition, 89(6), 1792-
1798.
Hurrell, R., and Egli, I. 2010. Iron bioavailability and dietary reference
values. The American journal of clinical nutrition, 91(5), 1461S-1467S.
Institute of Medicine. 2001. Dietary Reference Intakes for Vitamin A, Vitamin K,
Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron, Manganese,
Molybdenum, Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc. Washington, DC:
National Academies Press, 800 pp
Kosman, D.J. 2010. Multicopper oxidases: a workshop on copper coordination
chemistry, electron transfer, and metallophysiology. JBIC Journal of
Biological Inorganic Chemistry, 15(1), 15-28.
Krishnamurthy, P., Xie, T., and Schuetz, J. D. 2007. The role of transporters in
cellular heme and porphyrin homeostasis. Pharmacology &
therapeutics, 114(3), 345-358.
Kusumawati, E., Lusiana, N., Mustika, I., Hidayati, S., and Andyarini, E. N. 2018.
Perbedaan Hasil Pemeriksaan Kadar Hemoglobin (Hb) Remaja
Menggunakan Metode Sahli dan Digital (Easy Touch GCHb) The
Differences in the Result of Examination of Adolescent Hemoglobin
Levels Using Sahli And Digital Methods. Journal of Health Science and
Prevention, Vol.2(2)
Milman, N.T. 2020. A review of nutrients and compounds, which promote or
inhibit intestinal iron absorption: making a platform for dietary measures
that can reduce iron uptake in patients with genetic
haemochromatosis. Journal of Nutrition and Metabolism
Nemeth, E., and Ganz, T. 2006. Regulation of iron metabolism by hepcidin. Annu.
Rev. Nutr., 26, 323-342.

30
Nemeth, E., Tuttle, M. S., Powelson, J., Vaughn, M. B., Donovan, A., Ward, D.
M., and Kaplan, J. 2004. Hepcidin regulates cellular iron efflux by
binding to ferroportin and inducing its
internalization. science, 306(5704), 2090-2093.
Restuti, A. N. 2015. Hubungan Asupan Energi, Protein, Fe, Zinc, Vitamin C dan
Kadar IL-6 pada Ibu Hamil 10–24 Minggu dengan Anemia Defisiensi
Besi (Doctoral dissertation, UNS (Sebelas Maret University).
Rumah Sakit YPK Mandiri. 2011. Pentingnya Suplementasi Zat Besi pada Anak
untuk Tumbuh Kembang yang Optimal.
https://rsypkmandiri.co.id/2021/05/04/pentingnya-suplementasi-zat-besi-
pada-anak-untuk-tumbuh-kembang-yang-optimal/. Disitasi pada tanggal
16 Okotober 2021.

Sharp, P. A. 2010. Intestinal iron absorption: regulation by dietary & systemic


factors. Int J Vitam Nutr Res, 80(4-5), 231-242.
West, A.R., and Oates, P.S. 2008. Mechanisms of heme iron absorption: current
questions and controversies. World journal of gastroenterology:
WJG, 14(26), 4101.
Wood, J. C., Enriquez, C., Ghugre, N., Tyzka, J. M., Carson, S., Nelson, M. D., &
Coates, T. D. (2005). MRI R2 and R2* mapping accurately estimates
hepatic iron concentration in transfusion-dependent thalassemia and
sickle cell disease patients. Blood, 106(4), 1460-1465.

31

Anda mungkin juga menyukai