TINJAUAN PUSTAKA
Zat Besi (Fe) merupakan salah satu mikronutrien yang sangat dibutuhkan
oleh tubuh manusia untuk dapat melakukan berbagai jenis aktivitas (Celine,C.
2013). Besi dalam tubuh terdapat dalam bentuk senyawa kompleks yang berikatan
dengan protein (hemoprotein) dengan fugsi utama untuk membawa dan mengikat
atau penyimpanan besi (transferin, laktoferin dan ferritin) (Bakta et al, 2006;
Ganz, 2013). Hampir sekitar dua pertiga dari total zat besi dalam tubuh ditemukan
dalam bentuk hemoglobin yang ada dalam eritrosit, 25% terkandung dalam
simpanan besi yang mudah dimobilisasi, dan 15% sisanya terikat pada mioglobin
yang terlibat dalam metabolisme oksidatif dan fungsi sel tubuh lainnya
Tubuh mendapatkan asupan zat besi dari makanan dalam bentuk besi
heme dan besi non-heme (Restuti, 2015). Besi heme banyak ditemukan pada
makanan yang mengandung protein hewani, dan bersifat sangat mudah dilepaskan
kebutuhan besi dalam tubuh. Sedangankan besi non-heme banyak terdapat pada
1
makanan yang mengandung protein nabati. Besi non heme memiliki sifat yang
berbeda dengan besi heme, dimana jenis besi ini bersifat sangat sulit dilepaskan
memenuhi kebutuhan tubuh (Celine, C., 2013; Anderson and Fitzgerald, 2010;
Bakta et al, 2006). Penyerapan kedua jenis besi tersebut mempunyai mekanisme
yang berbeda tetapi saling berhubungan (Gibson, 2005). Ada dua bentuk besi
dalam tubuh, yaitu ferri (Fe3+) dan ferro (Fe2+) sebagai elektron donor maupun
electron akseptor. Dua bentuk ini mempunyai peran penting dalam berbagai reaksi
oksidasi reduksi dalam metabolisme tubuh (Restuti, 2015). Absorbsi besi paling
banyak terjadi pada brush border enterosit duodenum (Bakta et al, 2006; Curis,
2013).
Proses absorbsi besi dibagi menjadi 3 fase utama yaitu fase luminal, fase
mukosal, dan fase korporeal. Fase luminal adalah proses pelepasan besi dari
makanan dengan bantuan asam lambung, sehingga siap diserap oleh duodenum
(Bakta et al, 2006). Fase kedua yaitu fase mukosal berupa suatu proses
proximal yang merupakan proses aktif . Sebelum proses penyerapan, bentuk ferri
(Fe3+) diubah menjadi bentuk ferro (Fe2+) terlebih dahulu melalui proses oksidasi
dan reduksi (Restuti, 2015). Proses oksidasi dan reduksi ini dikatalisasi oleh
dalam sitosol enterosit melalui membran sel yang difasilitasi oleh protein divalent
metal transporter (DMT)-1 (Ganz, 2013), sedangkan besi heme ditranspor secara
2
langsung ke dalam sitoplasma sel oleh protein heme carier protein (HCP)-1
(Hooda et al., 2014). Protein HCP-1 harus berikatan dengan heme oxygenase
(HO) untuk melepaskan besi heme (Delaby et al, 2012). Di dalam sitoplasma sel,
ferro (Fe2+) direduksi kembali menjadi ferri (Fe3+) dengan bantuan enzim
2006; Curis, 2013; Kosman, 2010). Selanjutnya, ferri (Fe3+) disimpan dan
berikatan dengan apoferitin atau chief poly (rC) - binding protein 1 (PCBP1)
untuk membentuk feritin (Restuti, 2015). Apabila simpanan besi dalam enterosit
tidak digunakan, besi akan dibuang bersama feses dalam kurun waktu 2 – 5 hari
(Ganz, 2013). Sebagian ferri (Fe3+) yang lain masuk ke dalam sirkulasi melalui
2006; Cairo and Recalcati, 2007). Selain dari enterosit, besi ferri (Fe3+) dalam
sirkulasi juga berasal dari membran makrofag, permukaan hepatosit dan basal
Fase ketiga yaitu fase korporeal meliputi proses transpor besi dalam
sirkulasi, penggunaan besi oleh sel – sel tubuh dan penyimpanan besi dalam sel
tubuh (Bakta et al, 2006). Setelah besi melewati bagian basal enterosit dan
memasuki sirkulasi, satu molekul transferin dapat mengikat 2 buah molekul besi
ikatan besi – tranferin ini akan berinteraksi dengan reseptor tranferin (RTf) yang
endositosis, vesikel yang berisikan kompleks ikatan besi ini masuk ke dalam
sitoplasma dan pecah untuk mengeluarkan besi dalam bentuk bebas. Kemudian
3
transferin akan kembali ke pembuluh darah dalam bentuk apotransferin (Cairo and
Recalcati, 2007). Absorbsi besi heme selain melalui jalur yang sama dengan
absorbsi besi non-heme juga dapat melalui jalur khusus. Jalur khusus ini hanya
dapat di lewati oleh besi heme yaitu melalui Heme Carrier Protein (HCP)-1 dan
Heme Responsive Gene (HRG), kemudian besi heme di eksresikan dari enetrosit
melalui jalur khusus yaitu Feline Leukimia Virus C Reseptor (FLVCR) dan ABC
Transporter (ABCG2) (Ganz, 2013). Mekanisme absorbsi zat besi oleh usus
4
yang pasti untuk ekskresi zat besi secara aktif, keseimbangan zat besi terutama
liver (hati) dan memainkan peran sentral dalam regulasi homeostatis zat besi
Hepsidin terutama diproduksi oleh hepatosit dan merupakan regulator negatif dari
proses masuknya besi ke dalam plasma. Hepsidin bekerja dengan cara mengikat
ferroportin, suatu transporter besi yang terdapat pada sel-sel duodenum usus,
sel mencegah masuknya besi ke dalam plasma (Gambar 2a). Penurunan proses
masuknya besi ke dalam plasma menghasilkan saturasi transferin yang rendah dan
lebih sedikit besi yang dikirim ke eritroblas yang sedang berkembang. Sebaliknya,
dan peningkatan penyerapan zat besi (De Domenico et al., 2007) (Gambar 2c).
Pada semua spesies, konsentrasi besi dalam cairan biologis diregulasi secara ketat
Homeostasis besi pada mamalia diatur pada tingkat absorbsi usus, karena
tidak ada jalur ekskresi untuk besi. Kadar hepsidin plasma diatur oleh stimulasi
yang berbeda, termasuk sitokin, besi plasma, anemia, dan hipoksia. Disregulasi
5
ekspresi hepsidin menyebabkan gangguan zat besi. Overekspresi hepsidin
di organ vital (Gambar 2). Sebagian besar kelainan besi herediter dihasilkan dari
produksi hepsidin tidak memadai yang relatif terhadap tingkat akumulasi besi
jaringan tubuh.
A B C
6
2.1.3. Penyimpanan zat besi dalam tubuh
simpanan zat besi dalam tubuh. Kedua jenis protein tersebut menyimpan zat besi
dalam bentuk yang tidak larut dan terutama terdapat di hati, limpa, dan sumsum
tulang (Wood et al., 2005). Sebagian besar zat besi terikat pada protein pengikat
besi yang ada di mana-mana dan sangat terkonservasi yaitu ferritin. Hemosiderin
adalah kompleks penyimpanan zat besi yang kurang mudah melepaskan zat besi
untuk kebutuhan tubuh. Di bawah kondisi yang optimal, konsentrasi serum feritin
berkorelasi baik dengan total simpanan besi tubuh (Hunt, 2001). Dengan
demikian, pemeriksaan terhadap serum feritin adalah tes laboratorium yang paling
pendarahan lain atau kehamilan, zat besi sangat tersimpan dan tidak mudah hilang
dari tubuh (Hunt et al., 2009). Ada beberapa mekanisme tubuh yang membuat zat
besi dikeluarkan dari tubuh yaitu sebagai hasil dari pengelupasan fisiologis sel
pencernaan. Namun, mekanisme kehilangan zat besi melalui cara ini diperkirakan
sangat terbatas (≈1 mg/hari) (Fairbanks, 1994). Kehilangan zat besi melalui
pendarahan bisa sangat besar dan kehilangan darah menstruasi yang berlebihan
adalah penyebab paling umum dari kekurangan zat besi pada wanita.
7
2.1.5. Bioavaibilitas zat besi
Zat besi dalam makanan terjadi dalam dua bentuk: heme dan non heme (Hurrell
and Egli, 2010). Sumber utama zat besi heme adalah hemoglobin dan mioglobin
dari konsumsi daging, unggas, dan ikan, sedangkan zat besi non heme diperoleh
(FAO/WHO, 2001). Zat besi heme sangatlah bioavailable atau tersedia dalam
jumlah banyak (15% -35%) dan faktor makanan memiliki sedikit efek pada
penyerapannya, sedangkan penyerapan zat besi non heme jauh lebih rendah (2% -
20%) dan sangat dipengaruhi oleh adanya komponen makanan lainnya (Hurrell
and Egli, 2010). Sebaliknya, jumlah zat besi non heme dalam makanan berlipat
ganda lebih banyak daripada zat besi heme di sebagian besar makanan. Jadi
memberikan kontribusi lebih banyak untuk nutrisi zat besi daripada zat besi heme.
Penghambat utama penyerapan zat besi adalah asam fitat, polifenol, kalsium, dan
peptida dari protein yang dicerna sebagian. Dan peningkat atau enhancer dari
penyerapan zat besi adalah asam askorbat dan jaringan otot yang dapat mereduksi
besi ferric menjadi besi ferro dan mengikatnya dalam kompleks terlarut yang
(besihemoglobin) yang terdapat pada daging merah, telur serta ikan, sedangkan
dalam makanan nabati, zat besi berada dalam bentuk senyawa anorganik
8
kompleks besi non heme yang terdapat pada kacang kedelai, kacang hijau,
berbagai jenis sayuran dan juga buah-buahan*. Zat besi dalam bentuk besi-heme
akan lebih mudah di serap oleh tubuh manusia dibandingkan dengan bentuk besi-
non heme. Tabel 1 dan Gambar 3 berikut menunjukkan kandungan zat besi dalam
Daging 23.8
Sereal 18.0
Kedelai 8.8
Kacang 8.3
Beras 8.0
Bayam 6.4
Pisang 2
*
RS YPK Mandiri. https://rsypkmandiri.co.id/2021/05/04/pentingnya-suplementasi-zat-besi-pada-
anak-untuk-tumbuh-kembang-yang-optimal/. (Diakses pada tanggal 16 Oktober 2021)
9
Gambar 3. Sumber Makanan Yang Mengandung Zat Besi (RS YPK
Mandiri, 2011)
pemenuhan kebutuhan zat besi harian perlu dilakukan guna mencegah timbulnya
Kebutuhan harian zat besi per individu bervariasi tergantung pada umur, jenis
kelamin dan aktivitas harian (Hurrell and Egli, 2010). Total kebutuhan zat besi
10
Tabel 2. Jumlah Kebutuhan Harian Zat Besi (Institute of Medicine, 2001)†
2.1. Fe Heme
mengandung unsur besi (Fe). Besi heme banyak ditemukan pada protein
hewani, dan sangat mudah dilepaskan dari protein pembawanya sehingga lebih
mudah dicerna untuk memenuhi kebutuhan besi dalam tubuh. Heme ditemukan
dalam kelimpahan tertinggi dalam daging dan dalam bentuk hemoglobin dan
mioglobin. Heme dilepaskan dari kedua jenis protein ini karena pH rendah di
lambung dan aksi enzim proteolitik di lambung dan usus kecil (West and Oates,
†
Institute of Medicine. 2001. Dietary Reference Intakes for Vitamin A, Vitamin K, Arsenic, Boron,
Chromium, Copper, Iodine, Iron, Manganese, Molybdenum, Nickel, Silicon, Vanadium,
and Zinc. Washington, DC: National Academies Press, 800 pp
11
2008) (Gambar 4). Heme pekat yang dihasilkan dari proses hidrolisis hemoglobin
di lambung kurang diserap oleh tubuh, karena heme murni bersifat sulit larut pada
pH lambung yang rendah, tetapi ketersediaan heme tidak dipengaruhi oleh sekresi
lambung (Conrad and Umbreit, 2000). Ada beberapa bukti yang menyatakan
bahwa netralisasi isi lambung oleh getah pankreas juga menyebabkan polimerisasi
polimer heme yang tidak larut. Kelarutan heme meningkat secara signifikan
dengan adanya protein. Oleh karena itu, peptida dan asam amino yang dihasilkan
dari hidrolisis daging dapat meningkatkan penyerapan zat besi heme dan non-
heme.
protoporfirin-IX] dalam lumen oleh enterosit (Gambar 4). Hal ini dapat difasilitasi
2000). Heme yang terinternalisasi dapat dilepaskan ke darah melalui aksi eksportir
heme FLVCR1 (Gambar 4). FLVCR2 adalah pengangkut heme yang mungkin
terlibat dalam impor heme intraseluler. Heme dalam darah dapat diambil langsung
oleh berbagai sel, termasuk sel hati dan eritroid, untuk membuat hemoprotein.
Meskipun heme dari hemoglobin belum terbukti dapat digunakan kembali secara
langsung pada hewan atau manusia, heme telah terbukti diambil langsung oleh
12
sel-sel usus dan non-usus dan meningkatkan respons seluler langsung (Chernova
et al., 2007). Atau, heme bisa menjadi terdegradasi, melepaskan besi melalui aksi
heme oksigenase (HO) (Gambar 4). Besi kemudian memasuki kumpulan besi
dengan berat molekul rendah di enterosit, bersama dengan besi yang diserap
sebagai besi anorganik non heme (Conrad and Umbreit, 2000). Terdapat sebuah
59
studi yang melakukan pelacakan terhadap penyerapan Fe-hemoglobin dalam
sebuah langkah dalam membatasi tingkat penyerapan heme dalam tubuh, sebagai
lawan dari proses degradasi hemoglobin, proses serapan heme, atau transfer besi
ke jalur sirkulasi (West and Oates, 2008). Selanjutnya, unsur besi dilepaskan ke
(Krishnamurthy et al., 2007). Besi yang diserap dalam darah dikirim ke sumsum
untuk sintesis hemoglobin, dan sejumlah kecil disimpan terutama di hati. Semua
besi ini dibawa oleh protein plasma tunggal yang dikenal sebagai transferin.
tingginya konsumsi heme juga bersifat tidak baik untuk tubuh. Daging merupakan
salah satu sumber makanan terbesar heme. Studi epidemiologis dan eksperimental
menunjukkan bahwa kandungan heme yang tinggi dalam daging merah dikaitkan
Daging merah (sapi, domba dan babi) memiliki kandungan heme 10 kali lipat
13
menunjukkan bahwa peningkatan risiko beberapa jenis kanker dikaitkan dengan
diet tinggi daging merah. Sebaliknya, konsumsi sayuran hijau dalam jumlah besar
sayuran mengandung kadar besi heme yang rendah. Oleh karena itu, menjadi
suatu hal penting untuk menjaga pola makan yang baik untuk menstabilkan kadar
Gambar 4. Penyerapan heme di usus dari protein yang berasal dari makanan. pH
lambung yang rendah melepaskan protein yang mengandung heme
hemoglobin dan mioglobin dari daging makanan. Heme dilepaskan
oleh aksi protease di lambung dan usus. Asupan heme ke dalam
enterosit dapat difasilitasi oleh sistem transpor vesikular ketika heme
berikatan dengan transporter heme atau reseptor heme. Selain itu,
heme dapat langsung di impor ke enterosit oleh HCP1. Heme diangkut
ke sitoplasma dari vesikel oleh HRG-1, dan kemudian dimetabolisme
oleh HO-1 yang ada di retikulum endoplasma. Besi kemudian
dilepaskan. Atau, heme di dalam vesikel dapat dimetabolisme oleh
aksi HO-2 yang ada pada membran vesikel, dan besi yang dilepaskan
(Fe2+) diangkut ke dalam sitoplasma oleh pengangkut logam DMT1
untuk bergabung dengan kumpulan besi yang sama di sitoplasma.
Unsur besi dilepaskan ke dalam aliran darah oleh enterosit melalui
ferroportin yang ada pada membran basolateral. Sebagian kecil dari
heme utuh dapat dilepaskan langsung ke aliran darah melalui
transporter heme FLVCR1. FLVCR1 mengekspor heme sitoplasma,
dan dapat mengekspor heme ke dalam lumen selama peningkatan
konten heme seluler untuk melindungi dari toksisitas heme. HCP1,
protein pembawa heme 1; HRG-1, gen-1 responsif heme; FLVCR1,
reseptor permukaan sel, subkelompok C, reseptor seluler 1; HO-1/2,
heme oksigenase-1/2; DMT1, pengangkut logam divalen 1; FPN1,
ferroportin-1; RE, retikulum endoplasma (Hooda et al., 2014)
14
2.2. Fe Non-Heme
Mayoritas zat besi dari makanan berasal dari zat besi non-heme yang
ditemukan tidak hanya pada daging, ikan, dan unggas tetapi juga dalam sereal,
kacang-kacangan, biji-bijian, telur, dan beberapa sayuran. Hanya 2-20% besi non-
heme yang diserap oleh tubuh, dan penyerapan besi non-heme dipengaruhi oleh
bertindak dengan mengubah bentuk besi yang tidak larut dari ferric (Fe3+) menjadi
bentuk besi yang lebih larut yaitu ferro (Fe2+) atau dengan mempertahankan besi
yang dilepaskan dari makanan selama pencernaan dalam bentuk yang larut
sebelum memasuki sel usus. Vitamin C adalah penambah kuat penyerapan zat
besi non-heme. Asam organik lainnya (misalnya, asam sitrat), alkohol, dan
dihambat oleh asam fitat (ditemukan dalam roti gandum, sereal, kacang-kacangan,
dan biji-bijian), polifenol (ditemukan dalam teh, kopi, buah, sayuran, beberapa
sereal dan kacang-kacangan, dan anggur merah), dan beberapa protein (misalnya,
protein kedelai). Sejumlah makanan tersebut dapat mengikat besi non-heme untuk
membentuk kompleks tidak larut dan menghambat masuknya ke dalam sel usus.
Kalsium menghambat penyerapan zat besi heme dan non-heme. Dosis tambahan
(daripada jumlah yang ditemukan dalam makanan) elemen organik seperti seng,
mangan, dan tembaga juga bersaing dengan besi non-heme untuk transportasi ke
dalam sel usus. Efek enhancer dan inhibitor pada penyerapan zat besi paling kuat
15
bila dikonsumsi dengan makanan yang mengandung zat besi (Hurrell and Egli,
2010). Perbedaan antara besi heme dan non-heme dapat dilihat pada Tabel 3.
dan kemudian anemia defisiensi besi. Penyerapan besi oleh enterosit usus dapat
mengontrol keseimbangan besi tetapi tidak ada rute ekskresi besi yang terkontrol.
Ini berarti bahwa penyerapan zat besi diatur oleh faktor makanan dan sistemik.
Zat besi pada makanan sebagian besar adalah zat besi non-heme dengan sekitar
5% -10% dalam bentuk zat besi heme dalam makanan yang mengandung daging.
Meskipun besi heme merupakan bagian yang lebih kecil dari zat besi dalam
makanan, akan tetapi besi heme sangat tersedia secara hayati dan 20% -30% besi
16
heme diserap oleh tubuh. Sebaliknya, penyerapan zat besi non-heme jauh lebih
bervariasi dan secara signifikan dipengaruhi oleh komponen lain dari makanan;
dengan 1% -10% dari besi non-heme dapat diserap tubuh (Sharp, 2010).
Selain itu, zat besi di lingkungan dan makanan terutama tersedia dalam
bentuk besi ferric (Fe3+) yang tidak larut. Jadi, sebelum dapat diserap, besi non-
heme harus direduksi dari besi (Fe3+) menjadi besi (Fe2+) oleh agen pereduksi
membran batas sikat dekat dengan dcytB. Penyerapan ion besi oleh dcytB
dalam penyerapan zat besi non-heme. Faktor makanan seperti asam sitrat dan
asam organik lainnya, alkohol dan karoten juga mampu meningkatkan penyerapan
zat besi non-heme (Sharp, 2010). Selanjutnya, protein hewani seperti daging, ikan,
dan unggas, juga mampu meningkatkan penyerapan zat besi. Daging juga
dan oleh polifenol dalam beberapa sayuran, kopi, teh, dan anggur. Inhibitor ini
terikat pada besi non-heme sehingga tidak tersedia untuk diserap oleh tubuh.
17
Berikut adalah beberapa enhancer penyerapan zat besi dalam tubuh (Milman,
2020) :
a) Asam lambung
mendorong reduksi besi ferric dalam makanan menjadi besi ferro. Asam lambung
adalah salah satu faktor luminal terpenting yang wajib untuk penyerapan zat besi
penyerapan besi lebih dari empat kali lipat, tetapi tidak berpengaruh pada
mengurangi penyerapan zat besi secara signifikan dan pasien dengan aklorhidria
b) Asam organik
kuat, ditemukan dalam buah-buahan dan sayuran. Di antara asam organik, asam
askorbat memiliki efek peningkatan yang paling menonjol pada penyerapan zat
besi non-heme. Asam askorbat membentuk kelat larut dengan besi ferric yang
mencegah pembentukan senyawa besi yang tidak larut dan tidak dapat diserap
oleh tubuh serta asam askorbat juga memfasilitasi reduksi besi ferric menjadi besi
ferro. Sebaliknya, sebuah studi in vitro pada garis sel Caco-2 epitel manusia
18
dengan cara yang bergantung pada konsentrasi dengan perbedaan yang signifikan
antara penyerapan besi dan reduksi besi; asam askorbat juga meningkatkan
meningkatkan penyerapan besi non-heme sekitar 98% . Oleh sebab itu, Otoritas
Keamanan Pangan Eropa telah meninjau hubungan antara asam askorbat dan
penyerapan zat besi pada tahun 2010 dan 2014 dan menyimpulkan bahwa
Asam sitrat, asam malat, dan asam tartarat terdapat dalam banyak buah
penyerapan besi non-heme melalui reduksi besi ferric menjadi besi ferro.
Meskipun asam sitrat ditemukan dalam buah-buahan yang sebagian besar juga
merangsang penyerapan zat besi. Hasil studi mengenai asam malat juga
mampu meningkatkan penyerapan zat besi. Sdangkan asam tartarat dari buah
jeruk dan anggur juga memiliki efek stimulasi moderat pada penyerapan zat besi
non-heme.
Daging, ikan, dan unggas tidak hanya menyediakan zat besi heme yang
dapat diserap dengan baik oleh tubuh, tetapi juga dapat merangsang penyerapan
19
penambahan daging sapi, ayam atau ikan ke dalam makanan berbasis sereal
menghasilkan penyerapan zat besi non-heme sekitar 2-3 kali lebih besar.
makanan mampu meningkatkan penyerapan zat besi non-heme sekitar 2,5 kali
tersebut, diperkirakan bahwa 1 gram daging, ikan atau unggas memberikan efek
Zat besi dalam tubuh dapat dihambat oleh beberapa faktor terutama
lansoprazole. Kedua jenis obat tersebut secara efektif dapat mengurangi produksi
asam lambung. Dalam studi kasus. penggunaan inhibitor asam lambung selama
dua tahun atau lebih dikaitkan dengan peningkatan risiko defisiensi besi. Risiko
serum besi berturut-turut menunjukkan penurunan 50% pada area di bawah kurva
(AUC) dari makanan uji setelah 7 hari terapi penghambat pompa proton, yang
20
b) Antasida
dengan makanan, obat jenis ini dapat menghambat penyerapan zat besi dari
makanan melalui tiga cara: (i) dengan menetralkan pH asam lambung, (ii) dengan
penghambatan penyerapan zat besi yang diinduksi kalsium, dan (iii) dengan
c) Asam fitat
tersebar luas dalam makanan nabati (tumbuhan atau sayur-sayuran). Asam fitat
zat besi, yang dimana melalui cara ini dapat mengganggu penyerapan zat besi oleh
usus. Sumber utama fitat dalam makanan sehari-hari adalah sereal dan kacang-
kacangan serta minyak sayur. Makanan ini penting dalam menjaga pola makan
manusia dan mewakili sekitar 40% dari asupan kalori untuk manusia di negara
maju. Akan tetapi, walaupun asam fitat termasuk penghambat kuat dalam
penyerapan zat besi, efek penghambatan fitat pada penyerapan besi dapat dicegah
dengan asam askorbat yang memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap besi
21
d) Polifenol
dan mereka sangat tinggi dalam teh, kopi, kakao, anggur merah, dan beberapa teh
herbal. Senyawa fenolik (monomer fenolik, polifenol, misalnya asam tanat dan
khelat dengan zat besi di lumen gastrointestinal, sehingga membuat besi kurang
tersedia untuk diserap. Namun efek penghambatan polifenol pada penyerapan zat
protein nabati paling efisien per hektar area budidaya. Kacang kedelai digunakan
untuk membuat berbagai makanan vegetarian seperti susu kedelai, tahu, dan
edamame, serta miso, tempe, dan natto dari kacang kedelai yang difermentasi.
Sebagian besar tanaman kacang kedelai diproses menjadi tepung kacang kedelai
dan minyak kacang kedelai, dan produk kacang kedelai digunakan di seluruh
dunia sebagai nutrisi kaya protein. Meskipun begitu, kacang kedelai kaya akan
asam fitat, yang dapat menghambat penyerapan zat besi. Selain itu, kacang
kedelai kaya akan kalsium, kandungannya bervariasi dari 150 hingga 277
22
f) Kalsium
Nutrisi yang paling kaya kalsium adalah susu sapi dan makanan olahan
susu yang dihasilkan dari susu. Beberapa sayuran berdaun hijau seperti bayam,
brokoli, kubis, okra, dan beberapa kacang-kacangan seperti kacang kedelai juga
mengandung kalsium dalam jumlah yang cukup besar. Kalsium telah terbukti
memiliki efek negatif pada penyerapan zat besi non-heme dan heme, yang
karena penyerapan kedua bentuk besi sama-sama dihambat, tetapi baru-baru ini,
dalam enterosit. Efek penghambatan tergantung dosis ditunjukkan pada dosis 75-
300 mg ketika kalsium ditambahkan ke roti gulung dan pada dosis 165 mg
sekali pakai yang berisi reagen. Setiap mikrokuvet berukuran kira-kira 10 µl, dan
23
Metode ini diawali dengan pengambilan sampel darah yang dapat diperoleh baik
dengan pungsi vena atau tusukan jari, dialirkan ke dalam kuvet dengan aksi
HemoCue, pada panjang gelombang 565 dan 880 nm. Pengukuran terakhir
mmol/l atau g/dl dan menampilkan hasilnya sebagai pembacaan digital dalam 15-
pengisian kuvet. Unit ini ditenagai baik dengan menghubungkan ke suplai listrik
utama atau melalui paket baterai nikel-kadmium yang dapat diisi ulang (Hudson-
HemoCue adalah metode lain untuk estimasi Hb. Sebuah studi yang
menjadi 94,1% dan 95,2% dibandingkan dengan 90,1% dan 94,2% untuk metode
(95,2%) atau vena (94,2%) ditemukan lebih tinggi dibandingkan dengan metode
dan 76% untuk darah vena) oleh penelitian lain dilakukan di Indonesia (Hudson-
memberikan hasil langsung dengan akurasi laboratorium. Dengan sistem ini, para
24
2.6. Metode EasyTouch GCHB
Hb meter adalah alat pemeriksaan secara mudah dan sederhana dan juga
dapat dilakukan oleh siapapun. Salah satu Hb Meter adalah EasyTouch GCHb.
EasyTouch GCHb adalah alat cek darah dengan tiga fungsi yaitu cek kolesterol,
cek gula darah dan cek hemoglobin. EasyTouch GCHb adalah sistem pemantauan
disebabkan oleh reaksi dari hemoglobin dengan reagen pada elektrodastrip. Ketika
sampel darah menyetuh area target sampel strip, darah secara otomatis ditarik ke
zona reaksi strip. Hasil tes akan ditampilkan setelah 6 detik untuk hemoglobin.
Kenggulan dari EasyTouch GCHb adalah mudah digunakan dilapangan dan sudah
lulus uji, sehingga dapat digunakan sendiri tanpa bantuan tenaga medis. Namun,
penggunaan alat ini masih terbatas karena tidak semua orang mampu membeli dan
menggunakan alat ini, sehingga alat ini kurang umum digunakan di masyarakat.
GCHb) adalah :
25
Pada layar akan muncul angka/kode sesuai pada botol strip
kedalaman jarum
Darah akan langsung meresap sampai ujung strip dan bunyi beep
masih bersifat subjektif karena hasil diperoleh dengan mata telanjang. Hal ini
karena tidak semua hemoglobin berubah menjadi hematin asam dan kemampuan
26
Campur sampel EDTA dengan lembut dan isi pipet dengan 0,02ml darah.
Pastikan tidak ada gelembung udara yang masuk ke dalam pipet. Jika
masuk, buang dan pipet lagi. Seka permukaan luar pipet untuk
Masukkan darah ke dalam tabung berisi HCl. Cuci isi pipet hemoglobin
dengan menarik dan meniup asam beberapa kali sehingga darah tercampur
suling ke larutan setetes demi setetes. Aduk dengan batang kaca hingga
warna, batang kaca harus dikeluarkan dari larutan dan dipegang secara
95% warna asam hematin terbentuk dalam 10 menit. Warna hematin asam
27
Larutan hematin asam tidak stabil dan pembentukan warna lambat
28
DAFTAR PUSTAKA
Abbaspour, N., Hurrell, R., and Kelishadi, R. 2014. Review on iron and its
importance for human health. Journal of research in medical sciences:
the official journal of Isfahan University of Medical Sciences, 19(2), 164.
Anderson J., Fitzgerald C, 2010, Iron: An Essetial Nutrient. Colorado. Colorado
State University.
Bakta, I.M., Suega, K., Tjokorda, G.D. 2006. Anemia Defisiensi Besi. Halaman
634–640. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi IV. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Braun, V., and Killman, H. 1999. Bacterial solutions to the iron-supply problem.
Trends Biochem Sci, 24:104–109
Cairo, G., and Recalcati, S. 2007. Iron-regulatory proteins: molecular biology and
pathophysiological implications. Expert reviews in molecular medicine,
9(33), 1-13.
Céline, C. 2013. Iron supplementation in nutritional programs: pathophysiological
basis and correlations with health in developing countries. BioSciences
Master Reviews. 1-9.
Chernova, T., Steinert, J. R., Guerin, C. J., Nicotera, P., Forsythe, I. D., and
Smith, A. G. 2007. Neurite degeneration induced by heme deficiency
mediated via inhibition of NMDA receptor-dependent extracellular
signal-regulated kinase 1/2 activation. Journal of Neuroscience, 27(32),
8475-8485.
Conrad, M. E., ans Umbreit, J. N. 2000. Iron absorption and transport—an
update. American journal of hematology, 64(4), 287-298.
De Domenico, I., Ward, D. M., Di Patti, M. C. B., Jeong, S. Y., David, S., Musci,
G., and Kaplan, J. 2007. Ferroxidase activity is required for the stability
of cell surface ferroportin in cells expressing GPI‐ceruloplasmin. The
EMBO journal, 26(12), 2823-2831.
Delaby, C., Rondeau, C., Pouzet, C., Willemetz, A., Pilard, N., Desjardins, M.,
and Canonne-Hergaux, F. 2012. Subcellular localization of iron and
heme metabolism related proteins at early stages of erythrophagocytosis.
Fairbanks, V. F. 1994. Iron in medicine and nutrition. Modern nutrition in health
and disease.
FAO/WHO. Codex Alimentarius Commission. 2001. Food Additives and
Contaminants. Joint FAO/WHO Food Standards programme, ALINORM
01/12A:1-289
29
Ganz, T. 2013. Systemic iron homeostasis. Physiological reviews, 93(4), 1721-
1741.
Gibson, R.S. 2005. Dietary strategies to enhance micronutrient adequacy:
experiences in developing countries. Micronutrients in South and South
East Asia, 3-7.
Hooda, J., Shah, A., and Zhang, L. 2014. Heme, an essential nutrient from dietary
proteins, critically impacts diverse physiological and pathological
processes. Nutrients, 6(3), 1080-1102.
Hudson-Thomas, M., Bingham, K. C., and Simmons, W. K. 1994. An evaluation
of the HemoCue for measuring haemoglobin in field studies in
Jamaica. Bulletin of the World Health Organization, 72(3), 423.
Hunt, J.R. 2001. How important is dietary iron bioavailability?
Hunt, J.R., Zito, C.A., and Johnson, L.K. 2009. Body iron excretion by healthy
men and women. The American journal of clinical nutrition, 89(6), 1792-
1798.
Hurrell, R., and Egli, I. 2010. Iron bioavailability and dietary reference
values. The American journal of clinical nutrition, 91(5), 1461S-1467S.
Institute of Medicine. 2001. Dietary Reference Intakes for Vitamin A, Vitamin K,
Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron, Manganese,
Molybdenum, Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc. Washington, DC:
National Academies Press, 800 pp
Kosman, D.J. 2010. Multicopper oxidases: a workshop on copper coordination
chemistry, electron transfer, and metallophysiology. JBIC Journal of
Biological Inorganic Chemistry, 15(1), 15-28.
Krishnamurthy, P., Xie, T., and Schuetz, J. D. 2007. The role of transporters in
cellular heme and porphyrin homeostasis. Pharmacology &
therapeutics, 114(3), 345-358.
Kusumawati, E., Lusiana, N., Mustika, I., Hidayati, S., and Andyarini, E. N. 2018.
Perbedaan Hasil Pemeriksaan Kadar Hemoglobin (Hb) Remaja
Menggunakan Metode Sahli dan Digital (Easy Touch GCHb) The
Differences in the Result of Examination of Adolescent Hemoglobin
Levels Using Sahli And Digital Methods. Journal of Health Science and
Prevention, Vol.2(2)
Milman, N.T. 2020. A review of nutrients and compounds, which promote or
inhibit intestinal iron absorption: making a platform for dietary measures
that can reduce iron uptake in patients with genetic
haemochromatosis. Journal of Nutrition and Metabolism
Nemeth, E., and Ganz, T. 2006. Regulation of iron metabolism by hepcidin. Annu.
Rev. Nutr., 26, 323-342.
30
Nemeth, E., Tuttle, M. S., Powelson, J., Vaughn, M. B., Donovan, A., Ward, D.
M., and Kaplan, J. 2004. Hepcidin regulates cellular iron efflux by
binding to ferroportin and inducing its
internalization. science, 306(5704), 2090-2093.
Restuti, A. N. 2015. Hubungan Asupan Energi, Protein, Fe, Zinc, Vitamin C dan
Kadar IL-6 pada Ibu Hamil 10–24 Minggu dengan Anemia Defisiensi
Besi (Doctoral dissertation, UNS (Sebelas Maret University).
Rumah Sakit YPK Mandiri. 2011. Pentingnya Suplementasi Zat Besi pada Anak
untuk Tumbuh Kembang yang Optimal.
https://rsypkmandiri.co.id/2021/05/04/pentingnya-suplementasi-zat-besi-
pada-anak-untuk-tumbuh-kembang-yang-optimal/. Disitasi pada tanggal
16 Okotober 2021.
31