Anda di halaman 1dari 7

BAB III

Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering ditemukan terutama di
negara berkembang. Penyebabnya antara lain:
o Faktor nutrisi: rendahnya asupan besi total dalam makanan atau bioavailabilitas besi
yang dikonsumsi kurang baik (makanan banyak serat, rendah daging, dan rendah
vitamin C).
o Kebutuhan yang meningkat, seperti pada bayi prematur, anak dalam pertumbuhan, ibu
hamil dan menyusui.
o Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, colitis kronik, atau achlorhydria.
o Kehilangan besi akibat perdarahan kronis, misalnya: perdarahan tukak peptik,
keganasan lambung/kolon, hemoroid, infeksi cacing tambang, menometrorraghia,
hematuria, atau hemaptoe.

A. Metabolisme Besi
Total besi dalam tubuh manusia dewasa sehat berkisar antara 2 gram (pada wanita)
hingga 6 gram (pada pria) yang tersebar pada 3 kompartemen, yakni 1). Besi fungsional,
seperti hemoglobin, mioglobin, enzim sitokrom, dan katalase, merupakan 80 % dari total besi
yang terkandung jaringan tubuh. 2). Besi cadangan, merupakan 15-20% dari total besi dalam
tubuh, seperti feritin dan hemosiderin. 3). Besi transport, yakni besi yang berikatan pada
transferin.

Sumber besi dalam makanan terbagi ke dalam 2 bentuk:


1. Besi heme, terdapat dalam daging dan ikan. Tingkat absorpsinya tinggi (25% dari
kandungan besinya dapat diserap) karena tidak terpengaruh oleh faktor penghambat.
2. Besi non-heme, berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tingkat absorpsi rendah (hanya 1-2% dari
kandungan besinya yang dapat diserap). Mekanisme absorpsinya sangat rumit dan belum
sepenuhnya dimengerti. Absorpsi sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pemacu absorpsi
(meat factors, vitamin C) dan faktor penghambat (serat, phytat, tanat).

Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase:


o Fase Luminal: besi dalam makanan diolah oleh lambung (asam lambung
menyebabkan heme terlepas dari apoproteinnya) hingga siap untuk diserap.
o Fase Mukosal: proses penyerapan besi di mukosa usus. Bagian usus yang berperan
penting pada absorpsi besi ialah duodenum dan jejunum proksimal. Namun sebagian
kecil juga terjadi di gaster, ileum dan kolon. Penyerapan besi dilakukan oleh sel
absorptive yang terdapat pada puncak vili usus. Besi heme yang telah dicerna oleh
asam lambung langsung diserap oleh sel absorptive, sedangkan untuk besi nonheme
mekanisme yang terjadi sangat kompleks. Setidaknya terdapat 3 protein yang terlibat
dalam transport besi non heme dari lumen usus ke sitoplasma sel absorptif. Luminal
mucin berperan untuk mengikat besi nonheme agar tetap larut dan dapat diserap
meskipun dalam suasana alkalis duodenum. Agar dapat memasuki sel, pada brush
border sel terjadi perubahan besi feri menjadi fero oleh enzim feri reduktase yang
diperantarai oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui
membrane difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT-1 atau Nramp-2).
Sesampainya di sitoplasma sel usus, protein sitosol (mobilferrin) menangkap besi feri.
Sebagian besar besi akan disimpan dalam bentuk feritin dalam mukosa sel usus,
sebagian kecil diloloskan ke dalam kapiler usus melalui basolateral transporter
(ferroportin atau IREG 1). Besi yang diloloskan akan mengalami reduksi dari molekul
fero menjadi feri oleh enzim ferooksidase, kemudian berikatan dengan apotransferin
dalam kapiler usus.

Gambar 4: proses absorbsi besi


o Fase corporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel
yang membutuhkan, dan penyimpanan besi di dalam tubuh.
Dalam sirkulasi, besi tidak pernah berada dalam bentuk logam bebas, melainkan
berikatan dengan suatu glikoprotein (β-globulin) pengikat besi yang diproduksi oleh hepar
(transferin). Besi bebas memiliki sifat seperti radikal bebas dan dapat merusak jaringan.
Transferin berperan mengangkut besi kepada sel yang membutuhkan terutama sel progenitor
eritrosit (normoblas) pada sumsum tulang. Permukaan normoblas memiliki reseptor transferin
yang afinitasnya sangat tinggi terhadap besi pada transferin. Kemudian besi akan masuk ke
dalam sel melalui proses endositosis menuju mitokondria. Disini besi digunakan sebagai
bahan baku pembentukan hemoglobin.
Kelebihan besi di dalam darah disimpan dalam bentuk feritin (kompleks besi-
apoferitin) dan hemosiderin pada semua sel tubuh terutama hepar, lien, sumsum tulang, dan
otot skelet. Pada hepar feritin terutama berasal dari transferin dan tersimpan pada sel
parenkimnya, sedangkan pada organ yang lain, feritin terutama terdapat pada sel fagosit
mononuklear (makrofag monosit) dan berasal dari pembongkaran eritrosit. Bila jumlah total
besi melebihi kemampuan apoferitin untuk menampungnya maka besi disimpan dalam
bentuk yang tidak larut (hemosiderin). Bila jumlah besi plasma sangat rendah, besi sangat
mudah dilepaskan dari feritin, tidak demikian pada hemosiderin. Feritin dalam jumlah yang
sangat kecil terdapat dalam plasma, bila kadar ini dapat terdeteksi menunjukkan cukupnya
cadangan besi dalam tubuh.

Gambar 5: distribusi besi dalam tubuh

B. Sintesis Hemoglobin
Sintesis hemoglobin dimulai sejak stadium pronormoblas, namun hanya sedikit sekali
rantai hemoglobin yang terbentuk. Begitu pula pada stadium normoblas basofil. Baru pada
stadium normoblas polikromatofil sitoplasma sel mulai dipenuhi dengan hemoglobin (±
34%). Sintesa ini terus berlangsung hingga retikulosit dilepaskan ke peredaran darah.

Pada tahap pertama pembentukan hemoglobin, 2 suksinil Ko-A yang berasal dari
siklus krebs berikatan dengan 2 molekul glisin membentuk molekul pirol. Empat pirol
bergabung membentuk protoporfin IX, yang selanjutnya akan bergabung dengan besi
membentuk senyawa heme. Akhirnya setiap senyawa heme akan bergabung dengan rantai
polipeptida panjang (globin) sehingga terbentuk rantai hemoglobin. Rantai hemoglobin
memiliki beberapa sub unit tergantung susunan asam amino pada polipeptidanya. Bentuk
hemoglobin yang paling banyak terdapat pada orang dewasa adalah hemoglobin A
(kombinasi 2 rantai α dan 2 rantai β). Tiap sub unit mempunyai molekul heme, oleh karena
itu dalam 1 rantai hemoglobin memerlukan 4 atom besi. Setiap atom besi akan berikatan
dengan 1 molekul oksigen (2 atom O2).

Gambar 6: pembentukan hemoglobin


C. Klasifikasi Derajat Defisiensi Besi dan Patogenesis

Berdasarkan beratnya kekurangan besi dalam tubuh, defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3
tingkatan:
1. Deplesi besi (iron depleted state)
Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk eritropoiesis belum
terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum feritin, peningkatan absorpsi besi dari
usus, dan pengecatan besi pada apus sumsum tulang berkurang.
2. Iron deficient Erythropoiesis
Cadangan besi dalam tubuh kosong, tetapi belum menyebabkan anemia secara laboratorik
karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi, sumsum tulang melakukan mekanisme
mengurangi sitoplasmanya sehingga normoblas yang terbentuk menjadi tercabik-cabik,
bahkan ditemukan normoblas yang tidak memiliki sitoplasma (naked nuclei). Selain itu
kelainan pertama yang dapat dijumpai adalah penigkatan kadar free protoporfirin dalam
eritrosit, saturasi transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat.
Parameter lain yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.
Gambar 7: Gambaran apus sumsum tulang penderita anemia defisiensi besi
3. Anemia defisiensi besi
Bila besi terus berkurang eritropoiesis akan semakin terganggu, sehingga kadar
hemoglobin menurun diikuti penurunan jumlah eritrosit. Akibatnya terjadi anemia
hipokrom mikrositer. Pada saat ini terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku, dan
beberapa enzim sehingga menimbulkan berbagai gejala.
Beberapa dampak negatif defisiensi besi, disamping terjadi anemia, antara lain:
1. Sistem neuromuskuler
Terjadi penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom, dan gliserofosfat oksidase yang
menyebabkan gangguan glikolisis sehingga terjadi penumpukan asam laktat yang
mempercepat kelelahan otot.
2. Gangguan perkembangan kognitif dan non kognitif pada anak
Terjadi karena gangguan enzim aldehid oksidase dan monoamin oksidase, sehingga
mengakibatkan penumpukan serotonin dan katekolamin dalam otak.
3. Defisiensi besi menyebabkan aktivitas enzim mieloperoksidase netrofil berkurang
sehingga menurunkan imunitas seluler. Terutama bila mengenai ibu hamil, akan
meningkatkan risiko prematuritas dan gangguan partus.

D. Gejala Anemia defisiensi besi


Digolongkan menjadi 3 golongan besar:
1. Gejala Umum anemia (anemic syndrome)
Dijumpai bila kadar hemoglobin turun dibawah 7 gr/dl. Berupa badan lemah, lesu,
cepat lelah, dan mata berkunang-berkunang. Pada anemia defisiensi besi penurunan
Hb terjadi secara bertahap sehingga sindrom ini tidak terlalu mencolok.
2. Gejala khas defisiensi besi, antaralain:
 Koilonychia (kuku seperti sendok, rapuh, bergaris-garis vertikal)
 Atrofi papil lidah
 Cheilosis (stomatitis angularis)
 Disfagia, terjadi akibat kerusakan epitel hipofaring sehingga terjadi
pembentukan web
 Atrofi mukosa gaster, sehingga menyebabkan aklorhidria
Kumpulan gejala anemia hipokrom-mikrositer, disfagia, dan atrofi papil lidah, disebut
Sindroma Plummer Vinson atau Paterson Kelly.
3. Gejala akibat penyakit dasar
Misalnya gangguan BAB pada anemia karena Ca-colon

E. Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium yang dapat dijumpai adalah:
1. Kadar hemoglobin dan indek eritrosit:
 Anemia hipokrom mikrositer (penurunan MCV dan MCH)
 MCHC menurun pada anemia defisiensi besi yang lebih berat dan berlangsung
lama
 Bila pada SADT terdapat anisositosis, merupakan tanda awal terjadinya
defisiensi besi
 Pada anemia hipokrom mikrositer yang ekstrim terdapat poikilositosis (sel
cincin, sel pensil, sel target)
2. Konsentrasi besi serum menurun dan TIBC meningkat
TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi

transferin dihitung dari:

Konsentrasi besi serum memiliki siklus diurnal, yakni mencapai kadar puncak pada
pukul 8-10 pagi.
3. Penurunan kadar feritin serum
Feritin serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis anemia defisiensi
besi yang paling kuat, cukup reliabel dan praktis. Angka serum feritin yang normal
belum dapat menyingkirkan diagnosa defisiensi besi, namun feritin serum >100 mg/dl
sudah dapat memastikan tidak ada defisiensi.
4. Peningkatan protoporfirin eritrosit
Angka normalnya <30 mg/dl. Peningkatan protoporfirin bebas >100 mg/dl
menunjukkan adanya defisiensi besi.
5. Peningkatan reseptor transferin dalam serum (normal 4-9 µg/dl), dipakai untuk
membedakan anemia defisiensi besi dengan anemia pada penyakit kronis.
6. Gambaran apus sumsum tulang menunjukkan jumlah normoblas basofil yang
meningkat, disertai penurunan stadium berikutnya. Terdapat pula mikronormoblas
(sitoplasma sedikit dan bentuk tidak teratur. Pengecatan sumsum tulang dengan
Prussian blue merupakan gold standar diagnosis defisiensi besi yang akan memberikan
hasil sideroblas negatif (normoblas yang mengandung granula feritin pada
sitoplasmanya, normal 40-60%).
7. Pemeriksaan mencari penyebab defisiensi, misalnya pemeriksaan feses, barium enema,
colon in loop, dll.

F. Diagnosis
Tiga tahap mendiagnosa suatu anemia defisiensi besi: 1). Menentukan adanya anemia 2).
Memastikan adanya defisiensi besi 3). Menentukan penyebab defisiensi. Secara laboratoris
dipakai kriteria modifikasi Kerlin untuk menegakkan diagnosa:
→ anemia hipokrom mikrositer pada SADT ATAU MCV <80 fl dan MCH < 31% dengan
satu atau lebih kriteria berikut:
1. Terdapat 2 dari parameter di bawah ini:
 Besi serum <50 mg/dl
 TIBC >350 mg/dl
 Saturasi ttransferin <15%
2. Feritin serum <20 mg/dl
3. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prussia menunjukkan sideroblas negatif
4. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200mg/hari selama 4 minggu terdapat kenaikan
Hb >2 gr/dl

G. Terapi
1. Terapi kausal, untuk mencari penyebab kekurangan besi yang diderita. Bila tidak dapat
menyebabkan kekambuhan.
2. Pemberian preparat besi:
 Oral: merupakan pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman, terutama
sulfas ferosus. Dosis anjuran 3x200mg/hari yang dapat meningkatkan
eritropoiesis hingga 2-3 kali dari normal. Pemberian dilakukan sebaiknya saat
lambung kosong (lebih sering menimbulkan efek samping) paling sedikit
selama 3-12 bulan. Bila terdapat efek samping gastrointestinal (mual, muntah,
konstipasi) pemberian dilakukan setelah makan atau osis dikurangi menjadi
3x100mg. Untuk meningkatkan penyerapan dapat diberikan bersama vitamin C
3x100 mg/hari.
 Parenteral,misal preparat ferric gluconate atau iron sucrose (IV pelan atau IM).
Pemberian secara IM menimbulkan nyeri dan warna hitam pada lokasi
suntikan. Indikasi pemberian parenteral:
a. Intoleransi terhadap preparat oral
b. Kepatuhan berobat rendah
c. Gangguan pencernaan, seperti kolitis ulseratif (dapat kambuh dengan
pemberian besi)
d. Penyerapan besi terganggu, seperti gastrektomi
e. Kehilangan darah banyak
f. Kebutuhan besi besar yang harus dipenuhi dalam jangka waktu yang
pendek, misalnya ibu hamil trimester 3 atau pre operasi.
Dosis yang diberikan dihitung menurut formula:
Kebutuhan besi (mg) = {(15 – Hbsekarang ) x BB x 2,4} + (500 atau 1000)
3. Diet, terutama yang tinggi protein hewani dan kaya vitamin C.
4. Transfusi diberikan bila terdapat indikasi yaitu:
 Terdapat penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung
 Gejala sangat berat, misalnya pusing sangat menyolok
 Pasien memerlukan peningkatan kadar Hb yang cepat, misalnya kehamilan
trimester akhir atau pre operasi

Dalam pengobatan, pasien dinyatakan memberikan respon baik apabila retikulosit


naik pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke 10, dan kembali normal pada hari
ke 14 pengobatan. Diikuti dengan kenaikan Hb 0,15 gr/dl/hari atau 2 gr/dl setelah 3-4 minggu
pengobatan

Anda mungkin juga menyukai