Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia adalah suatu keadaan adanya penurunan kadar hemoglobin,


hematokrit dan jumlah eritrosit dibawah nilai normal. Anemia defisiensi besi
adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga
kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak cukup, yang ditandai dengan
gambaran sel darah merah hipokrom-mikrositer, kadar besi serum (Serum iron =
SI) danjenuh transferin menurun, Kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding
Capacity = TIBC) meninggi dan cadangan besi dalam sumsum tulang serta
ditempat yang lain sangat kurang atau tidak ada sama sekali. 1,2
Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya anemia defisiensi
besi, antara lain, kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan, adanya
gangguan absorbsi diusus, perdarahan akut maupun kronis, dan meningkatnya
kebutuhan zat besi seperti pada wanita hamil, masa pertumbuhan, dan masa
penyembuhan dari penyakit.1,2
Anemia defisiensi besi pada wanita hamil dan bayi merupakan problema
kesehatan diseluruh dunia terutama dinegara berkembang. Badan kesehatan dunia
(World Health Organization=WHO) melaporkan bahwa prevalensi ibu-ibu hamil
yang mengalami defisiensi besi sekitar 35 -75 % serta semakin meningkat seiring
dengan pertambahan usia kehamilan. Kekurangan gizi dan perhatian yang kurang
terhadap ibu hamil merupakan predisposisi anemia defisiensi besi pada ibu hamil
di Indonesia. Anemia pada ibu hamil sedikit banyak akan mempengaruhi anemia
pada janin.1,2

BAB II

1
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
I. SEJARAH
Pada abad kedua sebelum masehi, Galenus mengemukakan bahwa besi
merupakan anugerah dari Mars dan pada waktu itu dipakai sebagai obat kuat,
sehingga para tabib masa purba banyak menggunakan zat besi sebagai obat
terutama pada penderita anemia yang ditandai dengan badan lemas. Pada
pertengahan abad ke XVI kekurangan besi digambarkan sebagai penyakit yang
dikenal dengan nama Klorosis. Orang yang pertama sekali memakai istilah
Klorosis adalah Verandeus untuk mengantikan nama " de morbo vergineo " yang
dikemukakan oleh Lange pada tahun 1554 untuk suatu penyakit dengan gejala-
gejala muka pucat kehijauan, palpitasi, edem, sakit disendi, dan gangguan
gastrointestinal berupa obstipasi, serta nyeri tekan pada epigastrium. 3
Klorosis merupakan suatu anemia kekurangan zat besi yang dijumpai
pada gadis-gadis berumur 14-17 tahun dan ibu-ibu muda. Gambaran klinis dari
penyakit tersebut ialah muka pucat berwarna kuning kehijauan sebagai akibat dari
kadar zat besi dalam darah yang tidak adekuat, disamping adanya kebutuhan zat
besi yang meningkat untuk pertumbuhan dan karena haid. 3
Pada tahun 1830 Hoefer, Popp, Foedrich berturut-turut membuktikan
bahwa anemia hipokromik disebabkan oleh kekurangan besi.4
Anemia merupakan manifestasi lebih lanjut dari adanya defisiensi besi,
tetapi gejala anemia ini sebenarnya dapat dimisalkan seperti puncak gunung es
dalam laut, dimana sesungguhnya masalah-masalah yang berkaitan dengan adanya
kekurangan zat besi jauh lebih besar.4
Zat besi sangat diperlukan oleh tubuh antara lain untuk pertumbuhan,
bekerjanya berbagai macam enzim dalam tubuh, menanggulangi adanya infeksi-
infeksi, membantu kemampuan usus untuk menetralisir zat-zat toksit dan yang
paling penting ialah diperlukan untuk pembentukan hemoglobin. Selain itu
kekurangan zat besi dapat menyebabkan gangguan susunan syaraf pusat dan dapat
mengurangi prestasi kerja. Dengan demikian walaupun terkadang belum jelas
didapatkan tanda-tanda anemia, kekurangan zat besi sudah bisa menyebabkan
akibat-akibat yang buruk pada tubuh, maka seyogianya perlu mendeteksi

2
kekurangan zat besi sedini mungkin. Pengetahuan tentang metabolisme besi
dalam tubuh merupakan salah satu kunci penanggulangan masalah kekurangan zat
besi. 3,4

II. BEBERAPA ASPEK METABOLISME BESI


Besi merupakan unsur vital untuk pembentukan hemoglobin, juga
merupakan komponen penting pada sistem enzim pernafasan seperti sitokrom-
oksidase, katalase dan peroksidase. Fungsi utama zat besi adalah untuk
mengantarkan oksigen kedalam jaringan-jaringan tubuh (Fungsi hemoglobin) dan
berperan pada mekanisme oksidase seluler (Fungsi sistem sitokrom).4

II.1.Bentuk zat besi dalam tubuh.1,5,6


Terdapat empat bentuk zat besi dalam tubuh yaitu:
a. Zat besi dalam hemoglobin.
b. Zat besi dalam depot (cadangan) terutama sebagai feritin dan
hemosiderin.
c. Zat besi yang ditranspor dalam transferin.
d. Zat besi parenkhim atau zat besi dalam jaringan seperti mioglobin
dan beberapa enzim antara lain sitokrom, katalase, dan peroksidase.
Kompartemen zat besi dalam tubuh.

Dari tabel ini kelihatan bahwa sebagian besar zat besi terikat dalam
hemoglobin yang berfungsi khusus, yaitu mengangkut oksigen untuk keperluan

3
metabolisme dalam jaringan-jaringan. Sebagian lain dari zat besi terikat dalam
sistem retikuloendotelial (Reticulo Endothelial System = RES) hepar dan sumsum
tulang sebagai depot besi untuk cadangan. Sebagian kecil dari zat besi dijumpai
dalam transporting iron binding protein (transferin ), sedangkan sebagian kecil
sekali didapati dalam enzim-enzim yang berfungsi sebagai katalisator pada proses
metabolisme dalam tubuh. Fungsi-fungsi tersebut diatas akan terganggu pada
penderita anemia defisiensi besi.
Proses metabolisme zat besi digunakan untuk biosintesa hemoglobin,
dimana zat besi digunakan secara terus-menerus. Sebagian besar zat besi yang
bebas dalam tubuh akan dimanfaatkan kembali (reutilization), dan hanya sebagian
kecil sekali yang diekresikan melalui air kemih, feses dan keringat.
Hemoglobin.
Hemoglobin dalam eritrosit (SDM) berfungsi sebagai pengangkut
oksigen, yang merupakan konyugasi dari 2 pasang rantai globin dengan berat
melekul 64500. Sekitar 96 % dari molekul hemoglobin ini adalah globulin dan
sisanya berupa heme, yang merupakan suatu kompleks persenyawaan
protoporfirin yang mengandung Fe ditengahnya. Protoporfirin adalah suatu
tetrapirol dimana ke 4 cincin pirol ini diikat oleh 4 gugusan metan hingga
terbentuk suatu rantai protoporfirin.

II.2 Absorbsi zat besi. 2,5


Zat besi diabsorbsi dalarn bentuk ion Fe++ terutama diduodenum dan
jejenum, absorbsi akan lebih baik dalam suasana asam.
Ada 3 faktor penting yang mempengaruhi absorbsi zat besi :
a. Faktor endogen.
- Bila jumlah zat besi yang disimpan dalam depot berkurang, maka
absorbsi zat besi akan bertambah dan demikian pula sebaliknya.
- Bila aktivitas eritropoisis naik, maka absorbsi zat besi akan
bertambah dan demikian pula sebaliknya.
- Bila kadar Hemoglobin berkurang, maka absorbsi zat besi akan
bertambah dan demikian pula sebaliknya.

4
b. Faktor eksogen.
- Komposisi zat besi dalam bentuk Fe++ atau Fe+++ yang didapati
dalam sumber makanan.
- Sifat kimiawi makanan yang dapat menghambat atau
mempermudah absorbsi zat besi.
Vitamin C mempermudah absorbsi zat besi karena dapat mereduksi dari
bentuk feri ke bentuk fero, Vitamin E menaikkan absorbsi zat besi karena dapat
merangsang eritropoisis, sedangkan Ca, Fosfor dan asam fitat menghambat
absorbsi zat besi, karena zat zat tersebut dengan zat besi membentuk satu
persenyawaan yang tidak dapat larut dalam air.
c. Faktor usus sendiri .
- Sekresi pankreas menghambat absorbsi zat besi.
- Asam lambung mempermudah absorbsi zat besi karena dapat
merobah bentuk Fe+++ menjadi bentuk Fe++, disamping itu asam
lambung mencegah terjadinya persenyawaan zat besi dengan fosfat
yang dapat larut dalam air, maka pada penderita Akhlorhidria dan
post gastrektomi selalu dijumpai adanya defisiensi besi.
- Gastroferin, yaitu suatu protein yang berasal dari sekresi lambung
dapat mengikat besi. Pada anemia defisiensi besi dan
hemokhromatosis kadar gastroferinnya berkurang.
- Sel mukosa usus mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi zat
besi dengan teori yang dikenal sebagai " mucosal barrier ", dimana
sel mukosa usus dapat mempertahankan kadar ion ferro dalam sel
dengan cara menjaga keseimbangan antara oksidasi-reduksi.
Absorbsi zat besi dalam mukosa usus dilakukan oleh suatu protein
yang terdapat didalam dinding usus yang disebut apoferitin. Zat
besi setelah terikat oleh apoferitin akan menjadi feritin, jika sel
mukosa usus telah jenuh feritin maka zat besi tidak dapat diserap
lagi oleh mukosa usus, sebaliknya pada keadaan anemia defisiensi
besi dimana sel mukosa usus belum jenuh dengan feritin maka
akan terjadi peningkatan absorbsi zat besi.

5
II.3. Transpor zat besi.2,4
Lebih kurang 4 gram zat besi ada dalam tubuh, hanya 2,5 -3 mg yang
berada dalam transferin menuju ketempat penyimpanan Fe (depot iron), atau
ketempat sintesis hemoglobin (Fe hemoglobin) dan untuk sebagian kecil sekali Fe
dipakai dalam proses enzimatous dimana diperlukan ion serum.
Ada 2 jalan yang ditempuh untuk mengangkut zat besi:
1. Dengan transferin yang terdapat dalam plasma.
Transferin merupakan zat putih telur betaglobulin dengan berat molekul
80.000 -90.000. Transferin yang jenuh dengan zat besi melekat pada dinding
retikulosit. Setelah transferin melekat pada membran retikulosit tersebut, zat besi
akan ditinggalkan pada permukaan, sedangkan transferin akan bebas kembali.
Proses pelepasan Fe ini berlangsung dengan bantuan ATP dan asam askorbik
sebagai katalisator. Selanjutnya zat besi yang ada pada membran tersebut akan
menuju ke mitrokondria dan seterusnya bereaksi dengan protoforfirin untuk
membentuk heme. Bila kejenuhan besi dalam transferin kurang dari 20 % maka
Fe akan sukar dilepaskan. Fisiologis kejenuhan Fe antara 30 -35 %. Bilamana
kejenuhan zat besi melebihi dari 35 % maka Fe akan dilepaskan dalam tempat-
tempat penyimpanan besi (hati, limpa, dan sumsum tulang) serta dijaringan-
jaringan tubuh yang lainnya.
2. Dengan proses pinositosis oleh sel RES.
Menurut Bessis dijumpai suatu " nurse cell " yaitu sel raksasa RES yang
berfungsi sebagai perawat eritroblas. Eritroblas eritroblas ini ditangkap oleh
"nurse cell" tersebut yang dalam protoplasmanya sudah dijenuhkan dengan
feritin, selanjutnya terjadi proses pinositosis.
Dowdle mengemukakan bahwa besi masuk kedalam mukosa usus dalam
bentuk ion atau terikat bukan dengan protein yang mempunyai berat molekul kecil
dan diabsorbsi oleh usus. Proses absorbsi ini tidak memerlukan energi.
Selanjutnya didalam sel mukosa usus persenyawaan besi itu akan berdifusi
melalui membran sel pembuluh darah, masuk kedalam plasma. Untuk proses ini
dibutuhkan energi yang diperoleh dari , oksidasi. Zat besi yang tidak cepat

6
melintas kedalam plasma akan tertimbun di sel mukosa usus dan bersenyawa
dengan apoferitin menjadi feritin. Zat besi diangkut dalam plasma secara terikat
dengan protein yang disebut transferin atau siderofilin, protein tersebut dibentuk
dihati dan dalam plasma kadarnya kurang lebih 2.5 gr/L, yang mengandung 2,5 -3
mg Fe. Kemampuan daya ikat besi (Total Iron Binding Capacity = TIBC)
meningkat pada anemia defisiensi besi, kehamilan dan hipoksia. TIBC akan
menurun bila ada infeksi dan pada keadaan kekurangan protein yang berat.
Untuk memobilisasi zat besi bentuk feritin yang ada ditempat
penyimpanannya seperti di hati, persenyawaan ferri (Fe+++) direduksi menjadi
persenyawaan ferro (Fe++). Persenyawaan ferro dalam sel tempat cadangan besi ini
dapat melintasi dinding pembuluh kapiler masuk kedalam plasma.

II.4. Ekskresi zat besi.6


Berbeda dengan keadaannya pada mineral-mineral lainnya maka tubuh
manusia tidak sanggup untuk mengatur keseimbangan zat besi melalui ekskresi.
Jumlah zat besi yang dikeluarkan tubuh setiap hari hanya sangat kecil saja
berkisar antara 0,5 -1 mg / hari. Ekskresi ini relatif konstan dan tidak dipengaruhi
oleh jumlah besi didalam tubuh atau absorbsinya. Besi keluar melalui rambut,
kuku, keringat, empedu, air kemih, dan yang paling besar melalui deskuamasi sel
epitel saluran pencernaan.

II.5. Kebutuhan zat besi.1,2


Kebutuhan zat besi dalam makanan setiap harinya sangat berbeda, hal ini
tergantung pada umur, sex, berat badan dan keadaan individu masing-masing.
Kebutuhan zat besi yang terbesar ialah dalam 2 tahun kehidupan pertama.
selanjutnya selama periode pertumbuhan cepat dan kenaikan berat badan pada
usia remaja dan sepanjang masa produksi wanita.
Laki-laki normal dewasa memerlukan zat besi 1 -2 mg / hari, Pada masa
pertumbuhan diperlukan tambahan sekitar 0,5 -1 mg / hari, sedangkan wanita
pada masa mensturasi memerlukan tambahan zat besi antara 0,5 -1 mg / hari.

7
Pada wanita hamil kebutuhan zat besi sekitar 3 -5 mg / hari dan
tergantung pada tuanya kehamilan. Pada seorang laki laki normal dewasa
kebutuhan besi telah cukup bila dala makanannya terdapat 10-20 mg zat besi
setiap harinya.

II.6. Cadangan zat besi.4


Sekitar 25 % dari jumlah total zat besi dalam tubuh berada dalam bentuk
cadangan zat besi (depot iron), berupa feritin dan hemosiderin yang merupakan
zat putih telur yang dapat mengikat besi. Feritin dan hemosiderin tersebut
sebagian besar terdapat dalam limpa, hati, dan sumsum tulang. Dalam keadaan
normal cadangan zat besi terdiri dari 65 % feritin dan 35 % hemosiderin.

a. Feritin.
Dapat larut dalam air dan merupakan suatu persenyawaan zat besi dan
protein dengan berat molekul 900.000 yang terdiri dari apoferitin dan suatu koloid
ferriphosphat hidroksida. Zat besi yang dikandungnya bervariasi jumlahnya, pada
umumnya 20-30 % dari berat molekulnya, atau 5000 atom Fe permolekul. Dengan
pemeriksaan elektroforesis maka dapat diketahui bahwa feritin yang berasal dari
limpa, hati, dan retikulosit ternyata mempunyai mobilitas yang berbeda-beda.
Perbedaan ini tidak berdasarkan atas banyaknya zat besi yang
dikandungnya, akan tetapi didasari atas muatan listrik pada permukaannya, yang
dapat mengadakan reaksi dengan anti feritin antibodi.
Dalam sumsum tulang dijumpai 2 jenis feritin :
1. Feritin anabolik
Feritin sumsum tulang dengan mobilitas yang sama seperti feritin
yang terdapat dalam gel retikulosit (SDM yang sedang tubuh).
2. Feritin katabolik
Feritin sumsum tulang dengan mobilitas yang sama seperti feritin
didalam limpa dan jaringan RES lainnya.

b. Hemosiderin.

8
Mempunyai sifat tidak larut dalam air, merupakan persenyawaan zat besi
dengan protein yang berpartikel besar, dan merupakan kompleks koloidal
Fe(OH)2 dengan fosfat, sebagai suatu derivat dari feritin.
Ada 3 cora mengevaluasi kadar zat besi cadangan (depot iron):
a. Dengan flebotomi.
Cara ini ketepatannya untuk me nghitung kadar feritin baik sekali,
akan tetapi sulit dilaksanakan secara praktis, karena darah yang
diambil dari penderita harus cukup banyaknya.
b. Dengan pewarnaan Prussian Blue (iron staining) sediaan sumsum
tulang. Hemosiderin akan berwarna biru coklat seperti karat besi oleh
Prussian Blue ini. Cara ini ketepatannya kurang baik, karena
pembacaannya sangat subjektif, tergantung pada ketelitian yang
memeriksa.
c. Dengan Radio Immuno Assay (RIA).
Cara ini merupakan cara yang paling baik, WHO menganjurkan
pemeriksaan feritin secara RIA untuk menilai jumlah cadangan besi
secara sempurna dan tepat.

II.7 Keseimbangan negatif dari zat besi.1,4


Bila seseorang anak / bayi sedang tumbuh membutuhkan zat besi yang
lebih banyak dari pada cadangan zat besi yang ada, maka anak atau bayi tersebut
akan mengalami keseimbangan zat besi yang negatif. Bila keadaan ini menetap,
maka usaha yang pertama dari tubuh adalah cadangan zat besi akan dipakai, bila
cadangan zat besi habis, maka bagian zat besi yang berfungsi akan dengan cepat
pula berkurang.
Terdapat 3 tingkat kekurangan zat besi ini :
1. Tingkat I
"Iron depletion" yang ditandai dengan berkurangnya atau tidak adanya
cadangan besi, sehingga feritin plasma akan menurun dan absorbsi zat besi akan
meningkat. Pada orang dewasa keadaan ini mudah dibedakan dengan keadaan
normal, tetapi pada anak yang sedang tumbuh agak sulit ditentukan, karena pada

9
anak-anak yang sedang tumbuh dalam keadaan normalpun bisa didapati kadar
hemosiderin dalam sumsum tulang yang sangat rendah.
2. Tingkat II.
Bilamana keseimbangan zat besi yang negatip menjadi lebih progresif,
maka terjadilah keadaan yang dinamakan "Iron deficiency erythropoesis" dengan
tanda-tanda penurunan cadangan zat besi (depot iron) dalam tubuh, penurunan
kadar besi dalam serum, dan penurunan kadar jenuh transferin sampai kurang dari
16 %, tapi belum ada tanda-tanda anemia yang jelas.
3. Tingkat III.
Dinamakan " Iron deficiency anemia " Pada tingkat ini keseimbangan zat
besi yang negatip ditandai dengan adanya anemia yang nyata, disertai dengan
kelainan-kelainan seperti pada tingkat II.

III. HUBUNGAN ANEMIA DEFISIENSI BESI DENGAN KEHAMILAN


DAN JANIN 5,6
Anemia defisiensi besi pada wanita hamil merupakan problema
kesehatan yang dialami oleh wanita diseluruh dunia terutama dinegara
berkembang. Badan kesehatan dunia (World Health Organization = WHO)
melaporkan bahwa prevalensi ibu-ibu hamil yang mengalami defisiensi besi
sekitar 35-75% serta semakin meningkat seiring dengan pertambah usia
kehamilan.
Anemia defisiensi besi pada wanita hamil mempunyai dampak buruk,
baik pada ibunya maupun terhadap janinnya. Ibu hamil dengan anemia berat lebih
memungkinkan terjadinya partus prematur dan memiliki bayi dengan berat badan
lahir rendah serta dapat meningkatkan kematian perinatal. Menurut WHO 40%
kematian ibu dinegara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan
kebanyakan anemia pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan
perdarahan akut, bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi. Merchan and
Agarwal (1991) melaporkan bahwa hasil persalinan pada wanita hamil yang
menderita anemia defisiensi besi adalah, 12 -28 % angka kematian janin, 30 %
kematian perinatal, dan 7 -10 % angka kematian neonatal.

10
Mengingat besarnya dampak buruk dari anemia defisiensi zat besi pada
wanita hamil dan janin, oleh karena itu perlu kiranya perhatian yang cukup, dan
dengan diagnosa yang cepat serta penatalaksanaan yang tepat komplikasi dapat
diatasi serta akan mendapatkan prognosa yang lebih baik.

IV. PATOFISIOLOGI ANEMIA PADA KEHAMILAN DAN FETUS5,6


Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena
perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dari pertumbuhan
payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada trimester ke II
kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke 9 dan meningkatnya sekitar 1000
ml, menurun sedikit menjelang aterem serta kembali normal 3 bulan setelah
partus.
Stimulasi yang meningkatkan volume plasma seperti laktogen plasenta,
yang menyebabkan peningkatan sekresi aldesteron. Volume sel darah merah total
dan massa hemoglobin meningkat sekitar 20-30 %, dimulai pada bulan ke 6 dan
mencapai puncak pada aterem, kembali normal 6 bulan setelah partus. Stimulasi
peningkatan 300-350 ml massa sel merah ini dapat disebabkan oleh hubungan
antara hormon maternal dan peningkatan eritropoitin selama kehamilan.
Peningkatan massa sel darah merah tidak cukup memadai untuk mengimbangi
peningkatan volume plasma yang sangat menyolok. Peningkatan volume plasma
menyebabkan terjadinya hidremia kehamilan atau hemodilusi, yang menyebabkan
terjadinya penurunan hematokrit ( 20-30%), sehingga hemoglobin dari hematokrit
lebih rendah secara nyata dari pada keadaan tidak hamil.
Hemoglobin dari hematokrit mulai menurun pada bulan ke 3 -5
kehamilan, dan mencapai nilai terendah pada bulan ke 5-8 dan selanjutnya sedikit
meningkat pada aterem serta kembali normal pada 6 minggu setelah partus. Besi
serum menurun namun tetap berada dalam batas normal selama kehamilan, TIBC
meningkat 15 % pada wanita hamil.
Cadangan besi wanita dewasa mengandung 2 gram, sekitar 60-70 %
berada dalam sel darah merah yang bersirkulasi, dan 10-30 % adalah besi
cadangan yang terutama terletak didalam hati, empedu, dan sumsum tulang.

11
Kehamilan membutuhkan tambahan zat besi sekitar 800-1000 mg untuk
mencukupi kebutuhan yang terdiri dari :
1. Terjadinya peningkatan sel darah merah membutuhkan 300-400 mg
zat besi dan mencapai puncak pada 32 minggu kehamilan.
2. Janin membutuhkan zat besi 100-200 mg.
3. Pertumbuhan Plasenta membutuhkan zat besi 100-200 mg.
4. Sekitar 190 mg hilang selama melahirkan.
Selama periode setelah melahirkan 0,5-1 mg besi perhari dibutuhkan
untuk laktasi, dengan demikian jika cadangan pada awalnya direduksi, maka
pasien hamil dengan mudah bisa mengalami kekurangan besi, dimana janin bisa
mengakumulasi besi bahkan dari ibu yang kekurangan besi. Kebutuhan besi yang
meningkat tersebut tidak terpenuhi oleh kebiasaan diet normal, walaupun ada
penyerapan besi yang meningkat selama kehamilan yaitu 1,3-2,6 mg perhari.
Setiap wanita hamil membutuhkan sampai 2 tahun makan normal untuk mengisi
kembali cadangan besi yang telah hilang selama hamil.
Adapun perubahan pertama yang terjadi selama perkembangan
kekurangan besi adalah deplesi cadangan zat besi pada hati, empedu dan sumsum
tulang, diikuti dengan menurunnya besi serum dan peningkatan TIBC, sehingga
anemia berkembang. Sel darah merah secara klasik digambarkan sebagai
hipokromik-mikrositer, tetapi perubahan morfologi karakteristik ini tidak terjadi
sampai nitrohematokrit jatuh dibawah nilai normal. Mikrositik mendahului
hipokromik, dan angka retikulosit rendah pada anemia defisiensi besi.
Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi dari gangguan
keseimbangan zat besi yang negatif, Jumlah zat besi yang diabsorbsi tidak
mencukupi kebutuhan tubuh. Pertama-tama keseimbangan yang negatip ini oleh
tubuh diusahakan untuk mengatasinya dengan cara mengunakan cadangan besi
dalarn jaringan depot. Pada saat cadangan besi itu habis baru anemia defisiensi
besi menjadi manifes. Perjalanan keadaan kekurangan zat besi mulai dari
terjadinya anemia sampai dengan timbulnya gejala-gejala yang klasik melalui
beberapa tahapan yaitu :

12
I. Cadangan besi habis diikuti oleh serum feritin menurun tapi belum
ada anemia.
II. Serum transferin meningkat.
III. Besi serum menurun.
IV. Perkembangan normositik, diikuti oleh anemia normokromik.
V. Perkembangan mikrositik dan anemia hipokromik.

V. ETIOLOGI7
Etiologi anemia defisiensi besi adalah :
a. Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah.
b. Pertambahan darah tidak sebanding dengan pertambahan plasma.
c. Kurangnya zat besi dalam makanan.
d. Kebutuhan zat besi meningkat.
e. Gangguan Pencernaan dan absorbsi.
f. Perdarahan Kronik
g. Infeksi kronik (Ascariasis)

VI. ANGKA KEJADIAN6


Kekurangan gizi dan perhatian yang kurang terhadap ibu hamil dan bayi
merupakan predisposisi anemia defisiensi besi pada ibu hamil dan bayi di
Indonesia. Kebanyakan anemia pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi zat
besi dan perdarahan akut bahkan tidak jarang keduanya berinteraksi.
WHO (1992) melaporkan secara global prevalensi anemia pada anak-
anak di negara berkembang sekitar 35-75%. Di Indonesia prevalensi anemia pada
anak-anak masih tinggi yaitu sekitar 63,5%, sedangkan di India sekitar 60- 70%.
Penelitian Thanglela dkk (1994) di India dari 1040 anak-anak mendapatkan
70,4% menderita anemia, dengan distribusi 23% anemia ringan, 38,2% anemia
sedang dan 9,2% anemia berat, Desai (1995) mendapatkan prevalensi anemia
pada anak-anak 62%, sedangkan Abel dkk (1998) mendapatkan anemia defisiensi
besi pada anak-anak 70,3%. Di Malaysia Rosline dkk 2001 melaporkan dari 52

13
orang wanita hamil yang menderita anemia defisiensi besi adalah 7 orang (13,5
%) dan 11 orang (21,1 %) mengalami defesiensi besi.

VII. GEJALA KLINIS2


Wintrobe mengemukakan bahwa manifestasi klinis dari anemia defisiensi
besi sangat bervariasi, bisa hampir tanpa gejala, bisa juga gejala-gejala penyakit
dasarnya yang menonjol, ataupun bisa ditemukan gejala anemia bersama-sama
dengan gejala penyakit dasarnya. Gejala-gejala dapat berupa kepala pusing,
palpitasi, berkunang-kunang, perubahan jaringan epitel kuku, gangguan sistem
neurumuskular, lesu, lemah, lelah, disphagia dan pembesaran kelenjar limpa.
Berkurangnya hemoglobin menyebabkan gejala-gejala urnum seperti
keletihan, palpitasi, pucat, tinitus, dan mata berkunang-kunang disamping itu juga
dijurnpai gejala tambahan yang diduga disebabkan oleh kekurangan enzim
sitokrom, sitikrom C oksidase dan hemeritin dalam jaringan-jaringan, yang
bersifat khas seperti pusing kepala, parastesia, ujung jari dingin, atropi papil lidah.
Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl
maka gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas.

VIII. KELAINAN HEMATOLOGI2,3,8


A. Pemeriksaan laboratorium:
1 .Hemoglobin ( Hb )
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu
ukuran kwantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah
anemia berkembang. Metode pemeriksaan Hb adalah mudah,
sederhana dan penting bila prevalensi kekurangan besi tinggi, seperti
pada kehamilan. Keterbatasan pemeriksaan Hb adalah spesifisitasnya
kurang. Untuk mengidentifikasi anemia defisiensi besi, pemeriksaan
Hb, dan hematokrit biasanya sekaligus diukur serta haruss diukur
bersama-sama dengan pengujian status besi lain yang lebih selektif,
pemeriksaan Hb sensitifitasnya 80-90 % dan spesifisitasnya 65-99%.
2. Penentuan indek eritrosit.

14
Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin
(MCH), Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC),
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan Flowcytometri
atau menggunakan rumus.
a. Mean corpusculer volume = MCV (Volume sel rata-rata)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun
apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat
anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator
kekurangan zat besi yang spesifik setelah thalasemia dan
anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan
membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai
normal 70 -100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
b. Mean corpuscle heamoglobin = MCH
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam 1 eritrosit.
Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah
merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg
dan makrositik > 31 pg.
c. Mean corpuscular hemoglobin concentration = MCHC.
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rat-rata.
Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit.
Nilai normal 30-35% dan Hipokrom < 30%.
3. Pemeriksaan hapusan darah perifer.
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual.
Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan
memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah.
Dengan menggunakan lowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada
kolom morfology flag.

4. Red distribution wide = RDW (Luas distribusi sel merah )


Luas distribusi sel merah adalah parameter sel darah merah masih
relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk

15
membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran
sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara.
Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal
dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh
transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan
naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi,
dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi
diagnostik. Nilai normal 15 % .
5. Eritrosit protoporphirin ( EP )
EP diukur dengan memakai heamatofluorometer yang hanya
membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tehniknya tidak
terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi
eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi
terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan
besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi diurnal yang
luas. EP secara luas dipakai dalam surve populasi walaupun dalam
praktek klinis masih jarang.
6. Serum iron = SI (Besi serum)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun
setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh.
Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan
spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan
setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi
kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Variasi
diurnal ditemukan berbeda 100% selama interval 24 jam pada orang
sehat. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan
ukuran mutlak status besi yang spesifik.

7. Serum transferin ( TF)


Transferin adalah protein tranport besi, dan diukur bersama-sama
dengan besi serum. Transferin serum bisa diperkirakan dengan

16
memakai tehnik otomatik dimana kemampuan mengikat besi total
( TIBC ) yakni jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma.
Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat
menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit
ginjal dan keganasan.
8. Transferrin saturation = TS (jenuh Transferin )
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat
besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi
kesumsum tulang. Penurunan jenuh transferin dibawah 10%
merupakan indek kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap
perkembangan eritrosit. TS dapat menurun pada penyakit peradangan.
Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai
dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang
menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan
kekurangan zat besi.
9. Serum feritin.
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif
untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas
dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin <
12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti
kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai
diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin
menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak
menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya
sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada
pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis
kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada
wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada
wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan tetap
stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap
saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama

17
seperti pria yang berusia 60 -70 tahun, keadaan ini mencerminkan
penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil
serum feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II
dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi.
Serum feritin adalah reaktan rase akut, dapat juga meningkat pada
inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum
feritin diukur dengan mudah memakai essay immonoradiometris
(IRMA), Radioimmonoassay (RIA), atau Essay immonoabsorben
(Elisa).
10.Reseptor serum transferin (TfR)
Reseptor serum transferin adalah pengukuran status besi terbaru untuk
mendeteksi kekurangan besi pada tingkat seluler. Reseptor transferin
ditemukan pada membran-membran sel memungkinkan transferin
yang terikat besi untuk memasuki sel. Apabila suplai besi tidak
memadai maka terjadi up-regulasi reseptor transferin untuk menjamin
sel dapat bersaing lebih efektif demi zat besi. Jumlah reseptor pada
membran sel sebanding dengan reseptor yang ditemukan pada plasma.
Peningkatan reseptor serum terjadi pada penderita kekurangan besi
eritropoisis ataupun kekurangan besi anemia. Reseptor transferin dapat
diukur dengan memakai tehnik Elida monoclonal sensitif. Nilai normal
adalah 3 -9 mg/l. Pria dan wanita sehat rata-rata 5,6 mg/l dan
kekurangan besi adalah 18 mg/l. Serum reseptor transferin
memberikan suatu pengukuran yang lebih stabil dari pada jenuh
transferin. Dimana pada awalnya dipengaruhi oleh perkembangan
kekurangan besi fungsional dari indek hematologis tradisional seperti
eritrosit protophorpirin ataupun MCV. Perbedaan dengan serum
feritin, reseptor transferin tetap saja normal pada penderita peradangan
akut, kronis, dan penyakit hati dan sangat efektif untuk membedakan
anemia defisiensi besi dengan anemia penyakit kronis. Reseptor
transferin secara khusus penting pada wanita hamil, karena merupakan

18
indikator yang lebih baik terhadap status besi dari pada serum feritin,
eritrioprotophorpirin, ataupun volume sel merah rata-rata.
B .Pemeriksaan sumsum tulang.
Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi,
walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum
tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum.
Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler.
Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian
pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan.
Pengujian sumsum tulang adalah suatu tehnik invasif, sehingga sedikit dipakai
untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum.

IX. DIAGNOSA7,9,10
Untuk menegakkan diagnosa anemia defisiensi besi diperlukan metode
pemeriksaan yang akurat dan kriteria diagnosis yang tegas. Para peneliti telah
menyetujui bahwa diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan
gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah dan
sumsum tulang.
Untuk memudahkan dan keseragaman Diagnosa Anemia defisiensi Besi,
WHO menetapkan kriteria sebagai berikut:

19
The Centers for Disease Control and Prevention ( CDC ) sedikit berbeda
dengan WHO, menurut CDC kriteria anemia pada kehamilan adalah Hb kurang
dari 11 gr / dl untuk trimester I dan III, serta Hb kurang dari 10,5 gr / dl untuk
trimester II. NHANES II dan III ( National Health And Nutrition Examination
Survey) membuat definisi Defisiensi Zat Besi adalah bila didapati 2 dari 3
pemeriksaan laboratorium tidak normal, meliputi :
1. Eritrosit Protoporphirin.
2. Jenuh Transferin.
3. Serum Feritin.
Anemia defisiensi besi disebut bila ditemukan adanya defisiensi besi
disertai dengan penurunan kadar hemoglobin.

X. PENGOBATAN4,6,11
1. Diet kaya zat besi dan Nutrisi yang adekuat.
Diet yang dianjurkan adalah diet yang mengandung Besi heme sebagai
hemoglobin dan mioglobin, banyak ditemukan dalam daging, unggas dan ikan,
ataupun diet yang mengandung besi non-heme, garam besi ferro atau ferri, seperti
yang ditemukan dalam sumber-sumber non-hewani seperti makanan nabati,
suplemen dan fortikan. Diet yang mengandung pemacu penyerapan zat besi
seperti asam askorbat, dan hindari diet yang mengandung penghambat penyerapan
zat besi seperti phitat, polyphenol.
2. Pemberian zat besi.
2.1. Pemberian zat besi oral.
Peparat zat besi oral adalah : Ferrous sulfonat, glukonat dan fumarat.

20
Prinsip pemberian terapi zat besi oral, Tidak boleh dihentikan setelah
hemoglobin mencapai nilai normal, tetapi harus dilanjutkan selama 2-3 bulan lagi
untuk memperbaiki cadangan besi. Maurer menganjurkan pemberian zat besi
selama 2-3 bulan setelah hemoglobin menjadi normal. Beutler mengemukakan
bahwa yang penting dalam pengobatan dengan zat besi adalah agar pemberiannya
diteruskan dahulu sampai morfologi darah tepi menjadi normal dan cadangan besi
dalam tubuh terpenuhi. Sebelum dilakukan pengobatan harus dikalkulasikan
terlebih dahulu jumlah zat besi yang dibutuhkan.
Misalnya Hemoglobin sebelumnya adalah 6 gr / dl, maka kekurangan
Hemoglobin adalah 12 -6 = 6 gr / dl, sehingga kebutuhan zat bei adalah: 6 x 200
mg. Kebutuhan besi untuk mengisi cadangan adalah 500 fig, maka dosis Fe secara
keseluruhan adalah 1200+500=1700 mg. Fero sulfat : 3 tablet / hari, a 300 mg
mengandung 60 mg Fe Fero glukonat : 5 tablet / hari, a 300 mg mengandung 37
mg Fe.
Fero fumarat : 3 tablet / hari, a 200 mg mengandung 67 mg Fe.
Efek samping : Konstipasi, berak hitam, mual dan muntah.
Respon : hasil yang dicapai adalah Hb meningkat 0,3-
1 gr per-minggu, Biasanya dalam 4-6 minggu perawatan hematokrit meningkat
sampai nilai yang diharapkan, peningkatan biasanya dimulai pada minggu ke 2.
Peningkatan retikulosit 5-10 hari setelah pemberian terapi besi bisa memberikan
bukti awal untuk peningkatan produksi sel darah merah.

2.2. Pemberian zat besi par-enteral.


Metode sederhana 250 mg besi elemental sebanding dengan 1 gram
Hb.Dosis pemberian zat besi par-enteral dapat dihitung dengan mudah dengan
memakai rumus : Zat besi yang diperlukan (mg)= (15-Hb) x BBx 3.
Indikasi : - Anemia defisiensi berat .
- Mempunyai efek samping pada pemberian oral.
- Gangguan absorbsi.
Pemberian : Dapat diberikan secara Intra-muskular maupun Intra-vena.

21
Peparat : Iron dextran ( Imferon), Iron sorbitek ( jectofer )
berisi 50 mg I ml, dosis maksimum 100 mg I hari.
Persiapan : Uji sensitivitas.
Efek samping : Nyeri, Inflamasi, plebitis, Demam, Atralgia,
Hipotensi, dan reaksi Anafilaktik.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Fairbanks V F, Beutler E. Iron deficiency. In : Beutlher E et all, editors,


William Hematology. 6th ed, New York: Mc Graw-Hill inc; 1998 : 447-
464.
2. Lee GR. Iron deficiency and Iron deficiency anemia. In : Wintrobe MM,
Lee GR, Boggs DR, Bithell TC, Atheus JW , editors. Clinical
Hemotology. 7th ed, Philadelphia: Lea Febiger; 1994: 621-670.
3. Hilman RS. Iron deficiency. In : Isselbacher KJ , Braunwald E, Wilson
JD , editors. Th Harrison's Principles of internal medicine. 14 th ed, New
York: Mc Graw-Hill;2001: 638-645.
4. Rice F A Iron deficiency anemia 2001.
http/www.caribou.bc.ca/schs/medtech_rice/iron deficiency.html.
5. Abel R, Rajaratnam J, Sampathkumar V. Anemia in pregnancy: Impact
of iron suplementation, deworning and IEC. 1998.
6. Prawiraharjo S. Anemia pada ibu hamil dan bayi. Dalam: Buku acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan maternal & neonatal. Jakarta :Yayasan
Bina Pustaka. FK-UI; 2001 : 281-284.
7. Uthman ED. Anemia, pathophysiologic consequences, classification, and
clinical investigation.
http://www.neosoft.com/-uthman/anemia/anemia.html.
8. Fairbanks V F, Beutler E. Iron metabolism. In : Beutlher E et all, editors,
William Hematology. 6th ed, New York: Mc Graw-Hill inc; 1998: 295-
304.
9. Current Practice. http://www.ironpanel.org.au/AIS/AISdocs/Labg
lab.html.
10. Current trends CDC Criteria for Anemia in Children and Childbearing-
Aged Women. http://wonder.cdc.gov/wonder/prevguid/p0000169.asp.
11. Supandiman I. Anemia defisiensi besi .Dalam : Hematologi klinik. 2th ed
Bandung. Penerbit Alumni; 1997: 1-5.

23

Anda mungkin juga menyukai