Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya
besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Anemia bentuk ini merupakan bentuk
anemia yang sering ditemukan di dunia, terutama di negara yang sedang berkembang.
Diperkirakan sekitar 30 % penduduk dunia menderita anemia, dan lebih dari setengahnya
merupakan anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi lebih sering ditemukan di
negara yang sedang berkembang sehubungan dengan kemampuan ekonomi yang terbatas,
masukan protein hewani yang rendah, dan investasi parasit yang merupakan masalah
endemik. Saat ini di Indonesia anemia defisiensi besi merupakan salah satu masalah gizi
utama disamping kurang kalori protein, vitamin A dan Yodium.(1)
Anemia defisiensi besi merupakan penyakit darah yang paling sering pada bayi
dan anak, serta wanita hamil

(1-4,9,10)

Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa,

defisiensi besi dapat terjadi bila jumlah yang diserap untuk memenuhi kebutuhan tubuh
terlalu sedikit, ketidakcukupan besi ini dapat diakibatkan oleh kurangnya pemasukan zat
besi, berkurangnya zat besi dalam makanan, meningkatnya kebutuhan akan zat besi. Bila
hal tersebut berlangsung lama maka defisiensi zat besi akan menimbulkan anemia.(1-7)
Selain dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin yang berperan dalam
penyimpanan dan penangkutan oksigen, zat besi juga terdapat dalam beberapa enzim
yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmitter dan proses
katabolisme yang dalam bekerjanya membutuhkan ion besi. Dengan demikian,
kekurangan besi mempunyai dampak yang

merugikan bagi pertumbuhan dan

perkembangan anak, menurunkan daya tahan tubuh, menurunkan konsentrasi belajar dan
mengurangi aktivitas kerja serta meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas bagi
janin dan ibu.(1,4)
Anemia defisiensi besi hampir selalu terjadi sekunder terhadap penyakit yang
mendasarinya, sehingga koreksi terhadap penyakit dasarnya menjadi bagian penting dari
pengobatan.(1).

Prinsip pengobatan anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-85
% penyebab anemia defisiensi besi dapat diketahui sehingga penanganannya dapat
dilakukan dengan tepat.(1)

BAB II
PEMBAHASAN

A.

DEFINISI
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan oleh
berkurangnya besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. (2,3)
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang disebabkan oleh
kekurangan zat besi yang diperlukan oleh sel darah merah atau untuk pematangan
eritrosit. (5)
Beberapa istilah (2,3,5)
Mean corpuscular volume (MCV) =

nilai hematokrit 10
Jumlah eritrosit (juta/mm3)
Normal: 76-96 c. MCV <76 c disebut mikrositik, sedangkan bila > 96 c
disebut makrositik.
Mean corpuscular hemoglobin (MCH)=
nilai Hb 10
Jumlah eritrosit (juta/mm3)
Normal: 27-32 g. Bila MCH <27 g disebut hipokrom, sedangkan bila > 32
g disebut hiperkromik ( istilah hiperkromik ini sekarang sudah tidak digunakan
lagi , karena biasanya normokromik).
Mean corpuscular haemoglobin concentration (MCHC) =
Nilai Hb (g%)100
Nilai hematokrit
B.

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi anemia defisiensi besi tinggi pada bayi, hal yang sama juga
dijumpai pada anak usia sekolah dan anak praremaja. (1,2,4,5) Angka kejadian anemia
defisiensi besi pada anak usia sekolah (5-8 tahun ) di kota sekitar 5,5% anak
praremaja 2,6 % dan gadis remaja yang hamil 26%. Di Amerika serikat sekitar
6% anak berusia 1-2 tahun dikatahui kekurangan besi, 3% menderita anemia.
Lebih kurang 9% gadis remaja di Amerika serikat kekurangan besi dan 2%
menderita anemia, sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya
berkurang saat puberitas.

Prevalensi Anemia defisiensi besi lebih tinggi pada anak kulit hitam
dibanding kulit putih. Keadan ini mungkin berhubungan dengan status sosial
ekonomi anak kulit hitam lebih rendah.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia prevalens
anemia defisiensi besi pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil SKRT tahun
1992 prevalensi anemia defisiensi besi pada anak balita di Indonesia adalah
55,5%. (1)
C.

METABOLISME ZAT BESI


Perkembangan metabolisme zat besi dalam hubungannya dengan
homeostatis besi dapat dimengerti dengan baik pada orang dewasa, sedangkan
pada anak diperkirakan mengalami hal yang sama seperti pada orang dewasa.
Zat besi bersama dengan protein (globin) dan protoporfirin mempunyai
peranan yang penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu besi juga
terdapat dalam beberapa enzim dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA,
neurotransmitter, dan proses katabolisme. Kekurangan zat besi akan
memberikan dampak yang merugikan terhadap sistem saluran pencernaan,
susunan saraf pusat, kardiovaskuler, imunitas dan perubahan tingkat seluler.
Jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi
dalam makanan, bioavailabilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh
mukosa usus. Di dalam tubuh orang dewasa mengandung zat besi sekitar 55
mg/kgBB atau sekitar 4 gram. Lebih kurang 67% zat besi tersebut dalam bentuk
hemoglobin, 30% sebagai cadangan dalam bentuk feritin atau hemosiderin dan
3% dalam bentuk mioglobin, hanya sekitar 0,07% sebagai transferin dan 0,2%
sebagai enzim. Bayi baru lahir dalam tubuhnya mengandung zat besi sekitar 0,5
gram. (1,2,5,7)
Ada dua cara penyerapan besi zat besi dalam usus, yang pertama adalah
penyerapan dalam bentuk non heme ( sekitar 90% berasal makanan), yaitu
besinya harus diubah dulu menjadi bentuk yang diserap, sedangkan bentuk yang
kedua adalah bentuk heme (sekitar 10% berasal dari makanan) besinya dapat

langsung diserap tanpa memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam


lambung atau zat makanan yang dikonsumsi.(1)
Besi dalam makanan terikat pada molekul lain yang lebih besar. Di
dalam lambung besi akan dibebaskan menjadi ion feri (Fe 3+) oleh pengaruh
asam lambung (HCL) vitamin C, asam amino. Di dalam usus halus, ion feri
diubah menjadi ion fero oleh pengaruh alkali. Ion fero inilah yang kemudian
diabsorpsi oleh mukosa usus. Sebagian akan disimpan sebagai persenyawaan
feritin dan sebagian masuk ke peredaran darah berikatan dengan protein yang
disebut transferin. Selanjutnya transferin ini akan dipergunakan untuk sintesis
hemoglobin. Sebagian transferin yang tidak terpakai akan disimpan sebagai
labile iron pool. Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah daripada ion feri,
terutama bila makanan mengandung vitamin dan fruktosa yang akan
membentuk suatu kompleks besi yang larut, sedangkan fosfat, oksalat dan fitat
menghambat absorpsi besi. (1,3,5)
Fe dalam makanan
HCL
Lambung
Usus

FeX

Fe +++

Fe++

Fe+++

Sel mukosa: (mikrovilli) Fe ++


Palsma

Transferin

Feritin
labile iron pool

Sumsum tulang
Sintesis Hb dalam pembentukan sel darah merah
Ekskresi besi dari tubuh sangat sedikit. Besi yang dilepaskan pada pemecahan
hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali ke dalam iron pool dan
akan dipergunakan lagi untuk sintesa hemoglobin. Jadi dalam tubuh normal kebutuhan
akan besi sangat sedikit. Kehilangan besi melalui urin, tinja, keringat, sel kulit yang

terkelupas dan karena perdarahan (menstruasi) sangat sedikit. Oleh karena itu pemberian
besi yang berlebihan dalam makanan dapat mengakibatkan terjadinya hemosiderosis. (5)
Pengeluaran besi dari tubuh yang normal ialah :bayi 0,3-0,4 mg/hari, anak 4-12
tahun 0,4-2,5 mg/hari, laki-laki dewasa 1,0-1,5 mg/hari, wanita dewasa 1,0-2,5 mg/hari,
wanita hamil 2,7 mg/hari.
Kebutuhan besi dari bayi dan anak jauh lebh besar dari pengeluarannya , karena
dipergunakan untuk pertumbuhan. Kebutuhan rata-rata seorang anak 5 mg/hari, tetapi
bila terdapat infeksi dapat meningkat sampai 10 mg/hari.(5)
Didalam tubuh cadangan besi ada 2 bentuk, yang pertama feritin yang bersifat
mudah larut, tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati. Bentuk kedua
adalah hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih sedikit dibandingkan
feritin. Hemosiderin ditemukan terutama dalam sel kupfer hati dan makrofag di limpa
dan sumsum tulang. Cadangan besi ini akan berfungsi untuk mempertahankan
homeostasis besi dalam tubuh. (1)
D.

FISIOLOGI PRODUKSI HEMOGLOBIN


Eritropoitin adalah pengatur hormon primer dan merupakan produksi sel
darah merah (SDM). Pada fetus, eritropoitin dihasilkan dari monosit/makrofag di
hati. Setelah lahir, eritropoitin diproduksi oleh sel-sel peritubular ginjal. Dalam
differensiasi sel darah merah , kondensasi material inti sel merah, menghasilkan
hemoglobin sehingga jumlahnya mencapai 90% dari masa sel darah merah.
Normalnya sel darah merah dapat bertahan sekitar 120 hari, sementara abnormalnya
SDM dapat bertahan hanya selama 15 hari.
Setelah eritrosit berumur 120 hari fungsinya kemudian menurun dan
selanjutnya dihancurkan didalam sel retikuloendotelial. Hemoglobin mengalami
proses degradasi menjadi biliverdin dan besi. Selanjutnya biliverdin akan direduksi
menjadi bilirubin, sedangkan besi akan masuk ke dalam plasma dan mengikuti
siklus seperti diatas atau tetap disimpan sebagai cadangan tergantung aktivitas
eritropoisis.(1)

i. ETIOLOGI
Menurut patogenesisnya terjadinya anemia defisiensi besi sangat ditentukan
oleh kemampuan absorpsi besi, diit yang mengandung besi , kebutuhan besi yang
meningkat dan jumlah yang hilang.
Kekurangan besi dapat disebabkan: (1-7)
1.

Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis


Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan
masa remaja kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini
insiden ADB meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya
meningkat 3 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali
lipat dibanding saat lahir, bayi prematur dengan pertumbuhan sangat
cepat, pada umur 1 tahun berat badannya dapat mencapai 6 kali dan massa
hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 3 kali dibanding saat lahir.
Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah
kehilangan darah lewat menstruasi.
Infeksi

2.

Kurangnya besi yang diserap.


Masuknya besi dari makanan yang tidak adekuat
Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan makanan
yang banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap lebih
kurang 200 mg besi dalam satu tahun pertama (0,5 mg/hari) yang terutama
digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi yang mendapat ASI ekslusif
jarang menderita kekurangan besi dalam 6 bulan pertama. Hal ini besi
yang terkandung di dalam ASI lebih mudah diserap dibandingkan susu
yang terkandung susu formula.
Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI diabsorpsi bayi, sedangkan dari
PASI hanya 10% besi yang dapat diabsorpsi.

Malabsorpsi besi
Keadan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya
mengalami perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang
telah mengalami gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB
walaupun penderita mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini
disebabkan berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat
melalui bagian atas usus halus, tempat utama peryerapan besi heme dan
non heme.
3. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarhan merupakan penyebab penting
terjadinya ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi.
Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga
kehilangan darah 3-4 ml/hari (1,5-2 mg besi ) dapat mengakibatkan keseimbangan
negatif besi.
Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induce
enterohepathy, ulkus peptikum karena obat-obatan ( asam asetil salisilat,
kertikosteroid, indometasin, obat AINS) dan infestasi cacing (Ancylostoma
doudenale dan Necator americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal
dan menghisap darah dari pembuluh darah submukosa usus.
4. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan menyebabkan
ADB pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.
5. Hemoglobinuria.
Pada keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memakai katup
jantung buatan. Pada paroxysmal Nokturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan
besi melalui urin rata-rata 1,8-7,8 mh/hari.

6. Iatrogenic blood loss


Pada anak yang banyak diambil darah vena untuk pemeriksaan
laboratorium berisiko menderita ADB.
7. Idiopatthic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru
yang hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang timbul.
Keadaan ini dapat berulang menyebabkan kadar Hb menururn drastis hingga 1,53 g/dl dalam 24 jam.
8. Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolah raga berat seperti olah raga lintas alam, sekitar
40% remaja perempuan dan 17 % remaja laki-laki feritin serumnya < 10 ug/dl.
Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak sebagai akibat iskemia hilang timbul
pada usus selama latihan berat terjadi pada 50% pelari.
Ditinjau dari segi umur penderita, etiologi anemia defisiensi besi dapat digolongkan
menjadi: (4,5)
1. Bayi di bawah usia 1 tahun.
a. Kekurangan depot besi dari lahir, misalnya pada prematuritas, bayi
kembar, bayi yang dilahirkan oleh ibu yang anemia, pertumbuhan cepat.
b. Pemberian makanan tambahan yang terlambat, yaitu karena bayi hanya
diberi ASI saja.
2. Anak umur 1-2 tahun
a. Infeksi yang berulang/menahun sepert enteritis, bronkopneumonia.
b. Masukan besi kurang karena tidak mendapat makanan tambahan ( hanya
minum susu).
c. Malabsorbsi.
3. Anak umur lebih dari 5 tahun- masa remaja
a. Kehilangan

darah

kronis

karena

infestasi

parasit

(amubiasis,

ankilostomiasis).

b. Diet yang tidak adekuat.


c. Menstruasi berlebihan.
E.

PATOFISIOLOGI(1)
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan besi yang
berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap
akan menyebabkan cadangan besi yang berkurang. Ada tiga tahap dari anemia
defisiensi besi, yaiitu:
1. Tahap petama.
Tahap ini disebut iron depletion atau iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin
dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi
peningkatan absorpsi basi non heme. Feritin serum menurun sedangkan
pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal.
2. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erytropoietin
atau iron limited erytropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk
menunjang eritropoiesis. Dari hasil pemeriksaan laboratoium diperoleh nilai
besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron
binding capacity (TIBC) meningkat dan free erytrocyt porphyrin (FEP)
meningkat.
3. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagagi iron deficiency anemia. Keadaan ini
terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga
menyebabkan penurunan kadar Hb.

10

Tabel tahapan kekurangan besi. (1)


HEMOGLOBIN

Tahap 2
sedikit
menurun
Cadangan besi (mg)
<100
0
Fe serum (ug/dl
normal
<60
TIBC (ug/dl)
360-390
>390
Saturasi tansferin(%)
20-30
<15
Feritin serum (ug/dl)
<20
<12
Sideroblas (%)
40-60
<10
FEP(Ug/dl SDM
>30
<100
MCV
normal
normal
Dikutip dari Lukens (1995), Hillman (1995)
F.

Tahap 1
Normal

Tahap 3 menurun jelas


(mikrositik/hipokrom)
0
<40
>410
<10
<12
<10
>200
menurun

MANIFESTASI KLINIS (1-10)


Gejala klinis anemia adalah lemah dan mudah capai atau lelah, berdebardebar, cepat marah, nafsu makan berkurang, sesak nafas, bentuk kuku konkaf
(spoon- shape nail), glossitis, atropi papila lidah mengakibatkan lidah tampak
pucat, licin mengkilat, mera daging, dan meradang, sakit kepala pada bagian
frontal, tidak panas, kulit pucat merupakan tanda yang penting pada defisiensi
besi, kulit pucat berlangsung kronis, Sklera berwarna biru juga sering, meskipun
ini juga ditemukan pada bayi normal. Pada defisiensi ringan sampai sedang
(Hb 6-10 g/dl) mekanisme kompensasi, seperti kenaikan 2, 3-difosfogliserat (2,3DPG) dan pergeseran kurva disosiasi oksigen, mungkin demikian efektif sehingga
sedikit saja keluhan anemia timbul, meskipun mungkin ada kenaikan iritabilitas.
Bila Hb menurun sampai di bawah 5 gr/dl, iritabilitas dan anoreksia mencolok.
Takikardia dan dilatasi jantung terjadi, dan bising sistolik sering ada. Limpa
teraba membesar pada 10-15% penderita. Pada kasus menahun, dapat terjadi
pelebaran diploe tulang tengkorak yang mirip dengan yang telihat pada anemia
hemolitik kongenital.
Defisiensi besi dapat mempengaruhi fungsi neurologis dan intelektual.
Monoamin oksidase (MAO), merupakan suatu enzim yang tergantung pada besi
dan hormon dan berperan penting dalam reaksi neurokimia di susunan saraf pusat.
Defisiensi besi menyebabkan penurunan aktivitas enzim seperti katalase dan

11

sitokrom. Katalase dan peroksidase mengandung besi, tetapi kepentingan


biologiknya belum dikatahui benar.
G.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM (1-3,5,7,9)


Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorim
yang meliputi pemeriksaan darah rutin seperti Hb, PCV, leukosit, trombosit,
ditambah pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit, morfologi darah tepi dan
pemeriksaan status besi (Fe serum, total iron binding capacity (TIBC), saturasi
transferin, FEP, feritin), dan apus sumsum tulang.
Menentukan adanya anemia dengan pemeriksaan kadar Hb dan atau PCV
merupakan hal pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut
dalam menegakkan diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV, MCH
dan MCHC menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb. Jumlah retikulosit
biasanya normal, pada keadaan berat karena perdarahan jumlahnya meningkat.
Gambaran morfologi darah tepi ditemukaan keadaan hipokromik, mikrositik,
anisositosis dan poikolisitiosis (dapat ditemukan sel pensil, sel target, ovalosit,
mikrosit dan sel fragmen).
Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB yang berlangsung lama terjadi
granulositopenia. Pada keadaan ini disebabkan infestasi cacing sering ditemukan
eosinofilia.
Jumlah trombosit meningkat 2-4 kali dari nilai normal, trombositosis
hanya dapat terjadi pada penderita dengan perdarahan yang massif. Kejadian
trombositopenia dihubungkan dengan anemia yang sangat berat. Namun demikian
kejadian trombositosis dan trombositopenia pada bayi dan anak hampir sama,
yaitu trombositosis sekitar 35% dan trombositpenia 28%.
Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe serum menurun dan
TIBC meningkat, Pemeriksaan Fe serum untuk menentukan jumlah besi yang
terikat pada transferin , sedangkan TIBC untuk mengetahui jumah transferin yang
berada dalam sirkulasi darah. Perbandingan antara Fe serum dan TIBC (saturasi
transferin) yang dapat diperoleh dengan cara menghitung Fe serum:TIBC x 100%
merupakan suatu nilai yang menggambarkan suplai besi ke eritroid sumsum

12

tulang dan penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran besi antara plasma dan
cadangan besi dalam tubuh. Bila saturasi transferin (ST) <16 menunjukkan suplai
besi yang tidak adekuat untuk mendukung eritropoisis. ST < 7% diagnosis ADB
dapat ditegakkan, sedangkan pada kadar ST 7-16% dapat dipakai untuk
mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau pemeriksaan
lainnya.
Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsum tulang
dapat diketahui kadar Free Erytrcyte Protopoephyrin (FEP). Pada pembentukan
eritrosit akan dibentuk cincin porfirin sebelum besi terikat untuk membentuk
heme. Bila penyediaan besi tidak adekuat menyebabkan terjadinya penumpukan
porfirin di dalam sel. Nilai FEP >100 ug/dl eritrosit menunjukan adanya ADB.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya ADB lebih dini. Meningkatnya FEP
disertai ST yang menurun merupakan tanda ADB yang progresif.
Jumlah cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan memeriksa kadar
feritin serum. Bila kadar feritin < 10-12ug/dl menunjukan telah terjadi penurunan
cadangan besi dalam tubuh.
Pada pemeriksaan apusan tulang dapat ditemukan gambaran yang khas
ADB yaitu hiperplasia sistem ertropoitik dan berkurangnya hemosiderin. Unutuk
mengetahui ada atau tidaknya besi dapat diketahui dengan pewarnaan Prussian
blue.
H.

DIAGNOSIS(1)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang
sering tidak khas.
Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB:
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:
1. Kadar HB kurang dari normal sesuai usia
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (N:32-35%)
3. Kadar Fe serum <50 ug/dl (N:80-180ug/dl)
4. Saturasi Transferin <15% (N:20-50%)

13

Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen


1. Anemia hipokrom mikrositik
2. Saturasi transferin < 16%
3. Nilai FEP > 100 % Ug/dl eritrosit
4. Kadar feritin serum<12 ug/dl
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria ( ST, feritin serum dan
FEP ) harus dipenuhi.
Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui:
1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang
dikonfirmasi dengan kadar MCV, MCH dan MCHC yang menurun
Red cell distribution width (RDW) > 17%
2. FEP meningkat
3. Feritin serum menurun
4. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST <16%
5. Respon terhadap pemberian preparat besi
Retikulositosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian
besi
Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dl/hari atau PCV
mmeningkat 1%/hari
6. Sumsum tulang
Tertundanya maturasi sitoplasma
Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi
berkurang
Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparat
besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan
melihat respons hemoglobin terhadap pemberian preparat besi. Bila dengan
pemberian preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi
peningkatan kadar Hb 1-2 g/dl maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan
menderita ADB.(1,9)

14

I.

DIAGNOSIS BANDING (1)


1. Talassemia minor
2. Anemia penyakit kronis
3. Keracunan timbal
4. Anemia sideroblastik.

J.

PENATALAKSANAAN(1)
Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar
80-85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan
dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral.
Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian
parenteral, pemberian secara parentertral dilakukan pada pendertita yang tidak
dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi secara
peroral karena ada gangguan pencernaan.
Pemberian preparat besi peroral
Garam ferrous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri,
preparat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan suksinat, yang sering
dipakai adalah ferrous sulfat karena harganya yang lebih murah, ferrous glukonat,
ferrous fumarat dan ferrous suksiant diabsorpsi sama baiknya tetapi lebih mahal. (13)

Untuk bayi preparat besi berupa tetes (drop).

Untuk dapat mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg
besi elemental/kgBB/hari
Dosis yang diajurkan untuk remaja dan orang dewasa adalah 60 mg
elemen zat besi perhari pada kasus anemia ringan, dan 120 mg/hari (2 60 mg)
pad anemia sedang sampai berat.
Dosis yang dianjurkan untuk bayi dan anak-anak adalah 3 mg/kgBB/hari.(1,4)
Pada wanita hamil, pemberian folat (500g) dan zat besi (120 mg) akan
bermanfaat, sebab anemia pada kehamilan biasa diakibatkan pada defisiensi ke

15

dua zat gizi tersebut. Tablet kombinasi yang cocok, mengandung 250 g folat dan
60 mg zat besi, dimakan 2 kali sehari.
Efek samping pemberian zat besi peroral dapat menimbulkan keluhan
gastrointestinal berupa rasa tidak enak di ulu hati, mual, muntah dan diare. (1,3,5)
Sebagai tambahan zat besi yang dimakan bersama dengan makanan akan ditolelir
lebih baik dari pada ditelan pada saat peut kosong, meskipun jumlah zat besi yang
diserap berkurang.(1)
Pemberian preparat besi parenteral(1-3)
Pemberian besi secara intra muscular menimbulkan rasa sakit dan
harganya mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi.
Oleh karena itu, besi parenteral diberikan hanya bila dianggap perlu, misalnya :
pada kehamilan tua, malabsorpsi berat, radang pada lambung. Kemampuan untuk
menaikan kadar Hb tidak lebih baik dibandingkan peroral.
Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/ml.
Dosis dapat dihitung berdasarkan:
Dosis besi (mg) = BB (kg) kadar Hb yang diinginkan (g/dl ) 2,5
Transfusi darah(1,2,4-6,8)
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan
anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi
respons terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya,
lebih akan membahayakan kerana dapat menyebabkan hipovolemia dan dilatasi
jantung. Pemberian PRC dilakukan secara perlahan dalam jumlah yang cukup
untuk menaikan kadar Hb sampai tingkat aman sampai menunggu respons terapi
besi. Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb <4 g/dl hanya
diberi PRC dengan dosis 2-3 ml/kgBB persatu kali pemberian disertai pemberian
diuretic seperti furesemid. Jika terdapat gagal jantung yang nyata dapat
dipertimbangkan pemberian transfusi tukar mengguanakan PRC yang segar.

16

K.

PROGNOSIS(1)
Prognosis baik apabila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja
dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat.
Gejala anemia dan menifestasi klinis lannya akan membaik dengan pemberian
preparat besi
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa
kemungkinan sebagai berikut:
Diagnosis salah
Dosis obat tidak adekuat
Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak
berlangsung menetap.
Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaiam besi
(seperti: infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit
tiroid, penyakit karena defisiensi vitamin B12, asam folat)
Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang
berlebihan pada ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan
terhadap besi.)

17

BAB III
KESIMPULAN

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan oleh berkurangnya
besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin.

Anemia defisiensi besi lebih sering ditemukan di negara yang sedang berkembang
sehubungan dengan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan protein hewani
yang rendah, dan investasi parasit yang merupakan masalah endemik.

Zat besi bersama dengan protein (globin) dan protoporfirin mempunyai peranan
yang penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu besi juga terdapat dalam
beberapa enzim dalam metabolisme oksidatif, sinrtesis DNA, neurotransmitter, dan
proses katabolisme. Kekurangan zat besi akan memberikan dampak yang
merugikan terhadap sistem saluran pencernaan, susunan saraf pusat, kardiovaskuler,
imunitas dan perubahan tingkat seluler.

Menurut patogenesisnya terjadinya anemia defisiensi besi sangat ditentukan oleh


kemampuan absorpsi besi, diit yang mengandung besi , kebutuhan besi yang
meningkat dan jumlah yang hilang.

Gejala klinis anemia adalah lemah dan mudah capai atau lelah, berdebar-debar,
cepat marah, nafsu makan berkurang, sesak nafas, luka pada lidah, papil lidah arofi,
bentuk kuku konkaf (spoon- shape nail), glossitis, sakit kepala pada bagian frontal,
tidak panas, kulit pucat merupakan tanda yang penting pada defisiensi besi, kulit
pucat berlangsung kronis, Sklera berwarna biru juga sering

Iritabilitas dan anoreksia yang khas yang kasus lanjut mungkin merupakan
defisiensi besi jaringan.

Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorim yang


meliputi pemeriksaan dara rutin seperti Hb, PVC, leukosit, trombosit, ditambah
pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit, morfologi darah tepi dan pemeriksaan
ststus besi (Fe serum, total iron binding capacity) (TIBC), saturasi transferin, FEP,
feritin), dan apusan tulang.

Diagnosis banding: Talassemia minor,anemia penyakit kronois, k eracunan timbal


Anemia sideroblastik.

18

Prinsip pengobatan anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasainya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat
besi. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral,
pemberian transfusi darah. Anemia defisiensi besi dapat diketahui
penyebabnya sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat.

Prognosis baik apabila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan
dikaetahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang
adekuat.

19

DAFTAR PUSTAKA
1.

Permono B. Sutaryo. Ugrasena. dkk., Anemia Defisiensi Besi, dalam buku ajar
hematology oncology , Badan penerbit IDAI: Jakarta, 2005; hal 30-42.

2.

Behram K. A., Anemia defisiensi besi, Ilmu Kesehatan Anak, Nelson, Vol 2, ed. 15
bahasa Indonesia, EGC: Jakarta, 2000; hal 1691-1694.

3.

Hoffbrand,A.V. Anemia defisiensi besi dan anemia hipokrom lain, Dalam : kapita
selekta hematologi. Ed.2, EGC, Jakarta, 1996; hal 28-44.

4.

Panduan Pelayanan Medis, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSCM, Februari


2005; hal 1-7.

5.

Staf pengajar FKUI, Hematologi, Ilmu kesehatan anak, Penerbit FKUI: Jakarta,
1985.

6.

Suyono S. Editor. Anemia defisiensi besi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II
Edisi III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2001; hal 493-500.

7.

Price A, Wilson L, Anemia defisiensi besi, Patofisiologi, ed.4, EGC, Jakarta, 1995;
hal 236-237.

8.

Mansjoer A, Wardhani W. dkk , Hematologi Anak, Kapita Selekta Kedokteran, ed.


3, Media Aesculapius FKUI, 2000 : hal 493-494

9.

Janet L,Kwiatkowaki,Haidary N.dkk, Severe iron deficiency anemia in yaoung


children, The Journal of Pediatrics by Mosby,Inc.1999; p. 514-516.

10.

Goerge N, Ioannou, Specter J.dkk, Prospective Evaluationof Clinical Guideline


for the Diagnosis and Management of Iron Deficiency Anemia, The American
Journal of Medicine by Excerpta Medica. Inc. 2002 ; p.281-287.

20

Referat

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Pembimbing :

Dr. Ulynar SpA

Disusun oleh :

Arie Setyawan
( 99.311.109)
FK. UPN Veteran Jakarta

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
RUMKITPOLPUS RADEN SAID SUKANTO
JAKARTA @ 2006

21

Anda mungkin juga menyukai