PENDAHULUAN
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya
besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Anemia bentuk ini merupakan bentuk
anemia yang sering ditemukan di dunia, terutama di negara yang sedang berkembang.
Diperkirakan sekitar 30 % penduduk dunia menderita anemia, dan lebih dari setengahnya
merupakan anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi lebih sering ditemukan di
negara yang sedang berkembang sehubungan dengan kemampuan ekonomi yang terbatas,
masukan protein hewani yang rendah, dan investasi parasit yang merupakan masalah
endemik. Saat ini di Indonesia anemia defisiensi besi merupakan salah satu masalah gizi
utama disamping kurang kalori protein, vitamin A dan Yodium.(1)
Anemia defisiensi besi merupakan penyakit darah yang paling sering pada bayi
dan anak, serta wanita hamil
(1-4,9,10)
defisiensi besi dapat terjadi bila jumlah yang diserap untuk memenuhi kebutuhan tubuh
terlalu sedikit, ketidakcukupan besi ini dapat diakibatkan oleh kurangnya pemasukan zat
besi, berkurangnya zat besi dalam makanan, meningkatnya kebutuhan akan zat besi. Bila
hal tersebut berlangsung lama maka defisiensi zat besi akan menimbulkan anemia.(1-7)
Selain dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin yang berperan dalam
penyimpanan dan penangkutan oksigen, zat besi juga terdapat dalam beberapa enzim
yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmitter dan proses
katabolisme yang dalam bekerjanya membutuhkan ion besi. Dengan demikian,
kekurangan besi mempunyai dampak yang
perkembangan anak, menurunkan daya tahan tubuh, menurunkan konsentrasi belajar dan
mengurangi aktivitas kerja serta meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas bagi
janin dan ibu.(1,4)
Anemia defisiensi besi hampir selalu terjadi sekunder terhadap penyakit yang
mendasarinya, sehingga koreksi terhadap penyakit dasarnya menjadi bagian penting dari
pengobatan.(1).
Prinsip pengobatan anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-85
% penyebab anemia defisiensi besi dapat diketahui sehingga penanganannya dapat
dilakukan dengan tepat.(1)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan oleh
berkurangnya besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. (2,3)
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang disebabkan oleh
kekurangan zat besi yang diperlukan oleh sel darah merah atau untuk pematangan
eritrosit. (5)
Beberapa istilah (2,3,5)
Mean corpuscular volume (MCV) =
nilai hematokrit 10
Jumlah eritrosit (juta/mm3)
Normal: 76-96 c. MCV <76 c disebut mikrositik, sedangkan bila > 96 c
disebut makrositik.
Mean corpuscular hemoglobin (MCH)=
nilai Hb 10
Jumlah eritrosit (juta/mm3)
Normal: 27-32 g. Bila MCH <27 g disebut hipokrom, sedangkan bila > 32
g disebut hiperkromik ( istilah hiperkromik ini sekarang sudah tidak digunakan
lagi , karena biasanya normokromik).
Mean corpuscular haemoglobin concentration (MCHC) =
Nilai Hb (g%)100
Nilai hematokrit
B.
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi anemia defisiensi besi tinggi pada bayi, hal yang sama juga
dijumpai pada anak usia sekolah dan anak praremaja. (1,2,4,5) Angka kejadian anemia
defisiensi besi pada anak usia sekolah (5-8 tahun ) di kota sekitar 5,5% anak
praremaja 2,6 % dan gadis remaja yang hamil 26%. Di Amerika serikat sekitar
6% anak berusia 1-2 tahun dikatahui kekurangan besi, 3% menderita anemia.
Lebih kurang 9% gadis remaja di Amerika serikat kekurangan besi dan 2%
menderita anemia, sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya
berkurang saat puberitas.
Prevalensi Anemia defisiensi besi lebih tinggi pada anak kulit hitam
dibanding kulit putih. Keadan ini mungkin berhubungan dengan status sosial
ekonomi anak kulit hitam lebih rendah.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia prevalens
anemia defisiensi besi pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil SKRT tahun
1992 prevalensi anemia defisiensi besi pada anak balita di Indonesia adalah
55,5%. (1)
C.
FeX
Fe +++
Fe++
Fe+++
Transferin
Feritin
labile iron pool
Sumsum tulang
Sintesis Hb dalam pembentukan sel darah merah
Ekskresi besi dari tubuh sangat sedikit. Besi yang dilepaskan pada pemecahan
hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali ke dalam iron pool dan
akan dipergunakan lagi untuk sintesa hemoglobin. Jadi dalam tubuh normal kebutuhan
akan besi sangat sedikit. Kehilangan besi melalui urin, tinja, keringat, sel kulit yang
terkelupas dan karena perdarahan (menstruasi) sangat sedikit. Oleh karena itu pemberian
besi yang berlebihan dalam makanan dapat mengakibatkan terjadinya hemosiderosis. (5)
Pengeluaran besi dari tubuh yang normal ialah :bayi 0,3-0,4 mg/hari, anak 4-12
tahun 0,4-2,5 mg/hari, laki-laki dewasa 1,0-1,5 mg/hari, wanita dewasa 1,0-2,5 mg/hari,
wanita hamil 2,7 mg/hari.
Kebutuhan besi dari bayi dan anak jauh lebh besar dari pengeluarannya , karena
dipergunakan untuk pertumbuhan. Kebutuhan rata-rata seorang anak 5 mg/hari, tetapi
bila terdapat infeksi dapat meningkat sampai 10 mg/hari.(5)
Didalam tubuh cadangan besi ada 2 bentuk, yang pertama feritin yang bersifat
mudah larut, tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati. Bentuk kedua
adalah hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih sedikit dibandingkan
feritin. Hemosiderin ditemukan terutama dalam sel kupfer hati dan makrofag di limpa
dan sumsum tulang. Cadangan besi ini akan berfungsi untuk mempertahankan
homeostasis besi dalam tubuh. (1)
D.
i. ETIOLOGI
Menurut patogenesisnya terjadinya anemia defisiensi besi sangat ditentukan
oleh kemampuan absorpsi besi, diit yang mengandung besi , kebutuhan besi yang
meningkat dan jumlah yang hilang.
Kekurangan besi dapat disebabkan: (1-7)
1.
2.
Malabsorpsi besi
Keadan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya
mengalami perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang
telah mengalami gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB
walaupun penderita mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini
disebabkan berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat
melalui bagian atas usus halus, tempat utama peryerapan besi heme dan
non heme.
3. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarhan merupakan penyebab penting
terjadinya ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi.
Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga
kehilangan darah 3-4 ml/hari (1,5-2 mg besi ) dapat mengakibatkan keseimbangan
negatif besi.
Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induce
enterohepathy, ulkus peptikum karena obat-obatan ( asam asetil salisilat,
kertikosteroid, indometasin, obat AINS) dan infestasi cacing (Ancylostoma
doudenale dan Necator americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal
dan menghisap darah dari pembuluh darah submukosa usus.
4. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan menyebabkan
ADB pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.
5. Hemoglobinuria.
Pada keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memakai katup
jantung buatan. Pada paroxysmal Nokturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan
besi melalui urin rata-rata 1,8-7,8 mh/hari.
darah
kronis
karena
infestasi
parasit
(amubiasis,
ankilostomiasis).
PATOFISIOLOGI(1)
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan besi yang
berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap
akan menyebabkan cadangan besi yang berkurang. Ada tiga tahap dari anemia
defisiensi besi, yaiitu:
1. Tahap petama.
Tahap ini disebut iron depletion atau iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin
dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi
peningkatan absorpsi basi non heme. Feritin serum menurun sedangkan
pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal.
2. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erytropoietin
atau iron limited erytropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk
menunjang eritropoiesis. Dari hasil pemeriksaan laboratoium diperoleh nilai
besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron
binding capacity (TIBC) meningkat dan free erytrocyt porphyrin (FEP)
meningkat.
3. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagagi iron deficiency anemia. Keadaan ini
terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga
menyebabkan penurunan kadar Hb.
10
Tahap 2
sedikit
menurun
Cadangan besi (mg)
<100
0
Fe serum (ug/dl
normal
<60
TIBC (ug/dl)
360-390
>390
Saturasi tansferin(%)
20-30
<15
Feritin serum (ug/dl)
<20
<12
Sideroblas (%)
40-60
<10
FEP(Ug/dl SDM
>30
<100
MCV
normal
normal
Dikutip dari Lukens (1995), Hillman (1995)
F.
Tahap 1
Normal
11
12
tulang dan penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran besi antara plasma dan
cadangan besi dalam tubuh. Bila saturasi transferin (ST) <16 menunjukkan suplai
besi yang tidak adekuat untuk mendukung eritropoisis. ST < 7% diagnosis ADB
dapat ditegakkan, sedangkan pada kadar ST 7-16% dapat dipakai untuk
mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau pemeriksaan
lainnya.
Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsum tulang
dapat diketahui kadar Free Erytrcyte Protopoephyrin (FEP). Pada pembentukan
eritrosit akan dibentuk cincin porfirin sebelum besi terikat untuk membentuk
heme. Bila penyediaan besi tidak adekuat menyebabkan terjadinya penumpukan
porfirin di dalam sel. Nilai FEP >100 ug/dl eritrosit menunjukan adanya ADB.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya ADB lebih dini. Meningkatnya FEP
disertai ST yang menurun merupakan tanda ADB yang progresif.
Jumlah cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan memeriksa kadar
feritin serum. Bila kadar feritin < 10-12ug/dl menunjukan telah terjadi penurunan
cadangan besi dalam tubuh.
Pada pemeriksaan apusan tulang dapat ditemukan gambaran yang khas
ADB yaitu hiperplasia sistem ertropoitik dan berkurangnya hemosiderin. Unutuk
mengetahui ada atau tidaknya besi dapat diketahui dengan pewarnaan Prussian
blue.
H.
DIAGNOSIS(1)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang
sering tidak khas.
Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB:
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:
1. Kadar HB kurang dari normal sesuai usia
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (N:32-35%)
3. Kadar Fe serum <50 ug/dl (N:80-180ug/dl)
4. Saturasi Transferin <15% (N:20-50%)
13
14
I.
J.
PENATALAKSANAAN(1)
Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar
80-85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan
dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral.
Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian
parenteral, pemberian secara parentertral dilakukan pada pendertita yang tidak
dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi secara
peroral karena ada gangguan pencernaan.
Pemberian preparat besi peroral
Garam ferrous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri,
preparat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan suksinat, yang sering
dipakai adalah ferrous sulfat karena harganya yang lebih murah, ferrous glukonat,
ferrous fumarat dan ferrous suksiant diabsorpsi sama baiknya tetapi lebih mahal. (13)
Untuk dapat mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg
besi elemental/kgBB/hari
Dosis yang diajurkan untuk remaja dan orang dewasa adalah 60 mg
elemen zat besi perhari pada kasus anemia ringan, dan 120 mg/hari (2 60 mg)
pad anemia sedang sampai berat.
Dosis yang dianjurkan untuk bayi dan anak-anak adalah 3 mg/kgBB/hari.(1,4)
Pada wanita hamil, pemberian folat (500g) dan zat besi (120 mg) akan
bermanfaat, sebab anemia pada kehamilan biasa diakibatkan pada defisiensi ke
15
dua zat gizi tersebut. Tablet kombinasi yang cocok, mengandung 250 g folat dan
60 mg zat besi, dimakan 2 kali sehari.
Efek samping pemberian zat besi peroral dapat menimbulkan keluhan
gastrointestinal berupa rasa tidak enak di ulu hati, mual, muntah dan diare. (1,3,5)
Sebagai tambahan zat besi yang dimakan bersama dengan makanan akan ditolelir
lebih baik dari pada ditelan pada saat peut kosong, meskipun jumlah zat besi yang
diserap berkurang.(1)
Pemberian preparat besi parenteral(1-3)
Pemberian besi secara intra muscular menimbulkan rasa sakit dan
harganya mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi.
Oleh karena itu, besi parenteral diberikan hanya bila dianggap perlu, misalnya :
pada kehamilan tua, malabsorpsi berat, radang pada lambung. Kemampuan untuk
menaikan kadar Hb tidak lebih baik dibandingkan peroral.
Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/ml.
Dosis dapat dihitung berdasarkan:
Dosis besi (mg) = BB (kg) kadar Hb yang diinginkan (g/dl ) 2,5
Transfusi darah(1,2,4-6,8)
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan
anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi
respons terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya,
lebih akan membahayakan kerana dapat menyebabkan hipovolemia dan dilatasi
jantung. Pemberian PRC dilakukan secara perlahan dalam jumlah yang cukup
untuk menaikan kadar Hb sampai tingkat aman sampai menunggu respons terapi
besi. Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb <4 g/dl hanya
diberi PRC dengan dosis 2-3 ml/kgBB persatu kali pemberian disertai pemberian
diuretic seperti furesemid. Jika terdapat gagal jantung yang nyata dapat
dipertimbangkan pemberian transfusi tukar mengguanakan PRC yang segar.
16
K.
PROGNOSIS(1)
Prognosis baik apabila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja
dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat.
Gejala anemia dan menifestasi klinis lannya akan membaik dengan pemberian
preparat besi
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa
kemungkinan sebagai berikut:
Diagnosis salah
Dosis obat tidak adekuat
Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak
berlangsung menetap.
Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaiam besi
(seperti: infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit
tiroid, penyakit karena defisiensi vitamin B12, asam folat)
Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang
berlebihan pada ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan
terhadap besi.)
17
BAB III
KESIMPULAN
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan oleh berkurangnya
besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin.
Anemia defisiensi besi lebih sering ditemukan di negara yang sedang berkembang
sehubungan dengan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan protein hewani
yang rendah, dan investasi parasit yang merupakan masalah endemik.
Zat besi bersama dengan protein (globin) dan protoporfirin mempunyai peranan
yang penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu besi juga terdapat dalam
beberapa enzim dalam metabolisme oksidatif, sinrtesis DNA, neurotransmitter, dan
proses katabolisme. Kekurangan zat besi akan memberikan dampak yang
merugikan terhadap sistem saluran pencernaan, susunan saraf pusat, kardiovaskuler,
imunitas dan perubahan tingkat seluler.
Gejala klinis anemia adalah lemah dan mudah capai atau lelah, berdebar-debar,
cepat marah, nafsu makan berkurang, sesak nafas, luka pada lidah, papil lidah arofi,
bentuk kuku konkaf (spoon- shape nail), glossitis, sakit kepala pada bagian frontal,
tidak panas, kulit pucat merupakan tanda yang penting pada defisiensi besi, kulit
pucat berlangsung kronis, Sklera berwarna biru juga sering
Iritabilitas dan anoreksia yang khas yang kasus lanjut mungkin merupakan
defisiensi besi jaringan.
18
Prinsip pengobatan anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasainya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat
besi. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral,
pemberian transfusi darah. Anemia defisiensi besi dapat diketahui
penyebabnya sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat.
Prognosis baik apabila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan
dikaetahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang
adekuat.
19
DAFTAR PUSTAKA
1.
Permono B. Sutaryo. Ugrasena. dkk., Anemia Defisiensi Besi, dalam buku ajar
hematology oncology , Badan penerbit IDAI: Jakarta, 2005; hal 30-42.
2.
Behram K. A., Anemia defisiensi besi, Ilmu Kesehatan Anak, Nelson, Vol 2, ed. 15
bahasa Indonesia, EGC: Jakarta, 2000; hal 1691-1694.
3.
Hoffbrand,A.V. Anemia defisiensi besi dan anemia hipokrom lain, Dalam : kapita
selekta hematologi. Ed.2, EGC, Jakarta, 1996; hal 28-44.
4.
5.
Staf pengajar FKUI, Hematologi, Ilmu kesehatan anak, Penerbit FKUI: Jakarta,
1985.
6.
Suyono S. Editor. Anemia defisiensi besi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II
Edisi III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2001; hal 493-500.
7.
Price A, Wilson L, Anemia defisiensi besi, Patofisiologi, ed.4, EGC, Jakarta, 1995;
hal 236-237.
8.
9.
10.
20
Referat
Pembimbing :
Disusun oleh :
Arie Setyawan
( 99.311.109)
FK. UPN Veteran Jakarta
21