Blok 22
Tutor
Moderator
: Syarifa Aisyah
(04121001018)
Sekretaris Meja
: Neneng Rianawati
(04121001020)
Anggota
: Sarah Mareta D
(04121001023)
(04121001027)
(04121001031)
(04121001032)
M. Salman Alfarisi
(04121001060)
Alexandro Mulia
(04121001077)
Shabrina Yunita A
(04121001079)
Christian Sianipar
(04121001103)
(04121001105)
Mohammmad Hazem
(04121001127)
Fadhil M. Farrey
(04121001132)
(04121001136)
Dalila
(04121001139)
Sintesis Masalah
1. Metabolisme Besi
Besi dalam tubuh manusia terbagi dalam 3 bagian yaitu:
1. Besi fungsional yaitu besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh
terdiri dari hemoglobin, mioglobin dan berbagai jenis enzim.
2. Besi transportasi yaitu transferin, besi yang berikatan dengan protein tertentu
untuk mengangkut besi dari satu bagian ke bagian lainnya.
3. Bagian ketiga adalah besi cadangan yaitu feritin dan hemosiderin, senyawa besi
ini dipersiapkan bila masukan besi diet berkurang. Untuk dapat berfungsi bagi
tubuh manusia, besi membutuhkan protein transferin, reseptor transferin dan
feritin yang berperan sebagai penyedia dan penyimpan besi dalam tubuh dan iron
regulatory proteins (IRPs) untuk mengatur suplai besi.
Transferin merupakan protein pembawa yang mengangkut besi plasma dan cairan ekstraseluler
untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Hoffman, 2000). Reseptor transferin adalah suatu glycoprotein
yang terletak pada membran sel, berperan mengikat transferin-besi komplek dan selanjutnya
diinternalisasi ke dalam vesikel untuk melepaskan besi ke intraseluler. Kompleks transferin-reseptor
transferin selanjutnya kembali ke dinding sel, dan apotransferin dibebaskan ke dalam plasma. Feritin
sebagai protein penyimpan besi yang bersifat nontoksik akan dimobilisasi saat dibutuhkan. Iron
regulatory proteins (IRP-1 dan IRP-2 yang dikenal sebagai iron responsive element-binding proteins
[IRE-BPs], iron regulatory factors [IRFs], ferritin-repressor proteins [FRPs] dan p90) merupakan
messenger ribonucleic acid (mRNA) yang mengkoordinasikan ekspresi intraseluler dari reseptor
transferin, feritin dan protein penting lainnya yang berperan dalam metabolisme besi
Besi adalah trace element yang paling banyak terdapat di tubuh. Sekitar 65% dari 4000 mg
besi yang terdapat di dalam tubuh (60 mg/kg pada laki-laki dan 50 mg/kg pada perempuan) terikat
ke heme. Diperlukan satu miligram besi untuk setiap mililiter sel darah merah yang diproduksi.
Setiap hari, 20 sampai 25 mg besi diperlukan untuk eritropoiesis; sebanyak 95% didaur ulang dari
besi yang berasal dari perputaran eritrosit dan katabolisme hemoglobin. Hanya 1 mg/hari yang baru
diserap untuk mengimbangi pengeluaran besi melalui feses dan urine. Besi tubuh lainnya, yang
merupakan sepertiga dari besi total tubuh, tersimpan dalam hati, limpa, dan sumsum tulang, atau
terangkut dalam mioglobin dan koenzim protein pengangkut elektron sitokrom. Besi simpanan
terdapat dalam bentuk hemosiderin atau ferritin.
Penyerapan Besi
Penyerapan besi diatur oleh usus, yang mengizinkan penyerapan besi secukupnya untuk
mengganti kehilangan tanpa menyebabkan penyerapan berlebihan. Asupan besi dari makanan setiap
hari adalah 10 sampai 20 mg/hari. Jumlah besi yang diserap dari makanan sangat bervariasi,
bergantung pada beberapa faktor termasuk jumlah dan jenis besi yang dimakan, keasaman lambung,
aktivitas sumsum tulang, dan keadaan simpanan besi dalam tubuh. Walaupun seluruh usus halus
memiliki kemampuan menyerap besi, penyerapan maksimum terjadi di duodenum dan jejunum
bagian atas, karena adanya pH optimum. Pada keadaan defisiensi besi yang parah, tubuh dapat
meningkatkan penyerapan sampai 30% dari asupan makanan untuk mengompensasi kekurangan.
Besi elemental bersifat aktif secara biologis dalam bentuk fero (Fe2+) dan ferri (Fe3+).
Secara umum, pH asam atau rendah mendorong bentuk fero dan penyerapan besi, sedangkan pH
netral atau basa meningkatkan bentuk feri dan menurunkan penyerapan.
Absorbsi Besi Untuk Pembentukan Hemoglobin
Menurut Bakta (2006) proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
a. Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-heme. Besi
heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi. Besi nonheme berasal dari sumber nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam
makanan diolah di lambung (dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain) karena pengaruh
asam lambung. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat
diserap di duodenum.
b. Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal.
Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan terkendali. Besi heme
dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush border dari sel
absorptif (teletak pada puncak vili usus, disebut sebagai apical cell), besi feri direduksi menjadi
besi fero oleh enzim ferireduktase (Gambar 2.2), mungkin dimediasi oleh protein duodenal
cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh divalent metal
transporter (DMT 1). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk
feritin, sebagian diloloskan melalui basolateral transporter ke dalam kapiler usus. Pada proses ini
terjadi konversi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh hephaestin). Kemudian
besi bentuk feri diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus.
Sementara besi non-heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk
kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa dibantu oleh DMT 1.
Besi non-heme akan dilepaskan dan apotransferin akan kembali ke dalam lumen usus (Zulaicha,
2009).
Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral diatur oleh set
point yang sudah diatur saat enterosit berada pada dasar kripta (Gambar 2.3). Kemudian pada
saat pematangan, enterosit bermigrasi ke arah puncak vili dan siap menjadi sel absorptif.
Adapun mekanisme regulasi set-point dari absorbsi besi ada tiga yaitu, regulator dietetik,
regulator simpanan, dan regulator eritropoetik.
c. Fase Korporeal
Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus. Kemudian
dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Satu molekul transferin dapat mengikat
maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe2-Tf) akan berikatan dengan
reseptor transferin (transferin receptor = Tfr) yang terdapat pada permukaan sel, terutama sel
normoblas (Gambar 2.4).
Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh klatrin
(clathrin-coated pit). Cekungan ini mengalami invaginasi sehingga membentuk endosom. Suatu
pompa proton menurunkan pH dalam endosom sehingga terjadi pelepasan besi dengan transferin.
Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan DMT 1, sedangkan ikatan
apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke permukaan sel dan dapat
dipergunakan kembali.
Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk feritin dan sebagian masuk
ke mitokondria dan bersama-sama dengan protoporfirin untuk pembentukan heme. Protoporfirin
adalah suatu tetrapirol dimana keempat cincin pirol ini diikat oleh 4 gugusan metan hingga
terbentuk suatu rantai protoporfirin. Empat dari enam posisi ordinal fero menjadi chelating
kepada protoporfirin oleh enzim heme sintetase ferrocelatase. Sehingga terbentuk heme, yaitu
suatu kompleks persenyawaan protoporfirin yang mengandung satu atom besi fero ditengahnya
(Murray, 2003).
Pengangkutan dan penyimpanan besi
Besi diangkut dari sel mukosa usus ke dalam darah, kemudian berikatan dengan protein
pengangkut besi spesifik, transferin, suatu beta-globulin plasma. Kapasitas transferin mengikat
besi pada plasma normal adalah 240-360 mg/dL. Transferin melekat ke reseptor di membran
eritrosit yang sedang tumbuh dan membebaskan besi ke dalam eritrosit untuk digabungkan ke
hem di dalam mitokondria. Sekitar 10-20% besi tubuh total disimpan sebagai ferritin, suatu
molekul bulat yang terdiri dari sebuah selubung apoferritin dan inti bagian dalam
ferioksihidroksida (membentuk 0,3-1,0 g). Apabila besi diserap di tengah kelebihan simpanan
ferritin, besi tersebut diendapkan di membran lisosom sebagai suatu kompleks pseudokristalin.
Besi amorf ini disebut sebagai hemosiderin.
Siklus Hidup Cacing Tambang
Cacing tambang jantan berukuran 8-11 mm sedangkan yang betina berukuran 10-13 mm.
Cacing betina menghasilkan telur yang keluar bersama feses pejamu (host) dan mengalami
pematangan di tanah. Setelah 24 jam telur akan berubah menjadi larva tingkat pertama (L1) yang
selanjutnya berkembang menjadi larva tingkat kedua (L2) atau larva rhabditiform dan akhirnya
menjadi larva tingkat ketiga (L3) yang bersifat infeksius. Larva tingkat ketiga disebut sebagai larva
filariform. Proses perubahan telur sampai menjadi larva filariform terjadi dalam 24 jam.) Larva
filariform kemudian menembus kulit terutama kulit tangan dan kaki, meskipun dikatakan dapat juga
menembus kulit perioral dan transmamaria. Adanya paparan berulang dengan larva filariform dapat
berlanjut dengan menetapnya cacing di bawah kulit (subdermal). Secara klinis hal ini menyebabkan
rasa gatal serta timbulnya lesi papulovesikular dan eritematus yang disebut sebagai ground itch.
Dalam 10 hari setelah penetrasi perkutan, terjadi migrasi larva filariform ke paru-paru setelah
melewati sirkulasi ventrikel kanan. Larva kemudian memasuki parenkim paruparu lalu naik ke
saluran nafas sampai di trakea, dibatukkan, dan tertelan sehingga masuk ke saluran cerna lalu
bersarang terutama pada daerah 1/3 proksimal usus halus. Pematangan larva menjadi cacing dewasa
terjadi disini. Proses dari mulai penetrasi kulit oleh larva sampai terjadinya cacing dewasa
memerlukan waktu 6-8 minggu.
Cacing jantan dan betina berkopulasi di saluran cerna selanjutnya cacing betina memproduksi telur
yang akan dikeluarkan bersama dengan feses manusia. Pematangan telur menjadi
larva terutama terjadi pada lingkungan pedesaan dengan tanah liat dan lembab dengan suhu antara
23-33o C. Penularan A. Duodenale selain terjadi melalui penetrasi kulit juga melalui jalur orofekal,
akibat kontaminasi feses pada makanan. Didapatkan juga bentuk penularan melalui hewan vektor
(zoonosis) seperti pada anjing yang menularkan A. brazilienze dan A. caninum. Hewan kucing dan
anjing juga menularkan A. ceylanicum. Jenis cacing yang yang
ditularkan melalui hewan vektor tersebut tidak mengalami maturasi dalam usus manusia. Cacing N.
americanus dewasa dapat memproduksi 5.000 - 10.000 telur/hari dan masa hidup cacing ini
mencapai 3-5 tahun, sedangkan A. Duodenale menghasilkan 10.000-30.000 telur/hari, dengan masa
hidup sekitar 1 tahun.
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitive. Telur yang infektif keluar bersama tinja
penderita. Di dalam tanah, dalam waktu 2 hari menetas menjadi larva filariform yang infektif.
Kemudian larva filaform menembus kulit lalu memasuki pembuluh darah dan jantung kemudian
akan mencapai paru-paru. Setelah melewati bronkus dan trakea, larva masuk ke laring dan faring
akhirnya masuk ke usus halus dan tumbuh menjadi dewasa dalam waktu 4 minggu.
Patologi Klinis
Nama penyakit : Necatoriasis
Stadium larva : Ground itch, berupa bintik-bintik merah dan gatal
Stadium dewasa : anemia hipokromik mikrositer, dan eosinofilia
2. Eritropoiesis
12
yang kompleks dan teratur dengan baik. Eritropoiesis berjalan dari sel induk menjadi prekursor
eritrosit yang dapat dikenali pertama kali di sumsum tulang, yaitu pronormoblas. Pronormoblas
adalah sel besar dengan sitoplasma biru tua, dengan inti ditengah dan nucleoli, serta kromatin yang
sedikit
menggumpal. Pronormoblas menyebabkan terbentuknya suatu rangkaian normoblas yang makin
kecil melalui sejumlah pembelahan sel. Normoblas ini juga mengandung sejunlah hemoglobin yang
makin banyak (yang berwarna merah muda) dalam sitoplasma, warna sitoplasma makin biru pucat
sejalan dengan hilangnya RNA dan apparatus yang mensintesis protein, sedangkan kromatin inti
menjadi makin padat. Inti akhirnya dikeluarkan dari normoblas lanjut didalam sumsum tulang dan
menghasilkan stadium retikulosit yang masih mengandung sedikit RNA ribosom dan masih mampu
mensintesis hemoglobin.
Gbr. 4. Gambar sel-sel darah dalam hematopoiesis (Colour Atlas of Hematology, Practical
Microscopic and Clinical Diagnosis, oleh Harald Theml,M.D.Professor,Newyork 2004, hal 2-3)
Sel ini sedikit lebih besar daripada eritrosit matur, berada selama 1-2 hari dalam sumsum tulang dan
juga beredar di darah tepi selama 1-2 hari sebelum menjadi matur, terutama berada di limpa, saat
RNA hilang seluruhnya. Eritrosit matur berwarna merah muda seluruhnya, adlah cakram bikonkaf
tak berinti. Satu pronormoblas biasanya menghasilkan 16 eritrosit matur. Sel darah merah berinti
(normoblas) tampak dalam darah apabila eritropoiesis terjadi diluar sumsum tulang (eritropoiesis
ekstramedular) dan juga terdapat pada beberapa penyakit sumsum tulang. Normoblas tidak
ditemukan dalam darah tepi manusia yang normal.
3. Anemia mikrositi mikrokrom
HB VARIAN
Dalam tubuh manusia, sintesis eritrosit atau eritropoesis terus berlangsung dengan
memerlukan besi yang akan berikatan dengan protoporfirin untuk membentuk heme. Pada
anemia defisiensi besi, besi yang dibutuhkan tidak tersedia sehingga heme yang terbentuk
hanya sedikit dan pada akhirnya jumlah hemoglobin yang dibentuk juga berkurang. Dengan
berkurangnya Hb yang terbentuk, eritrosit pun mengalami hipokromia (pucat). Hal ini
ditandai dengan menurunnya MCHC (mean corpuscular Hemoglobin Concentration) < 32%.
Sedangkan protoporfirin terus dibentuk eritrosit sehingga pada anemia defisiensi besi,
protoporfirin eritrosit bebas (FEP) meningkat. Hal ini dapat menjadi indikator dini sensitif
adanya defisiensi besi.
Di sisi lain, enzim penentu kecepatan yaitu enzim ferokelatase memerlukan besi untuk
menghentikan sintesis heme. Padahal besi pada anemia defisiensi besi tidak tersedia sehingga
pembelahan sel tetap berlanjut selama beberapa siklus tambahan namun menghasilkan sel
yang lebih kecil (mikrositik). Hal ini ditandai dengan menurunnya MCV (mean corpuscular
volume) < 80 fl.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis anemia defisiensi besi
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu
gejala umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi, gejala penyakit dasar.
Gejala umum anemia
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome)
dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl.
Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang serta telinga
mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi
secara perlahan-lahan sering kali sindrom anemia tidak terlalu mencolok dibandingkan
dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat, oleh karena
mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat simtomatik jika
hemoglobin telah menurun di bawah 7 g/dl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang
pucat , terutama pada konjunctiva dan jaringan di bawah kuku.
Gejala penyakit dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi
penyebab anemia difisiensi tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit tambang dapat
dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti
jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan
kebiasaan buang air besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut.
Pemeriksaan
Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditanyakan keluhan utama yang menyebabkan pasien datang ke
sarana pelayanan kesehatan. Pada skenario didapatkan pasien mengeluhkan gejala umum
anemia yang sudah dijabarkan sebelumnya. Selanjutnya tanyakan kapan pasien mulai
mengalami keluhan tersebut serta gangguan lain yang mungkin menyertai keluhan tersebut.
Pada pasien anemia defisiensi besi, kekurangan besi yang dialami pasien dapat disebabkan
karena gangguan absorpsi, kurangnya intake besi sehari-hari atau akibat perdarahan kronik.
Jadi dapat ditanyakan juga apakah ada penyakit lain seperti kolitis kronik atau riwayat
gastrektomi yang menyertai, bagaimana asupan makanan sehari-hari terkait dengat intake
besi, dan apakah ada riwayat perdarahan misalnya BAB berdarah, BAK berdarah dan lainlain. Selain itu dapat juga ditanyakan pekerjaan pasien yang mungkin berkaitan dengan
infeksi cacing tambang yang menjadi salah satu penyebab anemia defisiensi besi.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan adalah pemeriksaankeadaan umum, vital
sign, status gizi apakah gizi baik atau buruk, konjungtiva apakah anemis atau tidak, sclera
ikterik atau tidak , bibir, lidah, gigi dan mulut, bentuk kepala, kelainan herediter, jantung dan
paru, hepar, limpa, ekstremitas.
Pemeriksaan Laboratorium
Kelaianan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah:
Kadar Hemoglobin dan Indeks. Didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan
penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV dan MCH menurun dan
MCHC menurun pada defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis
merupakan tanda awal defisiensi besi ditandai oleh peningkatan RDW (red cell distribution
widht).
Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memakai angka < 80 fl, tetapi pada penelitian
kasus ADB di Denpasar, dijumpai bahwa titik pemilah < 78 fl memberi spesifisitas paling
baik. Indeks eritrosit sudah dapat mengalami penurunan sebelum kadar Hb menurun.
Intoleransi terhadap dingin ditemukan pada beberapa pasien dengan anemia defisiensi
kronis, dan bermanifestasi sebagai gangguan vasomotor, nyeri neurologis, atau mati rasa
bahkan rasa geli.
Meskipun jarang, namun pada anemia defisiensi yang berat berhubungan dengan
papilledema, peningkatan tekanan intracranial, dan bias disapatkan gambaran klinis
pseudotumor cerebri. Manifestasi ini dapat terkoreksi oleh terapi dengan pemberian
preparat besi.
Fungsi imun yang melemah, dan pernah dilaporkan pasien dengan anemia defisiensi
besi mudah terjangkit infeksi, meskipun demikian belum didapatkan fakta yang pasti
mengenai keterkaitan antara defisiensi besi dengan melemahnya imun karena ada beberapa
factor lain yang turut berperan.
Anak dengan deficit besi akan mengalami gangguan dalam perilakunya. Pada infants
terjadi gangguan perkembangan neurologis dan pada anak usia sekolah terjadi penurunan
prestasi belajar. IQ dari anak usia sekolah dengan anemia defisiensi besi dilaporkan lebih
rendah jika dibandingkan dengan anak sebaya yang nonanemic. Gangguan dalam perilaku
dapat bermanisfestasi sebagai kelainan dalam pemusatan perhatian, sedngakan pada infants
akan terjadi pertumbuhan yang tidak optimal. Semua manifestasi ini dikoreksi dengan terapi
besi.
Prognosis
Anemia defisiensi besi jika terkoreksi dengan baik maka akan memberikan prognosis
yang baik, namun anemia defisiensi besi dapat memiliki prognosis yang buruk, jika kondisi
yang mendasarinya memiliki prognosis yang buruk juga seperti neoplasia. Sama halnya
dengan prognosis yang dapat berubah oleh comorbid condition seperti coronary artery
disease.
Terapi
Terapi untuk anemia defisiensi besi :
a.
Terapi kausal : yaitu terapi tehadap penyebab terjadinya anemia defisiensi besi,
misalnya pengobatan terhadap perdarahan, maka dilakukan pengobatan pada penyakit yang
Vitamin C
Transfusi darah
telah
ditetapkan
dan
dipindahkan
kedalam
suatu
tabung
khusus
berskala
SDM ( juta/ml darah ). Satuan yang digunakan adalah fL dan nilainya berkisar antara 80 94
fL,rata-rata 87 fL konsentrasi Hb/SDM diperoleh dengan membagi konsentrasi hemoglobin /
SDM. Hasilnya dinyatakan dengan satuan pg ( pikogram, 1pg = 10-12g ), pada orang dewasa
sehat nilai ini berkisar antara 27 32 pg dengan rata-rata sebesar 29,5 pg.
Nilai hematokrit adalah volume semua eritrosit dalam 100 ml darah dan disebut dengan %
dari volume darah itu.Biasanya nilai itu ditentukan dengan darah vena / kapiler.