Anda di halaman 1dari 7

NAMA : GITA RISMALIANA

NIM : P1337424417047
PRODI : S1 TERAPAN BIDAN SEMARANG
SEMESTER VI

SOAL UAS
MK : KEGAWATDARURATAN MATERNAL DAN NEONATAL
DOSEN : TRI NURHIDAYATI, S.Si.T., M.Keb

Soal 1.

Pasien wanita berusia 25 tahun, dirujuk ke RS oleh bidan dengan keluhan kepala bayi
sudah berada di luar jalan lahir. Awalnya pasien merasakan keluar lendir bercampur darah
dari jalan lahir sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Setelah itu, pasien merasakan
perutnya terasa mulas yang menjalar ke pinggang, hilang timbul dan semakin lama semakin
sering dan kuat. Pasien dirujuk karena curiga bayi besar.
Pasien melakukan antenatal care (ANC) di bidan secara teratur setiap bulan selama
kehamilan. Riwayat trauma atau demam tinggi selama hamil (-). Riwayat bayi besar pada
kehamilan sebelumnya (-), riwayat diabetes melitus selama atau sebelum hamil (-),riwayat
keputihan (-), riwayat minum obat-obatan selama hamil (-).
Riwayat menarche pada usia 12 tahun, haid teratur, menoragi (-), dismenorea (-).
Kehamilan ini merupakan kehamilan kedua. Pada kehamilan pertama, anak perempuan lahir
aterm melalui persalinan pervaginam spontan tanpa penyulit dengan berat badan lahir 3.100
gram dan keadaan sehat pada tahun 2010.
Pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis. Tanda vital didapatkan
tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 92x/menit, RR 22x/menit, suhu 36,8oC. Kesan gizi
obesitas dengan IMT 32 kg/m2. Pemeriksaan umum dalam batas normal, pemeriksaan obstetri
didapatkan tinggi fundus uteri 34 cm. Pada pemeriksaan Leopold 1 teraba satu bagian besar,
bulat, tidak melenting. Leopold 2 bagian kiri teraba tahanan memanjang dan bagian kanan
teraba bagian-bagian kecil janin. Leopold 3 teraba bagian keras dan tidak dapat digoyangkan.
Leopold 4 : kedua tangan divergen. His 4x/10”/40’. Denyut jantung janin 145x/menit. Hasil
pemeriksaan ditemukan kepala janin tampak di depan vulva dengan posisi terbawah janin
berada pada Hodge IV.
Kemudian ibu mulai dipimpin mengejan dan kepala bayi keluar. Namun, bayi tidak
melakukan putaran paksi luar, tampak adanya turtle sign.
Tugas :
a. Buatlah diagnosa berdasarkan kasus tersebut !
Jawab:
Ibu G2P1A0 Usia 25 tahun hamil aterm Kala II dengan distosia bahu
b. Tindakan apakah yang harus dilakukan berdasarkan kasus tersebut?
Jawab:
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists pada tahun 2012 mengeluarkan
pedoman manajemen distosia bahu Manuver McRoberts dilakukan dengan cara
memfleksikan dan abduksi tungkai, memposisikan paha ibu pada abdomen. Manuver
ini akan memperlebar sudut lumbosakral, merotasi pelvis maternal ke kepala ibu dan
menambah diameter anterior-posterior relatif pada pelvis. Manuver ini merupakan
intervensi yang efektif, dengan tingkat keberhasilan 90%.Selain itu, maneuver
McRoberts memiliki tingkat kejadian komplikasi yang rendah dan merupakan
maneuver yang paling minimal invasif. Apabila dengan maneuver McRoberts dan
traksi aksial yang rutin dilakukan pada persalinan normal juga tidak membantu, maka
dapat diberikan tambahan penekanan suprapubik. Penekanan dilakukan dengan cara
menekan simfisis pubis ibu ke arah bawah dan lateral untuk mengurangi diameter
bisakromial fetus serta merotasi bahu anterior bayi ke diameter oblik pelvis yang lebih
luas.
Manuver internal atau posisi “all-four” dapat digunakan jika menuver McRoberts
dan penekanan suprapubik gagal. Manuver rotasi internal awalnya diperkenalkan oleh
Woods dan Rubin. Rotasi dilakukan dengan mendorong bagian anterior atau posterior
dari bahu posterior sebanyak 180 derajat dari posisi semula. Manuver ini berguna
untuk merotasi bahu ke diameter oblik yang lebih luas. Apabila dengan mendorong
bagian posterior bahu posterior saja tidak dapat membantu, maka dapat juga dilakukan
pendorongan bagian posterior dari bahu anterior secara bersamaan. Manuver
Jacquemier atau melahirkan lengan posterior juga dapat mengurangi diameter bahu
fetus. Pergelangan tangan fetus ditarik dan lengan posterior secara perlahan
dikeluarkan dalam sebuah garis lurus. Persalinan lengan posterior ini berkaitan dengan
fraktur humerus dengan isidensi 2 hingga 12,7%.
Teknik “all-four” atau Manuver Gaskindiperkenalkan oleh Ina May Gaskin tahun
1976. Manuver ini digunakan untuk mengatasi distosia bahu dengan menempatkan ibu
dalam posisi merangkak. Manuver ini memiliki tingkat keberhasilan sebanyak 83%.
Metode lini ketiga untuk kasus distosia bahu adalah maneuver Zavanelli. Pada
manuver ini, kepala bayi didorong masuk kembali dan persalinan dilakukan melalui
seksio sesarea. Manuver ini dilakukan pada kasus distosia bahu bilateral yang jarang,
dimana terjadi impaksi kedua bahu pada inlet pelvis.
Metode lainnya adalah simfisiotomi namun teknik ini berkaitan dengan morbiditas
ibu yang tinggi dan klinis neonatal yang buruk. Karena kedua hal tersebut, sebaiknya
teknik ini tidak digunakan pada tenaga medis yang tidak terlatih. Dahulu episiotomi
rutin dianjurkan dalam penanganan distosia bahu, namun saat ini bukti-bukti
menunjukkan bahwa episiotomi tidak mengurangi impaksi tulang bahu fetus terhadap
pelvis ibu pada kasus distosia bahu. Namun, episiotomi dapat dipertimbangkan untuk
dilakukan jika tenaga kesehatan yang membantu persalinan membutuhkan ruang
tambahan untuk melakukan maneuver persalinan bahu posterior atau rotasi internal.
c. Lakukan analisa terhadap faktor penyebab yang mungkin berdasarkan kasus tersebut!
Jawab:
Pasien ini memiliki faktor risiko gaya hidup ibu yaitu obesitas. Obesitas maternal
dapat memiliki kaitan dengan makrosomia melalui mekanisme peningkatan resistensi
(ibu bukan diabetes mellitus) yang menyebabkan peningkatan glukosa fetus dan kadar
insulin. Lipase plasenta memetabolisme trigliserida dalam darah ibu, dan mentransfer
asam lemak bebas sebagai nutrisi untuk pertumbuhan janin. Kadar trigliserida yang
meningkat pada ibu obesitas berhubungan dengan pertumbuhan janin berlebihan
melalui peningkatan asam lemak bebas.

Soal 2.
Penelitian menunjukkan bahwa pre eklamsi, anemia dan usia kehamilan dapat
mempengaruhi terjadinya asfiksia neonatorum. Jelaskan patofisiologi pada masing-
masing faktor penyebab asfiksia tersebut dan sertakan sumber pustaka yang
digunakan.
Jawab:
Patofisiologi Hubungan Pre Eklamsi dapat Mempengaruhi Terjadinya Asfiksi
Neonatorum
Dalam jurnal yang berjudul Hubungan Preeklamsia Dengan Kondisi Bayi Yang
Dilahirkan Secara Sectio Caesarea Di Rsud Dr. Moewardi Surakarta di tulis oleh Winarsih
Nur Ambarwati Irdawati menjelaskan bahwa
Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai p value = 0,000, sehingga
nilai p value <0,05, sehingga dapat disimpulkan Ho ditolak. Sehingga dapat disimpulkanada
hubungan preeklamsia dengan kejadian asfiksia neonatorum.Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa preeklamsi dapat menyebabkan komplikasi asfiksia pada bayi yang
dilahirkan. Peningkatan deportasi sel tropoblast yang akan menyebabkan kegagalan invansi
ke arteri sperialis dan akan menyebabkan iskemia pada plasenta. (Dekker G.A., Silabi B.M.,
1998). Mengecilnya aliran darah menuju sirkulasi retroplasenter pada ibu hamil dengan
preeklamsi menimbulkan gangguan pertukaran nutrisi, CO2 dan O2 yang menyebabkan
asfiksia. Spasme arteriola yang mendadak dapat menyebabkan asfiksia berat sampai kematian
janin, bila spasme berlangsung lama dapat mengganggu pertumbuhan janin (Gilbert &
Harmon, 2005). Berkurangnya aliran darah pada uterus akut menyebabkan berkurangnya
aliran oksigen ke plasenta dan ke janin, kondisi ini sering ditemukan pada gangguan
kontraksi uterus, hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, hipertensi pada
preeklamsia (Roeshadi,2006).
Sumber: Hubungan antara Preeklamsia dalam Kehamilan dengan Kejadian Asfiksia pada
Bayi Baru Lahir | Indah | Jurnal Majority di akses pada tanggal 6 April 2020

Patofisiologi Hubungan Anemia dapat Mempengaruhi Terjadinya Asfiksia Neonatorum


Dalam jurnal yang berjudul Hubungan Paritas, Anemia dan Ketuban Pecah Dini dengan
Kejadian Asfiksia Neonatorum pada Bayi Baru Lahir Di RSUD Cilegon Provinsi Banten di
tulis oleh Aisyiah, Rosmawaty Lubis, Siti Kurnia menjelaskan bahwa
Anemia dalam kehamilan cukup tinggi berkisar antara 10% dan 20% karena
defisiensimakanan memegang peranan yang sangat penting dalam timbulnya anemia maka
dapat dipahami bahwa frekuensi itu lebih tinggi lagi dinegara-negara sedang berkembang.
Angka SKRT (2012) menunjukkan bahwa sebagian ibu hamil di Indonesia menderita anemia.
Menurut hasil Susenas (2013) angka anemia ibu hamil 42% dan 24% ibu hamil
menderita kurang energi protein (KEP). Anemia pada ibu
hamil dapat didefenisikan sebagai kondisi dengan kadar Hb berada dibawah normal (<11 gr
%), akibat anemia dapat menimbulkan hipoksia dan berkurangnya aliran darah pada uterus
akan menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan juga ke janin menimbulkan
gangguan pada pernafasan bayi. Suradi (2013) menyatakan bahwa bayi dapat mengalami
kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau setelah lahir. Kesulitan yang terjadi dalam
kandungan, baik sebelum atau selama persalinan, biasanya akan menimbulkan gangguan
pada aliran darah di plasenta atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi
frekuensi jantung janin. Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan
dengan jalan nafas dan atau paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan cairan atau benda asing
seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke dalam paru
mengakibatkan hipoksia dan iskemia akan menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi
sistemik). Menurut asumsi peneliti, Ibu dengan penyakit berisiko memiliki kemungkinan
lebih besar terjadinya asfiksia karena mengganggu pertumbuhan dan perkembangan organ
tubuh janin yang dalam masa pertumbuhan sangat penting dan pesat. Hasil ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Evi (2014) yang berjudul faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya asphyxia neonatorum pada bayi baru lahir yang dirawat di RSU Dr. Pirngadi
Medan tahun 2014. Dari hasil uji statistik Chi Square di dapatkan X2 = 18.825 dan nilai P
Value < 0,05 yaitu adanya hubungan yang signifikan anemia pada ibu hamil dengan kejadian
asfiksia pada bayi baru lahir, nilai OR = 10.154, artinya kejadian asfiksia pada bayi baru lahir
10.154 kali pada ibu yang anemia dibandingkan
dengan ibu yang tidak anemia.
Penelitian sesuai dengan teori terdahulu yang menyatakan anemia yang dialami ibu
pada saat hamil akan berpengaruh pada janin yang dikandungnya. Hasil ini senada dengan
penelitian Phiri (2014) tentang “a study on the incidence and factors associated with birth
asphyxia at the University Teaching Hospital In Lusaka, Zambia” yang menunjukan hasil
bahwa anemia merupakan faktor resiko kejadian asfiksia. Hasil penelitian ini tidak sejalan
dengan penelitian Dahriana (2014) di RSIA Siti Fatimah Makassar yang menunjukan hasil uji
hipotesis dengan menggunakan korelasi non parametric Rank Spearman diperoleh nilai p =
-0,127 dengan nilai P = 0,034. Keputusan yang diambil adalah Ho ditolak, yang artinya
semakin tinggi kadar hemoglobin ibu hamil maka kejadian asfiksia pada bayi baru lahir
semakin ringan. Hasil ini telah sesuai dengan arah hubungan dari nilai koefisien korelasi ho,
dimana arah hubungan negatif yang memiliki makna semakin tinggi kadar hemoglobin ibu
hamil maka kejadian asfiksia pada bayi baru lahir semakin ringan.
Sumber: garuda783950.pdf di akses tanggal 6 April 2020

Patofisiologi Hubungan Usia Kehamilan dengan Terjadinya Asfiksia Neonatorum


Dalam Jurnal yang Berjudul Hubungan Usia Gestasi dan Kejadian Asfiksia Neonatorum
di RSUD Kabupaten Kediri di tulis oleh Estin Gita Maringga, Nunik Ike Yunia Sari
menjelaskan bahwa
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tanggal 2-28 November 2017 di RSUD
Kabupaten Kediri, didapatkan hasil 35 responden yang memiliki usia gestasi aterm, 60 %
diantaranya mengalami asfiksia sedang, sedangkan dari 24 responden yang memiliki usia
gestasi preterm, 83.3 % diantaranya mengalami asfiksia sedang dan 12.5% mengalami
asfiksia berat. Hasil analisa Spearman Rank IBM SPSS 22 asymp sig (2 tailed) didapatkan
nilai p 0.01 < 0.05 sehingga terdapat hubungan antara usia gestasi terhadap kejadian asfiksia
neonatorum. Hasil penelitian pada tabel 1.1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden
memiliki paritas ≥ 2 (multipara) sebesar 36 (58.0 %) responden. Risiko kematian dan
kesakitan ibu dan bayi akan mengalami peningkatan seiring dengan jumlah persalinan yang
pernah dialaminemakin sering seorang ibu melahirkan, maka akan membuat otot pada rahim
semakin melemah dan bisa menimbukan jaringan parut pada uterus. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat paritas seorang wanita akan berpengaruh
terhadap kejadian persalinan prematur, yang artinya tingkat paritas seorang wanita memiliki
pengaruh terhadap usia gestasi di kehamilan berikutnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian Utomo (2011) yang menunjukkan bahwa prematuritas memiliki resiko 4
sampai
5.8 kali untuk mengalami asfiksia neonatorum.
Penelitian Yadav et al (2017) juga sejalan dengan hasil penelitian di atas, yaitu
terdapat
hubungan antara prematuritas dengan kejadian asfiksia neonataorum, terdapat 26.25% bayi
baru lahir menglami asfiksia akibat prematuritas. Hasil penlitian Opitasari (2015)
menyatakan bahwa bayi yang lahir prematur memiliki resiko untuk mengalami asfiksia jika
dibandingkan dengan bayi yang lahir aterm dengan nilai p 0.000< 0.005. Selain itu, hasil
penelitian lain yang dilakukan oleh Pitsawong et al (2011) juga menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara prematuritas dan kejadian asfiksia neonatorun dengan nilai
p 0.006< 0.05 (OR 2.08, 95% CI 1.24-3.51). penelitian yang dilakukan oleh Svenvik et al
(2015), juga menyatakan bahwa persalinan prematur < 37 minggu memiliki hubungan dengan
nilai apgar score < 7 pada 5 menit pertama dengan nilai p 0.001<0.05. Berdasarkan
pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa semakin rendah masa gestasi dan makin kecil
berat bayi baru lahir maka makin tinggi morbiditas dan mortalitasnya sehingga makin tinggi
kemungkinan terjadinya asfiksia dan sindroma gangguan pernafasan.
Sumber: 1576-4649-3-PB.pdf di akses pada tanggal 6 April 2020

Anda mungkin juga menyukai