Anda di halaman 1dari 29

PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI

PRESPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM

OLEH KELOMPOK I

1. Vidya Gumanti
2. Frengki Uloli
3. Budiyanto Haluti
4. Sunarti
5. Rasjid Gobel

PROGRAM STUDI S2 ILMU HUKUM


UNIVERSITAS ICHSAN GORONTALO
TAHUN 2022-2023

i
Abstrak
Penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana korupsi baik pada masa kini
maupun pada masa yang akan datang tetap merupakan ancaman serius yang dapat
membahayakan kehidupan bangsa-bangsa pada umumnya, dan khususnya bagi
bangsa Indonesia sehingga korupsi sudah seharusnya merupakan kejahatan
terhadap kesejateraan bangsa dan negara. Dalam kerangka dan ruang lingkup
reformasi yang telah berlangsung di Negara ini, orang makin disadarkan pada
peran penting hukum sebagai sarana pengayoman dalam mengatur kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara dalam berbagai aspek kehidupan seperti politik
dan ekonomi. Fenomena korupsi di Indonesia perlu dikaji dan diteliti lebih lanjut
dalam kerangka sosiologi hukum sebagai suatu evaluasi terhadap upaya
penyelesaian kasus korupsi. Penellitian ini menggunakan studi pustaka. Sosiologi
hukum memiliki peranan penting dalam mengkaji kasus-kasus hukum yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat khususnya teerhadap kasus tindak pidana korupsi,
dimana perspektif struktural fungsionalisme memandang bahwa menjamurnya
praktek korupsi di Indonesia merupakan tanda disfunginya hukum dalam
menciptakan tujuannya yakni mewujudkan kepatuhan hukum dan keteraturan di
masyarakat. Para penegak hukum turut memegang kunci suksesnya hukum di
masyarakat sebab keteraturan tercipta karena berfungsinya unsur-unsur yang
saling terhubung satu sama lain.

Kata kunci: Korupsi, Sosiologi, Hukum

1
A. Latar Belakang

Penegakan hukum di Indonesia selalu menjadi objek yang menarik untuk

dikaji baik pada masa Orde Lama, Orde Baru maupun era yang sekarang ini

sedang berjalan yang biasa disebut dengan Era Reformasi. Khusus dalam

penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana korupsi. Korupsi baik pada masa

kini maupun pada masa yang akan datang tetap merupakan ancaman serius yang

dapat membahayakan kehidupan bangsa-bangsa pada umumnya, dan khususnya

bagi bangsa Indonesia sehingga korupsi sudah seharusnya merupakan kejahatan

terhadap kesejateraan bangsa dan negara. Dalam kerangka dan ruang lingkup

reformasi yang telah berlangsung di Negara ini, orang makin disadarkan pada

peran penting hukum sebagai sarana pengayoman dalam mengatur kehidupan

masyarakat, bangsa dan negara dalam berbagai aspek kehidupan seperti politik

dan ekonomi.

Peran hukum sebagai pengayom tercermin melalai fungsi hukum sebagai

sarana pengendalian sosial (social control), perubahan sosial (social engineering)

dan hukum sebagai sarana integratif.1 Bagi bangsa Indonesia secara

konstitusional, hukum berfungsi sebagai sarana untuk menegakan kehidupan yang

demokratis, menegakkan kehidupan yang berkeadilan sosial dan menegakkan

kehidupan yang berperikemanusiaan. Tuntunan masyarakat untuk memberantas

korupsi merupakan cermin masalah penegakan hukum di negeri ini, sebab korupsi

merupakan bentuk perbuatan melanggar hukum yang merugikan negara dan

masyarakat.

1
Sajipto Raharjo, Hukum Dan Perubahan Sosial. (Bandung: Alumni, 1983), hal. 127-146

2
Korupsi yang timbul dimana-mana merupakan petunjuk kelemahan fungsi

hukum sebagai sarana pengendalian, sarana perubahan dan sarana intergratif.

Upaya keras untuk memberantas terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)

baik dalam bidang pemerintahan umum dan pembangunan kenyataannya belum

diikuti oleh langkah-langkah nyata dan sungguh- sungguh oleh pemerintah,

termasuk aparat penegak hukum dalam penerapkan dan penegakan hukum. Begitu

pula halnya dengan munculnya intervensi dan pengaruh dari pihak lain dalam

penyelesaian proses peradilan, justru semakin melemahkan upaya pemberantasan

kasus tindak pidana korupsi demi mewujudkan pemerintahan yang baik. Berbagai

lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap

tindak pidana tersebut.

Penegakan hukum yang seharusnya dapat menjadi ujung tombak dalam

pemberantasan korupsi justru ada yang terjerat dalam kasus korupsi. Fenomena

korupsi di Indonesia yang begitu rumit ini akan coba diuraikan melalui sudut

pandang sosiologi hukum.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana penegakan hukum tindak pidana korupsi prespektif sosiologi hukum?

C. Metode Penelitian

Penulisan ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan

melakukan studi pustaka yakni mengumpulkan berbagai data dan informasi

seputar tindak pidana korupsi melalui jurnal, buku, publikasi lembaga terkait,

dan artikel berita yang kemudian dikaji dalam perspektif dan teori sosiologi

hukum.

3
D. Kerangka Teori

1. Teori tentang Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang sering

dilakukan secara terencana, sistematis dan merupakan pelanggaran terhadap hak

sosial dan dan ekonomi masyarakat secara luas, merusak sendi-sendi kehidupan

ekonomi nasional serta merendahkan martabat bangsa di forum internasional.

Maka pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa oleh karena itu

penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi harus diatur secara khusus.

Menurut A. Hamzah korupsi sesungguhnya merupakan suatu istilah yang sangat

luas pengertiannya, dengan demikian pendekatan yang dapat dilakukan terhadap

masalah korupsi bermacam ragam pula. 2

Lebih lanjut menurut A. Hamzah pengertian tindak pidana korupsi jika

diartikan secara harfiah yaitu: 3


“Kebusukan, keburukan, kebejatan,

ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-

kata atau ucapan menghina atau memfitnah”.

Menurut Leden Marpaung pengertian tindak pidana korupsi dalam arti

luas yaitu:4 “Perbuatan seseorang yang merugikan keuangan negara dan yang

membuat aparat pemerintah tidak efektif, efisien, bersih dan berwibawa”.

2
A. Hamzah, Korupsi Di Indonesia Masalah Dan Pemecahannya, Jakarta, Gramedia, 1984,
Hlm. 19.
3
A. Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005, Hlm. 4-5.
4
Laden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi Masalah Dan Pemecahannya, Jakarta, Sinar
Grafika, 1992, Hlm. 149.

4
Pengertian Tindak Pidana Korupsi juga dapat ditemukan pada Kamus

Umum Bahasa Indonesia: 5


“Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti

penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”.

Pengertian tindak pidana korupsi yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan antara lain :

1) Pengertian Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Undang-Undang Negara

Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1971 khususnya yang tercantum dalam

Pasal 1 :

a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara

langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan

atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya

bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara.

b. Barang siapa dengan bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu badan, menyalahgunakan wewenang kesempatan-

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara.

c. Barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal 209, Pasal

210, Pasal 388, Pasal 415, pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 420,

Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP.

5
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1976.

5
d. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti

dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan atau suatu

wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh

si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatanya atau

kedudukan itu.

e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang

sesingkatsingkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang

diberikan kepadanya seperti tersebut pada Pasal 418, Pasal 419 dan

Pasal 420 KUHP, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut

kepada yang berwajib.

2) Barang siapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan

tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e, dan pasal ini.

Di dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 20

Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi juga memberikan pengertian

tindak pidana korupsi yang dalam ketentuan tersebut menyebutkan:

1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang laun atau suatu korporasi yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara .

2. Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau suatu

badan atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara.

6
3. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 415, Pasal 416,

Pasal 417, Pasal 418, pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 435,

KUHP dan juga Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,

Pasal 11, Pasal 12 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor

20 Tahun 2001.

4. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri

dengan mengingat kekuasaanya atau wewenang yang melekat pada

jabatannya atau kedudukan tersebut.

5. Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara

tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-

undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap

ketentuan undangundang tersebut sebagai tindak pidana korupsi.

6. Setiap orang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan

jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi.

7. Setiap orang di luar wilayah Republik Indonesia yang memberikan

bantuan, kesempatan sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak

pidana korupsi

2. Teori tentang Hukum Pidana

Tujuan dari hukum itu adalah terciptanya suatu kedamaian yang

didasarkan pada keserasian antara ketertiban dengan ketentraman. Tujuan

hukum tersebut akan tercapai jikalau terdapat keserasian dan kepastian hukum

dengan keseimbangan hukum sehingga menghasilkan suatu keadilan.6


6
Emon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika (Jakarta: PT. Grafindi Persada, 2003), hal 13.

7
Menurut Van Appeldoorn sebagaimana yang dikutip oleh Budiono

Kusumohamidjojo, tujuan hukum adalah tertib masyarakat yang damai dan

seimbang. Namun yang menjadi permasalahan adalah suatu tertib hukum pasti

menghasilkan ketertiban umum, tetapi ketertiban umum belum tentu merupakan

hasil dari tertib hukum. Tertib hukum menjadi tertib hukum hanya karena

mengandung keadilan sehingga didukung oleh masyarakat sebagai subjek

hukum umum. Tetapi ketertiban umum tidak niscaya mengandung keadilan,

karena bisa saja dipaksa oleh suatu kekuatan (misalnya pemerintah yang

otoriter) yang berkepentingan terhadap suatu keadaan yang tunduk kepadanya,

ketimbang memberikan keadilan kepada masyarakat. Sehingga tidak berlebihan

jika ditegaskan bahwa fungsi utama dari hukum adalah untuk menegakkan

keadilan.7

Selain daripada itu, hukum setidaknya mempunyai 3 (tiga) peranan

utama dalam masyarakat antara lain :

1) Sebagai sarana pengendali sosial.

2) Sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial.

3) Sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu.8

Sebagai suatu sistem, hukum pidana memiliki sifat umum dari suatu

sistem, yaitu menyeluruh (wholes), memiliki beberapa elemen (elements),

semua elemen saling terkait (relation) dan kemudian membentuk struktur

(structure). Lawrence W. Friedman sebagaimana yang dikutip oleh Muzakkir,

membaginya menjadi 3 (tiga) elemen, yaitu: elemen struktural (structure),


7
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil, Problematik Filsafat Hukum (Jakarta:
Grassindo, 1999), hal. 126.
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 34.

8
substansi (substance), dan budaya hukum (legal culture). Pada bagian lain

Lawrence W. Freidman menambah satu elemen lagi, yaitu dampak (impact).

Pandangan Lawrence W. Freidman tentang sistem hukum dikelompokkan

sebagai pandangan yang luas yang memasukkan elemen-elemen lain yang .non-

hukum. sebagai elemen hukum.9

Namun, menurut Utrecht sebagaimana yang dikutip Muzakkir

menganggap Hukum Pidana mempunyai kedudukan istimewa yang harus diberi

tempat tersendiri di luar kelompok hukum publik dan hukum privat. Utrecht

melihat hukum pidana sebagai suatu hukum sanksi (bijzonder sanctie recht).

Hukum Pidana melindungi kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan-

peraturan hukum privat maupun peraturan-peraturan hukum publik. Hukum

pidana melindungi kedua macam kepentingan tersebut dengan membuat sanksi

istimewa. Sanksi istimewa tersebut perlu, oleh karena kadang-kadang perlu

diadakan tindakan pemerintah yang lebih keras.10

Penentuan sanksi pidana dalam hukum pidana terkait dengan 4 (empat)


aspek, antara lain11 :

1. Penetapan perbuatan dilarang.

2. Penetapan ancaman sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilarang.

3. Penjatuhan pidana pada subjek hukum (seseorang atau korporasi).

4. Pelaksanaan pidana.

9
Muzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana (Jakarta: Disertasi
Program Pascasarjana FH-UI, 2001), hal. 154.
10
Muzakkir, Op.Cit. hal. 75.
11
Muzakkir, Sistem Pengancaman Pidana dalam Hukum Pidana, Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, tanggal
15 Juli 1993 (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1993), hal. 2.

9
Keempat aspek tersebut mempunyai keterkaitan antara satu dengan

lainnya dan merupakan satu jalinan dalam wadah sistem hukum pidana. Sistem

hukum pidana ada mengenal sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana

lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan) atau dapat dikatakan

penderitaan yang sengaja dibebankan kepada si pelanggar. Sedangkan sanksi

tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau

perawatan si pelanggar.12

Sementara untuk penerapan suatu sanksi pidana terhadap perbuatan

pidana yang dilakukan seseorang harus dilihat terlebih dahulu apakah perbuatan

pidana tersebut meliputi unsur-unsur suatu kesalahan dalam tindak pidana.

Suatu kesalahan memiliki beberapa unsur, antara lain13 :

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, dalam arti jiwa si

pelaku dalam keadaan sehat dan normal.

2. Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya, baik

disengaja

(dolus) maupun karena kealpaan (culpa).

3. Tidak adanya alasan si pelaku yang dapat menghapus kesalahan.

Unsur-unsur kesalahan tersebut saling berkaitan satu sama lainnya dan

tidak dapat dipisahkan.

3. Teori Penegakan Hukum

Pengertian penegakan hukum dapat juga diartikan penyelenggaraan

hukum oleh petugas penegak hukum dan oleh setiap orang yang mempunyai
12
Sudarto, Hukum Pidana: Jilid I A (Semarang: Badan Penyedia Kuliah FH-UNDIP, 1973), hal. 7.
13
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dasar
dalam Hukum Pidana (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hal. 77.

10
kepentingan sesuai dengan kewenangannya masing-masing menurut aturan

hukum yang berlaku. Penegakan hukum pidana merupakan satu kesatuan proses

diawali dengan penyidikan, penangkapan, penahanan, peradilan terdakwa dan

diakhiri dengan pemasyarakatan terpidana.14

Menurut Soerjono Soekanto, mengatakan bahwa penegakan hukum

adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam

kaidah-kaidah mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap

akhir. Untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian

pergaulan hidup.15

Penegakan hukum pidana adalah penerapan hukum pidana secara konkrit

oleh aparat penegak hukum. Dengan kata lain, penegakan hukum pidana

merupakan pelaksaan dari peraturan-peraturan pidana. Dengan demikian,

penegakan hukum merupakan suatu sistem yang menyangkut penyerasian antara

nilai dengan kaidah serta perilaku nyata manusia. Kaidah-kaidah tersebut

kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau tindakan yang

dianggap pantas atau seharusnya. Perilaku atau sikap tindak itu bertujuan untuk

menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian.

Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan suatu usaha

untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Sedangkan

menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional, maka inti dari arti penegakan

hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

14
Harun M.Husen, 1990, Kejahatan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
Hal 58
15
Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, UI Pres,
Jakarta, Hal 35

11
dijabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap akhir untuk

menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.16

Menurut Moeljatno menguraikan berdasarkan dari pengertian istilah

hukum pidana yang mengatakan bahwa penegakan hukum adalah bagian dari

keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara yang mengadakan unsur-unsur

dan aturan-aturan, yaitu:17

a. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh di lakukan dengan di

sertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang

melanggar larangan tersebut.

b. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-

larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah

diancamkan.

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan

tersebut.

16
Soerjono Soekanto. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta :
Rajawali. hlm. 24.
17
Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Putra Harsa, Surabaya, Hal 23

12
4. Lembaga Penegak Hukum di Indonesia

a. Kejaksaan

Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa jaksa dengan berbagai

sistem penuntutan tidak tertutup kemungkinan untuk mengambil kebijakan

dalam, menyelesaikan perkara. Kedudukan jaksa di berbagai yurisdiksi

sebenarnya jaksa itu “setengah hakim” atau seorang “hakim semu”. Itulah

sebabnya jaksa boleh mencabut dakwaan atau menghentikan proses, bahkan

diskresi putusan berupa tindakan penghentian penuntutan, penyimpangan

perkara, dan transaksi.18

Menurut Stanley Z. Fisher, sebagai administrator penegak hukum,

jaksa bertugas menuntut yang bersalah, menghindarkan keterlambatan dan

tunggakantunggakan perkara yang tidak perlu terjadi, karena ia mempunyai

kedudukan sebagai pengacara masyarakat yang penuh antusias. Berdasarkan

kedudukan jaksa sebagai pengacara masyarakat tersebut, iya akan senantiasa

mengusahakan jumlah penghukuman oleh hakim yang sebangak-banyaknya

sementara sebagai “setengah hakim” atau sebagai “hakim semu”, jaksa juga

harus melindungi yang tidak bersalah dan mempertimbangkan hak-hak

tersangka. Untuk melakukan tugas-tugas tersenbut, jaksa diberi wewenang

menghentikan proses perkara sehingga jaksa harus berprilaku sebagai seorang

pejabat yang berorientasipada hukum acara pidama dan memiliki moral

pribadi yang tinggi sekali.19

18
R.M. Surachman dan Andi Hamzali, 1996. Jaksa Berbagai Negara, Peranan dan
Kedudukannya. Sinar Grafika, Jakarta hlm. 6-7
19
Ibid. hlm. 12

13
b. Kehakiman

Keberadaan lembaga pengadilan sebagai subsistem peradilan pidana

diatur dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang tersebut memberi definisi

tentang kekuasaan kehakiman sebagai berikut:

“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”

Sesuai dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tersebut dan KUHAP,

tugas Pengadilan adalah menerima, memeriksa dan memutus perkara yang

diajukan kepadanya. Dalam memeriksa seseorang terdakwa, hakim bertitik

tolak pada surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum, dan

mendasarkan pada alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP.

Kemudian dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti dan keyakinannya,

hakim menjatuhkan putusannya.

c. Advokat

Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

menjadi landasan hukum penting bagi profesi Advokat sebagai salah satu

pilar penegak hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1)

UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tersebut, yang menyatakan bahwa

Advokat berstatus penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh

hukum dan peraturan perundang-undangan. Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat

14
(1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 lebih ditegaskan lagi, bahwa

yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah

Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang

mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam

menegakan hukum dan keadilan.

d. Kepolisian

Kepolisian sebagai subsistem peradilan pidana diatur dalam Undang-

Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sesuai Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tersebut Kepolisian

mempunyai tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan

pelayanan kepada masyarakat. Sedangkan dalam peradilan pidana, Kepolisian

memiliki kewenangan khusus sebagai penyidik yang secara umum di atur

dalam Pasal 15 dan pasal 16 Undang Undang No. 2 Tahun 2002 dan dalam

KUHAP di atur dalam Pasal 5 sampai pasal 7 KUHAP.

Didalam pasal 2 UU no. 2 tahun 2002 yang mengupas tentang Kepolisian

dimana didalamnya menyatakan bahwa: "Kepolisian adalah sebagai fungsi

pemerintah negara dibidang pemeliharaan keamanan, pengayoman,

keselamatan, perlindungan, kedisiplinan, ketertiban.”

Kenyamanan masyarakat, dan sebagai pelayanan masyarakat secara

luas.Lembaga kepolisian ada tahap penyelidikan dan penyidikan, penyelidikan

yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya tindak pidana

dalam suatu peristiwa, pada Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian

15
perkara pidana setelah tahap penyelidikan.Ketika diketahui ada tindak pidana

terjadi, maka saat itulah penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil

penyelidikan.

Pada tindakan penyelidikan, penekanannya diletakkan pada tindakan

“mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga

sebagai tindakan pidana. Sedangkan pada penyidikan titik berat penekanannya

diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti”. Penyidikan

bertujuan membuat terang tindak pidana yang ditemukan dan juga menentukan

pelakunya.

E. Pembahasan

1. Penegakan Hukum tindak Pidana Korupsi

Peliknya menguak kasus korupsi tentu membutuhkan sebuah badan yang

konsentrasi mengurusi permasalah ini. Di Indonesia pemberantas kasus korupsi

secara intensif dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau biasa

disingkat KPK. Lembaga ini berstatus independen dan memiliki peranan penting

sebagai superbody yang memiliki kewenangan luar biasa dalam penanganan

kasus korupsi di Indonesia. Kewenangan tersebut diantaranya jika diperlukan

KPK memiliki akses untuk melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan,

mengutus seseorang ke luar negeri, memperoleh informasi dari lembaga

keuangan mengenai kondisi keuangan tersangka atau terdakwa yang tengah

diperiksa, mendapatkan informasi seputar data kekayaan dan pajak tersangka atau

terdakwa,bekerjasama dengan bank dan lembaga keuangan lainnya untuk

memblokir rekening milik terdakwa atau tersangka dan pihak lain yang terlibat,

16
dan berhak memberi komando kepada atasan tersangka untuk memberhentikan

sementara tersangka dalam jabatannya.20

Perspektif struktural fungsionalisme memandang bahwa menjamurnya

praktek korupsi di Indonesia merupakan tanda disfunginya hukum dalam

menciptakan tujuannya yakni mewujudkan kepatuhan hukum dan keteraturan di

masyarakat. Peraturan undang-undang sebagai produk hukum tentu tidak berjalan

sendiri dalam implementasinya hukum melibatkan para penegak hukum, maka

para penegak hukum ini turut memegang kunci suksesnya hukum di masyarakat

sebab menurut kaum fungsionalisme keteraturan tercipta karena berfungsinya

unsur-unsur yang saling terhubung satu sama lain. Pada konteks penulisan ini

maka yang dimaksud unsur-unsur saling terhubung adalah kerjasama antara

KPK, masyarakat dan lembaga hukum lainnya dalam menegakkan hukum

terhadap tindak pidana korupsi.

Pada proses penyelidikan sampai melakukan penangkapan koruptor, KPK

melakukan salah satu metodenya, yaitu sistem tertutup dengan cara menyamar

dan merekayasa situasi agar tampak nyata. Hal ini seperti yang telah dilakukan

KPK terhadap penangkapan Fuad Amin Imron pada tahun 2014 yang terlibat

dalam kasus jual beli gas alam dan penyuapan dari PT MKS, penyelidik KPK

menyamar menjadi seorang broker vila, hal ini dilakukan atas dasar pemantauan

sebelumnya, target sempat berada di Bali dan mencari vila.21 Metode semacam

ini dalam kajian sosiologi dapat dikategorikan ke dalam sosio drama dimana

20
Sosiawan, UW. (2019). Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi. Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol. 19 No. 4, Desember 2019: 517-538
21
https://www.tribunnews.com/regional/2014/12/0 3/petugas-kpk-menyamar-broker-vila-
saattangkap-fuad-amin. Diakses pada tanggal 08 Desember 2022

17
indvidu atau kelompok melakukan simulasi peran dan situasi akan tetapi dalam

konteks penerapannya tentu diperlukan modifikasi tertentu agar sesuai dengan

tujuan yang diinginkan.

Kasus korupsi yang melibatkan aparat hukum, kasus yang menimpa Akil

Mochtar, Kasus Jaksa Pinangki juga turut menjadi deretan nama aparat hukum

yang terjerat kasus korupsi di tahun 2020. Pinangki menjadi terdakwa atas

dugaan kasus korupsi terkait kepengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA)

dengan maksud agar dapat meloloskan Djoko Tjandar dari eksekusi vonis dua

tahun akibat kasus pengalihan hak tagih Bank Bali. Untuk memuluskan rencana

tersebut Djoko Tjandra menghadiahi Jaksa Pinangki sejumlah uang sebesar 500

dollar Amerika.22

Meninjau dua kasus korupsi yang menjerat aparat hukum ini menarik

apabila meminjam istilah dalam sosiologi yaitu sosialisasi tidak sempurna dalam

konteks kajian sosiologi hukum dapat diartikan bahwa hukum sebagai media dan

sumber sosialisasi tidak dapat memenuhi tugasnya dikarenakan terjadi disfungsi

peran dan status para aparat penegak hukum yang bertanggung jawab sebagai

agen sosialisasi.23 Disamping itu kasus tersebut dikorelasikan dengan konsep

determinasi stratifikasi, maka kasus korupsi tersebut cenderung melibatkan

individu-individu yang berada di lapisan sosial atas hal ini didasari dengan

tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, dan status sosial yang melekat pada Akil

Mochtar dan Pinangki, mereka berdua bergelar doktor dan berprofesi di ranah

hukum, selain itu berkat profesinya memiliki aksesbilitas yang tidak didapatkan
22
ttps://nasional.kompas.com/read/2020/09/24/07 310711/jaksa-pinangki-mulai-diadili-ini-
faktafakta-yang-dibeberkan-dalam-sidang. Diakses pada tangal 08 Desembr 2022
23
4 Henslin, James, Sosiologi dengan Pendekatan Membumi,2007, Jakarta : Erlangga, hlm 77-79

18
oleh individu yang berada di lapisan bawah mereka. Apa yang menyebabkan

para penegak hukum ini terlibat tidak lain dikarenakan keserakahan dan

kendornya integritas diri.

Upaya Indonesia dalam memberantas kasus korupsi yang berdiaspora

dari kasus teri hingga kakap yakni dengan membentuk lembaga independen,

yaitu KPK dan pembuatan undang-undang tentang tindak pidana korupsi,

tampaknya Indonesia harus memulai penguatan sanksi sosial dengan

memberikan label yang lebih ekstrim terhadap para koruptor di sektor publik,dan

keturunanya sebagai pengkhianat negara dan mencabut hak politiknya secara

penuh yang kemudian dikukuhkan dalam aturan perundangundangan.

Argumentasi dasarnya tentu pasca tercorengnya hukum dengan kasus korupsi

yang melibatkan pejabat publik dan aparat hukum, masyarakat akan mengalami

public distrust maka aturan ketat perlu dibuat bagi para narapidana korupsi agar

wibawa hukum sebagai social engineering tetap terjaga.24

Realita hukum di Indonesia menunjukkan masih terjadi ketimpangan

keadilan di mata hukum. Diskriminasi di kalangan napi juga masih terjadi salah

satunya adalah hasil temuan Ombudsman RI dalam sidak yang diadakan pada

tanggal 21 Desember 2019 di lapas Sukamiskin, mendapati sel mewah milik

Setya Novanto dan Nazaruddin. Kedua narapadina korupsi tersebut

mendapatkan sel baknya di hotel dengan ukuran kamar yang lebih luas

ketimbang kamar narapidana lainnya.25Pemandangan tersebut berbanding

terbalik dengan lapas lain, para narapidana harus rela berdesak-desakkan karena
24
Fitriathus Shalihah, Sosiologi Hukum, 2017, Depok: PT RajaGrafindo Persada, hlm 120.
25
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d4211535/sidak-sukamiskin-ombudsman-kamarsetya-
novanto-lebih-luas. Diakses pada tanggal 08 Desember 2022

19
lapas mengalami overcapacity sampai 800 persen. Potret ketidakadilan hukum

semakin ironi tatkala dikaitkan dengan kasus hukum yang menimpa lansia,

tercatat pada tahun 2009-2020 setidaknya terdapat lima kasus yang menimpa

lansia di antaranya kasus Kakek Samirin, Nenek Saulina, Nenek Asyani, kasus

Nenek Minah dan kasus yang menimpa pasangan lansia Anjol Hasyim dan

Jamilu Nina. Potret ketidakadilan hukum yang terjadi antara narapidana korupsi

dengan narapidna lainnya seakan membenarkan Teori Kelas dari Karl Marx

bahwa kehidupan ini adalah soal pertentangan kelas dan selamanya akan

terkotak-kotakkan antara yang kaum berkuasa (superpower) dan kaum yang

dikuasai (powerless).26

Pada konteks hukum pandangan marxis juga menjelaskan bahwa hukum

semata-mata adalah media penindasan bagi kaum yang lemah (powerless)

sementara itu kaum yang kuat mendapatkan keuntungan, yakni jaminan

perlindungan hukum. Hal ini diperkuat dengan adanya pengaruh sistem lapisan

sosial di masyarakat, ketika seseorang tergolong dalam lapisan atas

kecenderungan mereka memiliki status sosial yang tinggi, pendidikan yang

berkualitas dan ekonomi yang terbilang stabil maka privilege akan menyertainya

namun bagi yang tergolong lapisan bawah privilege hanyalah angan-angan.

Apabila dihubungkan dari hasil temuan, maka yang dianggap kelas superpower

yang berada di lapisan sosial atas adalah narapidana korupsi (Setya Novanto dan

Nazarudin) sedangkan kelas yang tak berdaya (powerless) adalah narapidana

26
Pohan, I (2018). Eksplorasi Kontemporer Konsep Keadilan Karl Marx.Jurnal Dialektika, Vol 3,
Nomor 2, September 2018 : 20 – 34
Anggara, S (2013). Teori Keadilan John Rawls Kritik Terhadap Demokrasi Liberal. Jurnal
Interaksi.JISPO VOL. 1 Edisi: Januari-Juni Tahun 2013:1-11

20
lain yang tidak dilakukan istimewa seperti kedua narapidana kasus korupsi

(Setya Novanto dan Nazarudin).

Kendati praktek diskriminasi ini tidak dilakukan secara terang-terangan,

namun pengaruhnya memang nyata dalam hukum Indonesia. Meninjau pendapat

John Rawls melalui teorinya justice as fairness merumuskan prinsip-prinsip

keadilan, bahwa semua manusia di muka bumi ini memiliki akses yang sama

dalam memperoleh hak kebebasan dasarnya dan perbedaan latar belakang sosial

ekonomi seseorang tidak mempengaruhi akses tersebut sepanjang tidak

merugikan pihak lain, maka jelas praktek perlakuan istimewa terhadap

narapidana korupsi di lapas Sukamiskin tidak sejalan dengan prinsip-prinsip

keadilan yang telah dirumuskan oleh John Rawls sehingga hukum dianggap

memihak golongan tertentu dan dipengaruhi oleh latar belakang sosial ekonomi

seseorang.

2. Upaya Pemberantasan Kasus Korupsi di Indonesia

Upaya pembarantasan korupsi di Indonesai menjadi sebuah keniscayaaan

yang harus segera dilakukan. Dalam konteks ini tentu saja kita menggunakan

aliran pemikiran non analitis (nomologik) yakni memandang hukum tidak lagi

sebagai lembaga otonom di dalam masyarakat, melainkan sebagai suatu lembaga

yang bekerja untuk dan didalam masyarakat.27 Dengan demikian, mengkaji

persoalan hukum dalam perspektif yang lebih luas, termasuk menggunakan

pendekatan ilmu-ilmu sosial. Perlu suatu pengkajian yang bersifat komprehensif

untuk memberantas kasus korupsi. Menurut teori sibenertika Talcott Parson

27
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005,
hal. 3.

21
suatu sistem sosial merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem sosial

yang saling mengalami ketergantuangan dan keterkaitan satu dengan yang lain.28

Hukum, bukanlah gejala yang netral sebab hukum dapat dijelaskan dengan

bantuan faktor-faktor kemasyarakatan dan sebaliknya masyarakat dapat

dijelaskan dengan bantuan hukum.29

Secara teoretis dapat dilihat tiga pendekatan. Pertama, pendekatan

yuridis, hakikat hukum diciptakan adalah untuk mengatur ketertiban hidup

bermasyarakat. Praktik korupsi jelas melanggar hukum positif Indonesia.

Sebenarnya hal tersebut dapat dijerat dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2004

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang

Peradilan Umum. Secara konsepsi bahwa praktik korupsi termasuk dalam

contemp of court. Kendatipun tidak ada definisi yang pasti, sering dinyatakan

dalam kepustakaan common law system bahwa contemp of court merupakan

istilah umum untuk menggambarkan setiap perbuatan (atau tidak berbuat) yang

pada hakikatnya bermaksud mencampuri atau mengganggu sistem atau prosedur

penyelenggaraan peradilan yang seharusnya.

Kedua, pendekatan sosiologis. korupsi jelas telah menyimpang dari

norma-norma sosial yang ada dan hidup dalam masyarakat. Perilaku amoral

tersebut sedikit banyak akan turut mempengaruhi pola perilaku sosial dalam

hidup bermasyarakat. Dalam kondisi adanya kegoncangan nilai-nilai dalam

masyarakat, maka akan terjadi tarik ulur nilai-nilai yang berlaku dalam

28
Moh. Jamin, Bahan Kuliah Sosiologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta, 2005.
29
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di
Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2005, hal 69-70.

22
masyarakat. Terjadi pertentangan antara nilai lama yang cenderung menolak

adanya penyimpangan perilaku amoral dan nilai baru yang mulai tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat. Dalam kajian sosiologi hukum30 lebih berfokus

pada law in action yang berarti hukum hukum dalam das sein. Konsekuensinya

entitas hukum itu tidak netral maupun tidak bebas nilai namun berkelindan

dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat31. Metode kerja yang dilakukan

sosiologi hukum antara lain: membuat deskripsi mengenai objeknya; membuat

penjelasan (explanation); mengungkapkan (revealing); dan membuat prediksi32.

Ketiga, pendekatan filosofis. Pada pendekatan ini dikaji antara kasus

korupsi yang terjadi di Indonesia, dengan hakikat hukum itu sendiri. Hakikat

hukum adalah untuk mencari keadilan dalam hidup bermasyarakat. Teori Etis 33

menyatakan bahwa tujuan hukum itu untuk menemukan keadilan. Thomas

Aquinas34, pemikir pertama yang meletakkan gagasan keadilan membagi

menjadi empat yakni keadilan distributif, keadilan hukum, keadilan tukar-

menukar dan keadilan balas dendam. Dengan merebaknya judicial corruption

maka nilai-nilai keadilan sudah bukan merupakan hal yang sakral. Dengan kata

lain, nilai keadilan yang hakiki menjadi barang dagangan yang murah harganya.

Dari berbagai pendekatan, dapat ditarik benang merah bahwa kasus korupsi

30
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhdap Hukum, Yasrif Watampone, Jakarta, 1998,
hlm. 11.
31
Sulastriyono, 2008, “Kajian Pembangunan Hukum Sumber Daya Air Sungai Dalam Pespektif
Sosiologi Hukum”, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 20, Nomor 1, Februari 2008,Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 65.
32
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Cetakan II,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 58.
33
Esmi Warassih, op. cit., hal 24-25.
34
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil, Grasindo,
Jakarta, 2004, hal 190.

23
tidak dapat dibenarkan secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Mengingat

masyarakat dalam arti luas seringkali bernaggapan, bahwa hukum makan

berwibawa apabila hukum itu berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis35.

Solusi yang tepat untuk memberantas korupsi di Indonesia dengan cara

melakukan reformasi sistem hukum. Konsep reformasi sistem hukum ialah perlu

diadakan reformasi (perubahan mendasar) pada setiap komponen sistem hukum.

Membahas sistem yang merupakan cara yang teratur untuk melakukan sesuatu,

dapat berpedoman dari yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman yang

berpendapat bahwa sistem hukum (legal system) itu terdiri dari 3 (tiga)

komponen yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal

substance) dan budaya hukum (legal culture).

Dengan demikian, perlu reformasi pada setiap komponen sistem hukum

agar dapat memberantas kasus korupsi yang ada di Indonesia. Artinya jika kita

berbicara tentang sistem hukum, maka ketiga komponen tersebut secara

bersama-sama atau secara sendiri-sendiri, tidak mungkin diabaikan. Adapun

beberapa upaya mereformasi sistem hukum meliputi:

Pertama, reformasi struktur hukum. Struktur adalah keseluruhan institusi

penegakan hukum, beserta aparatnya. Jadi mencakupi kepolisian dengan para

polisinya; kejaksaan dengan para jaksanya; kantor-kantor pengacara dengan para

pengacaranya, dan pengadilan dengan para hakimnya. Apabila dikaitkan dengan

kasus korupsi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, terutama pada tatanan

struktur hukum tidak dapat dilepaskan pula pada lembaga peradilan. Bismar

35
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosilogi Hukum terhadap Masalah Masalah Sosial, Citra
Aditya Bakti, 1989, hal 189.

24
siregar36 mengemukakan bahwa undang-undang secara jelas menegaskan

tangung jawab hakim itu bukan kepada negara tetapi pertama kepada Tuhan

Yang Maha Esa baru kepada diri. Maka, tentunya sangat terkutuk sekali apabila

hakim dalam mengambil keputusan atas suatu konflik yang dihadapkan

kepadanya berdasar pengaruhpengaruh yang datang dari luar.

Kedua, reformasi substansi hukum. Adapun pengertian dari substansi

hukum adalah keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik

yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan.

Reformasi substansi hukum mencakup pada pemuatan materi yang terdapat

dalam suatu peraturan perundang-undangan yang isinya sengaja diciptakan

untuk melindungi berbagai pihak yang membantu memberantas kasus korupsi.

Di pihak lain diperlukan aturan hukum yang memberikan hukuman seberat-

beratnya sampai tahapan hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi.

Ketiga, reformasi kultur hukum. Pengertian dari kultur hukum adalah

kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara berpikir dan cara bertindak, baik dari para

penegak hukum maupun dari warga masyarakat. Sedangkan kebudayaan37 adalah

kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,

adat istiadat, kemampuan-kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan yang

didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Untuk dapat merubah

kultur hukum masyarakat di Indonesia tidaklah semudah membalikkan telapak

tangan, tapi diperlukan perjuangan dari berbagai pihak dengan saling bahu-

36
Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal 25-26.
37
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, CV Rajawali, Jakarta, 1982, hal 166-167.

25
membahu membangun budaya hukum yang elegan. Budaya hukum merupakan

bensinnya law enforcement di Indonesia.

F. Kesimpulan

Sosiologi hukum memiliki peranan penting dalam mengkaji kasus-kasus

hukum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana yang telah

diutarakan ada beberapa perspektif dan teori seperti perilaku di dalam tindak

pidana korupsi yang melibatkan tokoh publik yang berprofesi sebagai aparat

hukum merupakan sebuah permainan citra individu yang manipulatif untuk

menutupi kejahatan para pelaku di depan khalayak umum. Adapun menurut

perspektif struktural fungsionalis, banyaknya kasus korpusi yang menjerat aparat

hukum adalah salah satu bukti bahwa sistem hukum mengalami kekacauan yang

saling terkait satu sama lain dan menimbulkan disfungsi hukum sebagai social

engineering dan social control. Munculnya diskriminasi terhadap perlakuan

pelaku tindak pidana korupsi yang seakan dimanjakan dengan fasilitas ruangan

lapas yang memadai ketimbang tindak pidana kehajatan lain merupakan salah

satu bukti pembenaran dalam pandangan marxis, yakni hukum adalah

penindasan bagi kaum yang lemah (powerless) sementara itu kaum yang kuat

mendapatkan keuntungan, yaitu jaminan perlindungan hukum.

Beberapa gagasan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia

dengan cara melakukan reformasi sistem hukum yang mencakup: pertama,

reformasi struktur hukum. Kedua, reformasi substansi hukum mencakup aturan

hukum yang memberikan hukuman seberat-beratnya bagi para pelaku. Ketiga,

26
reformasi kultur hukum masyarakat dengan membangun budaya hukum reward

and punishment.

G. Daftar Pustaka

A. Hamzah, Korupsi Di Indonesia Masalah Dan Pemecahannya,


Jakarta, Gramedia, 1984.
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhdap Hukum, Yasrif
Watampone, Jakarta, 1998, hlm. 11.
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban
yang Adil, Grasindo, Jakarta, 2004.
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil, Problematik Filsafat
Hukum. Jakarta: Grassindo, 1999
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru
Utama, Semarang, 2005.
Fitriathus Shalihah, Sosiologi Hukum, 2017, Depok: PT RajaGrafindo
Persada.
Harun M.Husen, 1990, Kejahatan dan Penegakan Hukum Di Indonesia,
Rineka Cipta, Jakarta.
Henslin, James, Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, Jakarta :
Erlangga,2007.
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan
Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press,
Surakarta, 2005.
Laden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi Masalah Dan Pemecahannya,
Jakarta, Sinar Grafika, 1992.
Moh. Jamin, Bahan Kuliah Sosiologi Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2005.
Osiawan, UW. (2019). Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Jurnal Penelitian Hukum DE
JURE, Vol. 19 No. 4, Desember 2019: 517-538

27
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, 1976.
R.M. Surachman dan Andi Hamzali, Jaksa Berbagai Negara, Peranan
dan Kedudukannya. Sinar Grafika, Jakarta , 1996
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana (Jakarta: Aksara Baru, 1983.
Sajipto Raharjo, Hukum Dan Perubahan Sosial. Bandung: Alumni,
1983.
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan
Pilihan Masalah, Cetakan II, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, UI Pres, Jakarta 1983.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press,
1986
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosilogi Hukum terhadap Masalah
Masalah Sosial, Citra Aditya Bakti, 1989.
Sudarto, Hukum Pidana: Jilid I A,Semarang: Badan Penyedia Kuliah
FH-UNDIP, 1973.
Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.
https://nasional.kompas.com/read/2020/09/24/07 310711/jaksa-
pinangki-mulai-diadili-ini-faktafakta-yang-dibeberkan-dalam-sidang. Diakses
pada tangal 08 Desembr 2022
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d4211535/sidak-sukamiskin-
ombudsman-kamarsetya-novanto-lebih-luas. Diakses pada tanggal 08 Desember
2022
https://www.tribunnews.com/regional/2014/12/03/petugas-kpk-
menyamarbroker-vila-saattangkap-fuad-amin. Diakses pada tanggal 08
Desember 2022

28

Anda mungkin juga menyukai