Kasus 1.
Hukum Perseorangan [ Personen Recht ]
Seorang laki-laki yang berkewarganegaraan Amerika, sudah menetap di Indonesia selama 6 tahun. Ia
memiliki pekerjaan yang disenangi dan enggan ditinggalkan, selain itu dia juga nyaman dengan pergaulan
sekitar. Karena hal ini ia memutuskan untuk menjadi WNI, agar dapat mendapatkan hak dan kewajibannya
sebagai WNI.
Kasus 2.
Hukum Keluarga
Sonia Herlambang berkewarganegaraan Indonesia menikah dengan Alex Motolla yang berkewarganegaraan
Prancis. Maka nama Sonia Herlambang berubah menjadi Sonia Motolla. Setelah 3 tahun mereka berdua
bercerai sehingga Sonia harus mengganti namanya kembali seperti nama semula sebelum ia menikah agar
tidak terjadi masalah menyangkut nama belakangnya yang didapat dari keluarga mantan suaminya Motolla.
Kasus 3.
Hukum Kekayaan
Seorang designer merk ternama GUESS yang bernama Marciano di Los Angeles merasa dirugikan karena
desain tas, dompet, dan merknya digunakan oleh sekelompok pengrajin tas industri kecil di Jakarta. Karena
hal inilah pihak GUESS menggugat para pengrajin atas tindakan yang merugikan ini agar menghentikan
berjalannya produksi tas tiruan tersebut.
Kasus 4
Perkawinan Yuni Shara Dan Siahaan Di Australia
Perkawinan yang dilakukan oleh yuni shara seorang warga negara Indonesia dengan siahaan warga negara
australia yang melangsungkan pernikahan di Australia karena tidak mendapat restu dari kedua orang tua
yuni shara. Setelah dilangsungkan perkawinan tersebut yuni shara dan siahaan memiliki dua orang putra
yakni dido dan lexi. Dan tepat pada usia pernikahan ke-20 tahun mereka merasa tidak cocok karena yuni
masih bertempat tinggal dan berdomisili di Indonesia. Maka sang suami mengajukan gugatan perceraian
terhadap pengadilan tinggi di Indonesia. Dan meminta agar anak dari mereka berdua di asuh oleh siahaan.
Namun sebelum adanya gugatan yang masuk ke pengadilan Jakarta. Siahaan telah meninggal dunia dan
meninggalkan testament bahwa harta kekayaan yang dimiliki oleh siahaan diberikan kepada lexi dan Stefan
anak angkat siahaan di Australia. Testament tersebut dibuat oleh siahaan pada saat perjalanan bisnisnya ke
eropa tepat nya di jerman.
Titik Taut Primer
Dalam kasus ini dapat kita lihat bahwa telah dilakukan suatu perbuatan hukum yakni adanya perkawinan
dan pembuatan testamen di Australia dengan pernikahan perbedaan warga negara yang menikah, dan
pembuatan testament di jerman oleh siahaan.
Titik taut sekunder
1
Berdasarkan hukum nasional kita maka secara materiil perkawinan harus dilakukan sesuai dengan KUHPdt
dan UU perkawinan No.1 tahun 1974. Karna dilakukan di Australia maka secara materiil maupun formil
harus diselesaikan dengan hukum Australia karna dilakukan oleh hukum Australia.
Kasus 5 berhubungan dengan hukum perkawinan pada Hukum Perdata Internasional
Kasus penunjukan lebih jauh (renvoi)
Fakta 1 Seorang paman dan saudara sepupu perempuan yang kedua2nya berkewarganegaraan swiss, tinggal
di moskow (rusia) dan mereka menikah disana. Sebelum melangsungkan perkawinan tersebut mereka telah
minta penjelasan baik dari instansi rusia maupun dari instansi swiss apakah perkawinan mereka
diperbolehkan. Kedua instansi ini baik dari rusia maupun dari swiss, tidak melihat adanya suatu keberatan.
Karena menurut HPI rusia, perkawinan harus dilangsungkan menurut hokum rusia (rusia menganut prinsip
teritorial. Jadi berlaku lex loci celebrations). Sedangkan menurut ketentuan HPI (ekstern) swiss, perkawinan
ini dilangsungkan menurut hokum rusia (bahwa suatu perkawinan yang dilakukan di luar negri menurut
hokum yang berlaku disana dianggap sah menurt hokum swiss. Menurut hokum intern swiss perkawinan
antara seorang paman dan saudara sepupu perempuan dilarang, apabila dilangsungkan di Negara swiss,
tetapi Karena perkawinannya dilangsungkan di rusia, maka perkawinan tidak dilarang. Dengan demikian
akan berlaku hokum rusia yang tidak mengenal larangan perkawinan antara paman dengan saudara
sepupunya Ini , maka perkawinan yang bersangkutan baik menurut hukum rusia maupun menurut HPI rusia
dan HPI swiss sah adanya. Kemudian para mempelai pindah ke humburg (jerman), disini timbul
percekcokan hingga perempuan mengajukan gugatan untuk perceraian. Sedangkan pihak paman
mengajukan pembatalan perkawinan.
Contoh kasus 6 Hukum Perdata internasional :
Kasus IPB dan amerika Fakta y IPB melakukan perjanjian untuk mengirim 800 kera ke Amerika, Kera
tersebut hanya akan diambil anaknya saja dan babonnya akan dikembalikan ke Indonesia. Harga perekor
disepakati sebesar 80 (delapan puluh) juta dan pihak amerika serikat hanya membutuhkan anaknya saja dan
harus beranak di Amerika serikat. Ketika posisi pesawat masih di swiss, seekor monyet stress dan
lepas,melahirkan anaknya. Karena induknya telah dilumpuhkan dan mati, maka dokter hewan IPB
menyuntik mati anak monyet tersebut karena pertimbangan rasa kasihan . Lawyer Amerika serikat menuntut
IPB atas dasar perlindungan satwa dan dianggap tak memenuhi prestasi dengan sempurna serta membunuh
seekor anak monyet. Disatu sisi, Kera di Indonesia tidak lebih sebagai hama, sedangkan bagi Amerika
serikat merupakan satwa yang harus mendapat perlindungan. Jawab 1. Forum yang berwenang y Pengadilan
mana yang berwenang mengadili kasus ini? Yaitu pengadilan bogor karena sesuai dengan prinsip actor
sequitor forum rei yaitu gugatan diajukan ke pengadilan, tempat dimana tergugat bertempat tinggal. Karena
tergugat (IPB) bertenpat tinggal di Bogor, maka forum yang berwenang harus di tempat tinggal tergugat 1.
Titik taut primer adalah factor-faktor/keadaan yang menciptakan hubungan HPI dalam kasus ini yang
merupakan titik taut primer harus dilihat/ditinjau dari pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa
ini. Menurut
2
pandangan PN bogor perkara ini adalah perkara HPI karena ada unsur asingnya yaitu pihak penggugat
berkewarganegaraan Amerika. 2. Kualifikasi adalah penyalinan fakta sehari-hari kedalam istilah-istilah
hokum y Kasus ini termasuk kualifikasi hokum perjanjian dan perbuatan melawan hokum. y Kualifikasi
hokum perjanjian karena mengenai wanprestasi dari pihak IPB (jumlah kera yang dikirim menjadi
berkurang satu adalah yang seharusnya 800 ekor kera.) y Kualifikasi perbuatan melawan hokum, karena
pihak IPB menyuntik anak monyet sampai mati, kera menurut amerika serikat merupakan satwa yang
harus/mendpat perlindungan. Sehingga perbuatan IPB menyuntik mati anak kera diklasifikasikan sebagai
perbuatan melawan hokum.
Contoh kasus 7
Kasus Babcock dan Jackson Fakta: y Miss Georgia Babcock dengan kawan-kawannya yaitu Mr. dan Mrs
William Jackson pergi untuk week end ke Canada pada tanggal 16 september tahun 1960,dengan memakai
mobil Jackson. Mereka semua penduduk Rochester (New York). Waktu melewati propinsi Ontario. Mereka
mengalami kecelakaan yang menyebabkan Miss Babcock luka berat y Sekembalinya ke New York, Miss
Babcock melakukan tuntutan ganti rugi terhadap Jackson berdasarkan negligence. y Pada waktu
kecelakaan terjadi, di Ontario berlaku suatu Guest Statue yang pada pokoknya menentukan bahwa orangorang yang hanya merupakan Guest tanpa bayaran tidak dapat menuntut konpensasi apapun jika terjadi
kecelakaan. Ketentuan sedemikian tidak ada dalam perundang-undangan Negara bagian New York. Jawaban
1. FORUM YANG BERWENANG y Berdasarkan prinsip forum rei (Actor sequitor forum rei) yaitu gugatan
diajukan ke pengadilan tempat dimana tergugat bertempat tinggal, maka forum yang berwenang adalah PN
New York karena Jackson (tergugat) bertempat tinggal di new York 1. TITIK TAUT PRIMER y y Apakah
perkara ini termasuk HPI? Ya Apa titik taut primer nya? Dalam perkara ini titik taut primernya adalah tempat
terjadinya perbuatan melawan hokum (tempat kecelakaan) yaitu di oktario. Ini sebagai element asing bila
ditinjau oleh PN New York. 1. Kualifikasi y Perkara ini menurut PN New York termasuk kualifikasi
perbuatan melawan hokum karena menyangkut masalah ganti rugi yang disebabkan neglicence
Factor-factor yang menyatakan hal ini adalah: y y y Gugatan diajukan oleh seorang newyork guest terhadap
new York host. Surat izin mengemudi dan asuransi mobilnya di new York Perjalanan week end ini dimulai
dan diharapkan berakhir di new York Jadi memang new York yang memiliki superior Claim untuk
pemakaian hokum dan juga the Strongest interest dalam perkara ini. Oleh karena itu, berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tadi maka hokum yang dipakai dalam perkara Babcock ini adalah hokum new
York, dan gugatan babcock dimenangkan dan keputusan-keputusan dari hakim rendahan yang telah
memenangkan pihak jacson di batalkan dan eksepsi dari yang disebut belakangan ini dikesampingkan.
Hukum Perdata Internasional : Asas dalam penentuan forum yang berwenang 1. Principle Forum rei, bahwa
gugatan diajukan ke pengadilan,tempat dimana tergugat bertempat tinggal 2. Principle of forum of
convenience, adalah suatu prinsip bahwa pengajuan perkara sebaiknya dilakukan ditempat tergugat karena
untuk memberikan kemudahan kepada tergugat. Antara lain tergugat dapat melakukan pembelaan 3.
Principle of effectiviness, adalah suatu prinsip bahwa suatu perkara sebaiknya diajukan ke pengadilan
dimana hakim akan mudah untuk melakukan eksekusi Hukum Perdata Internasional : Persoalan
Pendahuluan Persoalan pendahuluan, Keputusan terakhir dari suatu persoalan HPI yang diajukan di hadapan
hakim suatu Negara tergantung dari pemecahan terlebih dahulu daripada suatu persoalan lain. Contoh kasus
8
Perkawinan bukan gerejani dari janda yunani. Misalnya kita menghadapi persoalan HPI tentang warisan,
menurut HPI Indonesia warisan diatur menurut hokum nasional si pewaris. Seorang warganegara yunani
telah meninggal di Indonesia dan meninggalkan harta benda, maka persoalan warisannya harus diselesaikan
menurut hokum yunani. Ia telah menikah dengan seorang perempuan bukan yunani, perkawinan mana
dilangsungkan di luar negri yunani dan hanya di hadapan Pegawai Catatan Sipil belaka, tanpa di gereja.
Menurut hokum yunani perkawinan demikian adalah tidak sah, Kalau dipakai hokum yunani maka sang
janda tidak akan menerima apa-apa. Sebaliknya jika dipakai hokum Indonesia, maka perkawinan tersebut
adalah sah Dalam contoh ini persoalan warisan adalah persoalan pokok, sedangkan pertanyaan mengenai sah
tidak nya perkawinan antara si pewaris junani dengan perempuan bersangkutan adalah persoalan
pendahuluan. Persoalan mengenai status sang perempuan ini harus terlebih dahulu diselesaikan sebelum
dapat diambil keputusan dalam perkara warisan bersangkutan
Misal y Seseorang dianggap dewasa menurut ketentuan Negara x kemudian menjadi warganegara Y yang
menentukan batas kedewasaan secara berlainan hingga orang bersangkutan menurut hokum dari Y belum
cukup umur. Apakah karena perubahan kewarganegaraan ini ia dari deasa menjadi tidak dewasa lagi. Jika
diterima ketentuan : sekali dewasa, tetap dewasa, maka menurut HPI dari Negara baru bersangkutan ini ia
tetap dewasa dan diterimalah prinsip tentang hak-hak yang telah diperoleh Hukum Perdata Internasional :
Pilihan Hukum Pilihan Hukum berarti, Para pihak dalam suatu kontrak bebas untuk melakukan pilihan,
mereka dapat memilih sendiri hokum yang harus dipakai untuk kontrak mereka. Para pihak dapat memilih
5
hokum tertentu. Mereka hanya bebas untuk memilih ,tetapi mereka tidak bebas untuk menentukan sendiri
perundang-undangan nya.
contoh kasus 9
masalah perbudakan . Kita di Indonesia memakai prinsip nasionalitas dalam 16 A.B, maka orang asing yang
berada di Indonesia memakai hokum nasional mereka. Jika misalnya terdapat orang asing yang dalam
hokum nasional nya masih mengenal perbudakan seperti Negara terbelakang di afrika, maka apabila orang
ini timbul masalah hokum dengan budak nya dan menuntut tergugat sebagai budak nya nya untuk tetap
bekerja selamanya untuk dia maka pengadilan negri kita walaupun seharusnya memakai kaidah-kaidah
hokum nasional negra afrika kita dapat tidak menggunakan nya dengan alasan melanggar ketertiban umum
Indonesia berupa pancasil yang menentang permasalahn perbudakan Penyelundupan Hukum, kita saksikan
hokum nasional tetap berlaku itu dan dianggap tepat pada suatu peristiwa tertentu saja, yakni karena kini ada
seorang yang untuk mendapatkan berlaku nya hokum asing telah melakukan suatu tindakan yang bersifat
mengindarkan pemakaian hokum nasional itu, Jadi hokum asing yang dikesampingkan karena
pemyelundupan hokum, akan mengakibatkan bahwa untuk hal-hal lainnya akan selalu boleh dipergunakan
hokum asing itu Contoh: y Perkawinan orang-orang dari Indonesia di penang atau singapura., Dalam praktek
hokum Indonesia dikenal kemungkinan untuk mengelakkan kesulitan larangan menikah kembali bagi pihak
perempuan yang telah bercerai sebelum 300 hari lewat, akan tetapi ada obatnya yaitu menikah di penang
atau singapura yang tidak mengenal batas menikah kembali dalam hokum inggris
Lawyer Ameika menuntut IPB atas dasar perlindungan satwa dan dianggap tidak memenuhi prestasi, serta
membunuh seekor anak monyet.
Anak monyet bagi Amerika merupakan satwa yang dilindungi.
Titik Taut Primer :
Titik taut primer adalah faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang memperlihatkan bahwa kita berhadapan
dengan peristiwa hukum perdata Internasional. Atau faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang
memperlihatkan bahwa suatu hubungan atau peristiwa adalah peristiwa hukum perdata Internasional.
Dalam kasus ini titik taut primernya adalah kewarganegaraan dari para pihak. Dimana pihak penggugat yaitu
Lawyer berkewarganegaraan Amerika Serikat, sedangkan pihak tergugat yaitu dokter hewan IPB
berkewarganegaraan Indonesia.
Titik Taut Sekunder :
Titik taut sekunder adalah faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang menentukan hukum Negara mana yang
harus berlaku dalam suatu peristiwa hukum perdata internasional.
Dalam kasus ini titik taut sekundernya karena dari perjanjian antara IPB dan Amerika Serikat tidak ada
pilihan hukum atau pilihan forum yang diatur secara tegas dalam perjanjiannya, maka titik taut sekundernya
ada lebih dari satu yaitu :
Lex Loci Contractus (hukum tempat dilangsungkannya perjanjian).
Lex Loci Solutionis (hukum tempat dilaksanakannya perjanjian).
Lex Loci Delicti Commisi (hukum tempat perbuatan melawan hukum dilakukan).
The Most Characteristic Connection (pihak yang lebih menonjol dalam kontrak).
Hukum Yang Berlaku :
Berdasarkan Lex Loci Contractus,maka hukum yang berlaku adalah hukum perdata Indonesia karena
perjanjian dibuat di Indonesia.
Berdasarkan Lex Loci Solutionis, maka hukum yang berlaku adalah hukum Amerika Serikat karena
perjanjian dilaksanakan di Amerika Serikat yaitu, anak monyet yang diperjanjikan harus beranak di Amerika
Serikat.
Berdasarkan Lex Loci Delicti Commisi, maka hukum yang berlaku adalah hukum Swiss, karena perbuatan
melawan hukum berupa penyuntikan mati anak monyet yang diperjanjikan dilakukan ketika pesawat berada
diatas wilayah Negara Swiss.
Berdasarkan The Most Characteristic Connection, maka hukum yang berlaku adalah hukum perdata
Indonesia, karena pihak yang paling menonjol adalah IPB (Indonesia) sebagai penjual kera, karena IPB yang
harus menyerahkan kera,merawat dan menjaga kera dengan baik sampai nanti kera diserahkan kepada
pihak AmerikaSerikat. Dan dalam perjanjian jual-beli pihak yang paling menonjol atau dominan adalah
pihak penjual dalam hal ini adalah IPB.
Contoh Kasus 9
Babcock dan Jackson
Miss Georgia Babcock dengan kawan-kawannya yaitu Mr. dan Mrs William Jackson pergi untuk week end
ke Canada pada tanggal 16 september tahun 1960,dengan memakai mobil Jackson. Mereka semua penduduk
Rochester (New York). Waktu melewati propinsi Ontario. Mereka mengalami kecelakaan yang
7
menyebabkan Miss Babcock luka berat. Sekembalinya ke New York, Miss Babcock melakukan tuntutan
ganti rugi terhadap Jackson berdasarkan negligence. Pada waktu kecelakaan terjadi, di Ontario berlaku
suatu Guest Statue yang pada pokoknya menentukan bahwa orang-orang yang hanya merupakan Guest
tanpa bayaran tidak dapat menuntut konpensasi apapun jika terjadi kecelakaan. Ketentuan sedemikian tidak
ada dalam perundang-undangan Negara bagian New York.
Fakta-faktanya :
Miss Georgia Babcock dengan kawan-kawannya yaitu Mr. dan Mrs William Jackson pergi untuk week end
ke Canada pada tanggal 16 september tahun 1960,dengan memakai mobil Jackson. Mereka semua penduduk
Rochester (New York).
Waktu melewati propinsi Ontario. Mereka mengalami kecelakaan yang menyebabkan Miss Babcock luka
berat.
Sekembalinya ke New York, Miss Babcock melakukan tuntutan ganti rugi terhadap Jackson berdasarkan
negligence
Pada waktu kecelakaan terjadi, di Ontario berlaku suatu Guest Statue yang pada pokoknya menentukan
bahwa orang-orang yang hanya merupakan Guest tanpa bayaran tidak dapat menuntut konpensasi apapun
jika terjadi kecelakaan
Titik Taut Primernya :
Titik taut primer adalah faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang memperlihatkan bahwa kita berhadapan
dengan peristiwa hukum perdata Internasional. Atau faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang
memperlihatkan bahwa suatu hubungan atau peristiwa adalah peristiwa hukum perdata Internasional.
Dalam kasus ini titik taut primernya adalahtempat terjadinya perbuatan melawan hukum (tempat
kecelakaan) yaitu di oktario. Ini sebagai element asing bila ditinjau oleh PN New York.
Titik Taut Sekunder :
Titik taut sekunder adalah faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang menentukan hukum Negara mana yang
harus berlaku dalam suatu peristiwa hukum perdata internasional.
Dalam kasus ini titik taut sekundernya adalah Lex Loci Delicti Commissi (hukum tempat perbuatan
melawan hukum dilakukan).
Hukum Yang Berlaku :
Dalam kasus ini hukum yang berlaku adalah :
Pengadilan TK I : Memakai lex locus delicti commissi yaitu hukum Ontario demikian pula dengan;
Pengadilan TK II : pun menggunakan hukum Ontario sebagai hukum tempat terjadinya kecelakaan
Tetapi di tingkat kasasi hukum yang dipergunakan adalah hukum new York karena kepentingan new
York jauh melebihi kepentingan Ontario : concen dari new York adalah greater and more direct daripada
interest Octario
Faktor-faktor yang menyatakan hal ini adalah:
Gugatan diajukan oleh seorang newyork guest terhadap new York host.
Surat izin mengemudi dan asuransi mobilnya di new York
Perjalanan week end ini dimulai dan diharapkan berakhir di new York
Jadi memang new York yang memiliki superior Claim untuk pemakaian hukum dan juga the Strongest
interest dalam perkara ini.
Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tadi maka hukum yang dipakai dalam perkara
Babcock ini adalah hukum new York, dan gugatan babcock dimenangkan dan keputusan-keputusan dari
hakim rendahan yang telah memenangkan pihak jacson di batalkan dan eksepsi dari yang disebut
belakangan ini dikesampingkan.
b)
Tergugat tanpa seizin penggugat telah mendaftar Merek V2 VERSI VERSUS yang mempunyai
persamaan pada pokoknya dengan Merek-merek penggugat dan Merek milik tergugat tersebut terdaftar
dalam kelas yang sama dengan Merek-Merek milik penggugat.
c)
Bahwa tindakan tergugat tersebut merupakan itikad buruk yang hendak membonceng keterkenalan
Merek-Merek milik penggugat sehingga tergugat dapat menikmati keuntungan ekonomi dengan mudah atas
penjualan produksinya yang membonceng Merek milik penggugat, atas hal ini seharusnya permohonan
pendaftaran Merek milik tergugat ditolak berdasarkan Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang No.15 Tahun
2001 tentang Merek.
Uraian posisi kasus di atas menunjukkan bahwa kasus ini merupakan pemboncengan atas Merek Terkenal
yang dilakukan oleh warga negara nasional.
Fakta-faktanya :
Gianni Versace S.p.A, selaku penggugat yang merupakan badan hukum yang didirikan menurut UndangUndang Italia dan berkedudukan di Italia.
Perusahaan Gianni Versace S.p.A didirikan pada tahun 1978 oleh seorang desainer terkemuka bernama
Gianni Versace. Gianni Versace S.p.A adalah salah satu perusahaan fesyen ternama di dunia. Perusahaan ini
mendesain, memproduksi dan mendistribusikan produknya yang berupa busana, perhiasana, kosmetik,
parfum dan produk fesyen sejenis.
Pada bulan September 2000, Gianni Versace S.p.A bekerjasama dengan Sunland Group Ltd, sebuah
perusahaan terkemuka Australia membuka Pallazo Versace, yaitu sebuah hotel berbintang enam yang
terletak di Gold Coast Australia.
Giannni Versace S.p.A selaku penggugat ini menjual produksinya ke Indonesia dan merek yang melekat
pada produk-produk milik penggugat telah dilindungi oleh hukum Indonesia. Kemudian, pihak tergugat
adalah Sutardjo Jono, seorang Warga Negara Indonesia yang berkedudukan di Medan.
Penggugat adalah pemilik yang berhak atas Merek VERSUS, VERSACE, VERSACE CLASSIS V2
dan VERSUS VERSACE, yang mana Merek-Merek tersebut telah dipakai, dipromosikan serta terdaftar di
negara asalnya Italia sejak tahun 1989 dan terdaftar pula di 30 negara lebih, sehingga Merek penggugat
berdasarkan Pasal 6 ayat 1 Butir b Undang-undnag No.15 Tahun 2001 tentang Merek dikualifikasikan
sebagai Merek Terkenal, di mana Merek yang disengketakan adalah Merek penggugat yang telah terdaftar
pada kelas 9,18 dan 25.
Tergugat tanpa seizin penggugat telah mendaftar Merek V2 VERSI VERSUS yang mempunyai persamaan
pada pokoknya dengan Merek-merek penggugat dan Merek milik tergugat tersebut terdaftar dalam kelas
yang sama dengan Merek-Merek milik penggugat.
Bahwa tindakan tergugat tersebut merupakan itikad buruk yang hendak membonceng keterkenalan MerekMerek milik penggugat sehingga tergugat dapat menikmati keuntungan ekonomi dengan mudah atas
penjualan produksinya yang membonceng Merek milik penggugat, atas hal ini seharusnya permohonan
pendaftaran Merek milik tergugat ditolak berdasarkan Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang No.15 Tahun
2001 tentang Merek
10
3.
Kualifikasi Otonom
Kualifiaksi otonom pada dasarnya menggunakan metode perbandingan hukum untuk membangun suatu
sistem kualifikasi yang berlaku secara universal. Kualifikasi yang dilakukan secara otonom ini terlepas dari
salah satu sistem hukum tertentu, artinya dalam HPI seharusnya ada. Teori ini memang ideal sekali, tetapi di
dalam praktek hal tersebut sukar dilaksanakan, karena :
a.
Menemukan dan menetapkan pengertian hukum yang dapat dianggap sebagai pengertian yang berlaku
umum adalah pekerjaan yang sulit dilaksanakan, bila tidak mau dikatakan sebagai tidak mungkin. Dalam
penerapannya, susah untuk bersifat general.
b.
Hakim yang akan menggunakan kualifiaksi yang demikian ini haruslah mengenal semua sistem hukum
di dunia, agar ia dapat menemukan konsep-konsep yang memang diakui di seluruh dunia.
Dalam hal ini dapat dikualifikasikan dalam teori bertahap atau primer dan sekunder.
Contoh Kasus :
- Menurut HPI Swiss, warisan diatur menurut hukum tempat tinggal terakhir Pewaris, tanpa dibedakan
barang bergerak atau tidak bergerak;
- Jika kualifikasi tingkat pertama, dapat ditentukan hukum Inggris yang berlaku (tempat tinggal terakhir
Pewaris), maka harus ditentukan benda-benda apa yang merupakan benda bergerak (movables) dan benda
tidak bergerak (immovables) menurut hukum Inggris (kualifikasi tingkat kedua);
- Hkum Inggris, jika tak ada wasiat, benda movables berlaku hukum dari lex dimicili Pewaris, terhadap
benda immovables berlaku lex rei situs; (letak benda immovables);
- Jika lex domicile Pewaris adalah hukum Swiss, maka akan berlaku hukum Swiss terhadap benda movables
(Renvoi). Dan jika lex situs dari benda immovables adalah Jerman, maka hukum Jermanlah yang harus
berlaku (penunjukan lebih lanjut)
BAB 2
KETERTIBAN HUKUM
Ketertiban Umum : lembaga dalam HPI yang memungkinkan sang Hakim untuk mengenyampingkan
hukum asing yang seharusnya diberlakukan sesuai dengan apa yang diatur dalam ketentuan HPI, karena
dianggap bertentangan dengan sendi-sendi azasi Hukum nasional sang Hakim.
Sebagai contoh:
I. Perbudakan :
Bagi orang-orang asing yang berasal dari Negara yang mengakui perbudakan (spt. Afrika), jika timbul
perselisihan diantara mereka (hubungan budak-majikan), meski menurut HPI Indonesia ic Pasal 16 AB
menentukan hukum personil WNA itu yg harus diterapkan, maka Hakim (Indonesia) tidak akan
13
menggunakannya / mengenyampingkan, karena hal itu (perbudakan) dianggap bertentangan dengan sendisendi azasi sistim hukum Indonesia.
II. Perkawinan di Jerman pada zaman HITLER
Pada zaman Nazi berkuasa di Jerman (Hitler) ada UU tahun 1931 yang melarang perkawinan antara apa
yang disebut bangsa Aria dengan bukan Aria. Larangan nikah berdasarkan ras dianggap oleh banyak
Negara tidak dapat diperlakukan, karena melanggar ketertiban umum;
III. Perceraian 2 WN RRC
UU Perkawinan 1950 RRC pasal 17 memungkinkan perceraian berdasarkan persetujuan bersama. HPI
Indonesia (psl 16 AB prinsip nasionalitas) berlaku hukum RRC, namun dikesampingkan karena
bertentangan dengan ketertiban umum.
Lembaga ketertiban umum ini harus seirit dan seselektif mungkin, dipergunakan jika diperlukan
sekali sebagai ultimum remedium karena jika terlalu banyak digunakan akan dicap sebagai bangsa yang
munafik, hanya mementingkan hukum sendiri (As a Shield not as a sword sebagai perisai/pelindung,
bukan sebagai pedang).
Ada 3 Konsep Ketertiban Umum di dunia, yaitu :
I. Konsep Romawi:
Lembaga Ketertiban Umum selalu digunakan setiap kali bertentangan dengan hukum sang Hakim, bukan
dengan pengecualiannya. (As a sword not as ashield);
II. Konsep Jerman
Lembaga ketertiban umum dipergunakan sebagai pengecualian, sebagai rem darurat as a shield. Yang
penting adalah bahwa Ketertiban Umum di Jerman sangat berkaitan erat dengan keadaan dalam negeri
(Inlandsbezithungen).
Contoh: Bremen Tobako Case
- Pemerintah RI baru merdeka menasionalisasikan perkebunan tembakau di Deli yang dimiliki oleh orang
Belanda;
- Tembakau itu lalu diexport ke Jerman, untuk dilelang di pasaran BREMEN;
- Pemilik lama perkebunan tembakau Deli tersebut mengajukan tuntutan/gugatan ke Pengadilan Negeri
Bremen Jerman, dengan tntutan:
14
BAB 3
PENYELUNDUPAN HUKUM
16
Penyelundupan hukum adalah kaidah-kaidah hukum asing yang terkadang dikesemaping kan menggunakan
hukum nasional atau sebaliknya untuk keuntungan atau tujuan tertentu. Ketertiban hukum dan
penyelundupan hukum mempunyai hubungan erat, keduanya bertujuan agar hukum nasional dipakai dengan
mengesampingkan hukum asing. Hukum asing dianggap tidak berlaku jika dipandang sebagai
penyelundupan hukum. Keduanya hendap mempertahankan hukum nasional terhadap kaidah kaidah
hukum asing.
Perbedaan antara Ketertiban hukum dan Penyelundupan Hukum adalah
Penyelundupan hukum : hukum nasional tetap berlaku dan dianggap tepat pada suatu peristiwa
tertentu saja ,karena pada saat ini untuk mendapatkan berlakunya hukum asing telah melakukan suatu
tindakan yang bersifdat menghindarkan pemakaian hukum nasinal tersebut.
Jadi hukum asing yang dikesampingkan karena penyelundupan hukum akan mengakibatkan bahwa untuk
hal hal lainnya akan selalu boleh dipergunakan hukum asing itu. Hanya dalam hal hal khusus kaidah
asing tidak dipergunakan karena hal ini telah dimungkinkan oleh suatu cara yang tidak dibenarkan.
Contoh kasus:
Gretna Green
Sebuah desa di Scotlandia dekat dengan England yang menjadi tempat perlindungan bagi orang-orang
Inggris yang hendak menikah tanpa persetujuan dari orang tua mereka.
Perkawinan orang-orang Indonesia di Penang atau Singapur
- larangan menikah karena adanya ketentuan larangan kawin sebelum lewat 300 hari bagi perempuan
menurut BW, disiasati dengan melakukan perkawinan di Penang atau Singapur;
- kalau sekarang banyak digunakan oleh pasangan yang berbeda agama.
Contoh-contoh penyeludupan hukum:
Wanita-wanita asing yang secara tergesa-gesa menikah dengan pria Belanda pada masa perang, dengan
maksud menghindarkan pengusiran oleh jawatan Imigrasi)
Zevenburgen, maka keputusan pisah meja & tempay tidur bias diubah menjadi perceraian;
Naturalisasi di Eslandia:
- Van A WN Belanda menikah di Indonesia dengan WN Belanda;
- bercerai menurut BW (KUHPerdata) belum cukup alasan, maka hanya pisah meja dan tempat tidur;
- pergi ke Negara Baltik, Eslandia naturalisasi ke Eslandia dan mengajukan perceraian;
- Van A menikah lagi dengan wanita lain dilangsungkan di Scotlandia.
Kasus Mr. I. Tj.
Mr. I Tj. Pengacara WNI (Islam) menikah dengan Ny. JMR (WN Belanda) masuk Islam
Ny. JMR ke labuan Bilik batu mengucapkan ikrar murtad di depan Raad Agama Kerapatan Besar
negeri Panei, Raad Agama memutuskan jika sudah murtad tunggu 3 x suci, jika masih murtad talak jatuh
pada tanggal nikahnya.
Ternyata JMR menikah lagi di Surabaya dengan WN Belanda.
Alasan murtad dapat dijadikan alasan perceraian, penyeludupan hukum yang dilakukan JMR berhasil.
Sifat penyeludupan Hukum
Menggunakan HPI untuk tujuan tertentu, supaya atas hubungan non hukum tertentu diperlakukan
hukum yang lain dari pada apa yang seharusnya akan dipergunakan. Tujuan penyeludupan hukum
adalah untuk dapat mmenghindarkan suatu akibat hukum yang tidak dikehendaki atau untuk mewujudkan
suatu akibat hukum yang dapat dikehendaki. VESTERS DUBINK merupakan Penyeludupan hukum yang
terjadi apabila seorang berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dipergunakan dalam undang-undang, tetapi
melawan jjiwa dan tujuannya, secara muslihat melakukan perbuatan-perbuatan yang dimaksudkan untuk
menghindarkan berlakunya kaedah-kaedah hukum tertulis / tidak tertulis.
Akibat-akibat Penyeludupan Hukum:
o setiap penyeludupan hukum mengakibatkan batalnya perbuatan bersangkutan.
o Ungkapan yang terkenal: fraus omnia corrumpt, artinya penyeludupan hukum
o mengakibatkan bahwa perbuatan hukum itu dalam kkeseluruhannya tidak berlaku.
Prinsip ini dianut oleh Perancis.
Contoh kasus : peristiwa putrid De Bauffrement.
BAB 4
PILIHAN HUKUM
Pilihan Hukum merupakan kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk menentukan hukum yang
akan berlaku bagi konntrak yang dibuatnya
- penemu Pilihan Hukum DUMOULIN (Perancis).
Batasan Penggunaan Pilihan Hukum
18
Tindakan-tindakan para pihak yang menunjukan kearah suatu sistim hukum tertentu
Contoh: - pengiriman barang menggunakan jasa pengangkut New
York
- klausul-klausula dalam pasal mirip dengan klausula dalam sistim hukum New York jadi dianggap para
pihak menundukan diri pada sistim hukum New york.
c. Pilihan hukum yang dianggap
Dugaan-dugaan fiktif dari sang Hakim dimana hakim menganggap para pihak telah memilih satu sistim
hukum tertentu.
d. Pilihan hukum secara hipotetis
Berdasarkan dugaan-dugaan dari sang Hakim
Lebih buruk dari (butir C) karena disini para pihak tidak bermaksud / tidak ada maksud / keinginan untuk
memilih suatu hukum.
Pilihan Hukum alternative asas favorable, sepanjang disepakati oleh para pihak;
Pilihan Hukum Selektif dilakukan terhadap pilihan hukum suatu Negara yang memiliki kompleksitas sistim
hukum.
Contoh: Indonesia ; hukum perdata barat, hukum Adat hukum Islam.
BAB 5
HAK HAK YANG TELAH DIPEROLEH
Istilah hak-hak yang diperoleh sering disebut dengan right and obligations created abroad atau hak
dan kewajiban hukum yang terbit berdasarkan hukum asing. Yang menjadi persoalan dalam HPI, apakah hak
dan kewajiban hukum yang dimiliki seseorang berdasarkan kaedah-kaedah dari suatu sistim hukum asing
tertentu harus diakui atau tidak oleh lex fori.
Menurut Prof. SUDARGO GAUTAMA:
Dalam HPI masalah Vested rights ini dikemukakan untuk memasalahkan sejauh mana perubahanperubahan yang terjadi terhadap fakta-fakta akan mempengaruhi berlakunya kaedah-kaedah hukum yang
semula digunakan.
Hubungan antara ketertiban Umum dengan hubungan hak-hak yang diperoleh :
Hukum asing yang seharusnya berlaku menjadi tidak berlaku
Hukum asing dikesampingkan
Penggunaan yang terlalu sering akan menyebabkan pergaulan internasional menjadi terhambat (karena
penggunaan hokum sendiri)
Asas ketertiban umum menyangkut berbagai hal ; tidak hanya menyangkut soal milik dan status
Asas ketertiban umum bertitik tolak pada paham, bukan kepentingan nasional
Diadakan demi kepastian hokum dalam masyarakat sendiri
Ketertiban umum sama sekali menyampingkan kwalifikasi
Orang lebih condong memperlakukan asas ketertiban umum, jika soalnya menyangkut kepentingan sendiri
20
Pada dasarnya sangat jarang sebuah kasus yang berkaitan dengan incidental question dapat
memenuhi criteria, oleh karenanya dalam praktek criteria tersebut diterapkan tidak terlalu strict /kaku.
Sebagai contoh fleksibilitas penerapanmisalnya dalam kasus Pewarisan atas benda bergerak adalah
sebagai berikut:
- criteria pertama dianggap tidak terpenuhi apabila pada saat pewaris meninggal dunia, ia berkedudukan
tetap di Negara forum;
- criteria ketiga dianggap tidak terpenuhi apabila seorang pewaris yg berdomicili di Negara asing membuat
terstament yang menyatakan untuk memberikan harta warisannya untuk anak sahnya, padahal lex fori dan
hukum asing tersebut memiliki kesamaan dalam menentukan apakah anak tersebut adalah anak yang sah
atau tidak sah. Dengan tidak dipenuhi kriterianya, maka perkara tidak perlu diselesaikan dengan
menggunakan methode penyelesaian dalam incidental question.
Cara penyelesaian
Teori HPI mengenal tiga pandangan tentang cara penyelesaian persoalan pendahuluan, yaitu:
1. Absorption
Prinsipnya: melalui absorption, lex causae yang dicari dan ditetapkan melalui penerapan kaedah HPI
untuk mengatur masalah pokok (main issue) akan digunakan juga untuk menjawab persoalan
pendahuluan. Jadi setelah lex causae untuk masalah pokok ditetapkan kaedah HPI lex fori, masalah
pendahuluannya akan ditundukan pada lex causae yang sama. Cara ini disebut cara penyelesaian
berdasarkan lex causae.
2. Repartition
Pada dasarnya, melalui repartition, hakim harus menetapkan lex causae untuk maslah pendahuluan
secara khusus dan tidak perlu menetapkan lex causae dari masalah pokoknya terlebih dahulu. Dengan
mengabaikan lex causae dari masalah pokok, hakim akan melakukan kualifikasi berdasarkan lex fori dan
menggunakan kaedah HPInya yang relevan khusus untuk menetapkan lex causae masalah pendahuluan.
Cara ini disebut penyelesaian dengan lex fori.
3. Pendekatan Kasus demi Kasus
Penetapan lex causae untuk masalah pendahuluan atau incidental question dilakukan dengan
pendekatan kasuistis, dengan memperhatikan sifat dan hakekat perkara atau kebijakan dan kepentingan
forum yang mengadili perkara.
Prof. Cheshire, kebanyakan putusan hakim dalam kasus-kasus incidental questions diselesaikan melalui
22
absorption. Namun Cheshire cenderung untuk menggunakan pendekatan kasuistis (case by case approach)
dengan memperhatikan kelas, jenis perkara yang dihadapi.
Misalnya:
- perkara HPI bidang pewarisan benda-benda bergerak sebaiknya digunakan absorption; sedangkan
- perkara dibidang perbuatan melawan hukum (tort) atau kontrak sebaiknya digunakan repartition.
Di Belanda, pengadilan lebih banyak menggunakan repartition, MA Belanda (Hoge Raad)
menetapkan bahwa pada dasarnya masalah hukum yg berlaku dalam persoalan pendahuluan (voorvraag)
harus dijawab melalui repartition. Namun dengan pengecualian bahwa absorption dapat digunakan apabila
terdapat keterkaitan yang kuat antara masalah pokok (hoofdraag) dengan persoalan pendahuluan
(voorvraag).
Di Inggris, ada kecenderungan untuk melakukan absorption.
Contoh-contoh Kasus
1. RE MAYS ESTATE (1953)
Kasus Posisi:
- Sam dan Fannie May (Paman dan kemenakan, WNAmerika keturunan yahudi) berkediaman tetap di
Negara Bagian (NB) New York, Amerika serikat. Berdasarkan hukum NB New York perkawinan antara
paman keponakan dianggap batal demi hukum karena bersifat incestuous (jinah), karenanya tahun 1913 Sam
dan Fannie May menikah di NB Rhode Island berdasarkan kaidah hukum adat Yahudi Hibrani dan diakui
menurut NB itu. Dua minggu setelah perkawinan mereka kembali ke NB New York hidup disana sebagai
suami istri selama 32 tahun dikaruniai 6 orang anak;
- Tahun1945, Fannie May meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta benda yang dikuasai Sam
suaminya. Kemudian salah seorang anaknya mengajukan gugatan di Pengadilan New York untuk menentang
kewenangan Sam May (ayahnya) untuk menguasai dan mengurusi kekayaan peninggalan istrinya. Dasar
gugatannya , karena perkawinan Sam dan Fannie May did an berdasarkan hukum Rhode Island dianggap
tidak sah.
Persoalan Hukum:
a. Apakah Sam may berwenang untuk menguasai dan mengurus harta Fannie May, dengan alas hak sebagai
pasangan yang masih hidup dari suami istri yang telah menikah dengan sah. Hal ini harus diputuskan
berdasarkan lex domicile dari Sam dan fannie, yaitu hukum New York. Gugatan sang anak inilah menjadi
masalah pokok (main question) dalam kasus ini;
b. Untuk memutus perkara ini Pengadilan New York menghadapi kenyataan bahwa mereka harus
memutuskan dahulu, apakah perkawinan Sam dan Fannie may did an berdasarkan hukum Rhode Island
23
dapat diterima sebagai perkawinan yang sah. Persoalan ini adalah incidental question yang harus diputuskan
sebalum hakim memutus persoalan pokoknya.
Fakta Hukum:
- Hukum New York, menganggap perkawinan paman keponakan incestuous, karenanya batal demi hukum;
- Kaidah HPI New York tidak jelas mengenai keabsahan perkawinan dan pengakuan keabsahannya
perkawinan dua orang warga New York yang diresmikan di Negara lain, karena itu sah tidaknya perkawinan
harus ditentukan berdasarkan hukum tempat peresmian perkawinan (lex loci celebration);
- Hukum intern Rhode Island di bidang perkawinan menganggap bahwa perkawinan yang dianggap sah
berdasarkan kaidah-kaedah agama dan tradisi tertentu, akan dianggap sah pula berdasarkan hukum Negara;
Proses Pemeriksaan Perkara
Langkah berpikir dan pertimbangan hakim New york:
a. Hakim NY pertama menunjuk kea rah hukum Rhode Island sebagai
lex loci celebrationis untuk menentukan keabsahan pperkawinan Sam & Fannie May karena hukum intern
NY sendiri tidak jelas mengenai hal itu;
b. Perkawinan Sam dan Fannie Mayadalah perkawinan agama (Hibrani) yang sah dan perkawinan itu diakui
sah pula oleh lex loci celebrationis (hukum Rhode Island);
c. Berdasarkan pertimbangan itu, hakim memutuskan bahwa perkawinan Sam dan Fannie May (incidental
question) adalah perkawinan yang sah;
d. Karena perkawinan Sam & Fanie dianggap sah, maka berdasarkan hukum NY (hukum main question)
dari suatu perkawinan yang sah akan terbit kewenangan pada pasangan yang masih hidup untuk menguasai
dan mengurus kekayan dari pasangan yang telah meninggal terlebjh dahulu;
e. Sam may berhak untuk tetap menguasai kekayaan peninggalan Fannie dalam kedudukannya sebagai
suami yang sah.
Jadi dalam perkara ini hakim NY telah melakukan Repartition, dengan menundukkan persoalan
pendahuluannya (sah/tdknya perkawinan) pada sistim hukum yang berbeda (hukum Rhode island) dari
sistim hukum yang digunakan untuk menjawab masalah pokoknya (hukum NY).
2. Perkara Lawrence VS Lawrence (1985)
Kasus posisi:
- Sepasang suami istri menikah dan berdomisili di Brazil, pada tahun 1970 istri memperoleh putusan cerai
dari suaminya di pengadilan Negara Bagian (NB)Nevada Amerika serikat.
- Berdasarkan putusan pengadilan Nevada itu, sang istri menikah lagi dengan seorang WN AS / Nevada,
perkawinan dilangsungkan di Nevada.;
- Beberapa waktu kemudian suami mengajukan permohonan pengesahan perkawinannya dengan si wanita
24
DEPECAGE
Dalam bahasa Prancis, DEPECAGE berarti pemecahan atau pemilahan. Pembahasan mengenai
Defecage ini dalam konteks HPI sebenarnya menimbulkan kemungkinan yang mirip dengan situasi
incidental question meski tidak sepenuhnya sama.
Defecage adalah tindakan untuk menundukkan persoalan-persoalan tertentu yang mungkin terbit di
dalam sebuah peristiwa atau hubungan hukum pada system-sistem hukum yang berbeda.
Sebagai contoh:
25
- Persoalan pewarisan yang dibuat WNI melalui pembuatan testament yang dilaksanakan di Singapura. Jika
perkara gugatan atas testament diajukan di pengadilan Indonesia, secara umum orang mengatakan bahwa
perkara tunduk pada system hukum dari tempat pembuatan testament. Akan tetapi jika memilah-milah
perkara ini dalam sub-subpersoalan, misalnya subpersoalan tentang:
1. keabsahan formal dari testament;
2. subpersoalan tentang kemampuan hukum si pewaris untuk mewariskan kekayaan lewat testament
kemungkinannya:
- submasalah (1) pengadilan memberlakukan hukum Singapura, sedangkan
- submasalah (2) pengadilan memberlakukan hukum Indonesia;
Tindakan memilah dan memilih inilah yang dimaksud dengan DEPECAGE. Yang menjadi pertanyaan
dalam perspektif HPUI adalah apakah orang dapat melakukan pemilahan seperti itu.
Contoh lain:
- Gugatan ganti rugi seorang wrga NB New York atas perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan di
NB Texas oleh seorang warga Texas, dan gugatan diajukan di NB New York.
Kemungkinannya:
- Jika permasalahan pokoknya perbuatan Tergugat dapat dikatagorikan sebagai PMH (masalah substansi),
maka yang berlaku kaedah hukum Texas sebagai lex loci delicti, namun
- Jika yang menjadi persoalan pokok apakah besarnya ganti rugi yang diminta terbatas jumlah tertentu atau
tidak (procedural), maka persoalan ini mungkin akan ditundukkan dan diselesaikan berdasarkan hukum New
York sebagai lex fori.
DICEY dan MORRIS, dalam konteks perjanjian/kontrak HPI, membedakannya:
1. Tidak semua persoalan yang timbul dari sebuah hubungan kontraktual dengan sendirinya harus diatur
berdasarkan satu hukum yang sama. Jadi sangat mungkin jika hukum yang dipilih para pihak digunakan
menyelesaikan masalah sah tidaknya kontrak (validity), masalah bentuk kontrak mungkin ditundukan pada
lex loci contractus, atau kemampuan hukum para pihak ditundukkan pada hukum personal masing-masing;
2. Hukum-hukum yang berbeda dapat diberlakukan atas bagian-bagian sebuah kontrak, missal: salah satu
kewajiban kontraktual ditundukan pada hukum A, sedangkan kewajiban kontraktual lain dari kontrak yang
sama ditundukan pada hukm B.
HPI Traditional (eropa) secara teoritis bertitik tolak dari prinsip bahwa sebuah hubungan hukum
seharusnya tunduk pada satu system hukum (jurisdiction selecting approach), namun dalam keadaan tertentu
DEPECAGE dapat diperlakukan sebagai kekecualian:
- pelaksanaan kewajiban para pihak dalam kontrak harus dilaksanakan di tempat-tempat yang berbeda;
- para pihak sepakat untuk memecah sebuah kontrak kedalam bagian-bahian tertentu dan menundukkan
masing-masing bagian itu pada system hukum berbeda-beda, atau
26
- karena submasalah tertentu dari suatu hubungan hukum tertentu ternyata memiliki kaitan nyata yang lebih
besar pada sebuah system hukum yang seharusnya berlaku berdasarkan pilihan hukum para pihak / berdasar
kaidah HPI.
Dalam system Conflict of laws Amerika Serikat, pada dasarnya menaggap tugas HPI menetapkan
aturan hukum local yang mana dalam sebuah penyelesaian sebuah hubungan/peristiwa hukum (rule selecting
approach), menganggap DEPECAGE sebagai sesuatu yang alamiah. Penyelesaian conflict of laws harus
dilakukan atas dasar analisis kasus perkasus (case-by case analysis), sehingga adalah wajar bila salah satu
kasus harus tunduk pada system hukum yang berbeda dari system hukum yang diberlakukan untuk kasus
lain yang timbul dari hubungan/peristiwa hukum yang sama.
BAB 7
ASAS TIMBAL BALIK
Asas timbal balik (reciprositas) merupakan pencerminan dari asas persamaan hak, persamaan penilaian, dan
persamaan perlakuan yang berlaku dalam pergaulan internasional.
Asas timbal balik menjadi dasar suatu tindakan mengesampingkan berlakunya hukum asing yang menurut
norma HPI si hakim sendiri seharusnya dipergunakan. Di kesampingkannya hukum asing tersebut, adalah
akibat sikap Negara asing yang mengesampingkan hukum nasional sang hakim yang seharusnya
dipergunakan.
Penggunaan asas resiprositas dalam HPI boleh dilakukan karena hal tersebut merupakan keharusan. Asas ini
boleh dilakukan kalau sikap Negara asing tersebut sangat merugikan Negara sang hakim sendiri.
Sikap Negara asing yang merugikan Negara sang hakim dapat bersifat melanggar hukum maupun tidak
melanggar hukum.
Tindakan timbal balik balik digolongkan ada dua macam, yaitu timbal balik formal dan material.
Timbal balik formal adalah apabila orang asing di suatu Negara sendiri mendapat perlakuan yang sama
dengan warganegara sendiri apabila di Negara orang asing tersebut, warga Negara sendiri diperlakukan
sama dengan warga Negara dari Negara asing tersebut.
Timbal balik material, adalah apabila dalam peraturan perundang-undangan yang menentukan hak-hak yang
diberikan kepada orang asing dalam suatu Negara, sama dengan hak-hak yang diperoleh warganegaranya
Negara yang bersangkutan. Ini merupakan tindak lanjut dari kebijaksanaan suatu Negara yang berupa
national treatment.
BAB 8
PENYESUAIAN
Penyesuain adalah suatu kegiatan meliputi suatu pengertian hukum asing ke dalam pengertian
hukum//terminology hukum sendiri. Penyesuaian itu meliputi (transposition, substitution, adaptation, dan
berdasarkan suatu ketentuan/peraturan).
Transposition, adalah pemindahan (transfer) dari hubungan-hubungan hukum, perbuatan-perbuatan hukum
atau pernyataan kehendak menurut suatu sistem hukum tertentu ke dalam pengertian-pengertian hukum lain.
27
Substitution, adalah pengertian hukum sendiri (intern) digantikan dengan pengertian hukum asing yang
sama nilainya. Dalam hal ini dilakukan perbandingan hukum.
Adaptation, adalah penghalusan hukum dengan mengkombinasikan pengertian-pengertian hukum yang
saling berkaitan.
Penyesuaian harus dilakukan berdasarkan suatu ketentuan atau peraturan.
BAB 9
PEMAKAIAN HUKUM ASING
Yang dimaksud pemakaian hukum asing tidak hanya hukum asing yang tertulis (perundang-undangan) saja,
melainkan juga hukum tidak tertulis, yaitu hukum (kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin /pendapat para ahli
hukum) dari Negara yang bersangkutan.
Pemakaian hukum asing pada HPI, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.
hukum asing dianggap sebagai hukum (regulation)
2.
hukum asing dianggap sebagai fakta (regularity)
3.
hukum asing dianggap sebagai bagian hukum nasional (treaty/convention).
28