Anda di halaman 1dari 9

FAKULTAS HUKUM Jl.Tamansari No.

24, 26
Lantai 6 Bandung  022-4203368
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2020/2021
 Matakuliah : HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
 Kelas : SEMUA KELAS
 Hari/Tanggal : KAMIS, 07 JANUARI 2021
 Waktu : 08:00 – 09:20
 Dosen : TIM DOSEN

nama : Luthviah Firman A (10040017231)


Kelas C

PILIH 4 SOAL DARI 7 SOAL YANG ADA

A. Selesaikan kasus di bawah ini dengan menggunakan asas –asas dan teori Hukum Perdata

Internasional. Pilih 2 (dua) dari 4 (empat) kasus di bawah ini :

1.Kasus Posisis :

Philip, pria warga negara Prancis, berdomisili di Prancis, dan berusian 19 tahun. Philip

menikah dengan sarah (wanita) yang berwarganegaraan Inggris. Pernikahan Philip dan Sarah

dilangsungkan dan diresmikan di Inggris (tahun 1898). Philip menikah dengan Sarah tanpa

izin orang tua Philip. Izin orang tua inidiwajibkan oleh hukum Prancis (Pasal 148 Code

Civil). Pada tahun 1901 Philip pulang ke Prancis dan mengajukan permohonan di Pengadilan

Prancis untuk pembatalan perkawinannya dengan Sarah dengan alasan bahwa perkawinan itu

dilangsungkan tanpa izin orang tua. Permohonan dikabulkan oleh pengadilan Prancis dan

Philip kemudian menikah dengan seorang wanita Prancis di Prancis. Sarah kemudian

menggugat Philip di Inggris karena Philip dianggap melakukan perzinaan dan meninggalkan

istrinya terlantar. Gugatan itu ditolak karena alasan yuridiksi. Pada tahun 1904, Sarah sudah

merasa tidak terikat dalam perkawinan dengan Philip, kemudian menikah kembali dengan

Odgen dilangsungkan di Inggris. Pada tahun 1906 Odgen menggangap bahwa Sarah masih
terikat dengan perkawinan dengan Philip karena berdasarkan hukum Inggris perkawinan

Philip dan Sarah belum dianggap batal karena keputusan pengadilan Prancis tidak diakui di

Inggris. Odgen kemudian mengajukan pembatalan perkawinan dengan Sarah, dengan dasar

hukum bahwa istrinya telah berpoligami. Selesaikan !

2. Kasus Posisi :

Kasus menyangkut sepasang suami istri berkewarganegaraan Prancis. dan pernikahan mereka

diresmikan di Prancis. Ketika pernikahan dilangsungkan pada tahun 1854, kedua pihak ini

tidak membuat perjanjian/kontrak harta perkawinan. Setelah pernikahan, mereka pindah ke

Inggris: suami meninggal dunia di Inggris dengan meninggalkan testamen yang dibuat secara

sah di Inggris. Isi testamen ternyata mengabaikan semua hak istri atas harta perkawinan. Istri

kemudian mengajukan gugatan terhadap testamen dan menuntut haknya atas harta bersama.

Gugatan tersebut diajukan di pengadilan Inggris.Selesaikan !

3. Kasus Posisi :

Seseorang Warga Negara Swiss, berdomisili terakhir di Inggris meninggal dunia dengan

meninggalkan sejumlah harta peninggalan baik benda tetap maupun bergerak di berbagai

negara.Perkara pembagian warisan diajukan di Pengadilan Swiss.

Berdasarkan hukum manakah proses pewarisan itu harus diatur. Gunakanlah teori kualifikasi

bertahap!

JAWAB :

Tahap Pertama; Berdasarkan hukum Swiss hakim terlebih dahulu menentukan kategori

hukum dari sekumpulan fakta yang dihadapinya. Seandainya Hukum Swiss menganggap

peristiwa tersebut sebagai pewarisan, maka langgak selanjutnya adalah menetapkan Kaedah

HPI apa dari Hukum Swis yang harus digunakan untuk menetapkan lex Causae. Kaedah HPI

swis menetapkan bahwa pewarisan harus diatur oleh hukum dari tempat tinggal terakhir

pewaris tanpa membedakan benda bergerak dan tidak bergerak. Dengan demikian berarti HPI

Swis menunjuk hukum Inggris.


Tahap Kedua; Berdasarkan hukum Inggris hakim kemudian menetapkan bagianbagian

dari harta peninggalan yang dikatagorikan sebagai sebagai benda bergerak atau tidak

bergerak. Setelah itu berdasarkan kaedah hukum ingris hakim menetapkan hukum apa yang

harus digunakan untuk mengatur pewarisan tersebut. Pada tahap ini hakim akan dapat

menjumpai untuk benda bergerak pewarisan akan dilakukan berdasarkan hukum dari tempat

pewaris berdomisili pada saat meninggal ( hukum Inggris ).Untuk bendabenda

tetap kaedah HPI inggris menetapkan yang berlaku adalah hukum dari tempat dimana benda

itu berada. Seandainya Sipewaris meninggalkan sebidang tanah di Prancis maka tidak

mustahil akan dipergunakan hukum Prancis untuk mengatur pewarisan tersebut.

4. Kasus Posisi

IPB melakukan perjanjian untuk mengirim 800 kera ke Amerika, Kera tersebut hanya akan

diambil anaknya saja dan Babonnya akan dikembalikan ke Indonesia. Harga perekor

disepakati sebesar 80 (delapan puluh )juta dan pihak Amerika Serikat hanya membutuhkan

anaknya saja dan harus beranak di Amerika Serikat. Ketika posisi pesawat masih di SWISS,

seekor monyet stress dan lepas, melahirkan anaknya. Karena induknya telah dilumpuhkan

dan mati, maka dokter hewan IPB menyuntik mati anak moyet tersebut karena pertimbangan

rasa kasihan. Lawyer Amerika Serikat menuntut IPB atas dasar perlindungan satwa dan

dianggap tak memenuhi prestasi dengan sempurna serta membunuh seekor anak monyet .

Disatu sisi, Kera di Indonesia tidak lebih sebagai hama, sedangkan bagi Amerika Serikat

merupakan satwa yang harus mendapat perlindungan. Selesaikan !

JAWAB :

Titik taut primer : Berdasarkan kasus diatas, maka yang dapat ditarik menjadi titik taut primer
adalah kewarganegaraan dari para pihak. Dimana pihak penggugat yaitu Lawyer yang
berkewarganegaraan Amerika Serikat, serta pihak tergugat yaitu dokter hewan IPB
berkewarganegaraan Indonesia.
Titik taut sekunder : Dalam kasus perkara IPB dengan Amerika Serikat diatas tidak ada
pilihan hukum yang diatur secara jelas dan tegas, dengan demikian faktor-faktor (titik taut
sekunder) dari kasus IPB dengan Amerika Serikat terdapat lebih dari satu, faktor faktor
tersebut yaitu:

1. Berdasarkan Lex locus contractus, maka hukum yang berlaku adalah hukum
Indonesia, karena perjanjian ini dibuat di Indonesia.
2. Berdasarkan Lex locus solutions, maka hukum yang berlaku adalah hukum
Amerika Serikat, karena pelaksanaan dari perjanjian ini dilaksanakan di Amerika
Serikat, anak kera diperjanjikan harus beranak di Amerika Serikat.

Kewenangan mengadili : Pengadilan yang berwenang mengadili kasus ini yaitu pengadilan
bogor karena sesuai dengan prinsip actor sequitor forum rei yaitu gugatan diajukan ke
pengadilan, tempat dimana tergugat bertempat tinggal. Karena tergugat (IPB) bertempat
tinggal di Bogor, maka forum yang berwenang harus di tempat tinggal tergugat.

Lex Causae pada kasus IPB dengan Amerika Serikat

1. Berdasarkan Lex Loci Contractus, maka hukum yang berlaku adalah hukum
perdata Indonesia karena perjanjian dibuat di Indonesia.
2. Berdasarkan Lex Loci Solutionis, maka hukum yang berlaku adalah hukum
Amerika Serikat karena perjanjian dilaksanakan di Amerika Serikat yaitu, anak
monyet yang diperjanjikan harus beranak di Amerika Serikat.
3. The most characteristic connection,. Maka hukum yang berlaku menurut the most
characteristic connection yaitu hukum Indonesia, karena pihak yang paling
menonjol adalah IPB (Indonesia) sebagai penjual kera, karena IPB yang harus
menyerahkan kera, merawat dan menjaga kera dengan baik sampai nanti kera
diserahkan kepada pihak Amerika Serikat dan dalam perjanjian jual-beli pihak
yang paling menonjol atau dominan adalah pihak penjual dalam hal ini adalah
IPB.
B. Paparkan tugas penyelesaian kasus- kasus Hukum Perdata Internasional atau kasus

imajiner yang telah saudara buat, baik tugas kelompok atau tugas mandiri. Saudara

tinggal memilih salah satu apakah tugas kelompok atau tugas mandiri yang akan

dipaparkan dan dianalisis dengan menggunakan teori Hukum Perdata Internasiona.

JAWAB :
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.255/Pdt.G/1996/PN.Jak.Sel Pada Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.255/Pdt.G/1996/PN.Jak.Sel, pihaknyaadalah Robert
E. Sherwood, Warga Negara Amerika Serikat, selaku Penggugat dan Teng SooChon, Warga
Negara Singapura, selaku Tergugat. Keduanya menikah dengan kuasa diColombo,
Srilanka pada tanggal 15 Desember 1978 namun dianggap tidak sah oleh KedutaanBesar
Amerika Serikat di Singapura sehingga menikah kembali di Kantor Catatan Sipil diJakarta
pada tanggal 14 Desember 1985. Terdapat 3 orang anak dari hasil perkawinan mereka.Akibat
perselisihan yang terus menerus dan sudah tidak ada harapan untuk berdamai kembali,maka
Robert Sherwood mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan padatahun
1996.

Titik taut primer : Berdasarkan kasus diatas, maka titik taut primernya adalah domisili
seseorang. Yang mana Robert E. Sherwood, Warga Negara Amerika Serikat, selaku
Penggugat dan Teng SooChon, Warga Negara Singapura, selaku Tergugat.

Titik taut sekunder : Locus contractus/ tempat perbuatan dilakukan (kontrak), yaitu
pelaksanaan pernikahan dilakukan di Jakarta. Locus solutions / tempak akibat suatu
perbuatan timbul (pelaksanaan perjanjian), perceraian dilakukan di Jakarta

Kewenangan mengadili : Pengadilan yang berwenang mengadili adalah pengadilan Jakarta


sesuai dengan prinsip kompetensi relatif berdasarkan pemilihan domisili yaitu para pihak
dalam perjanjian menyepakati domisili pilihan yakn menyepakati pengadilan Jakarta yang
berwenang menyelesaikan sengketa tersebut

5. Persoalan ketertiban umum (public order) merupakan salah satu masalah dalam hpi.
Pertanyaan:
A. Jelaskan apa yang dimaksud dengan public order dan bagaimana konsepnya dalam hpi!
B. Jelaskan hubungan antara ketertiban umum, penyelundupan hukum dengan hak-hak yang
telah diperoleh!

6. Sebutkan dan jelaskan asas-asas hpi dalam hukum perjanjian!


JAWAB :
a. Pilihan Hukum (choice of law) atau Asas Kebebasan Para Pihak (Party
Autonomy)
Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak maka para pihak dalam suatu perjanjian
atau kontrak bebas menentukan isi dan bentuk suatu perjanjian, termasuk untuk
menentukan pilihan hukum. Kemudian apa yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak tadi berlaku sebagai undang-undang bagi keduabelah pihak dalam suatu
kontrak.
b. Lex loci contractus
Asas ini merupakan asas tertua yang dilandasi prinsip locus regit actum.
Berdasarkan asas ini “the proper law of contract” adalah hukum dari tempat
pembuatan kontrak. Yang dimaksud dengan “tempat pembuatan kontrak” dalam
konteks HPI adalah tempat dilaksanakannya “tindakan terakhir” (last act) yang
dibutuhkan untuk terbentuknya kesepakatan (agreement).
Di masa modern teori ini tampaknya sudah tidak memadai lagi, terutama bila
dikaitkan dengan kontrak-kontrak yang diadakan antara pihak-pihak yang tidak
berhadapan satu sama lain. Semakin banyak kontrak yang dibuat dengan bantuan
sarana komunikasi modern seperti telex, telegram, facsimile, sehingga penentuan
locus contractus menjadi sulit dilakukan.
Prinsip ini masih dapat digunakan untuk menetapkan hukum yang berlaku terhadap
transaksi maupun perjanjian yang dibuat di pekan-pekan raya perdagangan (trade
fairs) internasional, dalam arti bahwa sistem hukum dari tempat penyelenggaraan
pekan raya itulah yang dapat dianggap sebagai “the proper law of the contract”.
c. Lex loci solutionis
Sebagai variasi terhadap teori lex loci contractus dikemukakan pula adanya teori lex
loci solutionis. Menurut teori ini hukum yang berlaku bagi suatu kontrak adalah
tempat dimana kontrak tersebut dilaksanakan. Menurut Sudargo Gautama dalam
praktIk hukum internasional umumnya diakui bahwa berbagai peristiwa tertentu
dipastikan oleh hukumyang berlaku pada tempat pelaksanaan kontrak.
Dalam perkembangannya, ternyata asas lex loci solutionis tidak selalu memberikan
jalan keluar yang memuaskan, terutama bila diterapkan pada kontrakkontrak yang
harus dilaksanakan di pelbagai tempat yang berbeda. Ada kemungkinan bahwa
kontrak itu dianggap sah di salah satu tempat pelaksanaannya, namun dianggap tidak
sah atau ilegal di tempat pelaksanaan lainnya. Karena itu, dalam praktek tidak
menutup kemungkinan untuk menundukkan bagian-bagian kontrak pada berbagai
sistem hukum yang berbeda, tetapi hal semacam itu tampaknya akan menyulitkan
pengadilan untuk menyelesaikan perkara.
d. The proper law of a contract
The proper law suatu kontrak adalah sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak,
atau jika kehendak itu tidak dinyatakan dengan tegas atau tidak dapat diketahui dari
keadaan sekitarnya, maka proper law bagi kontrak tersebut adalah sistem hukum yang
mempunyai kaitan yang paling erat dan nyata dengan transaksi yang terjadi(Morris).
The proper law of the contract menurut Cheshire adalah : “...a convenient and
succinct expression to describe the law that governs many of the matters affecting a
contract, it has been defined as “that law which the English or other court is to apply
in determining the obligations under the contract” Konsep yang terkandung di dalam
pengertian di ataslah yang banyak menimbulkan persoalan dan perdebatan di dalam
HPI, khususnya yang menyangkut masalah bagaimana orang dapat menentukan “the
proper law” dari suatu kontrak.
7. Jelaskan perbedaan unsur kontrak menurut common law system dengan civil law system!
JAWAB :

- Civil Law
1. Kapasitas Para Pihak
Kebebasan kehendak sangat dipengaruhi oleh kapasitas atau kemampuan seseorang yang
terlibat dalam perjanjian. Kemampuan ini sangat menentukan untuk melakukan perjanjian
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Kapasitasyang
dimaksudkan dalam civil law antara lain ditentukan individu menurut umur seseorang.
2. Kebebasan Kehendak Dasar dari Kesepakatan
Kebebasan kehendak yang menjadi dasar suatu kesepakatan, agar dianggap berlaku efektif
harus tidak dipengaruhi oleh paksaan (dures), kesalahan (mistake), dan penipuan (fraud).
3. Subjek yang Pasti
Merujuk pada kesepakatan, terdapat dua syarat di hadapan juristic act, suatu perjanjian dapat
diubah menjadi efektif yaitu harus dengan ada antara lain suatu subyek yang pasti. Sesuatu
yang pasti tersebut, dapat berupa hak-hak, pelayanan (jasa), barang -barang yang ada atau
akan masuk keberadaannya, selama mereka dapat menentukan. Para pihak, jika perjanjian
telah terbentuk tidak mungkin untuk melakukan prestasi, maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan.
4. Suatu Sebab yang Diijinkan (a Premissible Cause)
Perjanjian tidak boleh melanggar ketentuan hukum. Suatu sebab yang halal adalah syarat
terakhir untuk berlakunya suatu perjanjian. Pasal 1320 ayat 4 jo 1337 KUH Perdata
menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut
causa yang dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau
bertentangan dengan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat untuk causa yang dilarang
oleh Undang -Undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan
undang-undang adalah tidak sah.
- Common Law
1. Bargain
Unsur bargain dalam kontrak common law dapat memiliki sifat memaksa. Sejarah
menunjukkan bahwa pemikiran mengenai bargain , dalam hubungannya dengan konsep
penawaran (offer)dianggap sebagai ujung tombak dari sebuah perjanjiandan merupakan
sumber dari hak yang timbul dari suatu kontrak. Penawaran dalam konteks ini tidak lebih
adalah sebuah transaksi di mana para pihak setuju untuk melakukan pertukaran barang-
barang, tindakan-tindakan, atau janji-janjiantara satu pihak dengan pihak yang lain. Karena
itu, maka ukuran dari pengadilan terhadap perjanjian tersebut dilakukan berdasarkan
penyatuan pemikiran dari para pihak, ditambah dengan sumber dari kewajiban mereka,dan
kemudian memandang ke arah manifestasi eksternal dari pelaksanaan perjanjian tersebut.
Pengertian penawaran merupakan suatu kunciyang digunakan untuk lebih mengerti tentang
penerapan aturan-aturan common law mengenai kontrak.
2. Agreement
Suatu proses transaksi yang biasa disebut dengan istilah offer and acceptance, yang ketika
diterima oleh pihak lainnya akan memberikan akibat hukum dalam kontrak. Dalam perjanjian
sering ditemukan, di mana satu pihak tidak dapat menyusun fakta-fakta ke dalam suatu offer
yang dibuat oleh pihak lainnya yang telah diterima sebagai acceptance oleh pihak tersebut.
Karena penawaran dan penerimaan adalah hal yang fundamental, maka dalam sistem
common law, sangat diragukan apakah suatu pertukaran offer (cross-offer) itu dapat dianggap
sebagai kontrak. Berdasarkan sistem common law, pada saat suatu kontrak dibuat, saat itulah
hak dan kewajiban para pihak muncul, hal yang demikian itu diatur dalam statute. Karena
bisa saja terjadi suatu kontrak yang dibuat berdasarkan keinginan dari para pihak dan pada
saat yang sama juga kontrak tersebut tidak ada. Hal ini disebabkan karena aturan mengenai
acceptance dan revocation ini memiliki akibat-akibat yang berbeda pada setiap pihak.
3. Consideration
Dasar hukum yang terdapat dalam suatu kontrak adalah adanya unsur penawaran yang kalau
sudah diterima, menjadi bersifat memaksa, bukan karena adanya janji-janji yang dibuat oleh
para pihak. Aturan dalam sistem common law tidak akan memaksakan berlakunya suatu janji
demi kepentingan salah satu pihak kecuali ia telah memberikan sesuatu yang mempunyai
nilai hukum sebagai imbalan untuk perbuatan janji tersebut. Hukum tidak membuat
persyaratan dalam hal adanya suatu kesamaan nilaiyang adil. Prasyarat atas kemampuan
memaksa ini dikenal dengan istilah consideration . Consideration adalah isyarat, tanda dan
merupakan simbol dari suatu penawaran. Tidak ada definisi dan penjelasan yang memuaskan
dari sistem common law mengenai konsep ini. Hal demikian ini telah di mengerti atas dasar
pengalaman.
4. Capacity
Kemampuan termasuk sebagai syarat tentang, apakah para pihak yang masuk dalam
perjanjian memiliki kekuasaan. Suatu kontrak yang dibuat tanpa adanya kekuasaan untuk
melakukan hal tersebut dianggap tidak berlaku.

Anda mungkin juga menyukai