Anda di halaman 1dari 12

RESUME

NAMA : EKA WAHYU HIDAYAT

NIM : 201916172

1. Definisi HPI
2. Pola Berpikir Yuridik HPI
3. Masalah Pokok HPI
4. Sumber Hukum HPI di Indonesia
5. Titik taut dalam HPI
6. Teori Kualifikasi HPI
7. Renvoi
8. Asas-asas HPI Tentang Subjek Hukum
9. Asas-asas HPI dalam Hukum Keluarga
10. Asas-asas HPI dalam Hukum Perjanjian
11. Asas-asas HPI dalam Perbuatan Melawan Hukum
12. Asas-asas HPI dalam Hukum Pewarisan
RESUME
1. Definisi HPI

Hukum Perdata Internasional(HPI) merupakan keseluruhan kaidah dan asas


hukum yang mengatur hubungan keperdataan yang melintasi batas negara, atau
hukum yang mengatur hubungan keperdataan antarsubjek hukum masing-masing
tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan.

2. Pola Berpikir Yuridik HPI

Terdapat beberapa pola berpikir yuridik Hukum Perdata Internasional, antara lain:

a) Pertama kita mencari titik-titik taut primer menurut lex fori untuk mengetahui apakah
kita berhadapan dengan suatu peristiwa hukum perdata internasional atau bukan.
Titik Taut Primer adalah unsur-unsur yang menunjukkan bahwa suatu
peristiwa hukum merupakan peristiwa Hukum Perdata Internasional dan bukan suatu
peristiwa Hukum Internasional. Jadi, titik taut primer adalah titik taut yang
membedakan Hukum Perdata Internasional dari peristiwa hukum Internasional. Oleh
sebab itu titik taut primer juga dinamakan titik taut pembeda.
Hal ini berguna untuk para ahli hukum internasional tidak salah sasaran dalam
menghakimi suatu perkara yang berada dalam ruang lingkup internasional.

b) Jika ternyata bahwa kita berhadapan dengan suatu peristiwa hukum perdata
internasional, maka kita mengadakan kualifikasi fakta menurut lex fori (menurut
hakim).
Hukum materiil dari sang hakim adalah yang harus dipergunakan dalam
kualifikasi ini. Sebagai contoh misalnya dihadapkan pada istilah “perjanjian
perkawinan”, “domisili” dan “tort”, maka istilah tersebut didefinisikan dan
diinterpretasikan berdasarkan hukum materiil dari Hakim itu sendiri.

c) Kemudian kita mencari titik-titik taut sekunder menurut lex fori untuk menentukan
sistem hukum yang berlaku (lex causae)
Titik taut sekunder adalah unsur-unsur yang akan menentukan hukum
manakah yang seharusnya berlaku (lex causae) bagi peristiwa hukum perdata
internasional itu. Karena itu titik taut sekunder disebut juga titik taut penentu. Titik
taut sekunder dalam hukum perdata internasional pada umumnya merupakan asas-
asas HPI yang merupakan kaidah-kaidah penunjuk hukum apa yang seharusnya
berlaku, dan tidak bermaksud untuk menyelesaikan peristiwa hukum yang dimaksud.
Disini hakim atau para ahli hukum bergerak dalam menentukan hukum
manakah yang akan dilakukan berdasarkan pada titik taut sekunder itu sendiri, seperti
meliputi; kewarganegaraan (lex patriae); domisili (lex domicili); tempat/letak benda
(situs rei); tempat perbuatan hukum yang bersangkutan dilangsungkan (locus actus);
tempat perjanjian dilaksanakan (locus solutionis); maksud para fihak (pilihan hukum);
tempat diadakan perbuatan-perbuatan resmi yang penting (forum).
d) Titik-titik taut menurut lex causae lalu akan menentukan apakah kaedah hukum lex
causae, lex fori, atau kaidah hukum asing lain yang harus berlaku.
Selanjutnya, titik taut menurut lex cause tersebut akan menentukan kaedah
hukum apa yang akan digunakan pada penyelesaian perkara hukum perdata
internasional yang bersangkutan. Apakah menggunakan lex causae, lex fori atau
hukum asing lain bergantung apa yang sudah dicocokkan dengan titik-titik taut
sebelumnya.

e) Jika berdasarkan titik-titik taut dari lex causae telah dapat ditentukan kaidah hukum
materil mana yang seharusnya berlaku, hakim akan menentukan penyelesaian
masalahnya dan menjatuhkan putusan.
Pada bagian ini, hakim berperan penting dalam menyelesaikan perkara dan
memutuskan putusan sesuai dengan kaidah hukum mana yang diberlakukan
sebagaimana yang sudah ditentukan oleh titik-titik taut menurut lex cause
sebelumnya.

3. Masalah Pokok HPI


Kemudian terdapat Masalah pokok HPI itu meliputi:

1. Hakim atau pengadilan manakah yang berwenang menyelesaikan persoalan hukum


yang mengandung unsur asing.
Graveson mengatakan bahwa asas-asas HPI berusaha membentuk aturan-
aturan (rules) yang dapat digunakan, antara lain, untuk menjustifikasi secara
internasional mengenai kewenangan yurisdiksional suatu pengadilan untuk mengadili
perkaraperkara tertentu apapun (choice of jurisdiction). Masalah pokok ini
mewujudkan diri menjadi topik permasalahan khusus dalam HPI yang mungkin dapat
dianggap sebagai ‘Hukum Acara Perdata Internasional.

2. Hukum manakah yang harus diberlakukan untuk mengatur atau menyelesaikan


persoalan-persoalan hukum yang mengandung unsur asing.
Masalah choice of law atau pemilihan hukum yang seharusnya berlaku ini,
pada dasarnya merupakan masalah utama HPI. Setelah sebuah forum menetapkan
keabsahan kedudukan yurisdiksionalnya, maka pertanyaan berikutnya yang umumnya
timbul dalam perkara-perkara HPI adalah sistem hukum manakah yang akan dipilih
dan diterapkan oleh pengadilan itu untuk menyelesaikan perkara seadil mungkin?
Graveson mengingatkan bahwa dalam menjawab pertanyaan ini kaidah HPI tidak
berusaha menentukan kaidah hukum intern mana dari suatu sistem hukum yang akan
digunakan untuk memutus perkara, melainkan hanya membantu pengadilan dalam
menentukan sistem hukum mana yang seharusnya diberlakukan (the appropriate legal
system) .

3. Bilamana atau sejauhmana suatu pengadilan harus memperhatikan dan mengakui


putusan-putusan pengadilan asing dan atau mengakui hak-hak dan kewajiban-
kewajiban hukum yang terbit berdasarkan hukum atau putusan pengadilan asing.
Masalah ini berkaitan erat dengan persoalan apakah pengadilan asing memiliki
kewenangan yurisdiksional untuk memutus suatu perkara atau tidak (masalah pokok
1). Setelah pengadilan menyatakan dirinya berwenang untuk mengadili perkara maka
HPI pada umumnya akan berfungsi untuk menentukan hukum apa yang berlaku.

4. Sumber Hukum HPI di Indonesia

Adapun Sumber Hukum Perdata Internasional di Indonesia yaitu:


Pasal 16, pasal 17 dan 18 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands
Indie (AB) Staatsblad 1847 No 23 of 1847, yang melalui pasal peralihan UUD 1945
hingga kini masih berlaku.

1. Pasal 16 AB untuk mengatur status personal


“Ketentuan-ketentuan perundang-undangan mengenai status dan wewenang orang-
orang tetap mengikat untuk kaula-kaula negara Belanda (kini baca: warganegara
Indonesia) jikalau mereka berada di luar negeri”.

2. Pasal 17 AB untuk hukum tentang benda tidak bergerak


“Mengenai benda-benda yang tidak bergerak berlaku hukum dari tempat, dimana
benda-bend itu terletak”.

3. Pasal 18 ayat 1 AB untuk mengatur bentuk formil dari perbuatan hukum “Bentuk
dari tiap perbuatan ditentukan menurut hukum dari negara atau tempat,
dimana perbuatan itu dilakukan” (locus regit actum)

Ditambah dengan:

1. Yurisprudensi atau putusan-putusan pengadilan baik Pengadilan Indonesia,


Belanda dan negara-negara lainnya.

2. Ajaran sarjana HPI atau doktrin-doktrin, seperti doktrin Renvoi, Ketertiban


Umum, Hak-hak yang Telah Diperoleh, dsb.

5. Titik taut dalam HPI

Titik Taut dalam Hukum Perdata Intesnasional:

Dalam HPI dikenal dua jenis titik taut, yaitu:

(1) Titik Taut Primer (Primary Points of Contact).

Yaitu fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum, yang


menunjukkan bahwa peristiwa hukum ini mengandung unsur-unsur asing (foreign
elements) dan peristiwa hukum yang dihadapi adalah peristiwa HPI, bukan peristiwa
hukum intern/domestic semata.

(2) Titik Taut Sekunder (Secondary Points of Contact).

Yaitu fakta-fakta dalam perkara HPI yang akan membantu penentuan hukum
manakah yang harus diberlakukan dalam menyelesaikan persoalan HPI yang sedang
dihadapi. Titik taut sekunder ini sering disebut dengan titik taut penentu karena
fungsinya akan menentukan hukum dari tempat manakah yang akan digunakan
sebagai the applicable law dalam menyelesaikan suatu perkara.

6. Teori Kualifikasi HPI

TEORI-TEORI KUALIFIKASI

a. KUALIFIKASI menurut LEX FORI


 Kualifikasi ini merupakan teori yang paling tua, dan paling banyak diakui, yaitu
kualifikasi / penggolongan dilakukan menurut hukum sang hakim (BARTIN).
 Kualifikasi lex fori ini harus dilakukan, karena kaedah HPI merupakan juga
kaedah-kaedah hukum intern / nasional, lex fori dikenal baik oleh hakim dan
pembuat UU sehingga memudahkan penyelesaiannya.
 Kelemahan teori ini seringkali menimbulkan ketidakadilan, karena kualifikasi
kaedah-kaedah hukum itu bukan saja tidak sesuai dengan hukum asing, juga
bahkan tidak dikenal oleh system hukum asing tersebut.

b. KUALIFIKASI menurut LEX CAUSAE


 Teori ini dikembangkan oleh MARTIN WOLFF dan CHESHIRE, yang
berpendapat bahwa kualifikasi hendaknya dilakukan sesuai dengan sistim dan
ukuranukuran keseluruhan sistim hukum yang besangkutan (lexcausae).
 Menurut Wolff, tujuan utama kualifikasi ini untuk menetapkan kaedah HPI yang
mana dari lex fori yang berhubungan dengan atau menyangkut kaedah hukum
materiil asing.
 kelemahan teori ini, jika kualifikasi berhadapan dengan suatu sistim hukum yang
tidak mempunyai kualifikasi yang lengkap, seperti dalam Hukum Adat dan
Hukum Inggris. Apalagi jika sistim hukum asing itu tidak mengenal lembaga
hukum yang dikenal dalam hukum nasional setempat atau sebaliknya.
c. KUALIFIKASI secara ANALITIS atau OTONOM
 Teori ini dikemukakan oleh RABEL, oleh BECKET disebut “Teori Hukum
Analitis” (analytical jurisprudence);
 Menurut teori ini: setiap kaedah hukum harus dibandingkan dengan kaedah-
kaedah hukum yang serupa dari sistim hukum yang dikenal, dimaksudkan agar
tercipta satu macam kualifikasi bagi HPI yang universal, yaitu tercipta
pengertianpengertian HPI yang diterima umum terlepas dari stelselstelsel hukum
yang ada.
 Dalam praktek tidak mungkin dilakukan mengingat:
1) sulit menyelidiki semua sistim hukum yg berlaku,
2) setiap sistim hukum selalu berkembang, sehingga selalu sukar untuk
mengejar perubahan-perubahan disemua sistim hukum,
3) seandainya dapat diciptakan suatu sistim kualifikasi universal, hanyalah
gambaran rata-rata dari sistim hukum,bukan gambaran sistim yang riil yang
berlaku di setiap negara.
(Contoh: lembaga “trust” di Inggris tidak dikenal dalam sistim hukum lain,
demikian jua “domicile” dalam hukum Inggris, berbeda sifatnya dengan
“domicilie” dalam hukum Belanda, berlainan pula dengan arti “domisili” dalam
hukum Indonesia.

d. KUALIFIKASI secara BERTAHAP


 Teori ini dikemukakan oleh SCHNITZER, yang membedakan dua tingkat
kualifikasi, yaitu: Kualifikasi tahap pertama kualifikasi menurut lex fori untuk
menemukan hukum mana yang dipergunakan; dan kualifikasi tahap kedua
kualifikasi menurut lex causae yaitu kualifikasi lebih jauh dari hukum asing mana
yang harus dipergunakan.
 Ada yang menganggap kualifikasi sama dengan interpretasi
(EHRENZWEIG) ,meskipun ada hubungan erat antara keduanya, namun tetap
harus dibedakan antara keduanya, karena “Menafsirkan” berarti memberi arti dan
isi kepada suatu kaedah penunjuk (terlepas ada kasus/peristiwa atau tidak),
sebaliknya “kualifikasi” berarti menerapkan suatu kaedah hukum untuk suatu
peristiwa tertentu (LEMAIRE);
 Teori ini mengatasi kesulitan secara realistis, karena untuk menemukan lex
causae, tidak mungkin dapat mempergunakan kualifikasi lain selain kualifikasi
menurut lex fori.
 Pengecualian dari kualifikasi ini, adalah:
 Kewarganegaraan, yang berlaku lex causae (hkum WN melekat);
 Benda bergerak/tidak bergerak, lex rei sitae (dimana benda terletak)
 Kontrak/perjanjian, pilihan hukum (choice of law)
 PMH / tort, lex loci delictie commissie (tempat terjadinya PMH)

e. KUALIFIKASI HPI
 Teori ini dikemukakan KEGEL, yang menyatakan kualifikasi kaedah hukum
asing tergantung pada tujuan yang akan dicapai HPI, yaitu latar belakang
kepentingan HPI (keadilan, ketertiban, kepastian, kelancaran pergaulan
international) yang akan dilindungi. Jadi harus ditentukan lebih dahulu
kepentingan HPI manakah yang dilindungi oleh suatu kaedah hukum HPI
tertentu.
 Kepentingan HPI, antara lain:
 Kepentingan para pihak (hukumnya sendiri atau hukum yang
dipilihnya);
 Kepentingan pergaulan dan lalu lintas international (kepastian hukum
dan kecepatan dalam lalu lintas orang dan barang menentukan
menurut hukum mana kualifikasi dilakukan);
 Ketertiban dan kepastian hukum (yg merupakan tujuan unifikasi
hukum extern, dan kecenderungannya memerlukan lex fori);
 Perasaan keadilan dalam masyarakat (pergaulan) international

7. Renvoi
Bayu Seto Hardjowahono dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Perdata
Internasional menerangkan renvoi atau yang dikenal juga sebagai doktrin penunjukan
kembali merupakan suatu doktrin yang dapat digunakan untuk menghindarkan
pemberlakuan kaidah atau sistem hukum yang seharusnya berlaku (lex causae) yang
sudah ditetapkan berdasarkan prosedur hukum perdata internasional secara normal
dan mengubah acuan kepada suatu kaidah atau sistem hukum yang lain. Oleh karena
itu, renvoi digunakan sebagai alat bagi para hakim untuk merekayasa penentuan lex
causae ke arah sistem hukum yang dianggap akan memberikan putusan yang
dianggapnya terbaik. Sehingga sudah pasti dalam proses renvoi, ada kaidah hukum
perdata internasional yang dikesampingkan.

Proses Renvoi
Menurut Hilding Eek dalam bukunya The Swedish Conflict of Laws
menyebutkan proses renvoi sendiri dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu remission dan
transmission (hal. 181). Bayu Seto Hardjowahono kemudian menjelaskan tentang
renvoi remission dan transmission sebagai berikut (hal. 124 – 125):

Penunjukan kembali (remission, rückverweisung, terugverwijzing)

Proses renvoi oleh kaidah hukum perdata internasional asing kembali ke arah lex fori.
Dalam proses ini penunjukan pertama berlangsung dari kaidah hukum perdata
internasional forum ke arah kaidah hukum perdata internasional asing, karena
sebelumnya diketahui kaidah hukum perdata internasional asing itu dalam
penunjukkan kedua akan menunjuk kembali ke arah lex fori.

Penunjukan lebih lanjut (transmission, weiterverweisung verderverwijzing)

Proses renvoi oleh kaidah hukum perdata internasional asing ke arah suatu sistem
hukum asing yang lain, di mana penunjukan pertama berlangsung dari kaidah hukum
perdata internasional forum ke arah kaidah hukum perdata internasional asing, yang
sebelumnya telah diketahui akan menunjuk ke arah sistem hukum ketiga.

Sebagai contoh, kaidah renvoi telah dituangkan di beberapa peraturan seperti Angka
20 Rome Regulation I on the law applicable to contractual obligations yang
selengkapnya berbunyi:

Where the contract is manifestly more closely connected with a country other than
that indicated an Article 4 (1) or (2), an escape clause should provide that the law of
that other country is to apply. In order to determine that country, account should be
taken, inter alia, of whether the contract in question has a very close relationship with
another contract or contracts.
Jadi, renvoi memberikan ruang untuk pengadilan menentukan kaidah atau sistem
hukum mana yang dianggap terbaik untuk menyelesaikan suatu perkara hukum
perdata internasional.

Namun, Bayu Seto Hardjowahono menegaskan renvoi tidak dapat digunakan di


semua jenis perkara hukum perdata internasional dan cenderung ditolak karena
bertentangan dengan asas utama dalam hukum kontrak, di mana para pihak memiliki
kebebasan untuk menentukan hukum yang berlaku atas kontrak yang mereka buat
(hal. 135-136).

8. Asas-asas HPI Tentang Subjek Hukum

a. Asas Nasionalitas (Kewarganegaraan)


Stastus personal seseorang ditetapkan berdasarkan hukum kewarganegaraan
(lex patriae) orang tersebut. Berdasarkan suatu asas dalam bidang hukum
keperdataan yaitu asas mobilia sequntuur personam, asas pemberlakuan lex
patriaeberlaku juga dalam penentuan status benda bergerak, maksudnya status
benda bergerak ditetapkan berdasarkan hukum yang berlaku untuk
menetapkan status personal orang yang memiliki benda tersebut. Berdasarkan
pasal 16 AB dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati
warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-
hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan
kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka
orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia
dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk
dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang
termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan,
perwalian anakanak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan
perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.

b. Asas Domicilie
Status dan kewenangan seseorang ditentukan berdasarkan hukum domicilie
(hukum tempat kediaman permanen) orang itu.
9. Asas-asas HPI dalam Hukum Keluarga

a. HPI juga dipahami sebagai proses dan aturan-aturan yang digunakan oleh
pengadilan untuk menentukan hukum mana yang harus diperlakukan dalam
menghadapi perkara-perkara keperdataan yang bertalian dengan sistem hukum
asing.
Perkara keperdataan yang bertalian dengan sistem hukum asing tersebut antara
lain meliputi12 ;
a) Subyek hukum.
b) Hukum perkawinan dan perceraian pasangan berbeda kewarganegaraan.
c) Hukum benda.
d) Pewarisan.
e) Perjanjian

10. Asas-asas HPI dalam Hukum Perjanjian

Asas HPI yang paling utama dalam hukum perjanjian antar warga negara lain
adalah bahwa hukum yang dipilih dan disepakati oleh para pihak dalam
perjanjian/kontrak. Namun dalam praktek, persoalan HPI menjadi lebih kompleks
pada saat situasi dimana para pihak tidak melakukan pilihan hukum atau tidak
menyatakan pilihan hukumnya secara tegas. Sehingga teori-teori HPI bidang kontrak
sangat diperlukan atau lebih dikenal upaya menetapkan the proper law of contract.
Di bawah ini akan ditinjau beberapa asas yang berkembang dalam HPI bidang hukum
kontrak:
1. Asas lex loci contractus/hukum tempat pembuatan kontrak.
2. Asas lex loci solutionis/hukum dari tempat pelaksanaan perjanjian.

11. Asas-asas HPI dalam Perbuatan Melawan Hukum

Asas parti autonomy/kebebasan para pihak Berkaitan dengan asas-asas HPI tentang
perbuatan melawan hukum doktrin utama yang berkembang dalam HPI adalah:
a. Penentuan kualitas suatu perbuatan melawan hukum harus dilakukan
berdasarkan hukum dari tempat perbuatan itu dilakukan.
b. Perbuatan itu harus diatur berdasarkan hukum dari tempat timbulnya akibat
dari perbuatan itu.
c. Bahwa penentuan kualitas suatu perbuatan sebaga perbuatan melawan hukum
harus ditentukan oleh hukum forum termasuk penetapan hak dan
tanggungjawab dari para pihak yang terlibat.
d. Berkaitan dengan point (c) ditentukan berdasarkan sistem hukum yang
memiliki kaitan paling signifikan dengan rangkaian tindakan dan situasi
perkara yang sedang dihadapi.
e. Hukum yang berlaku untuk menyelesaikan suatu perkara harus ditetapkan
setelah memperhatikan kebijakankebijakan umum dari negara yang hukumnya
terlibat dalam perkara dan menganalisis kepentingankepentingan dari negara
itu.

12. Asas-asas HPI dalam Hukum Pewarisan

a. Umumnya diterima asas bahwa dalam hal benda yang menjadi obyek
pewarisan merupakan benda tetap, proses pewarisan atas benda berdasarkan
hukum dari tempat benda berada/terletak.
b. Jika benda yang obyek waris adalah benda bergerak tunduk pada kaidah
hukum waris dari tempat pewaris menjadi warga negara atau berkediaman
pada saat ia meninggal dunia.
c. Berkaitan dengan kecakapan pewaris dalam hal membuat testamen harus
berdasarkan pada hukum dari tempat pewaris berdomisili atau menjadi warga
negara pada saat pembuatan testamen atau hukum dari pewaris
berdomisili/menjadi warga negara pada saat ia meninggal dunia.

Anda mungkin juga menyukai