Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Al-Qur’an adalah kitab suci ummat Islam yang diwahyukan Allah kepada Muhammad
melalui perantaraan Malaikat Jibril. Secara harfiah Qur’an berarti bacaan. Namun walau
terdengar merujuk ke sebuah buku/kitab, ummat Islam merujuk Al-Qur’an sendiri lebih pada
kata-kata atau kalimat di dalamnya, bukan pada bentuk fisiknya sebagai hasil cetakan.
Hadits (bahasa Arab: ‫الحديث‬, ejaan KBBI: Hadis) adalah perkataan dan perbuatan dari
Nabi Muhammad. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan
kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur’an. Hadits secara harfiah berarti
perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/
mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad. Namun pada saat ini
kata hadits mengalami perluasan makna, sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka bisa
berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi
Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum. Kata hadits itu sendiri adalah
bukan kata infinitif, maka kata tersebut adalah kata benda.
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua
setelah Al-Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan
perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya.
ijma’ itu adalah kesepakatan, dan yang sepakat di sini adalah muhtahid muslim,
berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi.
B.     Rumusan Masalah
a. Bagaimana Al-qur’an menjadi pedoman hidup?
b. Bagaimana kedudukan Hadis sebagai sumberhukum?
c. Apakah ijma’ sebagai sumberhukum setelah Al-qur’n dan Hadis?
d. Apakah qiyas menjadi sumberhukum?

C.    Tujuan Penulisa


a. Agar kita depat mengetahui bahwasanya Al-qur’an sebagai pedoman hidup
b. Agar kita dapat menetahui hadis sebagai sumberhukum
c. Untuka mengetahui ijma’ dan juaga ketentuan hukum ijma’
d. Untuk mengetahui bagaimana qiyas sebegai sumberhukum islam

1
BAB II

PEMBAHASAN

A.    Al-Qur’an
Pengertian Al-Qur’an Sebagaimana telah disinggung sebelum ini tentang sumber dalil
dalam hukum Islam, maka Al-Qur’an merupakan sumber utama dalam pembinaan hukum
Islam. Secara Bahasa (Etimologi) Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-‘a
yang bermakna Talaa keduanya berarti: membaca, atau bermakna Jama’a (mengumpulkan,
mengoleksi). Secara Syari’at (Terminologi)
Adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya,
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri
dengan surat an-Naas.

‫ك نَ َّز ْلنَا نَحْ نُ ِإنَّا‬


َ ‫تَ ْن ِزيال ْالقُرْ آنَ َعلَ ْي‬

Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu (hai
Muhammad) dengan berangsur-angsur.” (Al-Insaan:23)
‫تَ ْعقِلُونَ لَ َعلَّ ُك ْم َع َربِيًّا قُرْ آنًا َأ ْنز َْلنَاهُ ِإنَّا‬
Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa
Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf:2)
Allah ta’ala telah menjaga Al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah, menambah,
mengurangi atau pun menggantikannya. Dia ta’ala telah menjamin akan menjaganya
sebagaimana dalam firman-Nya,
‫لَ َحافِظُونَ لَهُ َوِإنَّا ال ِّذ ْك َر نَ َّز ْلنَا نُ نَحْ ِإنَّا‬
“Sesungguhnya Kami-lah yang menunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benr-benar
memeliharanya.” (Al-Hijr:9)
Al-Qur’an disampaikan kepada kita secara mutawatir, baik melalui tulisan atau
bacaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dan terpelihara dari perubahan dan
pergantian . Sebagaimana telah disebutkan bahwa sedikitpun tidak ada keraguan atas
kebenaran dan kepastian isi Al-Qur’an itu, dengan kata lain Al-Qur’an itu benar-benar datang
dari Allah. Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan
aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Banyak ayat-ayat yang
menerangkan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah.
1.    Pokok Ajaran Dalam Isi Kandungan Al-Qur’an
a.       Akidah
Akidah adalah keyakinan atau kepercayaan. Akidah islam adalah keyakinan atau
kepercayaan yang diyakini kebenarannya dengan sepenuh hati oleh setiap muslim.Dalam
islam,akidah bukan hanya sebagai konsep dasar yang ideal untuk diyakini dalam hati
seorang muslim.Akan tetapi,akidah tau kepercayaan yang diyakini dalam hati seorang
muslim itu harus mewujudkan dalam amal perbuatan dan tingkah laku sebagai seorang
yang beriman.

2
b. Ibadah dan Muamalah
Kandungan penting dalam Al-Qur’an adalah ibadah dean muamallah.Menurut Al-Qur’an
tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah agar mereka beribadah kepada Allah.Seperti
yang dijelaskan dalam (Q.S Az,zariyat 51:56)
Manusia selain sebagai makhluk pribadi juga sebagai makhluk sosial.manusia
memerlukan berbagai kegiatan dan hubungan alat komunikasi .Komonikasi dengan Allah
atau hablum minallah ,seperti shalat,membayar zakat dan lainnya.Hubungan manusia
dengan manusia atau hablum minanas ,seperti silahturahmi,jual beli,transaksi dagang, dan
kegiatan kemasyarakatan. Kegiatan seperti itu disebut kegiatan Muamallah,tata cara
bermuamallah di jelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 82.
c. Hukum
Secara garis besar Al-Qur’an mengatur beberapa ketentuan tentang hukum seperti hukum
perkawinan,hukum waris,hukum perjanjian,hukum pidana,hukum musyawarah,hukum
perang,hukum antar bangsa.
d. Akhlak
Dalam bahasa Indonesia akhlak dikenal dengan istilah moral .Akhlak,di samping memiliki
kedudukan penting bagi kehidupan manusia,juga menjadi barometer kesuksesan seseorang
dalam melaksanakan tugasnya.Nabi Muhammad saw berhasil menjalankan tugasnya
menyampaikan risalah islamiyah,anhtara lain di sebabkan memiliki komitmen yang tinggi
terhadap ajhlak.ketinggian akhlak Beliau itu dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-
Qalam ayat 4.
e. Kisah-kisah umat terdahulu
Kisah merupakan kandungan lain dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an menaruh perhatian penting
terhadap keberadaan kisah di dalamnya.Bahkan,di dalamnya terdapat satu surat yang di
namaksn al-Qasas.Bukti lain adalah hampir semua surat dalam Al-Qur’an memuat tentang
kisah. Kisah para nabi dan umat terdahulu yang diterangkan dalam Al-Qur’an antara lain
di jelaskan dalam surat al-Furqan ayat 37-39.
f. Isyarat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Al-Qur’an banyak menghimbau manusia untuk mengali dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi.Seperti dalam surat ar-rad ayat 19 dan al zumar ayat 9.

Selain kedua surat tersebut masih banyak lagi dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi
seperti dalam kedokteran,farmasi,pertanian,dan astronomi yang bermanfaat bagi kemjuan dan
kesejahteraan umat manusia.
2.      Keistimewaan Dan Keutamaan Al-qur’an :
a. Memberi pedoman dan petunjuk hidup lengkap beserta hukum-hukum untuk
kesejahteraan dan kebahagiaan manusia seluruh bangsa di mana pun berada serta
segala zaman / periode waktu.
b. Memiliki ayat-ayat yang mengagumkan sehingga pendengar ayat suci al-qur’an dapat
dipengaruhi jiwanya.
c. Memberi gambaran umum ilmu alam untuk merangsang perkembangan berbagai
ilmu.
d. Memiliki ayat-ayat yang menghormati akal pikiran sebagai dasar utama untuk
memahami hukum dunia manusia.
e. Menyamakan manusia tanpa pembagian strata, kelas, golongan, dan lain sebagainya.
Yang menentukan perbedaan manusia di mata Allah SWT adalah taqwa.
f. Melepas kehinaan pada jiwa manusia agar terhindar dari penyembahan terhadap
makhluk serta menanamkan tauhid dalam jiwa.

3
B.     As-Sunnah (Al-Hadits)
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua
setelah Al-Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan
perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini
sejalan dengan firman Allah SWT:
Artinya: ” … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi
Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia.
Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal
tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia.
Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:

ُ ‫ضلُّوْ ا تَلَ ْن بِ ِه َما َم َّس ْكتُ ْم تَ َما اَ ْم َر ْي ِن فِ ْي ُك ْم ت ََر ْك‬


‫ت‬ َ ‫َرسُوْ لِ ِه ُسنَّةُ َو هللاِ ِكت‬
ِ ‫َاب اَبَدًا‬
Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama
kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah Rasulnya”. (HR. Imam
Malik)

Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai
berikut.
Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an, sehingga kedunya (Al-
Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah SWT
didalam Al-Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan
dalam firmannya :
Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30) Ayat diatas juga diperkuat oleh
hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.

1. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat
umum. Misalnya, ayat Al-Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan
menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan
jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai
wajib zakat, tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah
dijelaskan oleh rasullah SAW dalam haditsnya.

Contoh lain, dalam Al-Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging babi.
Firman Allah sebagai berikut: 
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3) Dalam
ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh
dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan,
yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW:
ِ ‫ َد َما ِن َو َم ْيتَت‬,‫ ْال َم ْيتَتَا ِن فَا َّما‬:‫ت‬
ْ َّ‫َان لَنَا اُ ِحل‬
‫ت‬ ُ ْ‫ َو ْال َج َرا ُد ْالحُو‬,‫ ال َّد َما ِن َواَ َّما‬: ‫َوالطِّ َحا ِل فَ ْال َكبِ ُد‬
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua

4
macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan
limpa…” (HR Ibnu Majjah)

2. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Qur’an.


Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh
kali, salah satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

‫ت َس ْب َع يُ ْغ ِس َل اَ ْن ْال َك ْلبُ فِ ْي ِه َولِ َغ اِ َذا اَ َح ِد ُك ْم اِنَا ِء طُهُوْ ُر‬ ِ ‫بِالتُّ َرا‬


ٍ ‫ب اَوْ لَ ِه َّن َمرَّا‬
Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh
sebanyak tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud,
dan Baihaqi)
1.      Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
a. Hadits Shohih
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu
penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits
b. Hadits Makbul
Adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang
termasuk Hadits Makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan
c. Hadits Hasan
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya
(hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya.
Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang
tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
d. Hadits Dhoif
Adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau
hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu
sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang
tidak
Beberapa definisi,diantaranya adalah sebagai berikut:
1.       Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shohih dan syarat-syarat
hadits hasan.
2.       Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul(hadits shohih
atau yang hasan)
3.       Pada definisi yang ketiga ini disebutkan secara tegas,bahwa Hadits dhoif adalah  hadits
yang salah satu syaratnya hilang.
Para ulama’ memberikan batasan bagi hadits dhoif :
‫الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح و ال صفات الحديث‬
“hadits dhoif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits”.

2.   Kriteria Hadits Dhoif


Adapun kriteria hadits dhoif adalah dimana ada salah satu syarat dari hadits shohih dan
hadits hasan yang tidak terdapat padanya,yaitu sebagai berikut:
-  Sanadnya tidak bersambung
-  Kurang adilnya perawi
- Kurang dhobithnya perawi

5
- Ada syadz atau masih menyelisihi dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lebih
tsiqah dibandingkan dengan dirinya
- Ada illat atau ada penyebab samar dan tersenbunyi yang menyebabkan tercemarnya suatu
hadits shohih meski secara dzohir terlihat bebas dari cacat.
Dengan demikian, hadits dhoif bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits shohih, juga
tidak memenuhi persyaratan hadits hasan.

a.       Hadits Dhoif karena gugurnya Rowi.


Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu, dua, atau beberapa
rawi, yang seharusnya ada dalam satu sanad baik pada permulaan sanad, pertengahan,
ataupun akhirnya. Adapun hadits dhoif karena gugurnya rawi di bagi menjadi beberapa
macam, di antaranya :
Hadits Mursal
Hadits Mursal, menurut bahasa berarti hadits yang terlepas .Yang dimaksud terlepas
yaitu  hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in atau hadits yang gugur rawinya di akhir
sanad. Yang dimaksud dengan gugur disini adalah nama sanad terakhirnya tidak disebutkan,
dan yang dimaksud rawi di akhir sanad yaitu rawi pada tingkat sahabat. Jadi hadits mursal
adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat nabi, sebagai rawi yang
seharusnya menerima langsung dari Rasulullah SAW.
Contoh Hadits Mursal :
)‫ (رواه مالك‬.‫بيننا و بين المنافقين شهود العشاء والصبح اليستطيعون‬: ‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
Artinya :
“Rasulullah bersabda, “antara kita dengan kaum munafik (ada batas), yaitumenghadiri
jama’ah isya’ dan subuh : mereka tidak sanggup menghadirinya.” (HR. MALIK)
            Kebanyakan ulama’ memandang hadits mursal sebagai hadits dhoif dan tidak diterima
sebagai hujjah, tetapi sebagian kecil ulama’ termasuk abu hanifah, malik bin annas dan
ahmad bin hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah bila rawinya adil.
b.      Hadis Dhoif karena cacat pada rawi atau matan
Hadis yang bercacat rawi atau matannya, atau kedua-duanya digolongkan hadis dhaif.
Banyak macam cacat yang dapat menimpa para rawi atau menimpa matan, diantaranya
pendusta, pernah berdusta, fasiq, tidak di kenal, dan berbuat bid’ah, merupakan cacat yang
masing-masing dapat menghilangkan  sifat dhabit rawi. Banyak keliru, banyak faham, buruk
hafalan, lalu mengusahakan hafalan dan menyalahi raw-rawi yang dipercaya,juga merupakan
cacat yang masing-masing dapat menghilangkan sifat dhabit pada rawi.
Adapun cacat matan misalnya, terdapat sisipan ditengah-tengah lafadz hadis, atau
lafadz hadis itu di putarbalikan sehingga member pengertian yang berbeda dengan maksud
lafadz yang sebenarnya.
Diantara hadis Dhaif karena cacat pada rawi atau matannya, yaitu :
Hadis Maudhu’
Dari segi bahasa, Hadis maudhu’ berarti palsu atau hadis yang dibuat-buat.
Sedangkan, menurut istilah :
‫هو المحتلع المصنوع المنصوب الى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم زورا وبهتانا سواء كان ذلك‬
‫عمدا ام خطا‬
“ Hadis yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dibangsakan
kepada Rasulullah SAW. Secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja, maupun tidak.”
Para ulama’ member batasan hadis maudhu’ adalah hadis yang bukan hadis Rasulullah SAW,
tetapi disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta dan sengaja atau secara keliru tanpa
sengaja.
Golongan pembuat Hadis Maudhu’ antara lain :

6
a. Musuh-musuh Islam (terutama kaum yahudi dan kaum zindiq).
b. Orang-orang yang fanatik pada golongan politiknya, madzhabnya, atau
kebangsaannya.
c. Tukang-tukang dongeng.
d. Orang-orang yang suka mengambil muka pada penguasa.
e. Dan orang-orang yang ingin bermegah diri dengan meriwayatkan hadis yang tidak
dimiliki orang lain.

C.   Pengertian Ijma’
Pengertian ijma’ secara etimologi ada dua macam, yaitu:
1.      Ijma’ berarti kesepakatan atau konsensus, Pengertian ini dijumpai dalam surat
Yusuf ayat 15:
Artinya: ” Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar
sumur (lalu mereka masukkan dia) .....” (Q.S. Yusuf: 15).
2.      Ijma’ berarti tekad atau niat, yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian
ini bisa ditemukan dalam firman Allah SWT dalam surah Yunus ayat 71:
Artinya: ”Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu
(untuk membinasakanku).” (Q.S. Yunus: 71).
Adapun pengertian dari Ijma’ penulis akan mengemukakan beberapa definisi, yaitu
            Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma’ dengan “Kesepakatan umat Muhammad secara
khusus tentang atas suatu urusan agama.” Rumusan Al-Ghazali ini memberikan batasan
bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW, yaitu seluruh umat islam. Dari
rumusan itu jelaslah bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan, dan yang sepakat di sini adalah
muhtahid muslim, berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi. Di sini
ditekankan “sesudah masa Nabi”, karena selama Nabi masih hidup, al-Qur’an yang
menjawab persoalan hukum karena ayat al-Qur’an kemungkinan turun dan Nabi sendiri
sebagai tempat bertanya tentang hukum syara’, sehingga tidak diperlukan adanya ijma’, ijma’
itu berlaku dalam setiap masa oleh seluruh mujtahid yang ada pada masa itu, dan bukan
berarti kesepakatan mujtahid semua sampai hari kiamat.
Dengan demikian pemakalah menyimpulkan Ijma’ adalah kesepakatan seluruh
mujtahid Islam dalam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah Saw, akan suatu hukum syariat.
1.     Syarat-syarat dan Rukun Ijma’
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat kita pahami bahwa ijma’ mempunyai syarat-
syarat sebagai berikut:
a.      Kesepakatan para mujtahid Islam. Maka, kesepakatan orang awam tidak dianggap
ijma’. Belum juga kesepakatan Islam yang belum mencapai derajat mujtahid fiqih,
meskipun mereka berasal dari tokoh ulama dalam disiplin ilmu lain. Sebab, mereka tidak
mempunyai kemampuan untuk menalar dan mengambil dalil tentang hukum perkara-
perkara syariat Islam.
Al-Asnawi berkata, “Maka tidak dianggap ijma’ kesepakatan orang awam dan ulama
yang berdisiplin ilmu lain, karena kesepakatan mereka dalam hal ini tanpa dasar dan mereka
bukanlah termasuk orang-orang mengetahui dalil-dalilnya.”
Fakhrur Razi berkata, “ Karena orang-orang yang bersepakat itu bukanlah orang-
orang yang mengerti bagaimana mengistinbatkan hukum dari nas-nasnya, maka kesepakatan
mereka yang berupa perintah dan larangan tidak perlu diikuti.
b.      Ijma’ harus merupakan hasil kesepakatan seluruh mujtahid meskipun negara dan
kebangsaan mereka berbeda, dan hal ini tidak diingkari oleh seorang mujtahid pun. Maka
jika ada sebagian mereka yang berbeda pendapat dengan pendapat mayoritas, meskipun
seorang saja yang berbeda pendapat itu, maka tidak bisa dikatakan Ijma’.
7
c.      Hendaklah kesepakatan itu berasal dari seluruh ulama mujtahid yang ada pada masa
terjadinya masalah fiqihyah dan pembahasan hukumnya, Oleh karena itu, tidak
diisyaratkan bahwa kesepakatan seluruh mujtahid yang ada pada masa berikutnya.
d.      Kesepakatan para mujtahid itu hendaklah harus terjadi sesudah Rasulullah SAW wafat.
Oleh karena itu, apabila para sahabat bersepakat dalam hukum suatu perkara, ketika Nabi
SAW masih hidup, maka kesepakatan mereka itu tidak bisa dinamakan ijma’ syar’i.
f.      Kesepakatan itu hendaklah dinyatakan masing-masing mujtahid dengan terang dan tegas
pada satu waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun berkelompok dalam satu tempat,
di mana sebelumnya juga terjadi perdebatan mengenai masalah yang ada, tetapi berakhir
dengan diperolehnya satu pendapat bulat.
g.      Hendaknya kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat itu, benar-benar sepakat
lahir dan batin, bukan formalnya saja. Betul-betul terjadi kebulatan pendapat.
Jika semua persyaratan di atas terpenuhi dan disepakati para mujtahid atas hukum
syara’ yang amali, seperti wajib, haram, sah, maka terjadilah ijma’.
Adapun rukun ijma’ adalah sebagai berikut:
1.      Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma tersebut adalah seluruh
mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil,
maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’
2.      Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada
pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
3.       Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan
pandangannya.
4.       Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat aktual dan tidak ada
hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an
5.      Sandaran hukum ijma’ tersebut secara haruslah Al-Qu’an dan atau hadis Rasulullah
SAW.

2.    Macam-macam Ijma’


Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma terbagi menjadi dua, yaitu Ijma’ Sharih (tegas) dan
Ijma’Sukuti (persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama).
Ijma’ Sharih adalah yaitu ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa
mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka, baik melalui
ucapan (hasil ijtihadnya disebarkan melalui fatwa), melalui tulisan atau dalam bentuk
perbuatan (mujtahid yang menjadi hakim memutuskan suatu perkara) dan ternyata seluruh
pendapat mereka menghasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut.
Sedangkan Ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan
pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.
Para ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang Ijma’ sukuti ini. Menurut Imam Syafii
dan kalangan Malikiyah, ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum.
Alasannya, diamnya sebagian ulama para mujtahid belum tentu menandakan setuju, karena
bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana pendapat itu telah didukung oleh
penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang pendapat mujtahid
yang punya pendapat itu karena dianggap lebih senior.
Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanabilah, Ijma’ sukuti adalah sah dijadikan
sumber hukum. Alasannya, bahwa diammnya sebagian ulama mujtahid dipahami sebagai
persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas
menentangnya. Manakala mereka tidak menentangnya secara tegas, hal itu menandakan
bahwa mereka menyetujuinya.

8
Sebagian Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan, diamnya sebagian ulama mujtahid
tidak dapat dikatakan telah Ijma’, namun pendapat seperti itu dianggap lebih kuat dari
pendapat perorangan.

D.    Pengertian Qiyas


Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan
sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum. Karena dengan qiyas ini
berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum kepada sumbernya al-quran dan
hadits. Sebab dalam hukum Islam kadang tersurat jelas dalam al-quran dan hadits, tapi
kadang juga bersifat implicit-analogik (tersirat) yang terkandung dalam nash. Beliau Imam
Syafi’i mengatakan “Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib
melaksanakannya”. Namun jika tidak ada ketentuan hukum yang pasti, maka haruslah dicari
dengan cara ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiyas.

1.     Rukun dan Syarat Qiyas


Rukun Qiyas, yaitu:
a.      Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih
(tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan);
b.      Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya
karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang
diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
c.      Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum
itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan
d.      'Illat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'.
Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk
menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.
Di atas telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-
syarat sebagai berikut:
1. Syarat-syarat ashal (soal-soal pokok)
a. Hukum yang hendak dipilihkan untuk cabang masih ada pokoknya
Hukum yang ada dalam pokok harus hukum syara’
Hukum pokok tidak merupakan huku pengecualian, seperti sahnya puasa orang lupa
meskipun makan dan minum
2. Syarat-syarat fara’ (cabang)
a. Hukum cabang tidak lebih dulu ada daripada hukum pokok, misalnya mengqiayaskan
wudlu dengan tayamun
b. Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri yang menurut ulama ushul berkata,
apabila datang nash, qiyas menjadi batal
c. Illat yang terdapat pada cabang harus sama dengan illat yang terdapat pada pokok
d. Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok
3. Syarat-syarat illat
a. Illat harus tetap berlaku
b. Illat berpengaruh pada hukum, artinya hukum harus terwujud ketika terdapatnya illat
tanpa mengganggu sesuatu yang lain. sebab adanya illat tersebut adalah demi
kebaikan manusia, seperti melindungi jiwa sebagai illat wajibnya qishas
c. Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan maka nash yang didahulukan
d. Illat harus berupa sesuatu yang jelas dan tertentu

9
2.    Macam-Macam Qiyas
a.       Qiyas aula
Yaitu qiyas yang illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan (mulhaq) dan
mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat menyamakannya (mulhaq bih),
misanya memukul kedua orang tua dengan mengatakan “ah” kepadanya
b.      Qiyas musaw' I adalahsuatu qiyas yang illat-nya mewajibkan adanya hukum yang
terdapat pada mulhaq nya sama dengan illat hukum yang terdapat dalam mulhaq bih.
Misalnya merusak harta benda anak yatim mempunyai illat hukum yang sama dengan
memakan harta anak yatim, yakni sama –sama merusakkan harta
c.       Qiyas dalalah suatu qiyas dimana illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum,
tetapi tidak mewajibkan hukum padanya, seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil
pada harta orang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan illat bahwa
seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat dapat bertambah
d.      Qiyas syibhi adalah suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat diqiyaskan pada dua mulhaq
bih, tetapi diqiyaskan dengan mulhaq bih yang mengandung banyak persamaaannya
dengan mulhaq. Misanya seorang hamba sahaya yang dirusakkan oleh seseorang.

10
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dalil secara etimologis dengan “sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang
dikehendaki”. Secara terminologis dalil hukum ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan
alasan atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam usaha menemukan dan meneapkan
hukum syara atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat. Akan tetapi, dalam
perkembangan perkembangan pemikiran ushul fikih yang terlihat dalam kitab-kitab ushul
fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum tidak dibedakan. Mereka
menyatakan bahwa apa yang disebut denagan dalil hukum adalah mencakup dalil-dalil lain
yang dipergunakan dalam istinbat hukum selain Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Al-Qur’an merupakan sumber utama dalam pembinaan hukum Islam.
Al-Qur’an yang berasal dari kata qara’a yang dapat diartikan dengan membaca,
namun yang dimaksud dengan Al-Qur’an dalam uraian ini ialah,”kalamullah yang diturunkan
berperantakan ruhul amin kepada Nabi Muhammad saw dalam bahasa arab, agar menjadi
hujjah bagi Rasul bahwa ia adalah utusan Allah dan agar menjadi pelajaran bagi orang yang
mengikuti petunjuknya. Dan terpelihara dari perubahan dan pergantian.
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua
setelah Al-Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan
perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya.
ijma’ itu adalah kesepakatan, dan yang sepakat di sini adalah muhtahid muslim,
berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi.
Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan
sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum. Karena dengan qiyas ini
berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum kepada sumbernya al-quran dan
hadits.

B. SARAN
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan krtik dan saran dari semua
pihak demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika.


Abdurachman, Asmuni. 1985. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka setia.
Qattan, Manna’. 1973 . Mabahits Fi Ulumil Qur’an. Riyadh : Mansyuratul ‘Asril
Hadits.Uman, Chaerul, 
Ushul Fiqh 2, Cet II, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Effendi, Satria, M Zein, Ushul Fiqh, Ed. 1. Cet I, Jakarta: Kencana, 2005.
Syarifuddin, Amir, Haji, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.

12

Anda mungkin juga menyukai