Anda di halaman 1dari 36

Nama : Habib iqbal

NPM : 2281131424

Artikel 1
Al-Qur’an Dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam

Sumber hukum pertama adalah al- Qur‟an, yaitu wahyu atau kalamullah yang sudah
dijamin keontentikannya dan juga terhindar dari intervensi tangan manusia. Sehingga dengan
penyucian tersebut meneguhkan posisi al-Qur‟an sebagai sumber hukum yang utama.
Sumber hukum dalam Islam tidak hanya al-Qur‟an saja, melainkan juga Hadis, Ijma‟
dan Qiyas. Ketiganya hanyalah sebagai sumber skunder hukum-hukum Islam, sumber-
sumber ini bukan berfungsi sebagai penyempurna al-Qur‟an melainkan sebagai
penyempurna pemahaman manusia akan maqasid al-syari‟ah. Karena al-Qur‟an telah
sempurna sedangkan pemahaman manusia yang tidak sempurna, sehingga dibutuhkan
penjelas (bayan) sebagai tindakan penjabaran tentang sesuatu yang belum dipahami secara
seksama.
1. Al-quran
a. Pengertian al-Qur’an
Al-Qur‟an secara bahasa berasal dari kata qara’a - yaqra’u - qira’atan -
qur’anan, yakni sesuatu yang dibaca atau bacaan. Sedangkan secara istilah
merupakan Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dan sampai
kepada kita secara mutawatir serta membacanya berfungsi sebagai ibadah. Allah
SAW, berfirman :

ُ‫إِ َّن َعلَْي نَا ََجْ َعوُ َوقُ ْرآنَوُ فَِإذَا قَ َرأْ ََنهُ فَاتَّبِ ْع قُ ْرآنَو‬
Penyebutan lafadz Allah dalam pengertian al-Qur‟an dimaksud untuk
membedakan antara perkataan malaikat, jin, dan manusia dengan kalamullah (al-
Qur‟an) itu sendiri. Adapun kata al-munazzal maksudnya membedakan al-Qur‟an
dari kalamullah yang lainnya, karena langit dan bumi beserta isinya juga bagian
dari kalamullah. Sedangkan kalimat „ala Muhammad saw. dimaksud untuk
membedakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan wahyu
yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul sebelum beliau. Adapun redaksi al-
muta‟abbad bi tilawatihi maksudnya al-Qur‟an merupakan firman Allah yang
dibaca setiap melaksanakan ibadah.
Selain sebagai firman Allah kepada Nabi saw. Al-Qur‟an juga sebagai
mukjizat daripada Nabi saw. Mukjizat sendiri berarti sesuatu yang melemahkan
atau perkara yang keluar dari kebiasaan (amru khariju lil‟adah). Dikatakan sebagai
mujkizat karena pada saat itu masyarakat Arab Jahiliyah pandai dalam membuat
sastra Arab (syair), sastra Arab pada saat itu bearada dalam puncak kejayaan
sehingga membuat manusia berbondong-bondong, berlomba-lomba dalam
membuat syair, dan syair yang terbaik akan ditempel di dinding Ka‟bah dan
membuat yang bersangkutan merasa sombong.
Turunnya al-Qur‟an tidaklah sekali dalam bentuk mushaf yang terdapat pada
saat ini, melainkan al-Qur‟an turun secara periodik atau bertahap. Tujuan dari
turunnya yang bertahap ini dimaksud agar memperbaiki umat manusia, diantaranya
sebagai penjelas, kabar gembira, seruan, sanggahan terhadap musyrikin, teguran
dan juga ancaman. Akan tetapi ada perbedaan pendapat dikalangan ulama‟
berkenaan dengan proses turunnya alQur‟an, ada pendapat yang mengatakan
bahwa al-Qur‟an turun pada malam hari (lailatu al-qadar), ada pula pendapat yang
mengatakan bahwa turunnya al-Qur‟an melalui tiga proses tahapan. Tahap pertama
diturunkan di Lauh al-Mahfudz, kemudian diturunkan ke langit pertama di Bait al-
Izzah, dan terakhir diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur
dan sesuai kebutuhan serta peristiwa yang sedang terjadi atau dihadapi oleh Nabi
saw.

b. Nama dan Sifat al-Qur’an


Dalam kitab al-Burhan fi Ulum al-Qur‟an karya al-Zarkasyi sebagaimana
dikutiip oleh Amroeni Drajat, beliau menyebutkan ada 54 nama selain penamaan
al-Qur‟an diantaranya al-Kitab, an-Nur, al Kalam, Huda, Rahmah, Furqan, asy-
Syifa‟, Mauizhah, adz-Dzikra, at-Tanzil, Wahyu, al Hadi, al-„Urwah al-Wutsqa,
Mutasyabiha, al-Adl, Zabur, Mubin, Balagha, Shuhu Marfu‟ah, Muthaharah, dan
Basyira wa Nadzira, dll. Dari sekian banyak nama diatas ada beberapa nama yang
sangat populer dikalangan ulama‟ diantaranya:
1) al-Qur‟an
Penamaan al-Qur‟an berlandasakan pada kitab suci yang terakhir diturunkan
oleh Allah swt. guna menjadi bacaan sebagaimana arti dari kata Qur‟an itu
sendiri dan telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.
2) al-Furqan
Penamaan al-Furqan mengindikasikan bahwa al-Qur‟an sebagai pembeda
antara haq dan bathil, atau antara yang benar dengan salah.
3) al-Kitab
Al-Kitab artinya al-Jam‟u (mengumpulkan), penamaan ini berdasarkan pada
alQur‟an yang mengandung bermacam ilmu, kisah, dan berita. Maksud
dari al-Kitab juga bahwa al-qur‟an tidak hanya dipelihara melalui lisan
(hafalan) tetapi juga dengan tulisan.
4) al-Dzikru
Kata al-Dzikru murni dari bahasa Arab, artinya kemuliaan. Makna lain dari
adz Dzikru ialah ingat, mengingatkan. Maksudnya di dalam kitab al-Qur‟an
terkandung pelajaran, nasehat dan kisah para umat terdahulu.
5) al-Tanzil
Kata al-Tanzil artinya sesuatu yang diturunkan, yaitu mengisyaratkan bahwa
alQur‟an merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi
Muhammad saw. melalui perantara Malaikat Jibril.
Selain nama-nama di atas, juga ada sifat-sifat dari alQur’an sebagaimana
berikut:
1) an-Nur
2) Huda-Syifa‟-Rahmah-Mauizhah
3) Basyir-Nadzir

c. Kandungan Hukum dalam al-Qur’an


Merujuk pada pembahasan para ulama‟, sebagian dari mereka ada yang
membagi hukum yang terkandung dalam al-Qur‟an menjadi tiga.
1. Hukum Akidah (I‟tiqadiyah) ialah sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan
manusia kepada Allah swt. dan juga kepada para Malaikat, Kitab, Rasul,
serta hari akhir.
2. Hukum Etika (Khuluqiyyah) adalah suatu perilaku yang berkaitan dengan
kepribadian diri. Diantaranya kejujuran, rendah hati, sikap dermawan dan
menghindari sifat-sifat buruk pada dirinya seperti halnya dusta, iri, dengki,
sombog.
3. Hukum Amaliyah (Amaliyah) suatu perilaku sehari-hari yang berhubungan
dengan sesama manusia. Hukum Amaliyah dibagi menjadi dua bagian,
yakni: Pertama, muamalah ma‟a Allah atau pekerjaan yang berhubungan
dengan Allah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, dan lain sebagainya;
Kedua, muamalah ma‟a anNaas atau pekerjaan yang berhubungan
langsung dengan manusi pribadi maupun kelompok. Contohnya, kontrak
kerja, hukum pidana, dan lain sebagainya.
Sebagian dari ulama‟ sepakat dengan pembagian hukum al-Qur‟an tersebut,
namun tidak berdasarkan pembagian yang sudah ada. Melainkan dengan tiga
bagian lain, yaitu Tauhid, Tazkir, dan Hukum. 17 Dari seluruh pembagian hukum
di atas, menurut Hasbullah Thalib secara umum kandungan hukum dalam al-
Qur‟an ada lima bagian, diantaranya:
1. al-Ahkam al-I‟tiqadiyyah (suatu hukum yang berorientasi pada keimanan
dan keyakinan).
2. al-Ahkam al-Khuluqiyah (suatu hukum yang berkenaan dengan akhlak)
3. al-Ahkam al-Kauniyah (suatu hukum yang berkenaan dengan alam semesta).
4. al-Ahkam al-„Ibariyah (suatu hukum yang kaitannya dengan peristiwa atau
kejadian pada masa lalu dan dapat diambil pelajarannya (ibrah)).
5. al-Ahkam al-Syar‟iyyah al-„Amaliyyah (hukum - hukum yang mengatur
perilaku dan perkataan mukallaf yang ditimbang dengan neraca syari‟ah).

d. Cara al-Qur’an Menjelaskan Ayat-Ayat Hukum


Al-Qur‟an merupakan sumber hukum Islam yang sifatnya umum, maka
sebagian besar hukum yang dijelaskan bersifat global dan hanya beberapa yang
bersifat mendetail. Secara garis besar penjelasan hukum oleh al-Qur‟an terdiri dari
tiga cara, sebagaimana berikut:
1. Ijmali (global)
Penjelasan al-Qur‟an bersifat umum, sedangkan sunnah Nabi yang nantinya
akan menjelaskan lebih mendetail. Sebagaimana perintah mendirikan shalat,
membayar zakat, dan penjelasan lafadz yang tidak jelas secara makna
2. Tafshili (terperinci)
Al-Qur‟an memaparkan hukum secara terperinci, dan disertai pejelasan yang
mendetail, adapun sunnah Nabi menjadi penguat bagi penjelasan al-Qur‟an
tersebut. Contohnya, hukum waris, tata cara dan hitungan dalam thalaq,
mahram (orang yang haram untuk dinikahi), tata cara li‟an (saling melaknat)
antara suami dan istri, dan penetapan hukuman dalam kasus pidana hudud
3. Isyarah (isyarat)
Penjelasan al-Qur‟an hanya sebatas pokok hukum, baik secara isyarat
maupun secara ungkapan langsung. Adapun sunnah Nabi memberikan
penjelasan hukum yang terkandung dalam pokok bahasan tersebut secara
terperinci.

2. Hadis
a. Pengertian Hadis

Secara etimologi Hadis berasal dari kata (‫حدث‬ – ‫ ) حيدث‬artinya al-jadid


“sesuatu yang baru” atau khabar “kabar”. Maksudnya jadid adalah lawan dari al-
qadim (lama), seakan-akan dimaksudkan untuk membedakan al-Qur‟an yang
bersifat qadim. Sedangkan khabar maksudnya berita, atau ungkapan,
pemberitahuan yang diungkapkan oleh perawi hadis dan sanadnya bersambung
selalu menggunakan kalimat haddatsana (memberitakan kepada kami). Secara
terminology, definisi hadis mengalami perbedaan redaksi dari para ahli hadis,
namun makna yang dimaksud adalah sama.
Maksud dari qaul (perkataan) adalah ucapan, dan fi‟il (perbuatan) ialah
perilaku nabi yang bersifat praktis, dan taqrir (keputusan) sesuatu yang tidak
dilakukan nabi tetapi nabi tidak menginkarinya, dan sifat maksudnya adalah ciri
khas dari kepribadian nabi. Selain pengertian hadis di atas, istilah hadis juga sering
disamakan dengan istilah Sunnah, khabar, dan atsar, sebagaimana berikut;
a) Sunnah
Kata Sunnah berarti jalan yang terpuji. Sunnah ialah segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh Rasulullah saw. berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat
fisik, atau akhlaq, serta perilaku kehidupan baik sebelum diangkat menjadi
Rasul (seperti mengasingkan diri yang beliau lakukan di Gua Hira‟) atau
setelah kerasulan beliau. Adapun menurut “Ulama‟ Fiqh”, Sunnah
merupakan segala sesuatu yang datang dari Nabi yang bukan fardlu dan
tidak wajib.
b) Khabar
Secara bahasa Khabar artinya al-Naba‟ (berita). Selain itu khabar juga berarti
hadis, sebagai mana telah dijelaskan di atas. Khabar berbeda dengan hadis,
hadis adalah sesuatu yang datang dari Nabi, sedangkan khabar ialah berita
yang datang selain dari Nabi. Maka dapat disimpulakan bahwa khabar lebih
umum dari pada hadis.
c) Atsar
Secara etimologi atsar berarti “sisa atau suatu peninggalan” (baqiyat al-
Syai). Sebagaimana dikatan di atas bahwa atsar adalah sinonim dari hadis,
artinya ia mempunyai arti dan makna yang sama. Selain itu atsar adalah
sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi‟in, yang terdiri dari
perkataan atau perbuatan.
b. Kedudukan Hadis Terhadap al-Quran
Pendapat para ulama tentang kedudukan hadis terhadap al-Qur‟an:
1. al-Qur‟an dengan sifat yang qath‟I al-wurud (keberadaannya yang pasti dan
diyakini) sudah seharusnya kedudukannya lebih tinggi dari pada hadis. Dimana
status hadis (kecuali yang mutawatir) adalah zhanni al-wurud.
2. Hadis berfungsi sebagai penjelas dan penjabar dalam atas al-Qur‟an.
Maksudnya, yang dijelaskan adalah al-Qur‟an yang kedudukannya lebih tinggi.
Maka eksistensi dan keberadaan hadis sebagai bayyan tergantung kepada
eksistensi al-Qur‟an.
3. Sikap para sahabat yang selalu merujuk kepada al-Qur‟an terlebih dahulu jika
bermaksud mencari jalan keluar atas suatu masalah. Jika di dalam al-Qur‟an
tidak ditemukan maka merreka merujuk kepada Sunnah yang mereka ketahui,
atau bisa menanyakan kepada sahabat yang lain.
4. Hadis Muadz secara tegas menyatakan urutan kedudukan antara al-Qur‟an dan
Sunnah. “Sesungguhnya ketika Rasulullah hendak mengutus Muadz bin Jabal
ke Yaman, beliau bertanya kepada Muadz, “Bagaiamana engkau memutuskan
perkara jika diajukan kepadamu?” Maka Muadz menjawab, “Aku akan
memutuskan berdasarkan kitab Allah (al-Qur‟an).” Rasul bertanya lagi,
“Apabila engkau tidak menjumpai jawabannya di dalam kitab Allah?” Muadz
berkata, “Aku akan memutuskan dengan Sunnah.” Rasul selanjutnya bertanya
lagi, “Bagaiaman jika engkau tidak menemukan di dalam Sunnah dan tidak di
dalam kitab Allah?” Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan
mempergunakan akalku.” Rasul saw menepuk dada Muadz seraya berkata,
“Alhamdulillah atas taufik yang telah dianugerahkan Allah kepada utusan
Rasulnya
c. Fungsi Hadis Terhadap al quran
1. Menegakkan kembali keterangan atau Perintah yang terdapat di dalam al-
Qur‟an. Dalam hal ini hadis datang dengan keterangan atau perintah yang
sejalan dengan alqur‟an.
2. Menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an yang datang secara mujmal
(global). Dalam hal ini kaitannya ada tiga hal (1). Menafsirkan serta
memperinci ayat-ayat yang bersifat umum, (2). Mengkhususkan ayat-ayat yang
bersifat umum, (3). Memberi batasan terhadap ayat bersifat mutlaq.
3. Menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh al-Qur‟an (bayan
Tasyri‟)
d. Implementasi sumber hukum
Penerapan sumber hukum para ulama‟ sepakat bahwa al-Qur‟an yang utama,
dan hadis yang kedua. Kesepakatan ini berdasarkan al-Qur‟an sebagai firman Allah,
sedangkan hadis bersumber dari nabi yang merupakan makhluk atau hamba Allah
meskipun dikarunia beberapa kelebihan istimewa lain.
Sebagai sumber hukum utama, al-Qur‟an tentunya mengandung ayat-ayat
yang berkaitan dengan hukum, ayat-ayat tersebut mayoritas diturunkan di kota
Madinah. Abdul Wahab Khlalaf berpendapat bahwa, ayat-ayat hukum yang
terkandung dalam al-Qur‟an hanya 5,8 persen dari 6360 ayat al-Qur‟an.
sebagaimana berikut ini;
1. Ibadah (shalat, puasa, haji, dll) sebanyak 140 ayat.
2. Hidup Kekeluargaan (perkawinan, perceraian, hak waris, dsb) sebanyak 70
ayat.
3. Perdagangan atau Perekonomian (jual beli, sewa menyewa, pinjam
meminjam, gadai, perseroan, kontrak, dsb) sebanyak 70 ayat.
4. Kriminal sebanyak 30 ayat
5. Hubungan Islam dengan selain Islam sebanyak 25 ayat.
6. Pengadilan sebanyak 13 ayat.
7. Hubungan kaya dan miskin sebanyak 10 ayat.
8. Kenegaraan sebanyak 10 ayat.

Penutup
Al-Qur‟an adalah firman Allah yang shalih likulli zaman wa fi kulli makan. Segala
perkara yang ada pada dasarnya kembali kepada al-Qur‟an, sebagaimana sifat al-Qur‟an
yaitu huda (petunjuk). Petunjuk yang benar akan memberikan jalan dan solusi yang benar.
Meskipun al-Qur‟an hanya terdiri dari 30 juz, tetapi petunjuk yang ada didalmnya sangtalah
lengkap dan mencakup semua persoalan yang ada. Dengan demikian al-Qur‟an menjelaskan
hukum-hukum yang terkandung di dalmnya dengan cara yang umum, terperinci, dan sesuai
pokok bahasan.
Barang siapa yang hendak memahami kandungan hukum dalam ayat al-Qur‟an maka
wajib baginya untuk memahami sunnah Nabi, hal ini dikarenakan korelasi antara keduanya
sangatlah erat. Kedudukan sunnah menjadi sakral ketika al-Qur‟an hanya menjelaskan
hukum secara umum, disini diperlukan peran sunnah Nabi sebagai perinci dari hukum yang
umum. Dan ketika al-Qur‟an sudah mejelaskan hukum secara rinci maka kedudukan sunnah
sebagai penguat atau pemantapan dari penjelasan hukum tersebut. Sama halnya jika
penjelasan al-Qur‟an hanya sebatas isyarat saja, maka sunnah Nabi hadir untuk melengkapi
dan menyikap tabir dari isyarat tersebut.
Al-Qur‟an dan Hadis adalah sumber hukum yang sangat relevan dan saling berkaitan
antara satu dengan yang satunya dan akan terus eksis terjaga keotentikannya. Adanya hadis
akan terus sejalan dengan keberadannya kitab Al-Qur‟an.
Artikel 2
KEDUDUKAN AL-QURAN DAN HADIS SEBAGAI DASAR PENDIDIKAN ISLAM

Al-Qur‟an dan hadist merupakan pedoman hidup yang harus dipegang teguh oleh
setiap kalangan manusia, agar dapat bisa selamat pada dunia dan di akhirat. Dengan kata
lain, bahwa al-Qur‟an merupakan sumber rujukan bagi kehidupan manusia dalam segala
aspek ke hidupan dalam menejalankan kehidupan baik hubungan dengan Allah SWT
ataupun sesama manusia. Manusia yang masuk pada ruang lingkup pembinaan adalah
makhluk yang memmpunyai unsur-unsur jasmani serta akal jiwa yang sehat.3 Sebab
pembinaan akal dapat menghasilkan sebuah ilmu pengetahuan, dan pembinaan jiwa dapat
menghasilkan pada kesucian dan etika. Sedangkan pembinaan jasmani itu dapat
menghasilkan pada sebuah keterampilan.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan sebuah upaya yang digunakan untuk membina
serta mengembangkan pada potensi yang dimiliki oleh setiap manusia. Tujuan tidak lain agar
adanya kehadiran bagi setiap manusia pada muka bumi ini yang berperan sebagai hamba
Allah, serta dapat melaksanakan pada tugas dan kewajiban sebagai khalifah Allah dengan
sebaik baiknya. Adanya pendidikan agama Islam merupakan upaya umat secara bersamaan
ataupun sebagai upaya pada sebuah lembaga masyarakat yang memberikan jasa
pendididikan. Tidak sampai disitu, sebab terkadang pendidikan juga menjadi sumber usaha
pada dirinya sebagai sumber pemasukan pada kehidupannya.

Metode
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis menggunakan studi literature. Analisis
data yang digunkan oleh penulis, menggunakan analisis data yang bersifat kualitatif, yaitu
segala upaya yang dilakukan oleh penulis yang terfokus pada data yang meliputi pada,
mengorganisasikan data, memilah-milah data.

Hasil dan Pembahasan


Pendidikan Islam dalam segi umum merupakan ilmu pendidikan yang memiliki dasar
Islam, sehingga pendidikan Islam harus bersumber pada al-Quran dan hadist Nabi.
Pendidikan Islam adalah “pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hati, jiwa dan raga,
akhlak dan keterampilan. Soejoeti berkeyakinan bahwa, pertama-tama, pendidikan Islam
adalah pendidikan yang pembentukan dan pelaksanaannya didorong oleh keinginan dan
semangat mewujudkan Islam yakni; nilai nilai, baik atas nama lembaga maupun dalam
kegiatan yang diselenggarakannya. Kedua, pendidikan Islam adalah pendidikan yang
menghargai dan sekaligus memasukkan ilmu ajaran Islam sebagai program studi yang akan
diselenggarakan. Pendidikan Islam ialah pendidikan dalam dua pengertian di atas.
Kedudukan al-quran dan hadis sebagai dasar pendidikan
a. Kedudukan al-Qur’an
Orang yang pertama kali berperan sebagai pendidik atau biasa disebut dengan Al-
Tarbiyah Al-Ula diemban oleh Nabi Muhammad SAW, yang timbul sejak pada masa
awal Islam itu muncul. Rujukan yang dijadikan dasar yang digunakan oleh Nabi
Muhammad SAW terdapat pada dua hal yang meliputi pada alQur‟an dan Hadits yang
beliau kemukakan. Maka dari itu keberadaan al-Qur‟an memiliki sebuah
pembendaharaan yang amat luas bagi pengembangan pada peradaban bagi setiap
manusia. Sehingga al-Qur‟an menjadi barometer utama untuk memahami pada
pendidikan dalam berbagai dimensi yang meliputi pada dimensi kemasyarakatan, moral,
ataupun spritual, serta material yang berada dalam alam ini.
Oleh karenanya keududukan al-Qur‟an dalam dunia pendidikan menjadi sumber rujukan
utama, sebab semuanya terlahir dari pada al-Qur‟an. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan oleh pakar pendidikan Islam, bahwa sumber rujukan dasar dalam
pendidikan Islam terdapat tiga hal, yaitu al-Qur‟an, hadist, ijtihad. Dengan kata lain,
bahwa yang dijadikan rujukan pertama dalam pendidikan adalah al-Qur‟an.
b. Kedudukan hadist
banyak hadist Nabi yang memiliki pada relevansinya terhadap arah dasar pada
pemikiran, serta implikasinya secara langsung terhadap pengembangan dan implikasi
pada dunia pendidikan. Contoh yang telah dilakukan oleh Nabi dimasa hidupnya,
merupakan sumber dan rujukan yang dapat digunakan bagi umat Islam sebagai
pedoman dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Walaupun secara umum bagian
terbesar dari pada syari‟ah Islam, itu sudah termuat dalam al-Qur‟an, akan tetapi segala
hal yang termuat dalam al-Qur‟an tersebut sebagian masih bersifat global, yakni belum
mengatur pada segala dimensi pada aktivitas kehidupan manusia secara detail. banyak
hadist Nabi yang memiliki pada relevansinya terhadap arah dasar pada pemikiran, serta
implikasinya secara langsung terhadap pengembangan dan implikasi pada dunia
pendidikan. Contoh yang telah dilakukan oleh Nabi dimasa hidupnya, merupakan
sumber dan rujukan yang dapat digunakan bagi umat Islam sebagai pedoman dalam
menjalankan kehidupan sehari-harinya. Walaupun secara umum bagian terbesar dari
pada syari‟ah Islam, itu sudah termuat dalam al-Qur‟an, akan tetapi segala hal yang
termuat dalam al-Qur‟an tersebut sebagian masih bersifat global, yakni belum mengatur
pada segala dimensi pada aktivitas kehidupan manusia secara detail.
Adanya sebuah proses pendidikan Islam yang telah Nabi Muhammad Saw
contohkan dalam masa hidpunya, merupakan sebuah bentuk contoh yang harus diikuti
dalam pelaksanaan pendidikan yang bersifat fleksibel serta universal, yakni
menyesuaikan terhadap potens yang dimiliki oleh peserta didiknya. Dan dapat
mengikuti pada kebiasaan masyarakat serta kondisi alam. Namun meski demikian
adanya proses pendidikan tersebut, juga harus dibalut dengan adanya pilar-pilar akidah
islamiah di dalamnya.

Kesimpulan
Dari penjabaran yang sudah dipaparkan oleh penulis diatas, maka penulis dapat
menyimpulkan. Bahwa keududukan al-Qu‟an dan Hadist, merupakan rujukan utama
dalam dunia pendidikan. Al-Qur‟an memberikan sebuah pandangan yang mengarah
terhadap kehidupan manusia, maka dari itu asas-asas yang menjadi dasarnya itu
memberikan petunjuk terhadap pendidikan Islam. Sehingga rasanya sangatlah tidak
mungkin berbicara tentang pendidikan Islam, jika tidak mengambil pada al-Qur‟an
sebagai satu-satunya rujukannya. Sedangkan hadist merupakan sumber rujukan yang
nomer dua setalah al-Qur‟an, meskipun keduanya berperan sebagai rujukan utama
dalam pendidikan Islam.
Namun keduanya memiliki perbedaan antara kedunaya. Sebab jika al-Qur‟an
sebagai rujukan utama yang bersifat global, yang tentunya membutuhkan penasiran
guna memahaminya. Sedangkan untuk hadist rujukan utama bagi pendidikan Islam,
serta menjadi penguat serta penjelas pada seluruh problematika yang ada di dunia ini,
baik yang terkandung dalam al-Qur‟an maupun persoalan yang dihadapi oleh para kaum
muslim, dengan cara menyampaikan pada mereka, serta memberikan praktek yang
langsung dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tentu hal tersebut dapat dijadaikan
sebagai landasan dalam pendidikan Islam
Artikel 3
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA
(Kajian Deskriptif Kualitatif Tentang Al-Qur’an, Sunnah, Dan Ijma’)

Pada setiap ajaran yang ada di muka bumi ini, dan menamakan diri sebagai term
agama memiliki ketentuan atau hukum yang mengikat para penganutnya. Agama Islam
sebagai agama samawi yang terjaga kemurnian dan kesucian kitab sucinya, jauh dari
kerusakan perubahan oleh tangan jahil manusia. Sebagai sumber hukum utama patutlah
dipahami dan dikaji secara mendalam oleh manusia yang beriman agar mampu
menjalankan tugas sebagai khalifah Allah di bumi. Al-Qur‟an sebagai wahyu
diturunkan pada Muhammad SAW sebagai bukti kerasulan, dan keutamaan beliau
adalah memberikan penjelasan berupa hadits-hadits yang menjelaskan ayat. Jadilah
alQur‟an dan hadits dua pegangan utama umat Islam untuk menjalani hidup, agar
mendapatkan berkah dan kebahagiaan di dunia maupun akhirat.
dalam Islam yang menjadi sumber hukum selain al-Qur‟an dan hadits terdapat
Ijma‟ dan juga Qiyas sebagai sumber sekunder, berfungsi untuk menyempurnakan
pemahaman tentang maqasid al-syari‟ah (Raisuni, 1995). Hal ini, dikarenakan
alQur‟an sudah sempurna dan sudah diperjelas oleh hadits, pemahaman manusialah
yang tak sempurna, sehingga perlu penjelas untuk menjabarkan sesuatu yang belum bisa
dipahami secara mendalam.

Metode
Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif, sedangkan jenis
penelitian berupa studi kepustakaan, yang kegiatannya dilakukan dengan menghimpun
data berkaitan dengan judul yang bersifat kepustakaan. Tujuan penelitian ini agar
pembaca dapat mengetahui urgensi memahami berbagai sumber hukum Islam seperti al-
Qur‟an, Sunnah, dan Ijma‟ serta implementasinya secara komprehensif, sehingga
pembaca dalam kehidupan sehari-harinya dapat termotivasi untuk menjalankan agama
sesuai aturannya dan menemukan Islam sebagai agama yang dinamis, humanis, elastis,
dan egaliter atau shalihun likulliz zaman wal makan.

Pembahasan
Sumber-sumber hukum Islam maksudnya adalah pijakan umat Islam dalam
menentukan hukum atau norma-norma yang mengatur tatanan kehidupan. Pada
dasarnya hukum Islam itu bersumber dari al-Qur‟an, selanjutnya diperjelas secara lebih
detail melalui sunnah atau hadis Nabi Muhammad. Wahyu yang termuat dalam al-
Qur‟an, menetapkan n norma-norma dan konsep-konsep dasar hukum Islam yang
sekaligus merombak norma atau aturan yang sudah menjadi tradisi di tengah-tengah
masyarakat apabila tidak sesuai. Walaupun demikian, hukum Islam juga
mengakomodasi berbagai tradisi yang tidak berlawanan dengan norma-nomra ketentuan
dalam wahyu Ilahi tersebut.
Sudah disepakati para alim ulama tentang urutan dalam hukum Islam, yakni al-
Qur‟an, Hadits, dan Ijma‟. Kesepakatan bahwa al-Qur‟an sebagai sumber pertama
mengacu pada perkataan Nabi kepada Muadz bin Jabal sebgaimana dijelaskan dalam
Yasid (2011) bahwa menilik percakapan antara Rasulullah SAW. dengan Muadz,
dipahami urutan utama yaitu al-Qur‟an setelah itu hadits.
Aspek peribadahan menempati urutan teratas. Hal ini tentu sejalan dengan
diturunkannya al-Qur‟an adalah sebagai ketentuan hukum yang mengatur tujuan utama
hidup manusia, yakni beribadah kepada Allah SWT. Urutan selanjutnya ketentuan
hukum pada ayat alQur‟an adalah tentang aspek kekeluargaan dan perekonomian.
Banyaknya ayat tentang keluarga mengisyaratkan pentingnya menerapkan ajaran dan
ketentuan hukum Islam dalam keluarga sebagai basis adanya sebuah masyarakat. Jika
keluarganya baik atau sehat sesuai ajaran Islam, maka masyarakatnya akan baik.
Urutan berikut adalah masalah ekonomi, masalah ekonomi ini sangat penting
karena berkaitan dengan hubungan atau interaksi sesama manusia dalam pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Aspek ini harus diatur dan jelas hukumnya agar tidak terjadi
kekacauan yang diakibatkan berbenturnya kepentingan dalam meraih keuntungan.
Untuk itu diatur cara mendapatkan rejeki sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang
ditetapkan Allah ta‟ala.
Sebagai sumber ajaran Islam, terdapat berbagai fungsi hadits yang perlu dipahami.
Hadits adalah sumber pokok ajaran Islam yang tentunya dapat memberikan penjelasan
lebih lanjut ajaran Islam yang tercantum dalam al-Qur‟an. Al-Qur‟an dan hadist menjadi
sebuah satu kesatuan untuk pedoman umat manusia khususnya umat muslim. Keduanya
menjadi pedoman umat supaya tidak kehilangan arah dalam hidup dan mendapatkan
hidayah dari Allah SWT.
Hadits menjadi salah satu sumber hukum Islam setelah alQur‟an, dimana jika
terjadi suatu perkara atau hukum yang belum jelas di dalam al-Qur‟an, maka hadits bisa
menjadi sebuah sandaran berikutnya setelah al-Qur‟an. Adapun ijtihad yang merupakan
proses penetapan hukum syariat dengan mencurahkan seluruh pikiran dan tenaga secara
bersungguh-sungguh yang kemudian melahirkan Ijma‟ juga menjadi sumber hukum
dalam Islam yang menjadi pedoman umat muslim. Dengan demikian, bisa disimpulkan
bahwa ijtihad merupakan penetapan salah satu sumber hukum Islam. Fungsi ijtihad
sebagai sumber hukum Islam adalah untuk menetapkan suatu hukum dimana hal
tersebut tidak dibahas dalam al-Qur‟an dan hadits Nabi SAW. Sehingga bisa dikatakan,
ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah al-Quran dan Hadits.

Pentutup
Sumber-sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang melahirkan ketentuan
hukum yang mengatur umat Islam. Telah disepakati secara jelas bahwa al-Qur‟an
adalah sumber hukum utama bagi umat Islam, berikutnya adalah hadits/sunnah, dan
ijma‟. Al-Qur‟an yang memiliki jumlah 30 juz merupakan sebuah keseluruhan dari
semua aturan dalam situasi dan kondisi apapun bagi umat manusia. Seluruh aspek
kehidupan manusia ada dalam alQur‟an.
Sebagai seorang khalifah di muka bumi, umat Islam diwajibkan mengamalkan
perintah yang terkandung dalam dua sumber hukum Islam yang utama, yakni Al-Qur‟an
dan Hadits. Apabila di dalam keduanya belum ditemukan secara jelas tentang masalah
terbaru, maka Al-Qur‟an dan hadits itu sendiri yang memerintahkan para ulama untuk
mencurahkan pemikirannya dalam menetapkan hukum, dan hasil kesepatannya
dinamakan ijma‟. Dengan demikian ijma‟ dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam
yang ketiga.
Kita sebagai umat Islam sangat berharap adanya kesatuan pendapat dan persatuan
seagama yang kuat bagi seluruh umat Islam sedunia saat ini. Sehingga hukum Islam
dapat dijalankan merata di bumi Allah ini. Karena diyakini bahwa hanya berdasarkan
sumber hukum Islam sajalah peradaban umat di dunia ini akan baik, sempurna, dan
mendatangkan kesejahteraan yang berwibawa. Sebaliknya, apabila selain hukum Islam
yang diterapkan, maka kekeringan religius akan membawa kepada perabadan yang
rusak dan membawa umat pada kehancuran.
Artikel 4
KEDUDUKAN AS-SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM DAN PENDIDIKAN
ISLAM DI ERA MILLENIAL

Adapun keistimewaan yang dimiliki oleh agama islam dapat dilihat dari orisinilitas
sumber hukumnya. Dengan begitu, as-sunnah tidak terdapat penambahan apapun
didalamnya sebagaimana halnya al-Qur‟an, karena as-sunnah dikuatkan dari metode
transmisi (penyaluran) dan kritik melalui beberapa rangkaian kaidah yang dimiliki.
Hukum memiliki hubungan dengan moral dan etika (tingkah laku) sehingga menjadikan
umat muslim yang berakhlak mulia. Hukum ini memiliki kaitan dengan interaksi antar
sesama manusia. Oleh karena itu, hukum interaksi digolongkan menjadi dua, yaitu
hukum ibadah dan hukum muamalah.
Hadits menjadi poin yang sensitif di dalam kesadaran spiritual bahkan intelektual
muslim. Namun tidak hanya karena menjadi sumber dari pokok ajaran Islam, tetapi juga
berguna sebagai tambang informasi bagi pembentukan karakter budaya Islam, terutama
yang banyak merujuk kepada hadits-hadits. Hadits memiliki peran yang sangat penting,
karena mengingat kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam yang muncul setelah
al-Qur‟an. Jika didasari melalui dasar hukum yang sudah tidak benar maka hukum juga
akan mengarah pada kesalahan-kesalahan. Hadits menjadi semakin sulit ketikan
semakin banyaknya masalah yang muncul. Sementara sudah banyak Nabi dan para
sahabatnya yang wafat. Di saat Nabi masih hidup, masalah masalah yang muncul
dapat diselesaikan dengan otoritas al-Qur‟an maupun Nabi Muhammad SAW.
Kemudian pada masa sahabatnya, masyarakat mampu melihat praktek nabi ang telah
dijalankan oleh para sahabat. Kemudian dari munculnya masalah tersebut berbagai
informasi tentang Nabi menjadi sangat penting terhadap kaum muslim tersebut, sebab
pada dampak sebelumnya banyak sekali timbul literatur hadits dalam bermacam-macam
bentuk dan jenisnya dengan cakupan hadits-hadits yang cukup beragam.

1. Sunnah/Hadis sebagai Sumber Ajaran Islam


Salah satu dari ilmu-ilmu hadis yang sangat diperlukan oleh para Fuqaha‟,
Muhaddisin dan yang lainnya yaitu Ilmu Mukhtaliful Hadis. Haruslah kita
memiliki pengetahuan yang luas agar dapat mengambil hukum dari dalil-dalilnya,
pemahaman yang kuat, dapat mengetahui keumuman serta kekhususanya,dan dapat
mengenal ke mutlakan serta ke-muqayyad-annya dari dalil-dalil tersebut. Ilmu
mukhtalif al-hadits merupakan cabang ilmu hadits yang tidak berdiri sendiri,
karena memiliki keterkaitan yang erat dengan cabang ilmu hadits yang lainnya.
Ilmu ini juga memiliki kaitan dengan kedisiplinan ilmu yang lainnya, seperti ilmu
fiqh dan ilmu ushul fiqh yang diperlukan sebagai istinbath hukum dan memahami
maksud yang telah dikandung oleh hadits tersebut secara baik. Oleh karena itu,
agar dapat menguasai ilmu mukhtalif al-hadits, dianjurkan juga untuk menguasai
ilmu-ilmu hadits secara baik, dan juga pengetahuan yang cukup.
a. Pembagian As-Sunnah (Hadist)
Sunnah dapat digolongkan atau diklasifikasikan kedalam tiga bagian, yaitu;
Pertama, As-Sunnah qauliyah (perkataan), contohnya: seluruh ibadah yang
dimiliki tersebut menyertai niat (orang yang meniatkan); Kedua, As-Sunnah
fi‟liyah (perbuatan), contohnya: aturan menunaikan ibadah sholat,
mengerjakan amalan haji, adab dalam berpuasa, dan memutuskan persoalan
berdasarkan sanksi dan sumpah; Ketiga, As-Sunnah taqririyah (ketetapan),
membolehkan ataupun tidak melanggar hal yang telah dilandaskan oleh
seorang sahabat, ataupun diberikan kepada beliau, kemudian tidak
menentang, maupun tidak menyalahkan serta menunjukan bahwa beliau
telah meridhainya.
b. Pedoman Penggunaan Hadits/Sunnah
Sebagaimana telah disebutkan di dalam kitab Ujalah Nafi‟ah yang ditulis
Abdul Aziz, terdapat beberapa aturan dalam menggunakan hadis supaya
dapat diterima atau tidak dapat diterima untuk dipergunakan sebagai dalil.
Ketentuan-ketentuan tersebut meliputi; a) Jika hadits kontradiktif dengan
fakta sejarah; b) apabila hadis diriwayatkan oleh orang-orang syiah dan
hadis tersebut mengandung sifat berupa tuduhan kepada para sahabat nabi,
atau hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang khawarij yang memiliki sifat
menuduh anggota keluarga nabi. Namun, jika hadis tersebut dikuatkan oleh
para saksi yang tidak memihak, maka hadis tersebut dapat diterima; c)
Apabila hadis berisi kewajiban buat seluruh orang untuk mengetahui dan
mengamalkannya dan hadis itu hanya diriwayatkan oleh satu orang; d) Jika
pada saat dan keadaan diriwayatkan hadits tersebut membuktikan bahwa
hadits tersebut hanyalah dibuat-buat; e) Jika hadits tersebut bertentangan
dengan akal, maupun bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang terang;
f) Jika hadits tersebut menguraikan suatu peristiwa, dan jika peristiwa
tersebut benar-benar terjadi, niscaya peristiwa tersebut diketahui dan
diceritakan oleh banyak orang, padahal kenyataanya, peristiwa tersebut tidak
diriwayatkan oleh satu orang pun selain yang meriwayatkan hadits tersebut;
g) Jika terdapat masalah atau kata-kata yang rakik (artinya tak sehat atau tak
benar), misalnya kata-kata yang tidak pantas dengan idiom bahasa Arab,
atau masalah-masalah yang diungkapkan tidak pantas bagi martabat atau
kedudukan Nabi Saw; h) Jika hadits tersebut berisi ancaman hukuman yang
berat untuk perbuatan dosa yang biasa, atau menjanjikan ganjaran yang besar
untuk perbuatan baik yang terlihat tidak seberapa; i) Jika hadits tersebut
menerangkan pemberian ganjaran oleh Nabi Saw dan Rasul kepada orang-
orang yang telah berbuat baik; j) Jika yang meriwayatkan hadits tersebut
mengakui bahwa dia telah membuat-buat hadits.
Hadits-hadits Nabi merupakan representasi beliau dimana secara fisik beliau
tidak dapat hadir di tengah-tengah umat muslim. As sunnah merupakan
salah satu peninggalan yang beliau berikan selain al-Qur‟an. Wajar saja, jika
as-sunnah berperan penting dalam menyelesaikan persoalan ataupun masalah
yang timbul di tengah umat muslim. Oleh sebab itu, as-sunnah harus
dijadikan sumber ajaran yang otoritatif, namun ajaran-ajaran dalam hadits
harus tetap sejalan dan berdampingan dengan landasan atau dasar yang telah
dibangun oleh al-Qur‟an.

2. Hadis Sebagai Sumber dan Fakta Sejarah


Hadits merupakan sebuah reportase hal ihwal, peristiwa-peristiwa
dimasa yang lampau, yakni segala sesuatu yang telah disandarkan kepada
sisi sisi kehidupan Nabi Muhammad Saw. Hadits yang merupakan
fakta fakta historis dan telah dinarasikan melalui sanad merupakan sebuah
fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri keberadaanya. Beberapa hal yang
mendasari dan membuktikan argumentasi bahwa hadis merupakan sebuah
peristiwa, kisah (fakta) sejarah adalah sebagai berikut;
a. Berdasarkan pada terminologi hadis itu sendiri
Secara terminologis, term hadits bermakna sebagai semua
ucapan, perbuatan, taqriri (kententuan atau ketetapan) maupun
hal ihwal yang telah disandarkan kepada Rasullullah saw. Berdasarkan
pada terminologi ini, terdapat dua kata kunci (keyword) untuk
digunakan sebagai bukti bahwa hadis merupakan fakta sejarah:
Pertama, kata yang "disandarkan" itu merupakan kata kunci yang
mengacu pada sebuah realita bahwasannya pada tiap pernyataan yang
diakui sebagai hadits Nabi harus memiliki sandaran (sanad), yaitu dari
seorang periwayat (murid) kepada periwayat lainnya (guru), dari
periwayat terakhir (sebagai penghimpunan hadits ”mukharrijal
alhadits”) hingga periwayatan pertama (sahabat Nabi). Proses
penyandaran suatu berita tersebut menyatakan adanya sebuah proses
perpindahan berita (hadits) yang bersumber dari peristiwa dimasa
lampau oleh seseorang.
Kedua, Rasullullah SAW berkata: ”kata kunci tersebut mengacu
pada sosok manusia yang hisup di dunia (Arab) dengan situasi dan
kondisi, sosio dan historis yang melingkupinya pada abad ke-7 M.
Karenanya, hadits tidak lain merupakan suatu reportase (rekaman)
sejarah seseorang yang berada di daerah dan pada waktu tertentu, yaitu
Muhammad Saw yang hidup pada zaman abad ke-7 M di Arab.

b. Penyebutan Bashar bagi Nabi Muhammad di dalam al-Qur‟an


arti kata bashar adalah “manusia” dan bukan salah satu kata yang
mengacu pada pengertian manusia. Di dalam al-Qur‟an, misalnya
terdapat kata al-insan dan al-nas yang memiliki makna yang sama yakni
manusia. Dalam al-Qur‟an, kata bashar dapat dijumpai pada 47 ayat.
Hampir semua kata bashar disini merujuk kepada pengertian “manusia”
dan dalam arti lahiriah yang dapat dilihat, dapat disentuh maupun
dirasakan. Kecuali dalam QS. Al Muddaththir ayat 29 yang memaknai
bashar sebagai kulit manusia.
Nabi Muhammad SAW adalah sosok manusia yang secara
lahiriah tidak ada bedanya dengan manusia lainnya. Beliau juga
mengalami siklus kehidupan dari masa di dalam kandungan, lahirnya ke
dunia, tumbuh dan berkembang sebagaimana manusia lainnya, dan
akhirnya secara fisik wafat. Oleh sebab itu, bercerita tentang Nabi
Muhammad dengan segala macam hal yang telah melekat pada diri
beliau setelah beliau wafat yang berarti sama saja berbicara tentang
sebuah bukti sejarah tentang seorang manusia yang secara raganya
sudah wafat.
c. Hasil dari studi atau kajian kritis terhadap hadits
Dalam studi kritik hadits dikenal dua macam studi kritik hadits
yaitu: studi kritik eksternal (al-naqd al-khariji) pada objek kajiannya
adalah sanad atau perawi; dan studi kritik internal (al-naqd al-dakhila
atau al-maini) dalam objek kajiannya yakni teks (main). Acuan dari
studi kritik hadits biasanya dilandaskan dalam kaidah kesahihan hadits
(lima tolak ukur yang menjadi batasan istilah hadits sahih), meskipun
oleh penulis harus di perbaharui dengan memperhatikan poin-poin yang
menjadi kelemahan maupun kekurangan metodologisnya.

3. Al-Hadits atau As-Sunnah: Kedudukan dan Fungsi-fungsinya


Kedudukan sunnah terhadap al-Qur'an secara garis besar mengandung
tiga fungsi, yaitu; Pertama, sebagai penguat pesan-pesan hukum yang
terkandung di dalam al-Quran; Kedua, sebagai penjelas atau menjabarkan
pesan-pesan hukum yang terdapat di dalam al Qur'an; Ketiga, secara
sendirinya sunnah menetapkan pesan-pesan hukum yang belum diatur dalam
al-Qur'an. Jika ditilik dari segi materi hukum, terdapat nisbah (hubungan)
antara sunnah dengan al-Qur‟an, yakni; 1) Menguatkan hukum dari suatu
peristiwa yang telah ditetapkan dari hukum di dalam al-Qur‟an; dan (2)
Memberikan keterangan maupun penjelasan dari ayat-ayat al-Qur'an.
Sebagai sumber primer kedua setelah al-Qur'an, sunnah memiliki tugas
dan fungsi penting bagi al-Qur'an, yakni sebagai bayan (penjelas) maupun
penafsir yang bertugas menjelaskan maksud dan tujuan dari al-qur‟an. Adapun
fungsi hadis sebagai penjelas dari al-Qur'an meliputi; Pertama, Sunnah sebagai
Bayan Al-Taqrir atau biasa disebut juga sebagai bayan al-ta‟kid atau bayan al-
Isbat, yaitu as-sunnah berfungsi sebagai pengokoh hal yang telah dijelaskan
dalam al-Qur‟an; Kedua, Sunnah sebagai Bayan al-Tafsir, merupakan
penjelasan kepada hadits hadits yang memerlukan uraian (tafshil) ataupun
rincian terhadap ayat-ayat al-Qur‟an; Ketiga, Sunnah sebagai Bayan al-Tasyri‟
yaitu penjelasan sendiri dari tasyri‟ yang bermakna mengadakan, mewujudkan,
maupun menetapkan dari beberapa hukum ataupun ketentuan-ketentuan syara‟
yang tidak terdapat dalam al-Qur‟an.
a. Hadits atau As-Sunnah Sebagai Sumber Otoritatif Hukum Islam
As-Sunnah yang berkedudukan sebagai sumber primier kedua, serta
telah diterima oleh hampir seluruh ulama dan umat muslim, tidak hanya
dikalangan Sunni tetapi juga di kalangan Syi‟ah dan aliran Islam
lainnya. Legitimasi aliran ini tidak diarahi dari pengakuan suatu
kalangan muslim terhadap Nabi sebagai orang yang berkuasa tetapi
diperbolehkan melalui kehendak ilahiyah.
b. Assunnah sebagai wahyu dan yang berkedudukan seperti wahyu
Wahyu yang datang dari Allah SWT merupakan dasar dari pondasi
agama yang harus untuk diikuti dan dipatuhi. Bagian tersebut jelas
merupakan hal yang terpelihara dari kesalahan dan lupa. Bagian ini
terkadang diwahyukan beserta lafalnya, maka di dalamnya terkandung
kemukjizatan, yaitu; al-Qur‟an dan terkadang diwahyukan tidak
bersama lafalnya, yaitu hadits Nabi Saw. Keduanya tidak diragukan
merupakan wahyu yang pada hakikatnya berasal dari satu sumber.
c. Kedudukan Hadits terhadap al-Qur‟an Perspektif Imam Syafi‟i adalah
Menurut Imam Syafi'I hadis memiliki kedudukan terhadap al Qur'an,
yaitu: a) Menerangkan atau menjelaskan ke-mujmal-an alqur‟an
seperti halnya dengan menerangkan ataupun menjelaskan ke mujmal-
an ayat shalat; b) Menerangkan atau menjelaskan „am alQur‟an, yaitu
„am yang dikehendaki dengan khash; c) Menerangkan atau menjelaskan
mana yang berupa nasikh dan mana yang berupa mansukh dari ayat-
ayat yang terdapat dalam al-Qur‟an; d) Menerangkan atau menjelaskan
fardhu-fardhu dari fardhu-fardhu yang telah ditetapkan dalam al-
Qur‟an.

4. Kontekstualisasi Hadits dari Makna Lokal-Temporal Menuju Makna


Universal
Berdasarkan dari peristiwa yang pertama, sebagai sebuah fakta sejarah
hadits yang menjadikan sebuah produk atau hasil sejarah yang tentu barkaitan
dengan konteks ruang dan waktu. Maka dari itu, as sunnah tidak bersifat
secara umum atau global. As-sunnah menjadi sebuah produk atau hasil masa
lalu dan dalam kondisi masa lalu. Hasil masa lampau ini berbeda dengan masa
yang sekarang, dikarenakan situasi ruang dan waktu sekarang sudah berubah
dan jauh berkembang. Islam sekarang sudah menjadi agama dunia, yang mana
telah terjadi hubungan Islam dengan kondisi sejarah (ruang dan waktu)
berbeda dengan Islam pada abad ke 7 M di dunia Arab. Selain itu, nabi secara
lahiriah juga terikat dengan sifat manusiawi, yang mana tidak semua yang
bersumber dari beliau pasti bermakna tashr‟i (ajaran).
Sementara itu, mengacu pada peristiwa ke dua, sebagai salah satu
sumber ajaran islam, hadits harus ditempatkan pada posisi ajaran yang bersifat
umum. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW harus diletakan sebagai
figur di luar kondisi sejarahnya (trans-historis Arab abad ke 7 M). Dapat
diringkas bahwa hadits secara sejarah merupakan sebuah bukti dari sejarah,
sedangkan hadits secara dogmatis adalah ajaran yang harus trans-historis.
Adalah sebuah kemustahilan sebuah kondisi sejarah sekaligus diluar situasi
sejarah. Bila peristiwa pertama yang harus dipertahankan, maka pada
peristiwa atau kejadian ke dua dengan sendirinya akan tidak diberlakukan lagi,
ataupun dengan sebaliknya. Namun demikian, secara idiologis-dogmatis,
bahwa peristiwa yang kedua layak untuk dipertahankan, walaupun pada
kejadian yang pertama tidak boleh untuk dikesampingkan begitu saja.

Kesimpulan
As-sunnah menempati posisi yang fundamental dalam Islam, di samping al-Qur‟an.
Posisi tesebut ditunjukan oleh fungsinya sebagai penjelas dari al-Quran dan sumber hukum
yang kedua. Mengingat problematika keumuman makna ayat al-Qur‟an, posisi hadits sebagai
penjelas dan sumber hukum perlu untuk dijadikan pegangan dalam menjawab persoalan-
persoalan hukum. Baik yang terkait secara syari‟at maupun persoalan kemanusiaan. Otoritas
(kehujjahan) sunnah didasarkan berdasarkan dalil-dalil yang sudah pasti. Baik dari ayat
alQur‟an maupun hadits Nabi saw atau menurut akal sehat. Sunnah yang dapat dijadikan
sebagai hujjah tentunya sunnah yang telah memenuhi persyaratan sahih, baik mutawattir
maupun ahad.
Artikel 5
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM DAN DALIL HUKUM

A. Pengertian Al-Quran
Al-Qur‟an ialah wahyu Allah Swt, yang merupakan mu‟jizat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai sumber hukum dan pedoman
hidup bagi pemeluk Islam, jika dibaca menjadi ibadat kepada Allah. Dengan
keterangan tersebut diatas, maka firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa
as, dan Isa as, serta Nabi-nabi yang lain tidak dinamakan Al-Qur‟an.
Demikian juga firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
Saw, yang jika dibacanya bukan sebagai ibadat seperti hadits Qudsi tidak pula
dinamakan Al-Qur‟an. Al-Qur‟an mempunyai nama-nama lain seperti: Al-Kitab,
Kitabullah, Al-Furqan (artinya yang membedakan antara yang haq dan yang batil)
dan adz-Dzikru artinya peringatan. Dan masih banyak lagi nama-nama Al-Qur‟an.

B. Garis-garis Besar Isi Al-Qur’an


Pokok-pokok isi Al-Qur‟an ada lima :
1. Tauhid, kepercayaan terhadap Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya,
para Rasul-Nya, hari kemudian, Qadla yang baik dan buru- buruk.
2. Tuntunan ibadat sebagai perbuatan yang menghidupkan jiwa tauhid.
3. Janji dan ancaman ; Al-Qur‟an menjanjikan pahala bagi orang yang mau
menerima dan mengamalkan isi Al-Qur‟an dan mengancam mereka yang
mengingkari dengan siksa.
4. Hukum yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagian dunia
dan akhirat.
5. Inti sejarah bagi orangorang yang tunduk kepada Allah, yaitu orang-orang yang
shaleh seperti Nabi-nabi dan Rasul-rasul, juga sejarah mereka yang mengingkari
agama Allah dan Hukum-hukum-Nya.

C. Al-Qur’an Sebagai Dasar Hukum


Allah Swt, menurunkan Al-Qur‟an itu gunanya untuk dijadikan dasar
hukum, dan disampaikan kepada ummat manusia untuk diamalkan segala perintah-
Nya dan ditinggalkan segala larangan-Nya.
ِ
َ ِّ‫ك ِم ْن َرب‬
‫ك ۖ َو إِ ْن ََلْ تَ ْف عَ ْل فَ َم ا‬ َ ْ‫الر ُس و ُل بَ لّ ْغ مَ ا أُنْزِ َل إِلَي‬
َّ ‫ََي أَيُّ َه ا‬
ِ ِ ‫ك ِم َن ال ن‬
َّ ‫َّاس ۗ إِ َّن‬ ِ ‫اَّلل ي ع‬
َ‫اَّللَ ََل يَ ْه د ي ا لْ قَ ْوم‬ َ ‫ص ُم‬ ْ َ ُ َّ ‫ت رِ َس ا لَتَوُ ۚ َو‬
َ ْ‫بَ لَّغ‬
ِ
َ ِ‫ا لْ َك اف ر‬
‫ين‬
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan
jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

D. Dasar-dasar Al-Qur’an Dalam Membuat Hukum


Al-Qur‟an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk jadi petunjuk
dan pengajaran bagi seluruh umat manusia, dalam mengadakan perintah dan
larangan, Al-Qur‟an selalu berpedoman kepada dua hal, yaitu :
1. Tidak memberatkan.
2. Berangsur-angsur
Sesuai firman Allah :
- “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
(S. Al-Baqarah, ayat 286)
- “Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki kesempitan
bagimu”. (S. Al-Baqarah, ayat 185)
Dengan dasar-dasar itulah, kita boleh :
a. Mengqashar shalat (dari empat menjadi dua raka‟at) dan menjama‟
(mengumpulkan dua shalat), yang masing-masing apabila dalam berpergian
sesuai dengan syarat-syaratnya.
b. Boleh tidak berpuasa apabila dalam berpergian.
c. Boleh bertayammum sebagai ganti wudlu‟.
d. Boleh makan makanan yang diharamkan, jika keadaan memaksa.
Berangsur-angsur ; Al-Qur‟an telah membuat hukum-hukum dengan
berangsur-angsur, seperti larangan minum minuman keras dan perjudian.
Lalu datanglah fase yang kedua dari fase mengharamkan khamar itu, yaitu
dengan jalan mengharamkannya sesaat sebelum shalat dan bahwa bekas-bekasnya
harus lenyap sebelum shalat.
Kemudian datanglah fase terakhir yaitu larangan keras terhadap arak dan
judi, setelah banyak orang-orang yang meninggalkan kebiasaan itu dan sesudah
turun ayat yang pertama dan yang kedua.
Demikianlah Allah membuat larangan secara berangsur-angsur dan
sebaliknya dalam pembinaan hukumpun secara berangsur-angsur pula, misalnya
pengumuman dasar peperangan dan jihad di masa permulaan Islam di kota Madinah.
Kemudian diperluas keterangan tentang berbagai soal yang berhubungan
dengan peperangan, seperti perintah persiapan dengan segala perbekalan, hukum-
hukum orang tertawan dan ghanimah serta lain-lainnya.

E. Mengetahui Sebab-sebab Turunnya Al-Qur’an


Ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan kepada Rasul Saw ialah untuk menjadi
penerangan sesuatu perkara yang pada waktu itu Rasulullah Saw belum
mengetahui hukumnya. Maka ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan karena ada sesuatu
kejadian atau pertanyaan dari sahabat yang Nabi Saw sendiri belum mengetahui
hukumnya. Sedikit sekali ayat-ayat AlQur’an diturunkan dengan tak ada
pertanyaan yang mendahuluinya. Ayat-ayat Al-Qur’an yang turun karena ada
pertanyaan antara lain terdapat pada ayat-ayat yang didahuluinya oleh lafadh “yas-
aluunaka mereka bertanya kepadamu”. Dan ayat-ayat semacamnya ini banyak
sekali.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan karena ada suatu kejadian, misalnya
pada suatu ketika salah seorang sahabat yang bernama Mursyidan Al-Ghanawi
mencintai seorang wanita musyrik bernama Inaq yang kedua-duanya ingin
mengikat dalam suatu perkawinan. Ia mohon izin kepada Rasulullah Saw untuk
beristeri dengan perempuan musyrik yang dicintainya itu. Ketika itu Rasulullah Saw
tidak dapat memberi jawabannya karena belum ada hukum yang menetapkan
tentang hal itu.

F. Memetik Pelajaran dari Al-Qur’an


Kita mempelajari ushulfiqih gunanya untuk mengetahui bagaimana cara kita
mengambil hukum dari ayat-ayat Al-Qur‟an. Dalam Al-Qur‟an terdapat beberapa
macam kedudukan ayat, antara lain sebagai berikut:
Ada yang perintahnya jelas, tetapi caranya tidak jelas, seperti ayat:

Artinya. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-
orang yang ruku'. (S. Al-Baqarah, ayat 43)
Dalam ayat ini perintah shalat jelas, tetapi cara melaksanakannya tidak
disebut.
Ada yang perintahnya jelas, tetapi ukurannya tidak jelas, misalnya :

Artinya : “ Dan keluarkanlah olehmu zakat”. (S. Al-Baqarah, ayat 43).


Ayat ini jelas perintahnya tentang zakat, tetapi ukurannya dan batas nisabnya
tidak diterangkan didalam ayat ini.

SUNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM

A. Pengertian Sunnah.
Sunnah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara. Sunnah
menurut istilah syara‟ ialah perkataan, perbuatan Nabi Muhammad Saw, dan
keterangannya yaitu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat oleh sahabat dan
ditetapkan oleh Nabi Saw, tiada ditegurnya sebagai bukti bahwa perbuatan itu tiada
terlarang hukumnya.
B. Pembagian Sunnah
Sunnah itu dibagi menjadi tiga:
1. Sunnah Qauliyah sabda-sabda Rasulullah Saw.
Sunnah Qauliyah yaitu perkataan Nabi Saw, yang menerangkan hukum-hukum
agama dan maksud isi AlQur‟an serta berisi peradaban, hikmah, ilmu
pengetahuan dan juga menganjurkan akhlak yang mulia. Sunnah Qauliyah
(ucapan) ini dinamakan juga Hadits Nabi Saw.
2. Sunnah Fi‟liyah perbuatan Rasulullah Saw.
Sunnah Fi‟liyah. Sunnah Fi‟liyah yaitu perbuatan Nabi Saw yang menerangkan
cara melaksanakan ibadat, misalnya cara berwudlu‟, shalat dan sebagainya.
3. Sunnah Taqririyah diamnya Rasulullah Saw atas ucapan atau perbuatan
shahabat.
Sunnah Taqririyah yaitu bila Nabi Saw. mendengar sahabat mengatakan sesuatu
perkataan atau melihat mereka memperbuat sesuatu perbuatan, lalu ditetapkan
dan dibiarkan oleh Nabi Saw. dan tiada ditegurnya atau dilarangnya, maka yang
demikian dinamai sunnah ketetapan Nabi (taqrir).
C. Sunnah itu Menjadi Hujjah
Sunnah itu mempunyai dua fungsi:
1. Menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur‟an.
2. Berdiri sendiri di dalam menentukan sebagian daripada beberapa hukum
Sebagian besar ayat-ayat Al-Qur‟an yang mengandung hukum masih
merupakan suatu hal yang secara garis besar, sedang untuk jelasnya diperlukan suatu
keterangan oleh Nabi Saw, misalnya perintah shalat dan zakat dalam Al-Qur‟an
masih merupakan perintah mengerjakan, mengeluarkan, sedang cara
melaksanakannya tidak disebut-sebut, maka untuk memberi keterangan tentang
pelaksanaannya diperlukan penjelasan dari Rasulullah Saw.

D. Sunnah Qauliyah.
Sunnah Qauliyah sering juga disebut “khabar”. Jadi sunnah qauliyah itu
boleh dinamakan sunnah, hadits atau khabar. Khabar, pada umumnya dapat dibagi
tiga:
1. Yang pasti benarnya, seperti apa yang datang dari Allah, Rasul-Nya dan
khabar yang diberikan dengan jalan mutawatir.
2. Yang pasti tidak benarnya, yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak
mungkin dibenarkan oleh akal, seperti khabar hidup dan mati dapat
berkumpul, atau khabar yang bertentangan dengan ketentuan syari‟at, seperti
mengakui menjadi Rasul yang tidak ada kenyataan mu‟jizat.
3. Khabar yang tidak dapat dipastikan benar atau bohongan seperti khabar-
khabar yang samar, karena kadang-kadang tidak dapat ditentukan mana yang
kuat, benarnya atau bohongnya, atau kadang-kadang kuat benarnya, tetapi
tidak pasti (qath‟i), seperti pemberitaan orang yang adil. Dan kadang-kadang
juga kuat bohongnya, tetapi tidak dapat dipastikan, seperti pemberitaan
orang fasiq.

E. Sunnah Fi’liyah
Sunnah fi‟liyah itu terbagi sebagai berikut :
1. Pekerjaan Nabi Saw, yang bersifat gerakan jiwa, gerakan hati, gerakan tubuh,
seperti : bernafas, duduk, berjalan dan sebagainya. Perbuatan semacam ini tidak
bersangkut-paut dengan soal hukum, dan tidak ada hubungannya dengan
suruhan, larangan atau tauladan.
2. Perbuatan Nabi Saw. yang bersifat kebiasaan, seperti : cara cara makan, tidur
dan sebagainya. Perbuatan semacam ini pun tidak ada hubungannya dengan
perintah, larangan dan tauladan ; kecuali kalau ada perintah anjuran Nabi untuk
mengikuti cara-cara tersebut.
3. Perbuatan Nabi Saw. yang khusus untuk beliau sendiri, seperti menyambungkan
puasa dengan tidak berbuka dan beristeri lebih dari empat. Dalam hal ini orang
lain tidak boleh mengikutinya.
4. Pekerjaan yang bersifat menjelaskan hukum yang mujmal, seperti : shalatnya,
hajjinya.

F. Sunnah Taqririyah
Sunnah taqririyah ialah berdiam diri Nabi Saw. di ketika melihat sesuatu
perbuatan para sahabat, baik mereka kerjakan dihadapannya atau bukan dan sampai
berita kepadanya. Maka perkataan atau perbuatan yang didiamkan itu sama saja
dengan perkataan dan perbuatan Nabi sendiri, yaitu dapat menjadi Hujjah bagi umat
seluruhnya.
Syarat sahnya taqrir ialah orang yang dibiarkannya itu benar benar orang
yang tunduk kepada syara‟, bukan orang kafir atau munafik. Contoh taqrir antara
lain sebagai berikut :
1. Mempergunakan uang yang dibuat oleh orang kafir.
2. Mempergunakan harta yang diusahakan mereka seketika masih kafir.
3. Membiarkan dzikir dengan suara keras sesudah shalat.

G. Sunnah Hammiyah
Sunnah hammiyah, ialah sesuatu yang dikehendaki Nabi (diingini) tetapi
belum jadi dikerjakan, misalnya beliau ingin melakukan puasa pada tanggal 9
Muharram, tetapi belum dilakukan beliau telah wafat. Walaupun keinginan itu belum
terlaksana, namun sebagian besar para Ulama menganggap sunnah berpuasa pada
tanggal 9 Muharram itu.
Artikel 6
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM

A. Sumber Dan Dalil Hukum Yang Disepakati


Sumber atau dalil ikih yang disepakati, seperti dikemukakan „Abd. al-Majid
Muhammad al-Khafawi, ahli hukum Islam berkebangsaan Mesir, ada empat, yaitu Al-
Qur‟an, Sunnah Rasulullah, ijma‟, dan qiyas.
Perintah menaati Allah dan Rasul-Nya, artinya perintah untuk mengikuti Al-
Qur‟an dan Sunnah Rasulullah, sedang kan perintah untuk menaati ulil amri, menurut
Abdul-Wahhab Khallaf, ialah perintah mengikuti ijma‟, yaitu hukum-hukum yang telah
disepakati oleh para mujtahidin, karena mereka itu lah ulil amri (pemimpin) kaum
Muslim dalam hal pembentukan hukum-hukum Islam. Dan, perintah untuk
mengembalikan ke jadian-kejadian yang diperselisihkan antara umat Islam kepada
Allah dan Rasul-Nya artinya ialah perintah untuk melakukan qiyas, karena dengan qiyas
itulah terlaksana perintah mengem balikan suatu masalah kepada Al-Qur‟an dan
Sunnah Rasu lullah. Berikut ini secara ringkas akan dijelaskan masing-masing dari
empat dalil tersebut.
1. Al-Qur’an
a. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur‟an dalam kajian ushul iqh merupakan objek pertama dan
utama pada kegiatan penelitian dalam memecahkan suatu hukum. Al-
Qur‟an menurut bahasa berarti “bacaan”, dan menurut istilah ushul iqh
berarti “kalam (perkataan) Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan
Malaikat Jibril ke pada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab serta
dianggap beribadah membacanya.
Adapun tentang ayat yang terakhir diturunkan ulama ber beda
pendapat, dan dari sekian pendapat ulama, pendapat yang dipilih oleh
Jalaluddin as-Suyuti (w. 911 H), seorang ahli ilmu Al-Qur‟an, dalam
kitabnya AlItqan i Ulum AlQur‟an yang dinukilnya dari Ibnu Abbas
adalah ayat 281 surah alBaqarah (2).
b. Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah
Al-Qur‟an turun dalam dua periode. Periode pertama terjadi di
Mekkah sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, dan ayat-ayat yang
diturunkan pada periode ini dikenal dengan ayat Makkiyah. Periode kedua
terjadi setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, dan ayat-ayat yang
diturunkan-Nya disebut dengan ayat Madaniyah. Ayat-ayat yang diturunkan
di Mekkah pada umumnya membahas masalah keyakinan (akidah), dalam
rang ka meluruskan keyakinan umat di masa Jahiliyah dan mena namkan
ajaran tauhid.
Untuk sampai kepada akidah yang benar, ayat-ayat makki yah
mendorong umat manusia untuk menggunakan akal yang sehat untuk
memikirkan alam nyata di sekitarnya sebagai bukti atas wujud dan
kekuasaan-Nya.
Di samping itu ayat-ayat Makkiyah juga berbicara tentang kisah
umat-umat masa lampau sebagai pelajaran bagi umat Nabi Muhammad
SAW. Dalam masalah hukum belum banyak ayat hukum diturunkan di
Mekkah kecuali beberapa hal, antara lain kewajiban menjaga kehormatan
(faraj) kecuali terhadap pasangan suami istri.
Rahasia mengapa di Mekkah belum banyak ayat hukum diturunkan,
karena waktu sebelum hijrah di Mekkah belum ter bentuk satu masyarakat
atau komunitas Islam seperti halnya di Madinah setelah Rasulullah hijrah ke
negeri itu.
Peristiwa hijrah Rasulullah ke Madinah adalah garis pe misah
antara dua periode tersebut, di mana pada saat hijrah ini masalah iman telah
tertanam ke dalam hati segenap pribadi yang ikut berhijrah bersama
Rasulullah dan dalam hati bebe rapa orang yang melakukan janji setia
dengan Rasulullah sebe lum beliau hijrah ke Madinah. Mereka ini adalah
bibit pertama komunitas Islam di Madinah. Dari kelompok kecil inilah
kemu dian berkembang menjadi suatu komunitas besar masyarakat Islam,
yang dikenal dengan umat. Maka mulailah turun ayat ayat Madaniyah
yang banyak terkait dengan hukum dari ber bagai aspeknya.

c. Hukum-hukum yang Terkandung dalam Al-Qur’an


Al-Qur‟an sebagai petunjuk hidup secara umum mengandung tiga
ajaran pokok, yaitu:
1. Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akidah (keiman an) yang
membicarakan tentang hal-hal yang wajib diya kini, seperti masalah
tauhid, masalah kenabian, mengenai kitab-Nya, malaikat, hari akhir,
dan sebagainya yang ber hubungan dengan doktrin akidah.
2. Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akhlak, yaitu hal hal yang
harus dijadikan perhiasan diri oleh setiap mukalaf berupa sifat-sifat
keutamaan dan menghindarkan diri dari hal-hal yang membawa kepada
kehinaan (doktrin akhlak).
3. Hukum-hukum amaliyah, yaitu ketentuan-ketentuan yang berhubungan
dengan amal perbuatan mukalaf (doktrin syariah/ikih). Dari hukum
amaliyah inilah timbul dan ber kembangnya ilmu ikih. Hukum
amaliyah dalam Al-Qur‟an terdiri dari dua cabang, yaitu hukum ibadah
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, dan hukum muamalat
yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.
Abdul Wahhab Khallaf memerinci macam hukum bidang muamalat
dan jumlah ayatnya sebagai berikut:
1. Hukum keluarga, mulai dari terbentuknya pernikahan sam pai
masalah talak, rujuk, iddah, dan masalah warisan. Ayat ayat yang
mengatur masalah ini tercatat sekitar 70 ayat.
2. Hukum muamalat (perdata), yaitu hukum-hukum yang mengatur
hubungan seseorang dengan yang sejenisnya, seperti jual beli, sewa
menyewa, gadai menggadai, syirkah (kongsi dagang), utang piutang,
dan hukum perjanjian. Hu kum jenis ini mengatur hubungan per
orang, masyarakat, hal-hal yang berhubungan dengan harta kekayaan,
dan me melihara hak dan kewajiban masing-masing. Ayat-ayat yang
mengatur hal ini terdiri dari 70 ayat.
3. Hukum jinayat (pidana), yaitu hukum-hukum yang me nyangkut
dengan tindakan kejahatan. Hukum seperti ini ber maksud untuk
memelihara stabilitas masyarakat, se per ti larangan membunuh serta
sanksi hukumnya, larang an menganiaya orang lain, berzina,
mencuri, larangan me rampok, serta ancaman hukuman atas
pelakunya. Ayat ayat yang mengatur hal ini sekitar 30 ayat.
4. Hukum almurafa‟at (acara), yaitu hukum-hukum yang berkaitan
dengan peradilan, kesaksian, dan sumpah. Hu kum seperti ini
dimaksudkan agar putusan hakim dapat seobjektif mungkin, dan untuk
itu diatur hal-hal yang me mungkinkan untuk menyingkap mana
pihak yang benar dan mana yang salah. Ayat-ayat yang mengatur hal
ini ber jumlah sekitar 13 ayat.
5. Hukum ketatanegaraan, yaitu ketentuan-ketentuan yang berhubungan
dengan pemerintahan. Hukum ini dimak sudkan untuk mengatur
hubungan penguasa dengan rak yat, dan mengatur hak-hak pribadi
dan masyarakat. Ayat ayat yang berhubungan dengan masalah ini
sekitar 10 ayat.
6. Hukum antara bangsa (internasional), yaitu hukum-hukum yang
mengatur hubungan antara negara Islam dan non Islam, dan tata cara
pergaulan dengan non-Muslim yang berada di negara Islam. Ayat-ayat
yang mengatur hal ini sekitar 25 ayat.
7. Hukum ekonomi dan keuangan, yaitu hukum-hukum yang mengatur
hak-hak fakir miskin dari harta orang-orang kaya. Hukum semacam
ini dimaksudkan untuk meng atur hubungan keuangan antara orang
yang berpunya dan orang-orang yang tidak berpunya, dan antara
negara dan perorangan. Ayat-ayat yang mengatur bidang ini sekitar 10
ayat.
Dari segi perinci atau tidaknya ayat-ayat hukum dalam AlQur‟an,
Muhammad Abu Zahrah menjelaskan sebagai berikut:
1. Ibadah. Ayat-ayat hukum mengenai ibadah dikemuka kan dalam
Al-Qur‟an dalam bentuk mujmal (global) tanpa memerinci kaiiatnya,
seperti perintah shalat, zakat, haji, puasa. Kewajiban shalat
ditegaskan, namun syarat dan ru kunnya tidak disinggung sama
sekali. Demikian pula hal nya dengan haji, zakat, dan puasa. Dalam
hal ini untuk menjelaskannya dilimpahkan oleh Allah kepada Nabi
Mu hammad SAW dengan Sunnahnya.
2. Kafarat (denda). Kafarat adalah semacam denda yang bermakna
ibadah, karena merupakan penghapus bagi se bagian dosa. Ada tiga
bentuk kafarat yang disinggung dalam Al-Qur‟an, yaitu: pertama,
kafarat zihar. Zihar ada lah bahwa seorang suami mengatakan
kepada istrinya: “Engkau bagiku bagaikan punggung ibuku.” Istri
yang su dah di-zihar tidak boleh digauli oleh suaminya itu kecuali
setelah membayar kafarat, yaitu memerdekakan seorang hamba
sahaya, dan jika tidak didapati, maka wajib puasa dua bulan
berturut-turut, dan jika tidak mampu, maka de ngan memberi
makan 60 orang miskin.
3. Hukum muamalat. Dalam bidang ini Al-Qur‟an hanya menjelaskan
prinsip-prinsip dasar, seperti larangan mema kan harta orang lain
secara tidak sah dan keharusan ada nya rela sama rela.
4. Hukum keluarga. Hukum bidang ini mencakup bidang bidang
rumah tangga dan mawaris. Dalam bidang ini AlQur‟an berbicara
relatif lebih perinci dibandingkan dengan bidang-bidang yang lain.
Secara detail Al-Qur‟an menjelaskan hukum pernikahan, dari
masalah wanita yang haram dinikahi.
5. Hukum pidana. Di samping ada larangan melakukan ke jahatan
secara umum, bidang ini juga secara khusus menjelaskan hukum
berbagai tindakan kejahatan yang dapat mengguncang bangunan
masyarakat.
6. Hukum yang mengatur hubungan penguasa dengan rakyat jelata.
Seperti kewajiban untuk menegakkan keadilan.
7. Hukum yang mengatur hubungan orang Islam dengan non Muslim.
Seperti hormat-menghormati baik dalam perang maupun dalam
suasana damai sebagai sesama manusia.

2. Sunnah Rasulullah
a. Pengertian Sunnah
Kata Sunnah secara bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu,
baik perilaku yang baik atau perilaku yang buruk.”
Menurut istilah ushul iqh, Sunnah Rasulullah, seperti
dikemukakan oleh Muhammad „Ajjaj al-Khatib (guru besar Hadis
Universitas Damaskus), berarti “segala perilaku Rasulullah yang
berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (Sunnah qa ulyyiah),
perbuatan (Sunnah ii‟liyyah), atau pengakuan (Sunnah taqririyah).”

b. Dalil Keabsahan Sunnah sebagai Sumber Hukum


Al-Qur‟an memerintahkan kaum Muslimin untuk menaati
Rasulullah seperti dalam ayat:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(AlQur‟an) dan Rasul (Snnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepa da Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisaa‟ [4]: 59)

c. Pembagian Sunnah atau Hadis


Sunnah atau Hadis dari segi sanadnya atau periwayatannya dalam
kajian ushul iqh dibagi kepada dua macam, yaitu Hadis mutawatir dan
Hadis ahad.
Hadis mutawatir ialah Hadis yang diriwayatkan dari Rasu lullah
oleh sekelompok perawi yang menurut kebiasaan indivi du-individunya
jauh dari kemungkinan berbuat bohong, kare na banyak jumlah mereka
dan diketahui sifat masing-masing mereka yang jujur serta berjauhan tempat
antara yang satu dan yang lain.
Hadis ahad ialah Hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih
tetapi tidak sampai ke batas Hadis mutawatir. Hadis ahad terbagi kepada
tiga macam. Pertama, Hadis masyhur, yai tu Hadis yang pada masa
sahabat diriwayatkan oleh tiga orang perawi, tetapi kemudian pada masa
tabi‟in dan seterusnya Hadis itu menjadi Hadis mutawatir dilihat dari segi
jumlah perawinya.
Dari kedua pembagian Hadis di atas, para ulama ushul iqh sepakat
bahwa Hadis mutawatir adalah sah dijadikkan sumber hukum, namun
mereka berbeda pendapat tentang keabsahan Hadis ahad sebagai sumber
hukum.

d. Fungsi Sunnah Terhadap Ayat-ayat Hukum


Ada beberapa bentuk fungsi Sunnah terhadap Al-Qur‟an:
1) Menjelaskan isi Al-Qur‟an, antara lain dengan memerinci ayat-ayat
global. Misalnya Hadis i‟liyah (dalam bentuk perbuatan) Rasulullah
yang menjelaskan cara melakukan shalat yang diwajibkan dalam Al-
Qur‟an dalam Hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, dan
demikian pula tentang penjelasannya mengenai masalah haji seperti
dalam Hadis riwayat Muslim dari Jabir. Di samping itu Sunnah
Rasu lullah juga berfungsi untuk men-takhsis ayat-ayat umum dalam
Al-Qur‟an, yaitu menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh Allah adalah
sebagian dari cakupan lafal umum itu.
2) Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas se suatu kewajiban
yang disebutkan pokok-pokoknya di da lam Al-Qu‟ran. Contohnya
masalah li‟an, misalnya bilamana seorang suami menuduh istrinya
berzina tetapi tidak mampu mengajukan empat orang saksi padahal
istrinya itu tidak mengakuinya, maka jalan keluarnya adalah dengan
jalan li‟an. Li‟an adalah sumpah empat kali dari pihak suami bahwa
tuduhannya adalah benar dan pada kali yang kelima ia berkata: “La‟nat
(kutukan) Allah atasku jika aku termasuk ke dalam orang-orang yang
berdusta.”
3) Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam AlQur‟an.
Contohnya Hadis riwayat al-Nasa‟i dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah bersabda mengenai keharaman me makan binatang buruan
yang mempunyai taring dan bu rung yang mempunyai cakar.
Artikel 7
BUKTI PERTAMA AL-QURAN

Pengertian Al-Qur'an
Al-Qur'an secara bahasa adalah sumber yang berarti bacaan, dan pengertiannya
menurut kaum fundamentalis adalah membedakannya dengan benda lain meskipun terkenal
dan berilmu, serta menyebutnya dengan banyak nama seperti Kitab. , Al-Qur'an, wahyu,
Kriteria, dan Dzikir: itu adalah firman Tuhan Yang Maha Esa yang diturunkan kepada
Rasulullah dalam bahasa Arab, untuk mukjizat surah terpendeknya, tertulis di dalam Al-
Qur'an .Ditularkan dengan transmisi yang sering, disembah dengan bacaannya, diawali
dengan Surat Al-Fatihah, dan diakhiri dengan Surat Al-Nas.
Al-Qur’an mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Ini adalah firman Tuhan Yang Maha Esa struktur dan maknanya: yang dibuktikan
dengan kemukjizatannya, yaitu peningkatan kefasihan ke tingkat di luar kendali
manusia, sehingga mengikat sesuai dengan aturan yang ditunjukkannya karena
berasal darinya. dari yang harus ditaati. Melaluinya muncul kalimat-kalimat selain
Tuhan Yang Maha Esa, sehingga tidak disebut Al-Qur'an, sekalipun itu hadis suci
atau hadis biasa. Karena makna hadits tersebut berasal dari Tuhan Yang Maha Esa,
dan susunan kata serta susunan kata-katanya berasal dari Rasulullah, maka jika
ditambahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa maka disebut hadits suci. Hadits tidak
setingkat dengan Al-Qur‟an dalam hal keasliannya, dan tidak sah berdoa dengannya,
dan tidak sah beribadah dengan membacanya.
2. Keseluruhan Al-Qur'an adalah bahasa Arab: tidak memuat apapun yang berasal dari
bahasa non-Arab, sehingga tidak ada tafsirnya Al-Qur'an dan terjemahannya ke
dalam bahasa lain selain Al-Qur'an, tidak peduli seberapa konsisten maknanya
dengan penafsir: karena Al-Qur'an secara khusus berbahasa Arab, diturunkan dengan
struktur dan maknanya dari Tuhan Yang Maha Esa.
3. Al-Qur'an diturunkan secara turun-temurun melalui transmisi, yaitu melalui
kumpulan yang menghafalkannya dari kumpulan kepada Rasulullah, dan transmisi
memberikan pengetahuan dan kepastian tentang kesejatian riwayatnya. Kelestarian
manusia ditunjang dengan adanya tulisan yang pasti dan pasti sejak turunnya Jibril
yang amanah ke hati Rasulullah hingga berbagai generasi penerusnya, dan dari ciri
inilah maka apa yang tidak sering terjadi, seperti: bacaan yang tidak teratur dan
hadis suci, tidak dianggap sebagai bagian dari Al-Qur'an.
Adapun Basmala, menurut ijazah umat Islam, merupakan ayat yang menjadi inti Surat
An-Naml, Adapun yang disebutkan pada permulaan surat-surat itu juga merupakan ayat Al-
Qur'an menurut pandangan beberapa ulama seperti mazhab Hanafi dan Syafi'i. Karena hal itu
diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di awal setiap surah, dan tertulis
dalam aksara Al-Qur'an di awal setiap surah atas perintah Rasulullah. Allah, dan hal ini
sering terjadi, dan tidak ada satu pun sahabat yang mengingkari penulisannya, meskipun
mereka berhati-hati dalam melindungi Al-Qur'an dari apa yang bukan bagiannya.

Anda mungkin juga menyukai