Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

Ushul Fiqh II
“GhairuWadhih Al - Dilalah”
Dosen Pengampu : ANDRIYALDI, MA

Di SusunOleh :
Kelompok 3
1. Tasya Khairani (1421046)
2. Yenita Harmen (1421052)
3. Shafira Azhari (1421054)

HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARI’A
UIN SJECH M. DJAMIL DJAMBEK
(UIN BUKITTINGGI)
2022 M / 1444 H
GhairuWadhih Al – Dilalah

A. PengertianGhairuWadhih Al – Dilalah

Para ahli ushul mendefinisikan Dilalah Ghairu Wadih (Mubham al-Dilalah), Setiap
Dalil yang tidak menunjukan ma'na asli lafadz tersebut melalui Sighatu Lafadzi-nya, akan tetapi
ma'nanya tersifati (dapat diketahi) melalui perkara lain diluar konotasi lafadznya. Kalasisfikasi
Dilalah Ghairu Wadih terbagi kepada empat bagian: Khafi, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih.
Ke-empat bagian ini masing-masing memiliki kedudukan serta drajat yang berbeda sesuai
dengan kategorinya.1
1. Khafi
Al-Khafi menurut istilah ulama„ushul adalah lafadz yang dapat menunjukkan artinya
dengan jelas, namun untuk menerapkan arti kata itu kepada satuan-satuan lainnya merupakan
sesuatu yang samar dan tidak jelas dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketidak jelasan itu
diperlukan upaya berfikir secara mendalam. 2
Lafadz yang khafi itu sebenarnya dari segi lafadz nya menunjukkan arti yang jelas,
namun dalam penerapan artinya terhadap sebagian yang lain dari satuan artinya terdapat
kesamaran. Untuk menghilangkan kesamaran itu diperlukan penalaran dan takwil.

Contoh:

‫وال ِرااَو ُقا َو اْق َو ُق واَوْق ِر َوَي ُق َو ا َو َويواًءاِر َو ا َو َولَو ا َو َو ًءاا ِر َو اوالَّس ِروا َووالَّسوُقا َو ِري ٌزيا َو ِر ٌزيا‬
‫وال ِرا ُق ا َو َّس‬
‫َو َّس‬

lafadz ( ‫ )وال ا‬As-Sariq, artinya yaitu pengambil harta berharga milik orang lain secara
tersembunyi dari tempat penyimpanannya.Tetapi untuk menerapkan arti ini kepada sebagian
dari beberapa satuan adalah macam yang samar seperti pencopet, dia adalah juga pengambil
harta secara terang–terangan dengan menggunakan macam-macam keterampilan atau keahlian
memainkan tangan dan keahlian menghindari pandangan mata orang di sekitarnya.
Hukum khafî yaitu wajib mengetahui makna dari lafal tersebut dengan sebuah
pemikiran, perenungan, pemahaman pada faktor-faktor yang menjadi sebab tersembunyinya
makna tersebut. Apabila ditemukan bahwa sebab itu karena adanya kelebihan pada sifat seperti
yang terjadi pada kasus perampok yang terkait dengan pencurian diatas maka disesuaikan
dengan apa yang ditunjukkan dhahir lafal tersebut. Begitu juga apabila ditemukan bahwa sebab
itu karena adanya pengurangan pada sifat seperti yang terjadi pada kasus lafal nabâsy yang

1
Abdul Wahab Khalaf, Alih Bahasa Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh, (Bandung: Gema Risalah Press, 1997), hal. 298
2
Abdul Wahhab Khallaf, „Ilmu Ushûl al-Fîqh, Dar al-Hadits, Kairo, tc., 2003, hal. 161

1
terkait pencurian diatas maka tidak disesuaikan dengan zhâhir lafal dan tidak berlaku hukum
atasnya.3
Al-Khofi menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi. Sedangkan, seperti yang
dikemukakan Ad-Dabusi adalah suatu lafadz yang maknanya menjadi tidak jelas karena hal
yang baru yang ada diluar lafadz itu sendiri, sehingga arti lafadz itu perlu diteliti dengan cermat
dan mendalam.
Adib Salih memberikan penjelasan bahwa Khafi adalah susunan lafadz zhahir yang jelas
maknanya, tetapi lafadz itu sendiri menjadi tidak jelas karena ada hal baru yang mengubahnya,
sehingga untuk mengatasinya tidak ada jalan lain, kecuali dengan penelitian yang mendalam.
Tegasnya lafadz zahir itu menjadi khofa bila diterapkan pada masalah lain.
Dengan demikian munculnya lafadz khofa adalah akibat pengaplikasian suatu keputusan
hukum yang diambil dari lafadz zahir pada masalah yang dihadapi dan benar-benar terjadi.
Dimana masalah tersebut tidak persis sama dengan apa yang terdapat pada lafadz itu. Oleh
sebab itu untuk menghilangkannya perlu diadakan ijtihad. Sebagai contoh yang berhubungan
dengan masalah tersebut adalah pengertian lafadz As-Sariq pada ayat 1:
‫ِر‬ ‫اش ِرا ُق ا َّس ِر‬
‫واش ااَو ٌزا َو ااْق ُق ُق واو ْق َوَي ُق َو‬ ‫وَو َّس َو‬
Diantara contoh yang dikemukakan para ahli fiqh terhadap al-Khofy adalah masuknya
pencopet (Ath-tharar) dan pencuri kain kafan (An-nabbasy) kedalam madlul lafadh syariq‟
(pencuri) seperti ayat diatas yang menjelaskan bahwa yang namanya syariq‟ adalah orang yang
mengambil harta milik orang lain secara sembunyi-sembunyi, karena memang harta itu dalam
keadaan terjaga (tersimpan), tida tampak terlantar yang berpeluang hilang.
Sedangkan Tharar (pencopet) adalah orang yang mengambil harta orang lain secara
samar, sedang pikhak korban dalam keadaan sadar, seperti kasus pencopet yang secara samar
mngambil uang dalam saku seseorang. Pencopet tidak memerlukan situasi gelap atau
menjauhkan diri dari pandangan mata, tetapi mereka mencari kelengahan pihak korban serta
mengandalkan teknik kecerdasannya. Adapun Nabbasy adalah orang yang menggali kubur
untuk mengambil kain kafan si mayit.
Para ahli fiqih berbeda pendapat tenntang Tharar dan Nabbasy. Karena keduanya
mempunyai sebutan yang berbeda, maka mereka tidak menyebutnya sebagai syariq‟ (pencuri).
Selama ada sbutan lain, maka kedua bentuk pencurian itupun tidak dimasukan pada keumuman
kata Sariq‟. Dari segi lain, pencopet adalah mengabil harta orang lain dalam keadaan tanpa
bersembunyi meskipun pihak korban tidak menyadari hal itu. Jadi, sikap penyamaran atau
smbunyi-sembunyi disini adalah karena tiadanya ksabaran pihak korban bukan karena asal
perbuatannya. Sedangkan Nabbasy (pencuri kain kafan) tidak dinamai dengan sebutan sariq‟
3
A Mubarok, MetodeIstinbathHukum, (Semarang: UIN Walisongo, 2015), hal. 43

2
(pencuri) karena, barang yang dicuri itupun tidak dianggap sebagai milik orang yang hidup
dalam pada itu hukuman pencuri tidak dapat dilaksanakan kecuali pengaduan pihak pemilik.
Karena pandangan itulah, Iman Abu Hanifah serta Muhammad Ibn- Alhasan Assyaibani
tidak menerapkan nash yang mewajibkan hukuman pencurian pada Nabbasy dan Tharrar.
Sedangkan Abu Yusuf beserta tiga imam lainnya Imam Malik, Imam Syafi‟i, dan Imam Ahmad
berpndapat bahwa Nabbasy dan Tharrar itu masuk dalam pengertian umum kata Sariq‟.[2]
2. Musykil

Yaitu lafal yang maknanya tersembunyi disebabkan oleh lafal itu sendiri dan tidak dapat
diketahui kecuali dengan qarînah. Kebalikan dari musykil yaitu nash. Abu Zahrah
menambahkan perbedaan antara khafî dan musykil bahwasanya khafî itu sebabnya bukan pada
lafal tersebut tetapi pada penerapan atau aplikasi hukum tersebut sedangkan musykil sebabnya
pada lafal itu sendiri dan tidak mungkin maknanya diketahui kecuali dengan qarînah yang
menunjukkan maksud tersebut.
Contohnya:

‫اا َوَيَوَيَوَّس ْق َو اِرَوْقَي ُق ِرل ِر َّس ا َوَو َو َوااُقَي ُق ٍءا‬


‫َوواْق ُق َولَّس َو ُق‬
Lafadz Quru' dari ayat diatas menjadi batasan waktu Iddah, sedangkan dari segi
bahasanya memiliki dua ma'na; Suci atau Haid. Maka terdapat perselisihan pendapat.Diantaraya
Imam Syafiidan Imam Maliki mengartikan Lafadz Quru' sebagi Thaharah.sedangkan menurut
Imam Hanafi Ma'na Quru' berarti Haid.
Hukum musykil adalah Wajib mengkaji serta menela'ah lafadz musykil untuk
mengetahui maksud serta makna lafdz tersebut serta mengamalkanya, sesuai dengan
perbandingan keterangan serta dalil-dalil yang menyertainya.
Musykil menurut bahasa ialah sulit atau sesuatu yang tidak jelas perbedaannya. Sedangkan
menurut istilah seperti pendapat As-Syaraksi ialah, suatu lafadz yang tidak jelas artinya dan
untuk mengetahuinya diperlukan dalil atau qorinah.
Muhammad Adib Shalih menyimpulkan bahwa yang di maksud musykil adalah suatu
lafadz yang tidak jelas maksudnya karena ada unsur kerumitan, sehingga untuk mengetahui
maksudnya diperlukan adanya qorinah yang dapat menjelaskan kerumitan itu dengan jalan
pembahaan yang mendalam.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa perbedaan antar Khofi dan Muskil itu
terletak pada dzatiah lafadz itu sendiri. Oleh karena itu Musykil lebih tinggi kadar
kemubhamannya dari pada Khofi.
Contoh Al-musykil adalah lafadh Musytaraq yaitu : lafadh yang menunjukkan dua arti
atau lebih secara bergantian seperti kata „Ain. Kata ini menunjukkan beberapa makna satu

3
anggota badan yaitu mata (alat melihat), sumber air (mata air), essensi (zat). Ini semua
merupakan yang berbeda-beda yang tidak bisa dicakup dalam satu arti saja, setiap pemakaian
kata tersebut hanya menunjuk satu arti tertentu dari beberapa arti tersebut dan itulah dimaksud
dengan cara bergantian.
Cara untuk menentukan beberapa makna dalam lafadh Musytaraq hanyalah dengan
melihat dalil dari segi konteks kalimatnya atau dengan memakai dalil dari luar. Contoh dalil
dari segi konteks kalimatnya adalah:

‫َوَيَّسْق ُق ا ُقُقَي ْق َو ِرااَو ْق ِر َو ا َو ْق ِر َو ا َو ْق ِر اوا َو ُق ِّوا‬


Artinya : “Telah saya sebarkan para intel guna mengetahui pangkalan tentara musuh dalam
kalimat itu yang dikehendaki oleh kata „ain adalah intel (mata-mata), sebagaimana diisyaratkan
oleh konteks kalimat
‫ِر ِر‬
‫ُيااَوَيُقْق ُق ْق َو اِبَو‬
‫َوَلُق ْقياَو ْق ُق ٌز‬
Artinya : “Mereka mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda
kekuasaan Allah.
Dari segi konteks kalimatnya, menunjukkan bahwa yang dikehendaki kata a‟yun adalah
mata (alat penglihat).
3. Mujmal

Lafal yang maknanya tersembunyi dengan lafal yang sama yang tidak dipahami kecuali
dari penjelasan mutakallim-nya dan tidak dapat dipahami dengan akal. Lafal ini kebalikan dari
mufassar. Terdapat juga definisi yang lain yaitu lafal yang maknanya tersembunyi karena
banyaknya makna dan tidak dapat diketahui kecuali dengan penjelasan. 4
Lafal mujmal ini lebih samar dibandingkan dengan lafal sebelumnya karena dari segi
shîghah-nya saja tidak menunjukkan arti yang dimaksud dan tidak ada pula qarînah yang dapat
menjelaskan maksud tersebut.
Contoh:
Setidaknya ada dua sebab lafal tersebut merupakan lafal mujmal.

a. Lafal-lafal yang asing.

Misallafal ( ‫ )وَلل ع‬dalamfirman Allah padasurat Al-Ma’ârij :

‫)ا َو إِرذَووا َو َّسلوُق ْق‬20(‫اواشُّ ا َو ُقي ًءا‬


‫)اإِرذَووا َو َّسلوُق َّس‬19(‫اىلُق ًءا‬ ‫اوْل ل َو ِر‬
21(‫ًءا‬ ‫اوْلَوْقَي ُق ا َو نُق‬ ‫إِر َّس ْقِر َو ُق‬
‫اخل َوق َو‬

4
Dr. Mardani, UshulFiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 2013), hal. 328

4
Artinya :“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (19) Apa bila
iadi timpa kesusahan iaberkeluh kesah (20) dan apabila ia mendapat kebaikan
ia amat kikir (21).”

Pada ayat 19 diatas terdapat lafal (‫ )وَلل ع‬yang tidak dapat dipahami karena termasuk

lafal asing sehingga Allah menjelaskan dengan ayat selanjutnya.

b. Pemalingan dari makna lughâwî (etimologi) ke makna ishthilâhî (terminologi)


Seperti lafal shalat, zakat, puasa dan lafal lainnya yang Allah palingkan dari makna
lughâwî dan digunakan di dalam makna syariat yang tidak diketahui melalui aspek bahasa
melainkan dijelaskan lewat hadits-hadits Nabi Muhammad Saw.
Hukum mujmal yaitu kita bersikap tawaqquf (diam) dalam menentukan maksud tersebut
maka tidak boleh mengamalkannya kecuali jika ada penjelasan dari syâri’. Jika penjelasan
tersebut sempurna dan jelas maka lafal hukum mujmal berpindah ke hukum mufassar dan
hukumnya berlaku. Seperti lafal shalat, zakat dan haji. Tetapi jika penjelasan tersebut tidak
sempurna dan adanya kesamaran maka berpindah ke hukum musykil.5

Mujmal dalam bahasa adalah gobal atau tidak terperinci. Menurut istilah adalah lafadz
yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penafsiran dari pembuat mujmal.
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa mujmal itu adalah suatu lafadz yang
dzatiahnya khofi, tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penjelasan dari syara‟ baik
kejelasannya itu akibat peralihan lafadz dari makna yang jelas pada makna yang husus yang
dikehendaki syara‟ atau karena sinonim lafadz itu sendiri ataupun karena lafadz itu ganjil
artinya.
Dengan demikian dapat dapat dikatakan bahwa mujmal lebih tinggi kadar khofanya dari
pada musykil, sebab penjelasan mujmal di peroleh dari syara‟ bukan hasil ijtihad. Contohnya
lafad sholat menurut bahasa berarti do‟a tetapi menurut istilah syara‟ adalah ibadah khusus yang
segala sesuatunya dijelaskan oleh rosulullah.
Contoh lafal yang Mujmal, sebagaimana firman Allah :

۲۲۸‫ا‬:‫وَواْق ُق َولَّس َو ةُقا َوَيَوَيَوَّس ْق َو اِرَوْقَي ُق ِرل ِر َّس ا َو َوَو َوااُق ٍءاا(اوا ةا‬
“Perempuan yang diceraikan suaminya menantikan iddahnya tiga quru”
Lafal Quru ini disebut mujmal karena mempunyai dua arti, yaitu haid dan suci.
Kemudian mana diantara dua macam arti yang dikehendaki oleh ayat tersebut maka diperlukan
penjelasan, yaitu Bayan.

5
Abdul WahhabKhallaf, IlmuUshulFiqh, (Jakarta, Maktabah al-Dakwah al-IslamiyahSyahab al-Ahzar, 1990), hal. 166

5
Mujmal adalah suatu perkataan yang belum jelas maksudnya dan untuk mengetahuinya
diperlukan penjelasan dari lainnya. Penjelasan inilah yang disebut Al-Bayan. Mubayyan adalah
suatu perkataan yang jelas maksudnya tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya.

۲۳٧‫ا‬:‫وَو ْق ا َوَي ْق ُق ْق َو اوَوْق ا َوَي ْق ُق َوواواَّس ِرذ ْقياِرَو ِرهِرا ُق ْق َو ةُقاوانِّو َو ِرحاالىا(اوا ةا‬
“Atau memanfaatkan orang yang mempunyai ikatan perkawinan”
Yang mempunyai ikatan perkawinan bisa diartikan wali atau suami. Karena maknanya
tidak tunggal, berarti hukumnya tidak pasti. Oleh karena itu tidak diamalkan sebelum ada
penjelasan atau Al-Bayan.
4. Mutasyabihat
Lafadz mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan pengertiannya
karena mengandung beberapa persamaan. Dalam istilah hukum, lafadz mutasyabih adalah
lafadz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.
Ketidakjelasan lafadz mutasyabih ini adalah karena sighat-nya sendiri tidak
memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qarinah yang akan menjelaskan maksudnya;
sedangkan syari‟ membiarkan saja kesamaran tersebut tanpa ada penjelasan. Dalam hal ini akal
manusia tidak dapat berbuat sesuatu kecuali menyerahkan dan melimpahkannya kepada Allah
sambil mengakui kelemahan dan kekurangmampuan manusia.

Mutasyabih itu ada dua bentuk :

a) Dalam bentuk potongan huruf hijaiyyah yang terdapat dalam beberapa pembukaan surat
dalam alqur‟an.
b) Ayat-ayat yang menurut dzahir-nya mempersamakan Allah yang Maha Pencipta dengan
makhluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut arti lughawinya.
Lafadz mutasyabihat merupakan lafadz yang paling samar ( tidak terang ) artinya dalam
kelompok lafadz yang samar artinya.Sedangkan dalam kelompok yang terang artinya lafadz
muhkam berada dalam tingkat atas dari segi kejelasannya. Kedua bentuk lafadz ini secara jelas
disebutkan dalam alqur‟an pada ayat-ayat yang meyakinkan (qath’i), sedangkan lafadz yang
mutasyabih dan yang berada dalam kelompoknya menghasilkan pemahaman yang tidak
meyakinkan (dzanni).6

Seperti lafadz yang terdapat pada firman Allah SWT:

‫ااا ي‬,‫اااص‬,‫طو‬

‫ي‬ ‫او‬ ‫وهللا‬

6
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 22

6
Dan tidak dapat dipahami menurut arti bahasa. Berkenaan dengan Allah SWT. Adalah
Maha Suci dari (mempunyai) tangan, mata, tempat dan segala sesuatu yang menyerupai
makhluk-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, maka syara ‘tidak menjelaskan arti
kata-kata itu, Dia Maha Mengetahui artinya. Inilah pendapat ulama ‘salaf ( terdahulu ) tentang
pengertian al-mutasyabih. Mereka menyerahkan kepada Allah SWT. Dan ilmu- Nya arti al-
mutasyabih tersebut dan mereka mempercayainya serta tidak membicarakan untuk mentakwil-
nya.

7
DAFTAR PUSTAKA
Khalaf,Wahab Abdul.1997. Alih Bahasa Masdar Helmy, Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung: Gema
Risalah Press.
Mubarok. 2015. MetodeIstinbathHukum. Semarang: UIN Walisongo.
Mardani.2013. UshulFiqh, Jakarta: PT RajaGrafindoPersada.
Syarifuddin. Amir. 2008. Ushul Fiqh Jilid II, Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai