Pendahuluan
Qira’at merupakan cabang ilmu tersendiri dalam dalam Ulumul Qur’an, tidak
banyak orang yang tertarik dengan ilmu qira’at. Banyak faktor yang menyebabkan hal
itu. Di antaranya karena memang ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan
kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari. Tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan
tafsir. Sebab ilmu qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan dengan
halal-haram atau hukum-hukum tertentu. Akan tetapi, penting bagi kita sebagai
mahasiswa jurusan Ilmu al-Qur’an dan tafsir untuk mengkaji qira’at. Sejarah
perkembangan qira’at merupakan sebuah keniscayaan dalam dunia Islam. Pada
intinya ilmu qira’at mempelajari manhaj (metode, cara) masing-masing qurro’ dalam
membaca al-Qur’an. Dan pada kesempatan kali ini kami akan membahas mengenai
syarat syarat diterimanya Qira’at dan klasifikasi qira’at dan macam macamnya
sehingga ada hal-hal yang perlu dibahas dalam kesempatan kali ini yaitu Bagaimana
klasifikasi Syarat syarat Qira’at yang diterima? Dan klasifikasi qiraat dan macam
macamnya?
Qira’at bukanlah merupakan hasil ijtihad (ciptaan, rekaan) para ulama ahli
Qira’at, karena ia bersumber dari Nabi SAW. Namun demikian, untuk membedakan
mana qira’at yang benar-benar berasal dari Nabi SAW dan mana yang bukan, para
ulama ahli qira’at menetapkan pedoman atau persyaratan tertentu, hal ini karena
perjalanan qira’at al-Qur’an terlepas dari adanya pencemaran. Terhadap sedikit
perbedaan pendapat dikalangan para ahli qira’at dalam menetapkan persyaratan bagi
qira’at yang tergolong sahih, namun prinsipnya sama. Adapun persyaratan tersebut
adalah sebagai berikut :
Dari keempat persyaratan tersebut diatas dapat disimpulkan, bahwa ada tiga
persyaratan bagi qira’at al-Qur’an untuk dapat digolongkan sebagai qira’at yang sohih
, yaitu :
1
Hasanuddin, Anatomi Al-Qur’an: Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbat Hukum
dalam Al-Qur’an (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 135-140)
Ibn al-Jazari berpendapat bahwa syarat-syarat tersebut harus ada dalam
sebuah Qira’at. Menurutnya, jika ketiga syarat itu terpenuhi dalam sebuah qira’at,
qira’at tersebut dianggap mutawattir, benar dan sesuai dengan tujuh qari’. Jika hanya
syarat yang pertama dan ketiga yang terdapat dalam sebuah qiro’ah tanpa adanya
kecocokan dengan penulisan al-Qur’an, qira’at tersebut dianggap qiro’ah syadzah,
sebagaimana pendapatnya Abu Darda’, Umar, Ibnu Mas’ud, dan yang lainnya.
Menurut mereka, bacaan-bacaan tersebut dianggap qira’at syadzah karena dianggap
tidak sesuai dengan pola penulisan al-Qur’an yang disepakati oleh para ulama.oleh
karena itu, qira’at syadzah tidak boleh dibaca di dalam atau di luar sholat.2
Jika di dalam suatu bacaann hanya terdapat dua syarat yang pertama dan
kedua, bacaan tersebut dianggap lemah dan syadz. Jika suatu qira’at tidak ada
sanadnya, qira’at tersebut tidak dianggap syadz tetapi dianggap qira’at buatan dan
dihukumi kafir bagi bagi siapa saja yang sengaja melakukannya. Walaupun qira’at
tersebut sesuai dengan arti atau pola penulisan al-Qur’an atau pun alah satunya.3
Yang dimaksud dengan sesuai dengan kaidah bahasa Arab adalah meskipun
dari satu segi adalah tidak menyalahi satu segi segi-segi qowa’id bahasa Arab. Baik
itu bahasa Arab yang yang paling fasih ataupun sekedar fasih atau berbeda sedikit
tetapi tidak sampai mempengaruhi maknanya. Tetapi lebih dijadikan pegangan adalah
qira’at yang telah terkenal dan tersebar luas dan diterima oleh para imam dengan
sanad yang shohih. Karena jika segi nahwu yang dijadikan pegangan, tentu qiroat
yang mutawattir akan berkurang jumlahnya. Ad-Dani berkata: “ Para imam Qurro’ itu
tidak berpegang sedikit pun dari huruf-huruf al-Qur’an pada apa yang masyhur dalam
bahasa dan yang terkenal dari qo’idah nahwu. Tetapi, mereka bersandar teguh pada
atsar dan yang paling benar dalam naql serta riwayat.4
Dan yang dimaksud dengan sesuai dengan salah satu mushaf usmani adalah
terdapat dalam salah satu dari mushaf usmani meskipun tidak terdapat mushaf yang
lain. ( افُ ع ُۡق ٰبَهَاJ)فَاَل يَ َخ5, dibaca fa’ sebagai ganti dari wawu. Dalam mushaf Madani
memang tertulis begitu. Adapun yang dimaksud dengan meskipun hanya
kemungkinan, yaitu dengan rasm mushaf al-imam dalam periwayatanya meskipun
hanya kira-kira. Seperti ك يَ ۡو ِم ٱلدِّين
ِ ِ)) َمال . sebenarnya pada semua mushaf tertulis degan
2
Abdul Shabur Syahin, Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 326.
3
Ibid hlm. 326.
4
Abduh Zulfidar Akaha,, al-Qur’an dan Qira’at (Jakarta: Pusat al-Kautsar, 1996), hlm. 133.
5
Q.S. Asy-Syams: 15
membuang alif pada kalimat itu. Maka qira’at yang membuang alif mengandung
kepastian karena pada ayat ini memang tidak ditulis dengan alif.
Terdapat sedikit perbedaan dikalangan ulama dalam masalah sanad. Sebagian
mengatakan cukup dengan shohih saja. Sebagian lain mensyaratkan harus mutawattir.
Makki bin Abi Thalib berkata: “Qira’at shohihah adalah qira’at yang shohih sanadnya
sampai kepada nabi saw, memenuhi segi-segi bahasa Arab, dan sesuai dengan tulisan
mushaf. Ibnu al-Jazari dalam Thoyyibahnya juga sependapat dengan makki dalam
masalah ini. Namun kami yakin bahwa yang dimaksud dengan shahih oleh Makki dan
Ibnu al-Jazari adalah mutawattir.6
6
Abduh Zulfidar Akaha,, al-Qur’an dan Qira’at (Jakarta: Pusat al-Kautsar, 1996), hlm. 133.
Merupakan qira’at yang tidak memenuhi dlobit qira’at maqbulah. Akidah dari
qira’at mardud adalah kebalikan dari ke dlobitan qira’at maqbulah. Hukumnya tidak
masuk dalam hitungan bacaan, tidak dibaca dalam sholat serta ketika membaca tidak
ada nilai ibadah layaknya saat membaca Al-Qur’an.
Macam-macam Qira’at Mardudah
1) Qira’at ahad (yang bukan termasuk dialek Arab)
2) Qira’at Syadzah
3) Qira’at Mudrajah
4) Qira’at Maudu’ah
2. Qira’at Masyhur
Merupakan qira’at yang sanadnya shahih, namun tidak sampai derajat mutawatir,
sesuai dengan salah satu mushaf usmani dan sesuai dengan salah satu dialek Arab.
Contohnya dengan mem fathah kan huruf ت pada lafadz
4. Qira’at Syadzah
Qira’at Syadzah ialah qira’at yang tidak sah sanadnya, menyalahi rasm Utsmani,
serta tidak termasuk dalam bagian dialek bahasa Arab.
Contohnya:
َفَ ۡٱليَ ۡو َم نُنَ ِّجي َك بِبَ َدنِك
Lafadz َ نُنَ ِّجيك dibaca َنُنَ ّحيك ditasydid serta dikasrah kan ha nya. Qira’at tersebut
tidak sah dalam bahasa Arab serta menyalahi rasm Ustmani.
5. Qira’at Mudrajah
Yaitu qira’at yang menambahkan kalimat penafsiran dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Pada intinya terdapat penambahan tafsir dalam bacaan. Seperti qira’at Sa’ad bin Abi
Waqas yang membaca firman Allah surat Al-Baqarah ayat 198: dengan menambah
lafadz في َمواس َم الجsetelah lafadz من َربكم
۟ ٱذ ُك ُر
ْ َت ف ٰ ۟ اح أَن تَ ْبتَ ُغ
َ وا ٱهَّلل ْ َضاًل ِّمن َّربِّ ُك ْم ۚ فَإ ِ َذٓا أَف
ٍ َضتُم ِّمنْ َع َرف ْ َوا ف ٌ َس َعلَ ْي ُك ْم ُجن
َ لَ ْي
6. Qira’at Maudhuat
Yaitu qira’at yang tidak ada asalnya. Seperti qira’at al-Khuza’i yang dinisbahkan
kepada imam Abu Hanifah dalam firman Allah Surah Fathir ayat 28:
ٓاب َوٱأْل َ ْن ٰ َع ِم ُم ْختَلِفٌ أَ ْل ٰ َونُهۥُ َك ٰ َذلِ َك ۗ إِنَّ َما يَ ْخشَى ٱهَّلل َ ِمنْ ِعبَا ِد ِه ٱ ْل ُعلَ ٰ َٓمؤ ُ۟ا ۗ إِنَّ ٱهَّلل َ َع ِزي ٌز َغفُو ٌر ِ َو ِمنَ ٱلنَّا
ِّ س َوٱل َّد َو
Dalam qira’at al-Khuza’i pada lafadz “ ”اَ ْل ُعلَ َما ُءdibaca nashab/fathah huruf hamzah
tersebut “”اَ ْل ُعلَ َما ُء. Dan dibaca rafa’/ dhammah pada lafadz َهللا.
Ketiga syarat sahnya qiraah untuk diterima mulai muncul karena kekhawatiran
dan juga mulai tampak implikasi negatif terhadap kesakralan al-Qur’an jika tidak
disekat peredaran qiraaah yang berbeda pada zaman khalifah Utsman bin Affan pada
waktu kodifikasi al-Qur’an berlaku. Hal ini karena, tersebarnya qiraah yang di ada-
adakan sehingga menyalahi sehingga timbul keraguan dalam status al-Qur’an sebagai
mukjizat, sebagai kitab umat Islam yang suci akan jatuh menjadi tidak legal dan
relevan untuk diimani umat manusia.7 Menurut catatan sejarah pada umumnya,
timbulnya qiraah dimulai pada masa tabiin, yaitu pada awal II H, namun sebelum itu
telahpun tersebar dari zaman sahabat keragaman qiraah yang diajarkan oleh para
sahabat yang berhijrah untuk menyebarkan dakwah sekaligus mengajarkan al-Qur’an
ke serata tempat. Walaupun begitu, para sahabat pada masa ini, masih diyakini qiraah
mereka bersambung sanad dengan Rasulullah karena mereka merupakan sahabat
Rasulullah sendiri yang terpercaya.
Persyaratan Qiraat yang Diterima Kajian ilmu yang berkaitan dengan sistem
periwayatan bisa dipastikan melibatkan banyak orang di dalamnya. Tidak menutup
kemungkinan dari sejumlah orang yang ikut berkecimpung dalam kajian tersebut ada
yang tidak memiliki kualitas keilmuan yang baik. Karena problem inilah para ulama
merumuskan beberapa kualifikasi orisinilitas ragam qiraat sebagai standardisasi
keabsahan sebuah periwayatan suatu qiraat. Eksistensi ragam qiraat sejak waktu turun
wahyu sampai masa terbentuknya semacam mazhab qiraat, banyak sekali versi qiraat
yang diriwayatkan oleh para qori’ di antaranya ada yang sesuai dengan riwayat yang
berasal dari Rasūlullah saw dan ada pula yang menyimpang dari sistem periwayatan.
Untuk itulah dibutuhkan kriteria yang dapat digunakan untuk menilai sebuah qiraat,
apakah sah sebagai bacaan Al-Qur’an atau tidak. Menurut ulama ahli Ilmu Qiraat
pada khususnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Mujāhid, dan didukung pula
ahli ‘Ulum Al-Qur’an pada umumnya ada tiga batasan yang dijadikan sebagai tolak
ukur keabsahan sebuah qiraat:
1. Sanad yang sahih: suatu bacaan dianggap sahih sanadnya apabila bacaan tersebut
diterima dari salah seorang guru atau imam yang jelas, tertib, tidak ada cacat, dan
sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah saw.
2. Sesuai dengan Rasm Utsmani: suatu bacaan (qiraat) dianggap sahih apabila sesuai
dengan salah satu Rasm Utsmani.
3. Sesuai dengan tata bahasa Arab; dengan catatan walaupun hanya sesuai dengan
salah satu bahasa dari suku bangsa Arab.
Apabila sebuah qiraat telah memenuhi ketiga kualifikasi di atas, qiraat tersebut baru
bisa diketegorikan sebagai sebuah qiraat yang sahih. Hal ini untuk membedakannya
dengan beberapa qiraat yang dhaif, (syadz),. Tidak benar jika ada pendapat yang
mengatakan bahwa syarat kesahihan sebuah qiraat tergantung pada kepatuhannya
kepada kaidah-kaidah ilmu nahwu. Sebab, kaidah-kaidah ilmu nahwu yang disusun
oleh manusia tidak bisa dipakai untuk menentukan sahih atau dhaif nya susunan
kalimat kitab suci yang merupakan firman Pencipta segala sesuatu. Justru Al-Qur’an
yang menjadi sumber inspirasi utama dari para peletak kaidah-kaidah kebahasaan,
dalam hal ini adalah ilmu nahwu. Dengan demikian, prasyarat yang terakhir tidak
dapat diberlakukan sepenuhnya, sebab ada bacaan lafaz tertentu yang tidak sesuai
dengan tata bahasa Arab, namun karena sanadnya sahih dan mutawātir, qiraatnya
dianggap sahih.
Kualifikasi Orisinilitas Qiraat Tinjauan dari segi sanad menurut Imam as-Suyuthi
menukil dari pendapat Ibn al-Jazari klasifikasi qiraat dalam enam tingkatan, yaitu:
1. Mutawatir, yaitu sanad qiraat yang diterima oleh sejumlah perawi yang tidak
mungkin bersepakat bohong dari setiap angkatan, dan sanadnya bersambung sampai
kepada Rasulullah saw.
2. Masyhur, yaitu qiraat yang memiliki sanad sahih, sesuai dengan tata bahasa Arab
dan sesuai dengan salah satu Rasm utsmani. Namun perawinya tidak sebanyak perawi
qiraat mutawatirah. 3. Ahad, yaitu memiliki sanad sahih, namun di dalamnya banyak
menyalahi kaidah tata bahasa Arab dan Rasm Utsmani. Qiraat pada tingkatan ini tidak
populer dan hanya diketahui oleh orangorang yang benar-benar mendalami qiraat Al-
Qur’an.Oleh karena itu tidak layak untuk diyakini sebagai bacaan Al-Qur’an yang
sah.
4. Syadz yaitu ,tidak memiliki sanad sahih. Di dalamnya banyak menyalahi kaidah
tata bahasa Arab dan Rasm Utsmani. Qiraat pada tingkatan ini tidak dapat dijadikan
pegangan dalam bacaan yang sah.
5. Maudu, yaitu qiraat yang disandarkan kepada seseorang tanpa dasar, seperti qiraat
yang dikumpulkan oleh Muhammad bin Ja‘far al-Khazza’i, atau bacaan yang
dinisbatkan kepada Abu Hanifah.
6. Mudraj, yaitu bacaan yang disisipkan ke dalam ayat Al-Qur’an sebagai tambahan
yang biasanya dipakai untuk memperjelas makna atau penafsiran, dan tentunya qiraat
yang demikian tidak dapat dianggap sebagai bacaan yang sah, seperti bacaan Sa‘dz
:lain Contoh . namun, ada pembagian yang lebih sederhana lagi dengan membagi
qiraat menjadi dua, yaitu qiraat mutawatirah dan qiraat syadzah. Penyederhanaan ini
berangkat dari suatu patokan bahwa yang dinamakan Al-Qur’an adalah wahyu Allah
yang mempunyai nilai kemukjizatan, yang diturunkan kepada Nabi saw dan
diriwayatkan secara mutawatir. Berarti bila ada qiraat yang tidak diriwayatkan secara
mutawatir ia sudah kehilangan keabsahannya sebagai Al-Qur’an, dan ia disebut qiraat
syadzah.
Di kalangan ahli Al-Qur’an populer istilah yang disebut Qiraat Tujuh, Qiraat Sepuluh
dan Qiraat Empat Belas. Maksud dari istilahistilah tersebut adalah sebagai beriku
Akan hal nya ke aslian Qiraat Sab‘ah/Qiraat Tujuh, mayoritas ulama menilai
sebagai mutawatirah, sementara pihak lain (sebagian ulama) tidak
memperhitungkannya sebagai qiraat mutawatirah. Az-Zarkasyi menyatakan,
berdasarkan penyelidikan ilmiahnya, bahwa Qiraat Sab‘ah diriwayatkan secara
mutawātir dari Rasulullah saw, dan sanad tujuh qiraat tersebut memang terdapat
dalam buku-buku qiraat, namun periwayatannya dari orang per orang perawi.
Sedangkan dalam menilai kemutawatirannya, Jumhur Ulama menilai bukan sekadar
teori, tetapi merupakan fakta amali yang menunjukkan betapa agungnya Al-Qur’an.
Imam Muhammad Abu al-Fadil Ibrahim secara jujur mengatakan: Qiraat Tujuh
adalah qiraat mutawātirah yang disepakati oleh Jumhur Ulama.
Sedangkan Sepuluh Qiraat menyatakan bahwa qiraat Tiga Imam (Abu Ja‘far,
Ya‘qub, dan Khalaf) tidak sampai mutawatirah, tetapi menurut Jumhur Ulama,
qiraat mereka mutawātirah.
Adapun Qiraat Empat Belas, masih menurut Ibn al-Jazari, merupakan syadz.
Artinya qiraat Empat Imam, yaitu Hasan Basri, Ibnu Muhaisin, yahya al-
Yazidi, dan asy-Syanabu tidak dapat diakui sebagai bacaan Al-Qur’an yang
sah, sebab memiliki nilai sanad yang syadz. 8
Kesimpulan
8
Haeruman Rusandi , ‘’MEMAKNAI KEMBALI QIRAAT AL-QUR’AN’’, EL-HIKAM: Jurnal Pendidikan dan Kajian Keislaman
DAFTAR PUSTAKA