Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa saya ucapakan puji atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada saya , dan tidak lupa pula kami ucapkan puji dan
syukur kepada Nabi besar Muhammad Saw. sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadist dengan judul “Urgensi Ilmu Hadist.“

Makalah ini dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui keaslian sebuah berita atau peristiwa
hadis, metodologi hadis dan menentukan kualitas sebuah hadis.

Padang Panjang 26 Oktober 2022

Dwiyana Ndari Saputri

1
PEMBAHASAN

A. Urgensi Ilmu Hadist

1. Sebagai ilmu untuk menguji keotentikan atau keaslian sebuah berita atau peristiwa
hadist.

Menurut Imron Maulana sebuah hadist dapat diketahui keasliannya apabila syarat-
syarat berikut terpenuhi:

a. Sanadnya Bersambung (iitishal al-sanad)


Sanad bersambung ialah setiap periwayat hadis dalam sanad hadis menerima
riwayat hadis dari periwayat yang terdekat sebelumnya, keadaan semacam itu terus
berlangsung demikian sampai akhir sanad hadis.1
b. Perawinya Bersifat Adil (‘adalat al-rawi)
Adil adalah orang yang konsisten (istiqamah) dalam beragama, baik
akhlaknya, tidak fasik dan tidak melakukan cacat muruah. 2
c. Perawinya Bersifat Dhabit (dhabth al-rawi)
Dhabit itu adalah dia yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah di
dengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut pada saat dibutuhkan. 3
d. Terhindar dari syadz (‘adam al-syadz)
Syadz disini berarti hadis yang diriwayatkan tidak mengalami kerancuan atau
terjadi sangsi dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang lain yang tingkat ‘adil dan
dhabitnya lebih tinggi. Mukhalafat altsiqah li man huwa awtsaq minhu.4
e. Terhindar Dari Illat (‘adam ‘illat)
‘Illat merupakan sebab yang tersembunyi yang menjadi benalu (merusak)
kualitas hadis, yang menyebabkan hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas
shahih menjadi tidak shahih.5

Sedangkan menurut MZ ROHMAN

a. Sanadnya Bersambung (Ittishāl Al-Sanad)

1
Idri, Studi Hadis,(Jakarta: Kencana Predata Group, 2010), hlm. 160
2
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 151.
3
Ibid.
4
Kasman, Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah, hlm. 42.
5
Idri, Studi Hadis, hlm. 170.

2
Rangkaian para perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada
para sahabat yang menerima hadits langsung dari Rasulullah saw bersambung dalam
periwayatannya.6

b. Perawinya ‘Ādil

Kata ‘ādil secara etimologi adalah sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa
sesuatu itu lurus, merupakan lawan dari lacur. Sedangkan secara terminologi adalah
berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan
keperwiraannya sehingga khabar dan kesaksiannya bisa diterima. 7

c. Perawinya Dhābith
Kata dhābith secara etimologi merupakan isim fā’il dari dhabatha- yadhbuthu
yang berarti yang kokoh, yang kuat, dan mengerjakan dengan seksama. 8
Sedangkan secara terminologi, dhābith adalah sikap penuh kesadaran dan
tidak lalai, kuat hafalan bila hadits yang diriwayatkan berdasarkan hafalannya, benar
tulisannya bila hadits yang diriwayatkannya berdasarkan tulisan, dan bila ia
meriwayatkan hadits secara makna, maka ia akan tahu persis kata-kata apa yang
sesuai untuk digunakan.9
d. Tidak Ada Kejanggalan (Syādz)

Kata syādz (jamaknya syudzūdz) secara etimologi adalah yang jarang, yang
menyendiri, yang asing, menyalahi orang banyak, menyalahi aturan. 10

Sedangkan secara etimologi, Imam Syafi’i dan diikuti oleh kebanyakan


ulama lainnya mendefinisikan sebagai suatu hadits yang bertentangan dengan hadits
yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah. 11

e. Terhindar Dari Cacat (‘Illat)


Kata ‘illat (jamaknya ‘ilal) secara etimologi berarti cacat, penyakit,
keburukan, dan kesalahan baca. Secara terminologi, ‘illat berarti suatu sebab yang
tersembunyi atau yang samar-samar, karenanya dapat merusak keshahihan hadits
tersebut.12
6
Mudasir, Ilmu Hadits Untuk IAIN, STAIN, PTAS Semua Fakultas dan Jurusan, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
1999), Cet. ke-1, h. 145-146.
7
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushūl Al-Hadīts, diterjemahkan oleh M. Nur Ahmad Musyafiq dengan judul, Ushul
Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), Cet. ke-5, h. 233.
8
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), Cet. ke-14, h. 810
9
Nuruddin ‘Itr, Manhaj Al-Naqd Fī ‘Ulūm Al-Hadīts, diterjemahkan oleh Mujiyo dengan judul, ‘Ulum Al-Hadits,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. ke-1, h. 66.
10
Luis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-A’lam, (Beirut Libanon: Dār Al-Masyriq, 1994), Cet. ke-34, h. 379
11
Mudasir, op. cit., h. 147.
12
Munzier Suparta, op. cit., h. 133.

3
Kemudian menurut S Nurlina

a. Sanad Bersambung (Ittiṣal al-Sanad).


Setiap perawi hadis yang bersangkutan benarbenar menerima hadis dari
perawi diatasnya dan begitu juga sebaliknya, sampai dengan perawi pertama. 13
b. Para Perawi Adil (‘Adālat al-Ruwat)

kriteria untuk sifat adil adalah beragama Islam, mukalaf, tidak berbuat dosa
besar, dan memelihara muru’ah. Jika seorang perawi tidak termasuk kriteria tersebut
diatas bahkan hanya salah satu saja maka hadisnya adalah hadis yang berkualitas
sangat lemah (ḍa’if).14

c. Para Perawi ḍabit (ḍawābiṭ al-ruwāt)


periwayat yang mempu memahami dengan baik hadis yang dihafalnya itu. 15
d. Kaidah Jarh dan Ta’dil
usaha ahli hadis dalam memilihan menentukan hadis shahih atau ḍaif. 16

Menurut A Rozak

a. Sanadnya Bersambung
Maksudnya adalah tiap-tiap perawi dari perawi lainnya benarbenar
mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir
sanadnya.17
b. Para Perawinya bersifat Adil
Maksudnya adil adalah orang yang lurus agamanya, berstatus Mukallaf
(baligh), baik pekertinya bebas dari fasiq dan hal-hal yang menjatuhkan
keperwiraannya.18
c. Para Perawinya bersifat Dhabit
Maksud dari dhabit adalah masing-masing perawinya sempurna daya
ingatannya, baik kuat ingatan dalam dada maupun kitabah (tulisan).
d. Matannya Tidak Syadz.
Maksudnya ialah hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan
atau menyelisihi orang yang terpercaya dan lainnya. 19
e. Matannya tidak ber’illat

13
Cecep Sumarna dan Yusuf Saefullah, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), p.73
14
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, ppp. 67-68-69.
15
16 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, p. 98
16
M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011) pp. 70-71
17
Ibid,124
18
Abdul Majid Khon, Ulumul..., 151 7
19
Ibid,127

4
Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang
menutup secara tersembunyi yang dapat mencacatkan pada ke-shahih-an hadis,
sementara dhahirnya selamat dari cacat.

2. Sebagai ilmu yang memiliki metodologi yang kuat dimana yang diteliti adalah
sumber (rawi) dan beritanya (hadistnya)

Menurut Wahyudin Darmalaksana

Menentukan Metode Penelitian Hadis Ada banyak metode yang dapat digunakan
dalam penelitian hadis, seperti Tahrij, Dalalh, I’tibar, Syarah. Living, Digital, dan lain-lain.
Metode adalah prosedur, skenario, alur, proses, dan/atau cara yang digunakan dalam
penelitian. Metode penelitian mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan
pengetahuan. Metode penelitian hadis dikembangkan dari ilmu hadis. Penelitian hadis dapat
pula menggunakan metode-metode dari ilmu pengetahuan lain, seperti ilmu bahasa, sosial,
budaya, humaniora, dan teknologi. Syarat utama penggunaan metode ialah metode tersebut
relevan dengan subjek penelitian yang akan dilaksanakan. 20

Akan tetapi, akademisi para peminat studi hadis dan ilmu hadis diarahkan untuk
menguasai dan dapat mempraktikan Metode Tahrij Hadis terlebih dahulu sebelum
mempelajari metode-metode lain. Sebab, kemampuan Tahrij Hadis bagi peminat studi hadis
dan ilmu hadis merupakan pondasi dasar.

Menurut DR. DAMANHURI, MA

Hadist sebagi sumber hukum islam 21

Menurut M Qomarullah

Menurut Al-Qur’an hadis nabi merupakan sumber ajaran islam . 22

Menurut Dr. Wahidul Anam

Hadist sebagai dasar syari’at islam23

3. Sebagai ilmu untuk menentukan kualitas sebuah hadist (shahih, hasan, dhaif)

20
Beberapa metode penelitian hadist,305553
21
Dapartemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 910
22
Nawir YusliWm dan Asrar Mabrur Faza (ed),, Kajian Hadis di Indonesia, 103-104
23
Wahidul Anam

5
Menurut Achmad Sarbabanun

Hadist shahih :

a. Sanadnya bersambung Yang dimaksud sanad bersambung adalah tiap–tiap periwayatan


dalam sanad hadits menerima periwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya,
keadaan ini berlangsung demikian sampai akhir anad dari hadits itu.
b. Periwayatan bersifat adil Adil di sini adalah periwayat seorang muslim yang baligh,
berakal sehat, selalu memelihara perbutan taat dan menjauhkan diridari perbuatan –
perbuatan maksiat.
c. Periwayatan bersifat dhabit Dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang
telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya kapan saja ia menghendakinya.
Tida Janggal atau Syadz Adalah hadits yang tidak bertentangan dengan hadits lain yang
sudahdiketahui tinggi kualitas ke-shahih-annya.
d. Terhindar dari ‘illat (cacat) Adalah hadits yang tidak memiliki cacat, yang disebabkan
adanya hal – hal yang tidak bak, yang kelihatannya samar – samar.

Syarat-syarat Hadist Hasan:

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suatu hadist yang dikategorikan
sebagai hadist hasan, yaitu: Para perawinya yang adil, Ke-Dhabith-an perawinya dibawah
perawi Hadist shahih, Sanad-sanadnya bersambung, Tidak terdapat kejanggalan atau syadz,
dan tidak mengandung ‘illat.24

Hadist Dhoif:

“Hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadist Shahih dan syarat-syarat
Hadist Hasan.”25

Menurut R CHOIRULNISA

Hadis shohih:

1. Sanad Hadits harus bersambung


2. Rawi Hadits harus orang adil, yaitu orang yang lurus agamanya, tidak bid’ah, jujur dalam
perkataan dan perbuatan, bersih dari kecelaaan yang sekiranya mengurangi harga dirinya
sebagai rawi.
3. Mampu memelihara Hadits ( dhabith ).
4. Tidak boleh bertentangan dengan Hadits yang lebih kuat atau keterangan yang pasti
seperti Al –Qur’an dan Hadits mutawatir.
24
Zufran Raman, Kajian Sunnah Nabi SAW Sebagai Sumber Hukum Islam, Pedoman Ilmu Jaya, Cet- Ke-1,
Jakarta, 1995, hal.40
25
An-Nawaawi, At-Taqrib Li An-Nawawi Fann Ushul Al-Hadist, Abd Rahman Muhammad Kairo,tt,19.

6
5. Hadits tersebut harus selamat dari illah qadihah ( amat cacat ), yaitu suatu alasan –
alasan yang mengakibatka rawi itu tercecat.

Hadits Hasan :

Yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tapi tidak begitu kuat
hafalanya, bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illah, serta kejanggalan dalam matanya. 26

Hadits Dhaif:

Ialah Hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang
tidak adil, tidak dhobit, syadz, dan cacat. Atau menurut Imam Nawawi, yaitu Hadits yang
tidak memenuhi kualitas Hadits shahih maupun Hadits hasan. 27

Menurut Syamsuez Salihima

Hadis shahih, sanadnya bersambung, perawinya adil, perawinya dhabit, dan terhindar
dari cacat.

Hadis Hasan Pengertian hadis hasan ialah, hadis yang sanadnya bersambung, yang
diriwayatkan oleh orang yang adil tetapi kurang sedikit kedhabitannya (kurang hapalannya),
tidak terdapat di dalamnnya suatu kejanggalan dan tidak juga terdapat cacat. 28

Hadis dhaif ialah hadis yang tidak memiliki salah satu syarat atau lebih dari syarat-
syarat hadis shahih dan hadis hasan. Jadi suatu hadis dianggap dhaif bila belum dapat
dibuktikan kesahihan dan kehasanaannya29

Menurut Dalhari. M.H.I

Hadist Shahih :

Sanad Bersambung, Perawinya Adil, Perawinya Dhabith, tidak syaz, dan tidak
ber’illat.

Hadist Hasan:

26
Mardani, Hadis AHKAM, ( Depok: Jl.Raya Leuwinanggung No. 112 ), hlm, 8
27
Mardani, Hadis AHKAM, ( Depok: Jl.Raya Leuwinanggung No. 112 ), hlm, 8-9
28
Jurnal Adabiyah Vol. X nomor 2/2010 215
29
Jurnal Adabiyah Vol. X nomor 2/2010 217

7
Sanad hadist tersebut harus bersambung, perawinya adil, perawi hadis harus
memiliki sifat dhabith, tetapi kualitasnya lebih rendah atau kurang dari yang dimiliki perawi
hadist shohih

Hadist dhaif:

Hadist yang tidak memenuhi persyaratan hadist shahih dan hasan .

DAFTAR PUSTAKA

Idri, Studi Hadis,(Jakarta: Kencana Predata Group, 2010


Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010)

8
Ibid.
Kasman, Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah
Idri, Studi Hadis,
Mudasir, Ilmu Hadits Untuk IAIN, STAIN, PTAS Semua Fakultas dan Jurusan, (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 1999)
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushūl Al-Hadīts, diterjemahkan oleh M. Nur Ahmad Musyafiq dengan
judul, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013)
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997)
Nuruddin ‘Itr, Manhaj Al-Naqd Fī ‘Ulūm Al-Hadīts, diterjemahkan oleh Mujiyo dengan judul, ‘Ulum
Al-Hadits, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994)
Luis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-A’lam, (Beirut Libanon: Dār Al-Masyriq, 1994)
Mudasir, op. cit.,
Munzier Suparta, op.
Cecep Sumarna dan Yusuf Saefullah, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004)
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis
16 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis
M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011)
Ibid,124
Abdul Majid Khon, Ulumul
Ibid,127
Beberapa metode penelitian hadist
Dapartemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya
Nawir Yuslim dan Asrar Mabrur Faza (ed),, Kajian Hadis di Indonesia
Wahidul Anam
Zufran Raman, Kajian Sunnah Nabi SAW Sebagai Sumber Hukum Islam, Pedoman Ilmu Jaya, Cet-
Ke-1, Jakarta, 1995
An-Nawaawi, At-Taqrib Li An-Nawawi Fann Ushul Al-Hadist, Abd Rahman Muhammad Kairo,tt,19.
Mardani, Hadis AHKAM, ( Depok: Jl.Raya Leuwinanggung No. 112 )
Mardani, Hadis AHKAM, ( Depok: Jl.Raya Leuwinanggung No. 112 )
Jurnal Adabiyah Vol. X nomor 2/2010 215
Jurnal Adabiyah Vol. X nomor 2/2010 217

Anda mungkin juga menyukai