Anda di halaman 1dari 5

1.

Keadilan Rawi
Menurut al-Razi keadilan ialah jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak
taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa
kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang bisa menodai
muru’ah, seperti makan sambil berdiri di pinggir jalan, buang air kecil di
tempat yang bukan semetinya dan bergurau secara berlebihan.
Menurut Muhyi al-Din ‘Abd al-Hamid, syarat keadilan rowi juga sebagai
berikut : Islam, periwayatan orang yang kafir tidak diterima
 Mukallaf, periwayatan anak yang belum dewasa menurut pendapat
yang lebih shahih, tidak diterima.
 Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang menjadi fasik
dan cacat pribadi.
2) Kedhabitan Rawi
Yang dimaksud dengan dhabit ialah orang yang terpelihara, kuat ingatannya.
Ingatannya lebih kuat daripada kesalahannya. Dhabit ada dua macam :
 Dhabit al-Shadri : yaitu seseorang yag mempunyai daya hafal dan
ingatan yang kuat, serta daya faham yang tinggi. Ingatannya tersebut
sanggup dikeluarkanya kapan dan dimana saja dikehendakinya.
 Dhabit al-Kitab : Yaitu orang yang dhabit atau cermat memelihara
catatan atau buku yang ia terima.
3) Musnad
Musnad yaitu bersambungnya sanad dan marfu’nya matan. Dan yang
dimaksud dengan atau bersambung atau tidak putusnya sanad, yakni selamat
dari keguguran , tiap-tiap rawi saling bertemu dan menerima langsung dari
guru yang memberinya (mengajarinya). Matan yang marfu’ artinya idhafah
kepada Nabi SAW.
4) Tanpa ‘Illat
‘Illat hadits ialah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai
kashahihan hadits, misalnya ; meriwayatkan hadits secara muttashil terhadap
hadits mursal atau hadits munqathi’, atau berupa sisipan yang terhadap
matan hadits.
5) Tidak ada kejanggalan
Kejanggalan hadits terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadits
yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat diterima
periwayatannya) dengan hadits yang diriwayatkan oleh hadits yang lebih kuat
(rajih) daripadanya, disebabkan dengan kelebihan jumlah sanad dalam
kedhabitan atau adanya segi-segi tarjih yang lain.

Sebagaimana dijelaskan Mahmud al-Thahan dalam Taisir Musthalah Hadis,


kelima kriteria tersebut
A. Musnad: Artinya, bersambungnya sanad dan marfu’nya matan bahwa
setiap rawi mengambil (haditsnya) secara langsung dari orang di atasnya,
dari awal sanad hingga akhir sanad. yakni selamat dari keguguran , tiap-tiap
rawi saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya
(mengajarinya). Matan yang marfu’ artinya idhafah kepada Nabi SAW.
b. Adilnya para perawi: Yaitu setiap rawi harus muslim, baligh, berakal, tidak
fasik dan tidak buruk tingkah lakunya. Menurut al-Razi keadilan ialah jiwa
yang mendorong untuk selalu bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar,
menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan
perbuatan-perbuatan mubah yang bisa menodai muru’ah, seperti makan
sambil berdiri di pinggir jalan, buang air kecil di tempat yang bukan semetinya
dan bergurau secara berlebihan. Dhabit al-Shadri : yaitu seseorang yag
mempunyai daya hafal dan ingatan yang kuat, serta daya faham yang tinggi.
Ingatannya tersebut sanggup dikeluarkanya kapan dan dimana saja
dikehendakinya.Dhabit al-Kitab : Yaitu orang yang dhabit atau cermat
memelihara catatan atau buku yang ia terima.
d. Tidak ada syadz: Yaitu, haditsnya tidak syadz. Syudzudz berarti haditsnya
tidak menyelisihi dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lebih
tsiqah dibandingkan dirinya. Kejanggalan hadits terletak pada adanya
perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul
(yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadits yang diriwayatkan oleh
hadits yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan dengan kelebihan
jumlah sanad dalam kedhabitan atau adanya segi-segi tarjih yang lain.
e. Tidak ada ilat: Yaitu haditsnya tidak ma'lul (cacat). Ilat adalah penyebab
samar lagi tersembunyi yang bisa mencemari shahihnya sebuah hadits,
meski secara dhahir kelihatan terbebas dari cacat.
A. Hadits secara kuantitas terbagi menjadi
1. hadits mutawatir (hadits yang diriwayatkan banyak orang yang menurut
kebiasaan mustahil mereka sepakat untuk berdusta). Hadits mutawatir
dibagi dua: mutawatir lafdhi dan mutawatir maknawi.
a. Mutawatir lafdhi: Hadits yang makna dan lafadznya memang
mutawatir. Contohnya: Barangsiapa berdusta atas namaku secara
sengaja, maka hendaknya ia bersiap-siap menempati tempatnya di
neraka. Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 orang sahabat.
b. Mutawatir maknawi: Hadits yang maknanya mutawatir, bukan
lafadznya. Contohnya: Hadits-hadits tentang mengangkat kedua
tangan ketika berdoa. Hadits-hadits yang menggambarkan keadaan
Rasulullah saw seperti ini ada sekitar 100 hadits. Masing-masing hadits
itu menyebutkan Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya ketika
berdoa, meskipun masing-masing (hadits) terkait dengan berbagai
perkara (kasus) yang berbeda-beda. Masing-masing perkara tadi tidak
bersifat mutawatir. Penetapan bahwa mengangkat kedua tangan ketika
berdoa itu termasuk mutawatir karena pertimbangan digabungkannya
berbagai jalur hadits tersebut, Syarat hadits mutawatir:
a. Diriwayatkan oleh banyak rawi. Terdapat perselisihan mengenai
jumlah minimal tentang banyaknya rawi. Menurut pendapat yang
terpilih, paling sedikit ada 10 orang.
b. Jumlah bilangan rawi tersebut terdapat pada seluruh tingkatan
(thabaqat) sanad.
c. Menurut kebiasaan, mustahil mereka sepakat untuk berdusta.
d. Khabar mereka disandarkan kepada panca indera. Seperti
misalnya perkataan mereka sami'na (kami telah mendengar), ra
aina (kami telah melihat), atau lamasna (kami telah merasakan),
dan sejenisnya. Jika khabar mereka itu disandarkan pada akal,
seperti, alam semesta ini baru (huduts), maka khabar seperti itu
tidak dinamakan mutawatir.
2. Ahad (hadits yang tidak terkumpul syarat-syarat mutawatir). Hadits
ahad terbagi tiga yaitu, aziz, ghorib, dan masyhur. Hadits masyhur
adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang rawi atau lebih disetiap
tingkatannya asalakan jumlahnya tidak mencapai derajat mutawatir.
Hadits aziz adalah hadits yang perawinya berjumlah tidak kurang dari
dua orang di seluruh tingkatan sanadnya. Hadits gharib adalah hadits
yang diriwayatkan oleh seorang rawi, sendirian. Dari aspek tempat
menyendirinya rawi hadits gharib terbagi menjadi dua yaitu, gharib
mutlak (jika gharib sendiriannya terdapat pada asal sanad) dan gharib
nisbi (kegharibannya terletak ditengah-tengah sanad).
B. Hadits berdasarkan kualitas terbagi menjadi dua yaitu maqbul dan
mardud. Maqbul Ialah hadits yang telah dibuktikan kebenarannya
bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari Nabi SAW dan hadits
tersebut dapat dijadikan pedoman dan panduan pengamalan Syari’at.
Dan mardud ialah Yang tidak didapati padanya sifat hadits yang
diterima dan hadits ini ditolak dan tidak dapat dijadikan hujjah.
1. Hadits yang termasuk kepada maqbul yaitu hadits shahih (Hadits
yang sanadnya bersambung melalui (riwayat) rawi yang adil lagi
dlabith dari rawi yang semisal hingga akhir (sanad), tanpa ada
syudzudz maupun 'ilat) yang terbagi dua yaitu shahih lidzatihi dan
shahih li ghairihi. dan hadits hasan (hadits yang sanadnya
bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang derajat
dlabitnya lebih ringan dari orang yang serupa hingga puncak
(akhir) sanad, tidak ada syudzudz maupun 'ilat.) yang terbagi
menjadi dua yaitu hasan lidzatihi dan hasan lighairihi.
2. Hadits yang termasuk kepada mardud yaitu hadits dai’if (hadits yang tidak
terkumpul hadits-hadits hasan disebabkan hilangnya satu syarat atu lebih)
dan pembagian hadits do’if ini ada banyak yaitu Maudhu (Rawinya dusta,
yaitu berdusta dalam membuat hadits walaupun Cuma sekali seumur hidup),
Matruk (Rawinya tertuduh dusta, yakni perowi yang terkenal dalam
pembicaraan sebagai pendusta. Namun, belum dapat dibuktikan bahwa ia
pernah berdusta dalam membuat hadits) Munkar (Rawinya fasiq, lengah
dalam hafalan dan banyak salah), Mu’allal (Rawi banyak “waham”, yaitu salah
sangka seolah-olah hadits tersebut tidak ada cacat baik pada matan maupun
sanad), Mudraj (Yaitu membuat suatu sisipan, baik pada sanad maupun pada
matan, baik perkataan sendiri maupun perkataan orang lain, baik sahabat
maupun tabi’in yang dimaksudkan untuk menerangkan makna kalimat-kalimat
yang sukar, atau mentaqyidkan makna yang sukar), Maqlub (Memutarbalikan,
yakni mendahulukan sesuatu pada satu tempat dan mengakhirkannya pada
tempat yang lain, adakalanya pada matan dan adakalanya pada sanad),
Mudhtharib (Menukar-nukar rawi), Muharraf (Perubahan syakal huruf yakni
tanda hidup dan tanda mati (sakanat), sedang bentuk tulisannya todak
berubah seperti kata : Basyir menjai Busyair), Musahhaf (Perubahan tentang
titik-tik kata, seperti kata : Syaian jadi sittan), Mubham (Tidak diketahui
identitas (jahalah), kadang-kadang tidak disebut namanya, atau disebutkan
tapi tidak dijelaskan siapa sebenarnya yang dimaksud nama itu, atau hanya
disebukan hubungan keluarganya (ibn, ummun, abun, dll) yang belum
menunjukan nama pribadinya), Mardud (Penganut bid’ah, yaitu ada
kecurangan dan i’tikad, mereka mengi’ttikadkan yang berlawanan dengan
yang diterima dari Nabi SAW dengan dasar syubhat.) Mukhtalith (Buruk
hafalan karena lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau kehilangan
kitabnya). Syadz (Menyalahi riwayat yang lebih rajih. Sanad), Mu’allaq
(Gugur sanad pertama (Guru Mudawin), yakni rawi yang menyampaikan
hadits kepada mudawin), Mursal (Gugur pada sanad terakhir atau rawi
pertama (sahabat), yakni tabi’in menisbahkan matan kapada Nabi saw tanpa
menyebutkan dari sahabat mana ia menerima hadits tersebut. Hadits mursal
terbagi 3, yaitu : Mursal Jali, Mursal Sahabi dan Mursal Khafi). Mu’dhal
(Gugur dua orang rawi atau lebih berturut-turut), Munqathi’ (Gugur seorang
rawi atau lebih tapi tidak berturut-turut), Mauquf (Penisbatan matan kepada
sahabat), dan Maqthu’ (Penisbatan matan kepada Tabi’in).

Anda mungkin juga menyukai