Anda di halaman 1dari 11

HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

1.PENGERTIAN HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

Hadis dalam hukum Islam dianggap sebagai mashdarun


tsanin (sumber kedua) setelah Al-Quran. Ia berfungsi sebagai penjelas
dan penyempurna ajaran-ajaran Islam yang disebutkan secara global
dalam Al-Quran. Bisa dikatakan bahwa kebutuhan Al-Quran terhadap
hadis sebenarnya jauh lebih besar ketimbang kebutuhan hadis
terhadap Al-Quran.

Kendati demikian, seorang Muslim tidak dibenarkan untuk mengambil


salah satu dan membuang yang lainnya karena keduanya ibarat dua
sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

Untuk mengeluarkan hukum Islam, pertama kali para ulama harus


menelitinya di dalam Al-Quran. Kemudian setelah itu, baru mencari
bandingan dan penjelasannya di dalam hadis-hadis Nabi karena pada
dasarnya tidak satupun ayat yang ada dalam Al-Quran kecuali
dijelaskan oleh hadis-hadis Nabi.

Dengan sinergi beberapa ayat dan hadis tersebut, seorang ulama bisa
memutuskan hukum-hukum agama sesuai dengan persoalan yang
dihadapi, tentunya dengan dukungan ilmu dan perangkat pengetahuan
yang mumpuni terhadap kedua sumber tersebut.

Menurut Abdul Wahab Khallaf, seorang ahli hukum Islam


berkebangsaan Mesir, hadis mempunyai paling tidak tiga fungsi utama
dalam kaitannya dengan Al-Quran :

Pertama, hadis berfungsi sebagai penegas dan penguat segala hukum


yang ada dalam Al-Quran seperti perintah shalat, puasa, zakat dan
haji. Abdul Wahab Khallaf mengatakan,

‫إما أن تكون سنة مقررة ومؤكدة حكما جاء في القرآن‬


“Adakalanya hadis berfungsi sebagai penegas dan penguat terhadap
hukum yang ada dalam Al-Quran.”

Kedua, hadis juga berfungsi sebagai penjelas dan penafsir segala


hukum yang bersifat global dalam Al-Quran, seperti menjelaskan
tatacara shalat, puasa, zakat dan haji.

‫إما أن تكون سنة مفصلِّة ومفسِّرة لما جاء في القرآن‬


“Adakalanya hadis berfungsi sebagai penjelas dan penafsir terhadap
hukum global/umum yang disebutkan dalam Al-Quran.”
Ketiga, hadis juga berfungsi sebagai pembuat serta memproduksi
hukum yang belum dijelaskan oleh Al-Quran seperti hukum
mempoligami seorang perempuan sekaligus dengan bibinya, hukum
memakan hewan yang bertaring, burung yang berkuku tajam dan lain
sebagainya. Khallaf kembali mengatakan sebagai berikut.

‫مثب َتة ومنشِ َئة حُكما سكت عنه القرآن‬


ِ ‫وإما أن تكون سنة‬
“Adakalanya hadis berfungsi sebagai penetap dan pencipta hukum
baru yang belum disebutkan oleh Al-Quran.”

Dengan demikian, karena begitu pentingnya posisi hadis dalam


konsepsi hukum Islam, maka seseorang yang akan berkecimpung di
dalamnya diharuskan untuk mengenal istilah dasar dalam ilmu hadis,
menguasai kaidah-kaidah takhrij dan kajian sanadnya, serta
mengetahui seluk beluk dan tatacara memahami redaksinya.

Pembacaan yang tidak paripurna serta serampangan terhadap hadis


akan membuat seseorang keliru dan bahkan juga membuat keliru
orang lain.

Berikut ini beberapa istilah hadits yang sering dipakai :

1.    MUTAWATIR   yaitu : Hadits yang diriwayatkan dari banyak jalan


(sanad) yang lazimnya dengan jumlah dan sifatnya itu, para rawinya
mustahil bersepakat untuk berdusta atau kebetulan bersama-sama
berdusta. Perkara yang mereka bawa adalah perkara yang indrawi
yakni dapat dilihat atau didengar.
Hadits mutawatir memberi faedah ilmu yang harus diyakini tanpa perlu
membahas benar atau salahnya terlebih dahulu.

2.    AHAD,    yaitu : Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.

3.    SHAHIH (sehat),    yaitu : Hadits yang dinukilkan oleh orang yang


adil (muslim, baligh, berakal, bebas dari kefasiqan yaitu melakukan
dosa besar atau selalu melakukan dosa kecil, dan bebas dari sesuatu
yang menjatuhkan muru’ah/kewibawaan) dan sempurna
hafalan/penjagaan kitabnya terhadap hadits itu, dari orang yang
semacam itu juga dengan sanad yang bersambung, tidak memiliki ‘illah
(penyakit/kelemahan) dan tidak menyelisihi yang lebih kuat.
Hadits shahih hukumnya diterima dan berfungsi sebagai hujjah.

4.    HASAN (baik),    yaitu : Hadits yang sama dengan hadits shahih


kecuali pada sifat rawinya dimana hafalan/penjagaan kitabnya terhadap
hadits tidak sempurna, yakni lebih rendah.
Hadits hasan hukumnya diterima.

5.    DHA'IF,    yaitu : Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits


shahih atau hasan.
Hadits dha’if hukumnya ditolak.

6.    MAUDHU’ (palsu),    yaitu : Hadits yang didustakan atas nama


Nabi padahal beliau tidak pernah mengatakannya, hukumnya ditolak.

7.    MURSAL,    yaitu : seorang tabi’in menyandarkan suatu ucapan


atau perbuatan kepada Nabi. Hukumnya tertolak karena ada rawi yang
hilang antara tabi’in tersebut dan Nabi, dan mungkin yang hilang itu
adalah rawi yang lemah, hukumnya tertolak.

8.    SYADZ,    yaitu : Hadits yang sanadnya shahih atau hasan namun


isinya menyelisihi riwayat yang lebih kuat dari hadits itu sendiri,
hukumnya tertolak.

9.    MUNGKAR,    yaitu : Hadits yang sanadnya dha’if dan isinya


menyelisihi riwayat yang shahih atau hasan dari hadits itu sendiri,
hukumnya juga tertolak.

10.   MUNQATHI’,    yaitu : Hadits yang terputus sanadnya secara


umum, artinya hilang salah satu rawinya atau lebih dalam sanad, bukan
di awalnya dan bukan di akhirnya dan tidak pula hilangnya secara
berurutan. Hukumnya tertolak.

11.    SANAD,    yaitu : Rangkaian para rawi yang berakhir dengan


matan.

12.    MATAN,    yaitu : Ucapan rawi atau redaksi hadits yang terakhir
dalam sanad.

13.    RAWI,    yaitu : Orang yang meriwayatkan atau membawakan


hadits.
14.    ATSAR,    yaitu : Suatu ucapan atau perbuatan yang disandarkan
kepada selain Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam, yakni kepada
para sahabat dan tabi’in.

15.    MARFU’,    yaitu : Suatu ucapan, perbuatan, atau persetujuan


yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam.

16.    MAUQUF,    yaitu : Suatu ucapan atau perbuatan yang


disandarkan kepada sahabat.

17.    JAYYID (bagus),     yaitu : Suatu istilah lain untuk shahih.


18.    MUHADDITS,    yaitu : Orang yang menyibukkan diri dengan ilmu
hadits secara riwayat dan dirayat (fiqih hadits), serta banyak
mengetahui para rawi dan keadaan mereka.
19.    AL-HAFIZH,    yaitu : Orang yang kedudukannya lebih tinggi dari
muhaddits, yang ia lebih banyak mengetahui rawi di setiap tingkatan
sanad.
20.    MAJHUL,    yaitu : (Rawi yang) tidak dikenal, artinya tidak ada
yang menganggapnya cacat sebagaimana tidak ada yang men-ta’dil-
nya (lihat istilah ta’dil di poin 23, red.), dan yang meriwayatkan darinya
cenderung sedikit.
Bila yang meriwayatkan darinya hanya satu orang maka disebut majhul
al-‘ain, dan bila lebih dari satu maka disebut majhul al-hal.
Hukum haditsnya termasuk hadits yang lemah.
21.    TSIQAH,    yaitu : (Rawi yang) tepercaya, artinya tepercaya
kejujuran dan keadilannya serta kuat hafalan dan penjagaannya
terhadap hadits.

22.    JARH,    yaitu : Cacat, dan majruh artinya tercacat.


23.    TA'DIL,    yaitu : Menilai adil.
24.    MUTTAFAQUN ‘ALAIH,    Maksudnya hadits yang disepakati oleh
al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah dalam kitab Shahih mereka.

25.    MU'ALLAQ/TA'LIQ,    yaitu : Hadits yang terputus sanadnya dari


bawah, satu rawi atau lebih.
1.Komponen Komponen Hadis
Secara struktur, hadis terdiri atas tiga komponen, yakni sanad atau isnad (rantai
penutur), matan (redaksi hadis), dan mukhrij (rawi).
1. Sanad Hadis
2. Pengertian Sanad Hadis
Sanad dari segi bahasa berarti ‫ض‬ ِ ‫اارتَفَ َع ِمنَ اأْل َ ْر‬
ْ ‫ َم‬ , yaitu bagian bumi yang menonjol,
sesuatu yang berada dihadapan anda dan yang jauh dari kaki bukit ketika anda
memandangnya. Bentuk jamak nya adalah ‫أسنا‬. Segala sesuatu yang anda
sandarkan kepada yang laini disebut ‫مسند‬.. Dikatakan‫أسند فى الجب‬, maknanya
“Seseorang mendaki gunung”. Dikatakan pula‫فالن سن‬, maknanya “seseorang
menjadi tumpuan”.
Adapun tentang pegertian sanad menurut teminologi, para ahli hadis memberikan
definisi yang beragam, diantaranya :

‫صلَةُ إِلَى ْال َم ْت ِن‬


ِ ْ‫اَلطَّ ْيقَةُ ْال ُمو‬
Jalan yang menyampaikan kepada matan hadis

Yakni rangkaian para perawi yang memindahkan matan dari sumber primernya.
Jalur ini adakalanya disebut sanad, adakalanya karena periwatnya bersandar
kepadanya dalam menisbatkan matan kepada sumbernya, dan adakalnya karena
hafidz bertumpu kepada yang membuat sanad dalam mengetahui sahih atau dhaif
suatu hadis.

‫ِس ْل ِسلَةُ الرِّ َجالِـ ْال َم َوصِّ لَةُ لِ ْل َم ْت ِن‬

Silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada matan hadis


Silsilah orang-orang maksudnya adalah susunan atau rangkaian orang-orang
menyampaikan materi hadist tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada
Rasul SAW, yang perkataan dan perbuatan, taqrir dan lainya merupakan materi
atau matan hadist.Dengan pengertian tersebut, sebutan sanad hanya berlaku pada
serangkaina orang, buka dilihat dari sudut pribadi secara perseorangan. Adapun
sebutan untuk pribadi, yang menyampaikan hadis dilihat dari sudut orang per
orangan, disebut rawi.Dari definisi-definisi tersebut, dapat dipertegas pengertian
sanad secara terperinci, sebagai berikut :

‫َر ِه اأْل َ َّولِـ‬ ْ ْ‫ق ْال َم ْت ِن أَوْ ِس ْل ِس ْلةُ الرُّ َوا ِةالَّ ِد ْينَ نَقَلُو‬
ِ ‫اال َم ْتنَ ع َْن َمصْ د‬ ُ ‫طَ ِر ْي‬

 Jalan matan hadis,yaitu silsilah para rawi yang menukilkan matan hadis dari
sumbernya yang pertama (Rasul SAW)

Dengan demikian, sanad adalah rantai penutur atau perawi (periwayat) hadis.
Sanad terdiri atas seluruh penutur, mulai orang yang mencacat hadis tersebut
dalam bukunya (kitab hadis) hingga Rasullullah. Sanad memberikan gambaran
keaslian suatu riwayat.
2.MATAN
Kata “matan”  atau “al-matn” menurut bahasa berarti mairfa’a min al-
ardhi (tanah yang meninggi).[3]Secara etimologis, matan berarti segala sesuatu
yang keras bagian atasnya, punggung jalan (muka jalan), tanah keras yang tinggi.
Matan kitab adalah yang bersifat komentar dan bukan tambahan- tambahan
penjelasan. Bentuk Jamak adalah ‘mutun’ dan ‘mitan’.
Adapun yang dimaksud matan dalam ilmu hadis adalah,

ِ ‫ َمااِ ْنتَهَى اِلَ ْي ِه ال َّسنَ ُد ِمنَ ْالكَاَل ِم فَه َُو نَ ْفسُ ْال َح ِد ْي‬.
ُ‫ث الَّ ِذي ُذ ِك َراإْل ِ ْسنَا ُدلَه‬

Perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW. Yang disebut
sesudah habis disebutkan sanadnya.
Terkait dengan matan atau redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami hadis
adalah :

1. Ujung Sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi


Muhammad atau bukan
2. Matan hadist itu terdiri dalm hubunganya dengan hadis lain yang lebih
kuat sanad-nya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan
selanjutnya dengan ayat Al Qur’an (apakah ada yang bertolak belakang).

3.RAWI HADIS
Kata Rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadis
(Naqil Al-Hadis). [5]
Sebenernya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama.
Sanad-sanad hadis pada tiap=tiap thabaqah atau tingkatanya juga disebut rawi,
jika yang dimaksud dnegan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan
memindahkan hadis. Begitu juga, setiap rawi pada tiap-tiap thabaqah nya
merupakan sanad bagi thabaqah berikutnya.

Akan tetapi, yang membedakan antara kedua istilah diatas, jika dilihat lebih
lanjut, adalah dalam dua hal, yaitu : pertama, dalam hal pembukuan hadis. Orang
yag menerima hadis-hadis, kemudian menghimpunya dalam suatu kitab tadwin,
disebut dengan rawi.
Dengan demikian, rawi dapat disebut mudawwin (orang yang membukukan dan
menghimpun hadis). Adapun orang-orang yang menerima hadis dan hanya
menyampaikan kepada orang lain, tanpa membukukanya, disebut sanad hadis.
Berkaitan dengan ini, dapat dikatakan bahwa setiap sanad adalah rawi pada tiap-
tiap thabaqahnya, tetapi tidak setiap rawi disebut sanad hadis sebab ada rawi yang
membukukan hadis. Kedua, dalam penyebutan silsilah hadis, untuk sanad, yang
disebut sanad pertama adalah orang yang langsung menyampaikan hadis tersebut
pada penerimanya, sedangkan pra rawi, yang disebut rawi pertama, adalah para
sahabat Rasul SAW. Dengan demikian, penyebutan silsilah antara kedua istilah
ini merupakan sebaliknya. Artinya, rawi pertama, adalah sanad terakhir, dan sanad
pertama, adalah rawi terakhir
Fungsi Hadist Dalam Ajaran Islam
Pada dasarnya, hadist memiliki fungsi utama sebagai menegaskan, memperjelas
dan menguatkan hukum-hukum dan hal lain yang ada di al Quran. Para ulama
sepakat setiap umat islam diwajibkan untuk mengikuti perintah yang ada hadist-
hadist shahih. Dengan berpegang teguh kepada Al Quran dan Al hadist, niscaya
hidup kita dijamin tidak akan tersesat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

‫َاب هللاِ َو ُسنَّةَ َرسُوْ لِ ِه‬ ِ َ‫ت فِ ْي ُك ْم أَ ْم َر ْي ِن لَ ْن ت‬


َ ‫ ِكت‬: ‫ضلُّوْ ا َما تَ َم َّس ْكتُ ْم بِ ِه َما‬ ُ ‫تَ َر ْك‬

“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama
berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”
(Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu
Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah
fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
Hadist memiliki peranan penting dalam menjelaskan (Bayan) firman-firman Allah
SWT di dalam Al-Quran. Secara lebih rinci, dijelaskan fungsi-fungsi hadist dalam
islam adalah sebagai berikut:

1. Bayan Al- Taqrir (memperjelas isi Al Quran)


Fungsi Hadist sebagai bayan al- taqrir berarti memperkuat isi dari Al-Quran.
Sebagai contoh hadist yang diriwayatkan oleh H.R Bukhari dan Muslim terkait
perintah berwudhu, yakni:

“Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima shalat seseorang yang berhadats


sampai ia berwudhu” (HR.Bukhori dan Abu Hurairah)
Hadits diatas mentaqrir dari surat Al-Maidah ayat 6 yang berbunyi:

ِ ِ‫صلَو ِة فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم َوأَ ْي ِد يَ ُك ْم اِلَى ْال َم َراف‬


‫ق َوا ْم َسحُوْ ا بِ ُرءُوْ ِس ُك ْم َواَرْ ُجلَ ُك ْم اِلَى‬ ّ ‫يَااَيُّهَاالَّ ِذ ْينَ اَ َمنُوْ ااِ َذاقُ ْمتُ ْم اِلَى ال‬
‫ْال َك ْعبَ ْي ِن‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,


maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS.Al-Maidah:6)
2. Bayan At-Tafsir (menafsirkan isi Al Quran)
Fungsi hadist sebagai bayan at-tafsir berarti memberikan tafsiran (perincian)
terhadap isi al quran yang masih bersifat umum (mujmal) serta memberikan
batasan-batasan (persyaratan) pada ayat-ayat yang bersifat mutlak (taqyid).
Contoh hadist sebagai bayan At tafsir adalah penjelasan nabi Muhammad SAW
mengenai hukum pencurian.

ِّ‫ص ِل ْالكَف‬ ِ ‫أَتَى بِ َسا ِر‬


َ ‫ق فَقَطَ َع يَ َدهُ ِم ْن ِم ْف‬

“Rasulullah SAW didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau


memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan”
Hadist diatas menafsirkan surat Al-maidah ayat 38:

ِ‫َّارقَةُ فَا ْقطَعُوْ ااَ ْي ِد يَهُ َما َج َزا ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكاالً ِمنَ هللا‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan


keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah” (QS.Al-Maidah:38)
Dalam AlQuran, Allah memerintahkan hukuman bagi seorang pencuri dengan
memotong tangannya. Ayat ini masih bersifat umum, kemudian Nabi SAW
memberikan batasan bahwa yang dipotong dari pergelangan tangan.

3. Bayan at-Tasyri’ (memberi kepastian hukum islam yang tidak ada di


Al Quran)
Hadist sebagai bayan At tasyri’ ialah sebagai pemberi kepastian hukum atau
ajaran-ajaran islam yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran. Biasanya Al Quran
hanya menerangkan pokok-pokoknya saja. Sebagaimana contohnya hadist
mengenai zakat fitrah, dibawah ini:

َ ْ‫صا عًا ِم ْن تَ َم ٍراَو‬


‫صا عًا ِم ْن‬ ِ َّ‫ضانَ َعلَى الن‬
َ ‫اس‬ ْ ِ‫ض َز َكا ةَ الف‬
َ ‫ط ِر ِم ْن َر َم‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَ َر‬ َ ِ‫اِ َّن َرسُوْ ُل هللا‬
َ‫َش ِعي ٍْر َعلَى ُكلِّ ُح ٍّر اَوْ َع ْب ٍد َذ َك ٍر أَوْ أُ ْنثَى ِمنَ ْال ُم ْسلِ ِم ْين‬

“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan
Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, beik merdeka atau
hamba, laki-laki atau perempuan”(HR. Muslim).
4. Bayan Nasakh (mengganti ketentuan terdahulu)
Secara etimologi, An-Nasakh memiliki banyak arti diantaranya at-taqyir
(mengubah), al-itbal (membatalkan), at-tahwil (memindahkan), atau ijalah
(menghilangkan). Para ulama mendefinisikan Bayan An-nasakh berarti ketentuan
yang datang kemudian dapat menghapuskan ketentuan yang terdahulu, sebab
ketentuan yang baru dianggap lebih cocok dengan lingkungannya dan lebih luas.
Salah satu contohnya yakni:

‫ث‬ ِ ‫صيَّةَ لِ َو‬


ٍ ‫ار‬ ِ ‫الَ َو‬

 “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”


Hadits ini menasakh surat QS.Al-Baqarah ayat 180:

َ‫ف َحقًّا َعلَى ال ُمتَّقِ ْين‬


ِ ْ‫صيَّةُ لِ ْل َوالِ َد ْي ِن َو ْاألَ ْق َربِ ْينَ بِ ْال َم ْعرُو‬ ُ ْ‫ض َر اَ َح َد ُك ْم ال َمو‬
ِ ‫ت اِ ْن تَ َركَ خَ ْي َرال َو‬ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم اِ َذ‬
َ ‫اح‬ َ ِ‫ُكت‬

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-


tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak
dan karib kerabat secara ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertaqwa” (QS.Al-Baqarah:180)
Untuk fungsi hadist sebagai Bayan Nasakh ini masih terjadi perdebatan di
kalangan ulama. Para ulama Ibn Hazm dan Mutaqaddim membolehkan menasakh
al-Qur’an dengan segala hadits walaupun hadits ahad. Kelompok Hanafiyah
berpendapat boleh menasakh dengan hadist masyhur tanpa harus matawatir.
Sedangkan para mu’tazilah membolehkan menasakh dengan syarat hadist harus
mutawatir. Selain itu, ada juga yang berpendapat Bayan Nasakh bukanlah fungsi
hadist.
HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

TUGAS PAI

 MUHAMMAD SYAIFUDIN(25)
 RAFI PUTRA WAHYUDI(26)
 REVA DWIKY SYAH RONY(27)
 RIFQI FAREL RESWARA(28)
 RIZAL FAHRIZKY(29)
 SANDY RISKY LUMINTO SUHADI(30)

TEKNIK PEMESINAN

SMK BRANTAS KARANGKATES

Anda mungkin juga menyukai