Anda di halaman 1dari 16

Prinsip Dalam Memahami Matan Hadist

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

“Al Qur’an Hadist”

Dosen pengampu :

Farikh Marzuki Ammar, Lc. MA

Ditulis oleh :

Muhammad Nauval Hadad Fanani 202071000049

Nadava Aulia Rahma Salsabila 202071000023

Sevy Fadilah Novriani Achmad 202071000083

Program Studi Pendidikan Agama Islam

Fakultas Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Prinsip Dalam Memahami Matan
Hadist ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada
mata kuliahAl Qur’an Hadist. Selain itu, makalah ini juga bertujuan menambah wawasan
tentang Prinsip dalam Memahami Matan Hadits bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Farikh Marzuki Ammar, Lc

selaku dosen mata kuliah Al Qur’an Hadist yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
pengetahuan dan wawasan sesuai bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
Sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun nanti akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini. 

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah bisa memberikan manfaat maupun
inspirasi untuk pembaca.

Sidoarjo, 8 Desember 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................

DAFTAR ISI ............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .....................................................................................................


B. Rumusan Masalah ...............................................................................................
C. Tujuan ..................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits .................................................................................................


B. Unsur Dan Bagian Hadits ....................................................................................
C. Ciri Matan Hadits.................................................................................................
D. Cara Memahami Matan Hadits ............................................................................
E. Manfaat Memahami Dan Mempelajari Matan ....................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ..........................................................................................................
B. Saran ....................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber ajaran dalam pedoman hidup umat Islam, yang
tentunya sudah tidak diragukan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sebagai petunjuk hidup
manusia al-Qur’an masih bersifat umum. Oleh karena itu untukmengaplikasikan al-quran
dalam kehidupan sehari-hari, sangat membutuhkan penjelasan-penjelasan berupa perkataan,
perbuatan dan ketetapan dari Rasullulah saw. Dengan demikian, hadits merupakan langkah
awal yang perlu dipahami juga. Akan tetapi dari periode para sahabat sampai saat ini masih
banyak hadits palsu atau dha’if bermunculan dan menyebar dimasyarakat, sehingga banyak
sekali kekeliruan dari pemahaman yang tidak sinkron dengan al-Qur’an dan tolak ukur
lainnya. Oleh sebab itu setiap muslim sangat dianjurkan untuk memilah-milah hadits yang
akan digunakan sebagai sumber ajaran. Mengingat hal tersebut, maka sangat diperlukan
sebuah penilaian yang mendalam.

Penilaian tersebut sangat diperlukan sebab hadits yangtelah datang kepada kami itu
menempuh perjalanan proses periwayatan berjenjang lama, yang diberikan secara turun
menurun pada generasi selanjutnya yang boleh jadi didalamnya terdapat komponen-
komponen, baik itu sosial ataupun budaya yang mana generasi si pembawa hadits itu masih
bernyawa.

Dalam khazanah penelitian hadits, sanad dan matan adalah dua perangkat yang
memiliki peran urgent untuk pembentukan bangunan hadits. Matan hadits dalam tradisi
penguraiannya menggambarkan berkenaan dengan hadits marfu’ yaitu sesuatu yang hadir dan
disandarkan kepada Rasulullah saw atau hadits mauquf yaitu narasumber sahabat atau tabi’in
yaitu hadits maqtu’ yang berkomposisi dengan pembukaan matan berbentuk cerita (sabab al-
wurud hadits) dan susunan sanad-nya. Kebenaran sesuatu hadits tidak bisa dipastikan hanya
dengan kebenaran sanad-nya saja, melainkan matan-nya pun juga harus dilakukan penelitian
agar supaya bisa menentukan apakah suatu hadits tersebut tidak mengalami illat atau tidak
mengalami syadz. Oleh karena itu penelitian terhadap matan menjadi sesuatu yang tidak
dapat untuk dipisahkan dari pembelajaran kontekstual dan tekstual tentang hadits. Dan
dengan demikian pula sangat diperlukan sebuah prinsip dalam memahami matan hadits untuk
melakukan sebagai upaya untuk memilah matan yang benar dari yang salah.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Hadist
2. Unsur Dan Bagian Hadits
3. Ciri Matan Hadits
4. Cara Memahami Matan Hadits
5. Manfaat Memahami Dan Mempelajari Matan

C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Hadist
2. Mengetahui Unsur Dan Bagian Hadits
3. Mengetahui Ciri Matan Hadits
4. Mengetahui Cara Memahami Matan Hadits
5. Mengetahui Manfaat Memahami Dan Mempelajari Matan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits

Seluruh umat Islam telah memahami bahwa Hadist Rasulullah SAW adalah pedoman


hidup yang utama setelah Al-Quran. Atau dengan kata lain hadist nabi merupakan sumber
ajaran Islam, di samping Al-Quran. Hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang
baru). Kata hadis juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.
Adapun secara khusus, hadits menurut istilah adalah segala bentuk perkataan,
perbuatan, sikap, sifat fisik dan akhlak yang berasal dari nabi Muhammad SAW yang
menjadi tumpuan umat Islam hingga saat ini. Ajaran agama Islam memiliki kitab suci Al-
Quran sebagai petunjuk hidup. Hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Quran.
Keberadaan hadits, menjadi pelengkap dan menyempurnakan supaya umat tidak
salah paham dalam memaknai setiap ayat atau ajaran agama. Saat umat mempertanyakan hal
baru dan belum terdapat di Al-Quran serta hadits, maka diambil dari Ijma'. Secara umum,
macam-macam hadist terbagi menjadi 3 yaitu hadist shahih, hadist hasan, dan hadist dhaif.
1. Hadits shahih
Kata shahih menurut bahasa berasal dari kata shahha, yashihhu, suhhan wa shihhatan
wa shahahan, yang menurut bahasa berarti yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah
dan yang benar. Para ulama biasa menyebut kata shahih sebagai lawan kata dari kata saqim
(sakit). Maka hadist shahih menurut bahasa berarti hadist yang sah, hadist yang sehat atau
hadist yang selamat.
a). Syarat-syarat hadits shahih. Menurut ta'rif muhadditsin, suatu hadist dapat dikatakan
shahih apabila telah memenuhi lima syarat:
1. Sanadnya bersambung. Tiap–tiap periwayatan dalam sanad hadist menerima
periwayat hadist dari periwayat terdekat sebelumnya. Keadaan ini berlangsung
demikian sampai akhir anad dari hadits itu.
2. Periwayatan bersifat adil. Periwayat adalah seorang muslim yang baligh, berakal
sehat, selalu memelihara perbutan taat dan menjauhkan diridari perbuatan-
perbuatan maksiat.
3. Periwayatan bersifat dhabit. Dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang
apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya kapan saja ia
menghendakinya.
4. Tidak janggal atau Syadz. Adalah hadist yang tidak bertentangan dengan hadist
lain yang sudah diketahui tinggi kualitas ke-shahih-annya.
5. Terhindar dari 'illat (cacat). Adalah hadits yang tidak memiliki cacat, yang
disebabkan adanya hal-hal yang tidak baik atau yang kelihatan samar-samar.

b). Pembagian Hadist Shahih


Terdapat macam-macam hadist shahih. Para ulama dan ahli hadist membaginya menjadi dua
macam yaitu:
1). Hadist Shahih Li-Dzatih
Adalah hadist shahih dengan sendirinya. Artinya hadist shahih yang memiliki lima syarat
atau kiteria sebagaimana disebutkan di atas atau “hadist yang melengkapi setinggi-tinggi
sifat yang mengharuskan kita menerimanya.” Dengan demikian penyebutan hadist shahih li-
dzatih dalam pemakaian sehari-hari cukup disebut dengan hadist shahih.
2). Hadist Shahih Li-Ghairih
Adalah hadist yang keshahihannya dibantu oleh keterangan lain. Hadist pada kategori ini
pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek ke-dhabitannya.Sehingga dianggap tidak
memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadist shahih.

2. Hadist Hasan
Menurut pendapat Ibnu Hajar, hadist hasan adalah hadist yang dinukilkan oleh orang
yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil.
Imam Tirmidzi mengartikan hadist hasan sebagai berikut: “Tiap-tiap hadist yang pada
sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta (pada matan-nya) tidak ada kejanggalan
(syadz) dan (hadist tersebut) diriwayatkan pula melalui jalan lain”.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa hadist hasan tidak memperlihatkan
kelemahan dalam sanadnya. Disamping itu, hadist hasan hampir sama dengan hadist shahih.
Perbedaannya hanya mengenai hafalan, di mana hadist hasan rawinya tidak kuat hafalannya.

a). Syarat-Syarat Hadist Hasan


Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suatu hadist yang dikategorikan sebagai
hadist hasan, yaitu:
1. Para perawinya yang adil,
2. Ke-Dhabith-an perawinya dibawah perawi Hadist shahih,
3. Sanad-sanadnya bersambung,
4. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz,
5. Tidak mengandung 'illat.
b). Pembagian Hadist Hasan
Terdapat macam-macam hadist hasan. Para ulama dan ahli hadist membaginya menjadi dua
macam yaitu:
1). Hadist Hasan Li-Dzatih
Adalah hadist hasan dengan sendirinya. Yakni hadist yang telah memenuhi persyaratan
hadist hasan yang lima. Menurut Ibn Ash-Shalah, pada hadist hasan Li-Dzatih para
perawinya terkenal kebaikannya, akan tetapi daya ingatannya atau daya kekuatan hafalan
belum sampai kepada derajat hafalan para perawi yang shahih.

2). Hadist Hasan Li-Ghairih


Adalah hadist yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur-tak nyata keahliannya,
bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikannya fasik
dan matan hadistnya adalah baik berdasarkan pernyataan yang semisal dan semakna dari
sesuatu segi yang lain.
Hadist Hasan Li-Ghairihi adalah hadist hasan yang bukan dengan sendirinya.
Artinya, hadist tersebut berkualitas hasan karena dibantu oleh keterangan hadist lain yang
sanadnya Hasan. Jadi Hadist yang pertama dapat terangkat derajatnya oleh keberadaan hadist
yang kedua.

3. Hadist Dhaif
Kata Dhaif menurut bahasa berarti lemah, sebagai lawan dari Qawiy yang kuat.
Sebagai lawan dari kata shahih, kata dhaif secara bahasa berarti hadist yang lemah, yang
sakit atau yang tidak kuat.
Secara terminologis, para ulama mendefinisikannya secara berbeda-beda. Akan tetapi
pada dasarnya mengandung maksud yang sama. Pendapat An-Nawawi mengenai hadist dhaif
adalah sebagai berikut: “Hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadist Shahih
dan syarat-syarat Hadist Hasan.”
Pembagian Hadist Dhaif:
1. Dhaif dari sudut sandaran matannya.
Dhaif dari sudut sandaran matannya terbagi mejadi dua yaitu: a) Hadist Mauquf, adalah
hadist yang diriwayatkan dari para sahabat berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya. b)
Hadist Maqhtu, adalah hadist yang diriwayatkan dari Tabi'in berupa perkataan, perbuatan
atau taqrirnya.

2. Dhaif dari sudut matannya.


Hadist Syadz adalah hadist yang diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah atau terpercaya,
akan tetapi kandungan hadistnya bertentangan dengan (kandungan hadist) yang diriwayatkan
oleh para perawi yang lebih kuat ketsiqahannya.

3. Dhaif dari salah satu sudutnya, baik sanad ataupun matan secara bergantian.
Yang dimaksud bergantian disini adalah ke-dhaifan tersebut kadang-kadang terjadi pada
sanad dan kadang-kadang pada matan, yang termasuk di dalamnya adalah: a) Hadist Maqlub,
adalah hadist yang mukhalafah (menyalahkan hadits lain), disebabkan mendahulukan dan
mengakhirkan. b) Hadist Mudraf, atau disisipkan. Secara terminologi, hadist mudraf adalah
hadist yang didalamnya terdapat sisipan atau tambahan. c) Hadist Mushahhaf, adalah hadist
yang terdapat perbedaan dengan hadist yang diriwayatkan oleh tsiqah, karena didalamnya
terdapat beberapa huruf yang diubah. Perubahan juga dapat terjadi pada lafadz atau pada
makna, sehingga maksud hadits menjadi jauh berbeda dari makna dan maksud semula.

4. Dhaif dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-sama.


Yang termasuk hadist dhaif dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-sama yaitu: a)
Hadist Maudhu, yang disanadkan dari Rasululah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal
beliau tidak mengatakan, melakukan dan menetapkan. b) Hadist Munkar, adalah yang hanya
diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadist yang
diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur.

5. Dhaif dari segi persambungan sanadnya.


Hadist-hadist yang termasuk dalam kategori Dhaif atau lemah dari sudut persambungan
sanadnya adalah Hadist Mursal, Hadist Mungqathi', hadist Mu'dhal, dan Hadist Mudallas.
6. Berhujjah dengan Hadits Dhaif.
Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadist dhaif bukan maudhu. Adapun hadist dhaif
bukan hadits maudhu', maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk
berhujjah. Dalam hal ini ada beberapa pendapat:
1. Melarang secara mutlak.
2. Membolehkan Ibnu Hajar Al-Asqalani, ulama hadist yang memperbolehkan berhujjah
dengan hadist dhaif untuk keutamaan amal memberikan 3 syarat:
a) Hadist dhaif itu tidak keterlaluan.
b) Dasar amal yang ditunjukan oleh hadist dhaif tersebut masih dibawah suatu dasar yang
dibenarkan oleh hadist yang dapat diamalkan (Shahih atau Hasan)
c) Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan bahwa hadist tersebut benar-benar
bersumber dari Nabi. Tetapi tujuannya ikhtiyath (hati-hati) belaka.

A. Bagian-Bagian Hadits
Bagian-bagian dari Hadist yaitu terdiri dari:
1. Sanad
Secara bahasa sanad berarti sandaran. Adapun secara istilah adalah rangkaian
para periwayat hadits yang menghubungkan sampai kepada redaksi hadits.
Atau bisa juga didefinisikan para periwayat hadits yang menukilkan
(menyampaikan) hadits kepada kita.

Dengan kata lain sanad adalah orang-orang yang meriwayatkan hadits dari
tingkatan sahabat hingga hadits itu sampai kepada kita.
Sebagai contoh:

‫ َأ َّن‬،‫ ع َْن َأبِي ِه‬،ِ ‫ ع َْن َسالِ ِم ْب ِن َع ْب ِد هَّللا‬،‫ب‬


ٍ ‫ َع ِن ا ْب ِن ِشهَا‬،‫س‬ٍ َ‫ك بْنُ َأن‬ُ ِ‫ َأ ْخبَ َرنَا َمال‬:‫ قَا َل‬، َ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ يُوسُف‬
ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ فَق‬،‫ َوهُ َو يَ ِعظُ َأخَ اهُ فِي ال َحيَا ِء‬،‫ار‬ ِ ‫ص‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم َّر َعلَى َرج ٍُل ِمنَ اَأل ْن‬
َ ِ ‫َرسُو َل هَّللا‬
‫ان‬ َ ‫ َد ْعهُ فَِإ َّن‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
ِ ‫الحيَا َء ِمنَ اِإل ي َم‬ َ

Abdullah bin Yusuf telah menceritakan hadits kepadaku (imam Bukhari), ia


berkata: Malik bin Anas mengabarkan padaku (Abdullah bin Yusuf), dari Ibnu
Syihab, dari Salim bin Abdullah, dari bapaknya, bahwa Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam melewati seorang lelaki dari anshar yang sedang
memberikan nasehat pada saudaranya tentang rasa mali

Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tinggalkanlah dia


karena sesungguhnya rasa malu merupakan bagian dari iman.”
(HR. Bukhari)

Dari contoh di atas yang disebut sanad adalah: Abdullah bin Yusuf, Malik bin
Anas, Ibnu Syihab, Salim bin Abdullah, dan bapaknya Salim (Abdullah bin
Umar).

Artinya Abdullah bin Umar mendapatkan hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Lalu hadits itu disampaikan kepada anaknya yakni Salim bin
Abdullah lalu kepada Ibnu Syihab lalu kepada Malik bin Anas lalu kepada
Abdullah bin Yusuf lalu kepada penulis hadits yakni imam Al-Bukhari.

Sanad berfungsi untuk mengetahui derajat kesahihan suatu hadits. Apabila ada
cacat dalam sanadnya baik itu karena kefasikannya, lemahnya hafalan,
tertuduh dusta atau selainnya maka hadits tersebut tidak dapat mencapai
derajat sahih.
2. Matan
Secara bahasa, matan berarti tanah yang keras dan tinggi. Sedangkan secara
istilah adalah kalimat setelah berakhirnya sanad suatu hadits. Dalam artian,
apabila rantai sanad telah disebutkan maka setelah itu adalah matannya. Atau
dengan kata lain, matan adalah redaksi hadits itu sendiri.

Berikut contoh matan dalam hadits yang dituliskan dalam kitab hadits shahih
Bukhari yang ditandai dengan cetak tebal :

‫ ع َْن َواقِ ِد‬،ُ‫ َح َّدثَنَا ُش ْعبَة‬:‫ قَا َل‬،َ‫ارة‬ ٍ ْ‫ َح َّدثَنَا َأبُو َرو‬:‫ قَا َل‬، ُّ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ ُم َح َّم ٍد ال ُم ْسنَ ِدي‬
َ ‫ح ال َح َر ِم ُّي بْنُ ُع َم‬
ْ‫ ُأ ِم ْرتُ َأن‬:‫ال‬ َ ِ ‫ َأ َّن َرسُو َل هَّللا‬،‫ َع ِن ا ْب ِن ُع َم َر‬،‫ِّث‬
َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ُ ‫ْت َأبِي يُ َحد‬ ُ ‫ َس ِمع‬:‫ قَا َل‬،‫ْب ِن ُم َح َّم ٍد‬
،َ‫ َويُْؤ تُوا ال َّز َكاة‬،َ‫صالَة‬َّ ‫ َويُقِي ُموا ال‬،ِ ‫سو ُل هَّللا‬ ُ ‫ َوَأنَّ ُم َح َّمدًا َر‬،ُ ‫ش َهدُوا َأنْ الَ ِإلَهَ ِإاَّل هَّللا‬ َ َّ‫ُأقَاتِ َل الن‬
ْ َ‫اس َحتَّى ي‬
ِ ‫سابُ ُه ْم َعلَى هَّللا‬
َ ‫ َو ِح‬،‫سالَ ِم‬ ِّ ‫ص ُموا ِمنِّي ِد َما َء ُه ْم َوَأ ْم َوالَ ُه ْم ِإاَّل بِ َح‬
ْ ‫ق اِإل‬ َ ‫فَِإ َذا فَ َعلُوا َذلِ َك َع‬
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Al Musnadi dia
berkata, Telah menceritakan kepada kami Abu Rauh Al Harami bin Umarah
berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Waqid bin Muhammad
berkata; aku mendengar bapakku menceritakan dari Ibnu Umar,

bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: "Aku


diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi; tidak ada
ilah kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah,
menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian
maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan
haq Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah” (HR. Bukhari)
3. Rawi

Rawi adalah penyampai hadits atau periwayat hadits, baik itu ia meriwayatkan
melalui lisan maupun tulisan yang ia dengar langsung dari gurunya.

Rawi merupakan orang yang memindahkan hadits dari seorang guru kepada
orang lain atau membukukannya ke dalam suatu kitab hadis. Rawi pertama
adalah para sahabat dan rawi terakhir adalah orang yang membukukannya,
seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad dan lain-lain.

Suatu Hadits yang telah sampai kepada kita dalam bentuknya yang sudah
ditadwin atau terkodifikasikan (terbukukan) dalam buku-buku Hadis, melalui
beberapa rawi dan sanad. Rawi terakhir hadits yang termaksud dalam sahih
Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah Imam Bukhari atau Imam Muslim.
Seorang penyusun atau pengarang, bila hendak menguatkan suatu hadits yang
ditakhrijkan dari suatu kitab hadits, pada umumnya membubuhkan nama rawi
(terakhirnya) pada akhir matan hadisnya

Berikut ini contoh rawi atau periwayat hadits dari beberapa tingkatan :
Periwayat hadits dari tingkatan sahabat: Abu Hurairah, Aisyah, Anas bin
Malik dll.
Periwayat hadits dari tingkatan tabiin: Umayyah bin Abdullah bin Khalid,
Sa’id bin Al-Musayyab, dll.
Periwayat hadits dari tingkatan mudawwin: Imam Bukhari, Imam Muslim,
Imam An-Nasa’iy, Imam Ahmad, dll

B. Ciri-Ciri Matan

Matan secara terminologis adalah redaksi hadits yang menjadi unsur pendukung
pengertiannya. Penamaan seperti itu barangkali didasarkan pada alasan bahwa bagian itulah
yang tampak dan yang menjadi sasaran utama hadits. Jadi penamaan itu diambil dari
pengertian etimologisnya. Adapun yang disebut matan dalam ilmu hadist adalah perkataan
yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW.

Yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya. Dengan kata lain, matan adalah redaksi
dari hadist. Terkait dengan matan atau redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami hadist
adalah:

1. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau
bukan,
2. Matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat
dengan hadist lain yang lebih kuat sanad-nya ( apakah ada yang melemahkan atau
yang menguatkan ) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al-quran ( apakah ada yang
bertolak belakang )

A. Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Kandungan Matan

Yang dimaksud dengan “kandungan matan” di sini adalah teks yang terdapat di dalam
matan suatu Hadits mengenai suatu peristiwa, atau pernyataan, yang disandarkan kepada
Rasul SAW. Atau, tegasnya, kandungan matan adalah redaksi dari matan suatu Hadits.

Penyebab utama terjadinya perbedaan kandungan matan suatu Hadits adalah karena
adanya periwayatan Hadits secara makna (riwayat bi al-ma’na), yang telah berlangsung sejak
masa Sahabat, meskipun di kalangan para Sahabat sendiri terdapat kontroversi pendapat
mengenai periwayatan secara makna tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan
diuraikan mengenai penyebab utama terjadinya perbedaan kandungan matan Hadits tersebut.

B. Periwayatan Hadits Secara Makna

Sering dijumpai di dalam kitab-kitab Hadits perbedaan redaksi dari matan suatu
Hadits mengenai satu masalah yang sama. Hal ini tidak lain adalah karena terjadinya
periwayatan Hadits yang dilakukan secara maknanya saja (riwayat bi al-ma’na), bukan
berdasarkan redaksi yang sama sebagaimana yang diucapkan oleh Rasulullah SAW.

Jadi, periwayatan Hadits yang dilakukan secara makna, adalah penyebab terjadinya
perbedaan kandungan atau redaksi matan dari suatu Hadits.

C. Beberapa Ketentuan dalam Periwayatan Hadits Secara Makna

Para Ulama berbeda pendapat mengenai apakah selain Sahabat boleh meriwayatkan
Hadits secara makna, atau tidak boleh. Abu Bakar ibn al-‘Arabi (w. 573 H/ 1148 M)
berpendapat bahwa selain Sahabat Nabi SAW tidak diperkenankan meriwayatkan Hadits
secara makna.

Alasan yang dikemukakan oleh Ibn al-‘Arabi adalah: pertama, Sahabat memiliki
pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (al-fashahah tua al-balaghah), dan kedua, Sahabat
menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan Nabi SAW.

D. Perbedaan kandungan matan hadits

Periwayatan matan hadits dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1. Riwayat bi al-lafdzi, adalah menyampaikan kembali kata-kata Nabi dengan redaksi


kalimat yang sama dengan apa yang disabdakan Nabi. Dengan periwayatan ini, maka
tidak ada perbedaan antara perawi satu dengan perawi lainnya dalam menyampaikan
hadits Nabi.
2. Riwayat bi al-ma’na, periwayatan dengan makna yang terkandung dalam hadits
namun redaksinya berbeda dengan yang diucapkan Nabi.
Cara kedua inilah yang menyebabkan timbulnya perbedaan kandungan matan hadits.
Banyak sekali hadits yang ada di dalam kitab-kitab karya para perawi yang ditulis
dengan redaksi yang sedikit banyak berbeda redaksi kalimatnya, meskipun makna
yang dikandung sama.

Periwayatan ini telah terjadi sejak masa shahabat karena mereka tidak mencatat hadits pada
saat mereka bersama Nabi SAW, juga tidak menghafal kata per kata Nabi, maka mereka
menyampaikan dari apa yang mereka ingat saja.
Semua ulama hadits sepakat untuk menerima riwayat para shahabat meskipun berbeda-beda
redaksi, alasannya adalah para shahabat memiliki pengetahuan bahasa yang tinggi dan para
shahabat menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan Nabi. Mayoritas ulama hadits juga
membolehkan periwayatan bi al-ma’na yang dilakukan oleh para perawi selain shahabat
dengan ketentuan:

1. mengetahui pengetahuan bahasa arab yang mendalam


2. dilakukan karena terpaksa
3. yang diriwayatkan bi al-ma’na bukan bacaan-bacaan bersifat ta’abbudi
4. periwayatan bi al-ma’na sepatutnyaau nahwa hadza,atau yang semakna dengannya,
setelah menyebut matan hadits
5. kebolehan ini hanya berlaku sebelum masa pembukuan hadits secara resmi.
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam memahami
hadist ialah ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi
Muhammad atau bukan, Matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist
lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan
selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang)
E. Ciri Matan Berdasarkan Jenis Hadis

Ciri matan berdasarkan jenis hadis ada 3 yakni:

1. Hadist qauli berkaitan dengan perkataan nabi,


2. Hadist fi'li berkaitan dengan perbuatan nabi,
3. Hadist taqririyah pernyataan atau persetujuan nabi terhadap suatu perbuatan yg
dilakukan sahabat atau seseorang dihadapan beliau,atau perbuatan ditempat lain yg di
laporkan kpd beliau,lalu beliau diam. diamnya nabi menandakan persejutuan sebab
kalau nabi tidak setuju dia akan menolak atau melarangnya.

F. Cara/Prinsip Memahami Matan


G. Manfaat Memahami Matan
H. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

https://m.merdeka.com/jatim/mengenal-macam-macam-hadist-dan-pengertiannya-dalam-
agama-islam-kln.html?page=3

https://m.merdeka.com/trending/pengertian-hadis-beserta-syarat-dan-unsurnya-wajib-
diketahui-umat-islam.html

https://osf.io/2tpnj/download/?format=pdf#:~:text=Menurut%20ahli%20Hadis%20ialah
%20%E2%80%9Cseluruh,%2C%20perbatan%2C%20maupun%20ketetapannya
%E2%80%9D.

https://www.nasehatquran.com/2019/08/pengertian-sanad-matan-dan-rawi.html

https://passinggrade.co.id/pengertian-matan/

Anda mungkin juga menyukai