Dosen pengampu :
Ditulis oleh :
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Prinsip Dalam Memahami Matan
Hadist ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada
mata kuliahAl Qur’an Hadist. Selain itu, makalah ini juga bertujuan menambah wawasan
tentang Prinsip dalam Memahami Matan Hadits bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
selaku dosen mata kuliah Al Qur’an Hadist yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
pengetahuan dan wawasan sesuai bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
Sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun nanti akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah bisa memberikan manfaat maupun
inspirasi untuk pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ..........................................................................................................
B. Saran ....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber ajaran dalam pedoman hidup umat Islam, yang
tentunya sudah tidak diragukan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sebagai petunjuk hidup
manusia al-Qur’an masih bersifat umum. Oleh karena itu untukmengaplikasikan al-quran
dalam kehidupan sehari-hari, sangat membutuhkan penjelasan-penjelasan berupa perkataan,
perbuatan dan ketetapan dari Rasullulah saw. Dengan demikian, hadits merupakan langkah
awal yang perlu dipahami juga. Akan tetapi dari periode para sahabat sampai saat ini masih
banyak hadits palsu atau dha’if bermunculan dan menyebar dimasyarakat, sehingga banyak
sekali kekeliruan dari pemahaman yang tidak sinkron dengan al-Qur’an dan tolak ukur
lainnya. Oleh sebab itu setiap muslim sangat dianjurkan untuk memilah-milah hadits yang
akan digunakan sebagai sumber ajaran. Mengingat hal tersebut, maka sangat diperlukan
sebuah penilaian yang mendalam.
Penilaian tersebut sangat diperlukan sebab hadits yangtelah datang kepada kami itu
menempuh perjalanan proses periwayatan berjenjang lama, yang diberikan secara turun
menurun pada generasi selanjutnya yang boleh jadi didalamnya terdapat komponen-
komponen, baik itu sosial ataupun budaya yang mana generasi si pembawa hadits itu masih
bernyawa.
Dalam khazanah penelitian hadits, sanad dan matan adalah dua perangkat yang
memiliki peran urgent untuk pembentukan bangunan hadits. Matan hadits dalam tradisi
penguraiannya menggambarkan berkenaan dengan hadits marfu’ yaitu sesuatu yang hadir dan
disandarkan kepada Rasulullah saw atau hadits mauquf yaitu narasumber sahabat atau tabi’in
yaitu hadits maqtu’ yang berkomposisi dengan pembukaan matan berbentuk cerita (sabab al-
wurud hadits) dan susunan sanad-nya. Kebenaran sesuatu hadits tidak bisa dipastikan hanya
dengan kebenaran sanad-nya saja, melainkan matan-nya pun juga harus dilakukan penelitian
agar supaya bisa menentukan apakah suatu hadits tersebut tidak mengalami illat atau tidak
mengalami syadz. Oleh karena itu penelitian terhadap matan menjadi sesuatu yang tidak
dapat untuk dipisahkan dari pembelajaran kontekstual dan tekstual tentang hadits. Dan
dengan demikian pula sangat diperlukan sebuah prinsip dalam memahami matan hadits untuk
melakukan sebagai upaya untuk memilah matan yang benar dari yang salah.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Hadist
2. Unsur Dan Bagian Hadits
3. Ciri Matan Hadits
4. Cara Memahami Matan Hadits
5. Manfaat Memahami Dan Mempelajari Matan
C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Hadist
2. Mengetahui Unsur Dan Bagian Hadits
3. Mengetahui Ciri Matan Hadits
4. Mengetahui Cara Memahami Matan Hadits
5. Mengetahui Manfaat Memahami Dan Mempelajari Matan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits
2. Hadist Hasan
Menurut pendapat Ibnu Hajar, hadist hasan adalah hadist yang dinukilkan oleh orang
yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil.
Imam Tirmidzi mengartikan hadist hasan sebagai berikut: “Tiap-tiap hadist yang pada
sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta (pada matan-nya) tidak ada kejanggalan
(syadz) dan (hadist tersebut) diriwayatkan pula melalui jalan lain”.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa hadist hasan tidak memperlihatkan
kelemahan dalam sanadnya. Disamping itu, hadist hasan hampir sama dengan hadist shahih.
Perbedaannya hanya mengenai hafalan, di mana hadist hasan rawinya tidak kuat hafalannya.
3. Hadist Dhaif
Kata Dhaif menurut bahasa berarti lemah, sebagai lawan dari Qawiy yang kuat.
Sebagai lawan dari kata shahih, kata dhaif secara bahasa berarti hadist yang lemah, yang
sakit atau yang tidak kuat.
Secara terminologis, para ulama mendefinisikannya secara berbeda-beda. Akan tetapi
pada dasarnya mengandung maksud yang sama. Pendapat An-Nawawi mengenai hadist dhaif
adalah sebagai berikut: “Hadist yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat Hadist Shahih
dan syarat-syarat Hadist Hasan.”
Pembagian Hadist Dhaif:
1. Dhaif dari sudut sandaran matannya.
Dhaif dari sudut sandaran matannya terbagi mejadi dua yaitu: a) Hadist Mauquf, adalah
hadist yang diriwayatkan dari para sahabat berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya. b)
Hadist Maqhtu, adalah hadist yang diriwayatkan dari Tabi'in berupa perkataan, perbuatan
atau taqrirnya.
3. Dhaif dari salah satu sudutnya, baik sanad ataupun matan secara bergantian.
Yang dimaksud bergantian disini adalah ke-dhaifan tersebut kadang-kadang terjadi pada
sanad dan kadang-kadang pada matan, yang termasuk di dalamnya adalah: a) Hadist Maqlub,
adalah hadist yang mukhalafah (menyalahkan hadits lain), disebabkan mendahulukan dan
mengakhirkan. b) Hadist Mudraf, atau disisipkan. Secara terminologi, hadist mudraf adalah
hadist yang didalamnya terdapat sisipan atau tambahan. c) Hadist Mushahhaf, adalah hadist
yang terdapat perbedaan dengan hadist yang diriwayatkan oleh tsiqah, karena didalamnya
terdapat beberapa huruf yang diubah. Perubahan juga dapat terjadi pada lafadz atau pada
makna, sehingga maksud hadits menjadi jauh berbeda dari makna dan maksud semula.
A. Bagian-Bagian Hadits
Bagian-bagian dari Hadist yaitu terdiri dari:
1. Sanad
Secara bahasa sanad berarti sandaran. Adapun secara istilah adalah rangkaian
para periwayat hadits yang menghubungkan sampai kepada redaksi hadits.
Atau bisa juga didefinisikan para periwayat hadits yang menukilkan
(menyampaikan) hadits kepada kita.
Dengan kata lain sanad adalah orang-orang yang meriwayatkan hadits dari
tingkatan sahabat hingga hadits itu sampai kepada kita.
Sebagai contoh:
Dari contoh di atas yang disebut sanad adalah: Abdullah bin Yusuf, Malik bin
Anas, Ibnu Syihab, Salim bin Abdullah, dan bapaknya Salim (Abdullah bin
Umar).
Artinya Abdullah bin Umar mendapatkan hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Lalu hadits itu disampaikan kepada anaknya yakni Salim bin
Abdullah lalu kepada Ibnu Syihab lalu kepada Malik bin Anas lalu kepada
Abdullah bin Yusuf lalu kepada penulis hadits yakni imam Al-Bukhari.
Sanad berfungsi untuk mengetahui derajat kesahihan suatu hadits. Apabila ada
cacat dalam sanadnya baik itu karena kefasikannya, lemahnya hafalan,
tertuduh dusta atau selainnya maka hadits tersebut tidak dapat mencapai
derajat sahih.
2. Matan
Secara bahasa, matan berarti tanah yang keras dan tinggi. Sedangkan secara
istilah adalah kalimat setelah berakhirnya sanad suatu hadits. Dalam artian,
apabila rantai sanad telah disebutkan maka setelah itu adalah matannya. Atau
dengan kata lain, matan adalah redaksi hadits itu sendiri.
Berikut contoh matan dalam hadits yang dituliskan dalam kitab hadits shahih
Bukhari yang ditandai dengan cetak tebal :
ع َْن َواقِ ِد،ُ َح َّدثَنَا ُش ْعبَة: قَا َل،َارة ٍ ْ َح َّدثَنَا َأبُو َرو: قَا َل، َُّح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ ُم َح َّم ٍد ال ُم ْسنَ ِدي
َ ح ال َح َر ِم ُّي بْنُ ُع َم
ْ ُأ ِم ْرتُ َأن:ال َ ِ َأ َّن َرسُو َل هَّللا، َع ِن ا ْب ِن ُع َم َر،ِّث
َ َصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق ُ ْت َأبِي يُ َحد ُ َس ِمع: قَا َل،ْب ِن ُم َح َّم ٍد
،َ َويُْؤ تُوا ال َّز َكاة،َصالَةَّ َويُقِي ُموا ال،ِ سو ُل هَّللا ُ َوَأنَّ ُم َح َّمدًا َر،ُ ش َهدُوا َأنْ الَ ِإلَهَ ِإاَّل هَّللا َ َُّأقَاتِ َل الن
ْ َاس َحتَّى ي
ِ سابُ ُه ْم َعلَى هَّللا
َ َو ِح،سالَ ِم ِّ ص ُموا ِمنِّي ِد َما َء ُه ْم َوَأ ْم َوالَ ُه ْم ِإاَّل بِ َح
ْ ق اِإل َ فَِإ َذا فَ َعلُوا َذلِ َك َع
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Al Musnadi dia
berkata, Telah menceritakan kepada kami Abu Rauh Al Harami bin Umarah
berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Waqid bin Muhammad
berkata; aku mendengar bapakku menceritakan dari Ibnu Umar,
Rawi adalah penyampai hadits atau periwayat hadits, baik itu ia meriwayatkan
melalui lisan maupun tulisan yang ia dengar langsung dari gurunya.
Rawi merupakan orang yang memindahkan hadits dari seorang guru kepada
orang lain atau membukukannya ke dalam suatu kitab hadis. Rawi pertama
adalah para sahabat dan rawi terakhir adalah orang yang membukukannya,
seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad dan lain-lain.
Suatu Hadits yang telah sampai kepada kita dalam bentuknya yang sudah
ditadwin atau terkodifikasikan (terbukukan) dalam buku-buku Hadis, melalui
beberapa rawi dan sanad. Rawi terakhir hadits yang termaksud dalam sahih
Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah Imam Bukhari atau Imam Muslim.
Seorang penyusun atau pengarang, bila hendak menguatkan suatu hadits yang
ditakhrijkan dari suatu kitab hadits, pada umumnya membubuhkan nama rawi
(terakhirnya) pada akhir matan hadisnya
Berikut ini contoh rawi atau periwayat hadits dari beberapa tingkatan :
Periwayat hadits dari tingkatan sahabat: Abu Hurairah, Aisyah, Anas bin
Malik dll.
Periwayat hadits dari tingkatan tabiin: Umayyah bin Abdullah bin Khalid,
Sa’id bin Al-Musayyab, dll.
Periwayat hadits dari tingkatan mudawwin: Imam Bukhari, Imam Muslim,
Imam An-Nasa’iy, Imam Ahmad, dll
B. Ciri-Ciri Matan
Matan secara terminologis adalah redaksi hadits yang menjadi unsur pendukung
pengertiannya. Penamaan seperti itu barangkali didasarkan pada alasan bahwa bagian itulah
yang tampak dan yang menjadi sasaran utama hadits. Jadi penamaan itu diambil dari
pengertian etimologisnya. Adapun yang disebut matan dalam ilmu hadist adalah perkataan
yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW.
Yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya. Dengan kata lain, matan adalah redaksi
dari hadist. Terkait dengan matan atau redaksi, yang perlu dicermati dalam memahami hadist
adalah:
1. Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau
bukan,
2. Matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat
dengan hadist lain yang lebih kuat sanad-nya ( apakah ada yang melemahkan atau
yang menguatkan ) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al-quran ( apakah ada yang
bertolak belakang )
Yang dimaksud dengan “kandungan matan” di sini adalah teks yang terdapat di dalam
matan suatu Hadits mengenai suatu peristiwa, atau pernyataan, yang disandarkan kepada
Rasul SAW. Atau, tegasnya, kandungan matan adalah redaksi dari matan suatu Hadits.
Penyebab utama terjadinya perbedaan kandungan matan suatu Hadits adalah karena
adanya periwayatan Hadits secara makna (riwayat bi al-ma’na), yang telah berlangsung sejak
masa Sahabat, meskipun di kalangan para Sahabat sendiri terdapat kontroversi pendapat
mengenai periwayatan secara makna tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan
diuraikan mengenai penyebab utama terjadinya perbedaan kandungan matan Hadits tersebut.
Sering dijumpai di dalam kitab-kitab Hadits perbedaan redaksi dari matan suatu
Hadits mengenai satu masalah yang sama. Hal ini tidak lain adalah karena terjadinya
periwayatan Hadits yang dilakukan secara maknanya saja (riwayat bi al-ma’na), bukan
berdasarkan redaksi yang sama sebagaimana yang diucapkan oleh Rasulullah SAW.
Jadi, periwayatan Hadits yang dilakukan secara makna, adalah penyebab terjadinya
perbedaan kandungan atau redaksi matan dari suatu Hadits.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai apakah selain Sahabat boleh meriwayatkan
Hadits secara makna, atau tidak boleh. Abu Bakar ibn al-‘Arabi (w. 573 H/ 1148 M)
berpendapat bahwa selain Sahabat Nabi SAW tidak diperkenankan meriwayatkan Hadits
secara makna.
Alasan yang dikemukakan oleh Ibn al-‘Arabi adalah: pertama, Sahabat memiliki
pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (al-fashahah tua al-balaghah), dan kedua, Sahabat
menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan Nabi SAW.
Periwayatan ini telah terjadi sejak masa shahabat karena mereka tidak mencatat hadits pada
saat mereka bersama Nabi SAW, juga tidak menghafal kata per kata Nabi, maka mereka
menyampaikan dari apa yang mereka ingat saja.
Semua ulama hadits sepakat untuk menerima riwayat para shahabat meskipun berbeda-beda
redaksi, alasannya adalah para shahabat memiliki pengetahuan bahasa yang tinggi dan para
shahabat menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan Nabi. Mayoritas ulama hadits juga
membolehkan periwayatan bi al-ma’na yang dilakukan oleh para perawi selain shahabat
dengan ketentuan:
https://m.merdeka.com/jatim/mengenal-macam-macam-hadist-dan-pengertiannya-dalam-
agama-islam-kln.html?page=3
https://m.merdeka.com/trending/pengertian-hadis-beserta-syarat-dan-unsurnya-wajib-
diketahui-umat-islam.html
https://osf.io/2tpnj/download/?format=pdf#:~:text=Menurut%20ahli%20Hadis%20ialah
%20%E2%80%9Cseluruh,%2C%20perbatan%2C%20maupun%20ketetapannya
%E2%80%9D.
https://www.nasehatquran.com/2019/08/pengertian-sanad-matan-dan-rawi.html
https://passinggrade.co.id/pengertian-matan/