Anda di halaman 1dari 9

Nama : Muhammad Farhan Pratama

Nim: 11211120000081
Kelas: 2C

KOALISI PARTAI

A. Pembahasan

Koalisi merupakan suatu pengkelompokan dari para aktor yang berada dalam
politik untuk melakukan suatu pesaingan yang dibawa bersama baik melalui suatu
presepsi ancaman bersama (Heywood,2000:194). Berbicara mengenai koalisi partai
politik tentu erat kaitannya dengan kepentingan didirikan partai politik. Meraih dan
mempertahankan kekuasaan menjadi ciri khas dari pembuatan partai politik. Oleh
karenanya usaha dalam memperebutkan kekuasaan salah satunya dengan cara
berkoalisi. Dengan redaksi tersebut dapat digambarkan bahwa koalisi merupakan
kolaborasi antar partai politik (dua atau lebih) menjadi satu dengan satu tujuan yang
sama. Berdasarkan pengertian koalisi itu sendiri dapat dipahami melalui Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) yang menjelaskan bahwa “koalisi adalah kerja sama antara
beberapa partai politik untuk memperoleh kelebihan suara dalam parlemen”. Kerja
sama merupakan kata kunci yang bisa diambil dari pengertian itu.

Dapat disimpulkan menurut Sigit (2011) menjelaskan bahwa koalisi partai politik
merupakan suatu pengelompokan para pelaku politik pesaing dengan tujuan dibawa
bersama yang berdasarkan persepsi ancaman bersama, dengan kata lain pengakuan
atas tujuan mereka itu tidak tercapai dengan bekerja secara terpisah (h.77). Dalam hal
ini juga Haniah dan Suryani (2011) menjelaskan “perolehan suara secara mayoritas
atau dominan oleh salah satu partai politik yang ada pada pemilihan umum dengan
total suara yang tidak lebih dari 50% bagi salah satu partai yang mengaskan perlu
adanya sebuah koalisi untuk menjalankan pemerintahan”(h. 175). Koalisi ini dapat
juga ditujukan untuk membangun dan menciptakan kebersamaan dalam menjalankan
sebuah pemerintahan.

Berdasarkan pendapat lain yaitu pendapat Syamsuddin (2016): konsep koalisi yang
lazimnya merujuk kepada persekutuan dua partai atau lebih yang didasarkan pada
kepentingan politik dan platform haluan politik yang sama Pemerintahan koalisi
(coalition government) adalah suatu pemerintahan yang dibentuk oleh lebih dari satu
partai politik. Pemerintahan koalisi umumnya adalah pemerintahan yang isinya
merupakan gabungan partai-partai di dalam sistem parlementer yang berbasis
multipartai Namun, konsep koalisi pemerintahan atau yang biasa disebut government
coalition merujuk pada pemerintahan yang didukung oleh lebih dari satu partai pada
konteks sistem presidensial. (h. 3)
Menurut Heywood, koalisi dibagi menjadi 4 bagian dalam koalisi
partai yaitu:
1. Koalisi elektoral ialah merupakan gabungan dari partai politik yang setuju untuk
tidak bersaing melawan satu sama lain. Hal ini bertujuan atas dasar pandangan
dalam memaksimalkan representasi secara bersama.
2. Koalisi legislatif ialah merupakan kerjasama atau kesepakatan yang dilakukan
oleh dua partai atau bahkan lebih dalam medukung sebuah hal yang berkaitan
dengan legislasi seperti halnya undang-undang.
3. Koalisi pemerintahan, “yaitu kesepakatan formal di antara dua atau lebih partai
yang melibatkan distribusi lintas partai portofolio menteri.”
4. Koalisi besar atau pemerintahan nasional merupakan sebuah koalisi atau
kesepakatan yang dibentuk atas isu permasalahan nasional dan bahaya ekonomi
yang menyangkut negara. Hal ini ditujuan demi kepentingan rakyat bersama.
Pelaku yang melakukan koalisi ini ialah partai-partai utama. (Sigit 2011: 78).

Penyebab Koalisi Partai Politik

Setelah kita mengetahui pembagian koalisi dalam partai politik, kita juga diharuskan
mengetahui mengapa partai politik melakukan koalisi. Dalam hal ini ada sebuah
perspektif dalam teori pilihan-rasional yang menjelaskan penyebab partai politik
melakukan koalisi. Penyebabnya ada pada dua pendekatan umum yang disebut
dengan office-seeking dan policy-seeking.

Riker berpendapat bahwa dalam teori office-seeking dijelaskan partai politik


berkoalisi didasari atas kepentingan untuk menguasai eksekutif dan legislatif.
Sedangkan dalam teori policy-seeking yang dikemukakan oleh Axelroad ialah “partai
politik memang memiliki tujuan untuk memperoleh kekuasaan akan tetapi dalam
derajat tertentu juga harus mempertimbangkan tujuan yang lebiih esensial yaitu
tercapainya cita-cita yang lebih ideal dalam bentuk kebijaksanaan” (Widya 2016:
183-184).

Sumber Daya Koalisi


Studi paling klasik tentang koalisi menempatkan besaran kekuatan partai
sebagai sumber daya penentu terbentuknya koalisi partai. Theodore Caplow dalam “A
Theory of Coalition in The Trial” membuat simulasi kemungkinan koalisi dari tiga
kekuatan (triad) yang berbeda. Kemungkinan koalisi dari triad dibangun atas sejumlah
asumsi berikut:

1.Anggota triad mungkin berbeda kekuatannya. Anggota yang lebih kuat dapat
mengontrol anggota yang lebih lemah dan akan berusaha melakukannya.
2.Setiap anggota triad mencari kontrol atas anggota yang lain. Kontrol atas dua yang
lain lebih disukai daripada mengontrol satu lainnya. Kontrol atas satu yang lain dipilih
daripada tidak ada yang dikontrol. Setidaknya dalam sumber daya ini setiap bagian
harus mengontrol anggota-anggotanya. Minimal ada satu anggota yang dikontrol,
tetapi lebih dari satu itu lebih baik.
3.Kekuatan adalah bertambah. Kekuatan koalisi adalah setara dengan jumlah
kekuatan dari dua anggota.
4.Formasi koalisi berlangsung dalam situasi triadik, dengan demikian ada suatu
kondisi pra-koalisi di setiap triad. Setiap upaya yang dilakukan oleh anggota yang
lebih kuat untuk memaksa anggota yang lebih lemah ke dalam penggabungan koalisi
yang tidak menguntungkan akan memprovokasi pembentukan koalisi yang
menguntungkan untuk menentang paksaan.

Berdasarkan asumsi tersebut suatu triad akan melahirkan enam tipe koalisi. Berikut
merupakan tipe-tipe yang dihasilkan oleh triad diantaranya:
1. Tipe 1: Ketiga anggota memiliki kekatan yang sama. Simulasi yang bisa
digambarkan ialah seperti ini (A=B=C). Dalam praktiknya koalisi yang seperti ini
sangat jarang dikarenakan pada masa sekarang seluruh partai sudah memiliki
kekuatan yang berbeda-beda. Intinya pasti selalu ada partai yang mendominasi walau
hanya 1%.
2. Tipe 2: Kekuatan dari salah satu anggota lebih kuat daripada dua lainnya (A>B,
B=C, A< [B+C]). Analoginya dapat disimpulkan bahwa apabila A berkoalisi dengan
B maka akan terjadi stratifikasi dalam berkoalisi tentunya A lebih dominan daripada
B. Sedangkan apabila B berkoalisi dengan C maka mereka memiliki kedudukan yang
seimbang dan stabil. Kekuatan yang dimiliki atas hasil koalisi B dan C itu lebih besar
dibandingkan dengan kekuatan A sendiri.
3. Tipe 3: Dua anggota triad adalah sama dalam kekuatan (A<B, B=C). Dalam hal ini
B dan C memiliki kekuatan yang sama, sedangkan A memiliki kekuatan yang lebih
rendah dari B dan C.
4. Tipe 4:Kekuatan salah satu anggota melebihi kekuatan gabungan dua anggota
lainnya (A>[B+C]). Dalam hal ini kekuattan A memiliki kekuatan yang paling besar.
Meskipun B dan C sudah melakukan koalisi, tetapi kekuatan A masih belum bisa
ditandingi.
5. Tipe 5: Tidak ada anggota triad dengan kekuatan sama atau setara tetapi gabungan
dari dua (A> anggota lainnya dapat melebihi salah satu kekuatan anggota yang
terbesar (B> (A>B>C, A< [B+C]).
6. Tipe 6: Tidak ada anggota triad dengan kekuatan sama dan gabungan dari dua
anggota (A> lainnya tidak dapat melebihi kekuatan salah satu anggota yang
terbesar (B> (A>B>C, A> [B+C]).

Sementara itu Gamson menyebutkan empat argumen teoritikal bagi terbentuknya


sebuah koalisi. Secara umum argumen itu mengatakan bahwa terbentuknya koalisi
tidak semata-mata dibangun atas kalkulasi sumberdaya, melainkan ada dimensi-
dimensi lain yang mendorong terbentuknya koalisi. Ada empat argumen teoritik yang
menjadi dasar terbentuknya koalisi. Empat argumen itu adalah sebagai berikut:

“1. Teori Sumber daya-Minimum (Minimum-Resource Theory). Teori ini


menekankan sumberdaya yang dibawa pemain koalisi. Diasumsikan pemain
memaksimalkan pembagian keuntungan berdasarkan norma persamaan, yaitu
pembagian keuntungan sama dengan besaran sumberdaya yang dibawa oleh pemain.
2. Teori Kekuatan Minimum (Minimum-Power Theory). Teori ini menekankan pada
perbandingan kekuatan relatif pemain daripada distribusi sumberdaya yang dimiliki.
3. Teori Anti Kompetisi (Anticompetitive Theory). Dinyatakan bahwa sikap tentang
kompetisi dan tawar menawar, perbedaan personalitas, dan faktor-faktor lainnya akan
memimpin pemain-pemain untuk membentuk koalisi yang lebih besar daripada
koalisi ukuran minimum.
4. Sama sekali membingungkan / Pilihan Acak (Utter confusion / Random Choice).
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa banyak situasi koalisi yang tidak kondusif
untuk dianalisis dan dihitung secara rasional”. (Sigit 2011: 78-81)
Motif Koalisi
Jumlah partai mempengaruhi tujuan koalisi dan masing-masing aktor koalisi
memiliki tujuan khusus. Hinckley, melalui simulasi tiga aktor dengan distribusi
sumberdaya yang berbeda, menyebutkan tiga motif dalam sebuah koalisi.
Diasumsikan aktor-aktor koalisi adalah A, B, dan C, dengan sumberdaya yang
dimiliki adalah A lebih besar daripada B, dan B lebih besar daripada C, tetapi
penggabungan B dan C lebih besar daripada A (A>B>C, A<B+C). Berdasarkan
simulasi itu, tujuan dari koalisi di antara ketiga aktor itu adalah:
1. Mencari efisiensi biaya untuk keuntungan koalisi dengan bergabung dalam koalisi
kekuatan minimum.
2. Menjadi pemegang kontrol dalam koalisi dengan bekerjasama atau bergabung
dengan partner terlemah.
3. Mengamankan diri dari beberapa situasi, yaitu berkoalisi dengan pemegang
sumberdaya terbesar.

Debus menyebutkan bahwa partai secara tipikal memiliki satu dari dua motif dalam
berkoalisi, yaitu: berorientasi pada kekuasaan (office-oriented approaches) atau
berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approaches). Pendekatan orientasi pada
kekuasaan mengasumsikan bahwa partai semata-mata menaruh perhatian terhadap
kekuasaan, dan oleh karena itu mempertimbangkan kekuatan kursi partai politik
dalam parlemen. Pendekatan orientasi kebijakan mengasumsikan bahwa partai sangat
menaruh perhatian terhadap kebijakan, apapun rasionalitasnya, dan kemudian
mengambil posisi programatik partai dalam satu atau lebih dimensi kebijakan sebagai
bahan pertimbangan untuk melakukan koalisi. (Sigit 2011: 84)

Sementara itu dalam sistem banyak partai yang tidak memerlukan koalisi jika salah
satu partai memiliki suara mayoritas yang mutlak. Meskipun demikian, ada beberapa
kasus bahwa partai pemenang memilih berkoalisi dengan partai lainnya untuk berbagi
tanggung jawab kekuasaan, sebab koalisi dalam sistem multi partai memperkuat
posisi partai di parlemen. Koalisi berfungsi memaksimalkan keuntungan,
menginginkan satu hal, beberapa aktor menganggap kemenangan lebih berarti dari
pada yang lainnya dan ketika tidak menguntungkan ia keluar.
“Abraham De Swaan mengajukan teori koalisi yang berorientasi pada kebijakan yang
menekankan betapa pentingnya ideologi partai dalam pemberntukan koalisi.
Mendapatkan kekuasaan di pemerintahan bukanlah tujuan akhir dari politisi partai,
namun merupakan sarana untuk menjalankan program ideologis dan menerapkan
kebijakan yang didasarkan pada ideologi. Sehingga ini memungkinkan bagi partai-
partai yang memiliki ideologi kurang lebih sama untuk melakukan koalisi”. (Ekawati
2015: 20)

Teori ini berbeda dengan Katz dan Mair yang menyatakan bahwa semua partai besar
memiliki kepentingan yang sama, yakni memelihara kelangsungan hidup kolektif
mereka dan inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan partai kartel. Kartelisasi
didefinisikan sebagai situasi dimana partai-partai politik secara kolektif mengabaikan
komitmen ideologis atau progmatis mereka demi kelangsungan hidup mereka sebagai
satu kelompok (Sumadinata 2016: 184).

Formasi Koalisi
Selain motif, koalisi juga memiliki formasi dalam koalisi. Koalisi antar partai
banyak macam dan derajatnya, secara garis besar dapat dibedakan dengan koalisi
jangka pendek atau sementara dan koalisi permanen. Yang dimaksud dengan koalisi
jangka pendek atau sementara adalah koalisi tersebut bersifat tidak terorganisasi,
contohnya adalah koalisi temporer yang sederhana diambil berdasarkan kepentingan
partai pada saat pemilu, untuk merongrong pemerintah atau mendukungnya dari
waktu ke waktu. Sedangkan koalisi permanen adalah koalisi yang bersifat
terorganisasi dan waktunya permanen tidak sementara dan biasanya lebih kuat
bagaikan partai super. Koalisi sementara yang berulang-ulang dalam beberapa periode
memungkinkan menjadi koalisi permanen

Dalam koalisi jangka pendek atau sementara terdapat konsekuensi logis dan skema
koalisi yang berbasis kepentingan, yaitu lemahnya ikatan soalidaritas koalisi,
sehingga dukungan parpol terhadap pemerintah kerap ditentukan oleh “mood politic”
para politikus partai politik anggota koalisi, apakah tengah kecewa atau sebaliknya.
Apabila para politikus sedang kecewa, maka dukungannya terhadap koalisinya
menurun. Sebaliknya, apabila para politikus setuju dan tidak kecewa maka akan
mendukung koalisi partainya dengan sangat baik (Syamsuddin 2014: 161).

“Menurut Lijphart, terdapat enam model koalisi, yaitu minimal winning coalition,
minimum size, bargaining proposition, minimal range, minimal connected winning,
dan policy-viable coalition”(Sigit 2011: 87).
1. Minimal winning coalition, merupakan koalisi yang didasarkan pada maksimalisasi
kekuasaan dengan mengabaikan partai yang tidak perlu.
2. Minimum size, merupakan koalisi yang dibangun oleh partai besar dengan partai
yang lebih kecil untuk sekedar mencapai suara mayoritas.
3. Bargaining proposition coalition, merupakan koalisi dengan jumlah partai yang
berkoalisi paling sedikit.
4. Minimal range coalition, merupakan koalisi berdasarkan kedekatan pada
kecenderungan ideologis.
5. Minimal connected coalition, merupakan koalisi yang terjadi antara partai-partai
yang memiliki persambungan orientasi kebijakan.
6. Policy-viable coalition, merupakan koalisi yang terjadi di antara partai-partai yang
secara spesifik memang memiliki kepedulian yang sama berkaitan dengan kebijakan.

Koalisi juga dapat menghasilkan sinergi positif dan juga negatif. Dalam sinergi
positif, jika terdapat tiga partai yang akan berkoalisi dan apabila masing-masing partai
membawa nilai 50, maka mereka akan menghasilkan nilai 150. Tetapi dalam sinergi
negatifnya, jumlah nilai bisa saja merosot apabila partai-partai koalisi tersebut
memiliki nilai yang berbeda-beda dan terdapat perbedaan yang sangat signifikan, hal
ini disebabkan jika kekuatan satu partai berkurang setelah kekuatan yang lain
berkurang sehingga jumlah nilainya menjadi kecil (Denny 2006: 30-31)

Berhubungan dengan sinergi dari koalisi yang bersifat postif dan negatif, koalisi
juga bisa menjadi sebuah peringatan. Jika mesin politik bekerja dengan baik, koalisi
besar mungkin sekali memenuhi tujuannya, yaitu memenangkan dalam pemilihan
umum ataupun mendapatkan kekuasaan di sebuah parlemen. Jika ini terjadi,
kemungkinan suatu pemerintahan yang kuat akan terbentuk karena sebuah
kepemimpinan pemimpin yang menang tersebut. Akan tetapi, belum tentu
pemerintahan yang kuat tersebut akan efektif dan efisiensi, sebaliknya bisa saja
menjadi suatu pemerintahan yang boros dan korup karena tidak ada saling kontrol di
antara badan-badan pemerintahan. Hal ini juga memberikan pesan untuk para
pendukung koalisi-koalisi besar agar tidak salah memilih dan berhati-hati dalam
menentukan pilihan, untuk menghindari koalisi yang malah menjadi sebuah
peringatan bukan kemajuan.

Koalisi partai dalam pemilihan calon presiden dan kepala daerah bukanlah suatu
hal yang mustahil untuk dilakukan dan bahkan beberapa pihak menganggap hal
tersebut hingga saat ini masih diperlukan, mengingat kecilnya peluang seseorang
presiden dan kepala daerah dari sebuah partai mendapatkan suara mutlak dalam
pemilu dan pilkada. Koalisi membantu mengurangi ketidakpastian siapa yang akan
menang dalam pemilihan presiden nanti, koalisi juga biasanya dilakukan atas dasar
pertimbangan bahwa dukungan terhadap partai politik seiring terkait erat dengan
dukungan terhadap calon presiden dan kepada daerah dari partai bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA

Denny. 2006. Membangun Demokrasi Sehari-hari. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.


Djuyandi, Yusa. Koalisi Partai Politik Untuk Demokrasi Dalam Nuansa Pluralisme.
Jurnal Humaniora Vol. 2, no. 2 Oktober 2011.
Ekawati, Esty. “Koalisi Partai Islam Di Indonesia Pada Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2014”. Jurnal Penelitian Politik Volume 12, no. 1 Juni 2015.
Hanafie, Haniah dan Suryani. 2011. Politik Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta.
Haris, Syamsuddin. 2016. “Koalisi Dalam Sistem Demokrasi Presidensial Indonesia:
Faktor-Faktor Kerapuhan Koalisi Era Presiden Yudhoyono”.
Haris, Syamsuddin. 2014. Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Pamungkas, Sigit. 2011. Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta:
Institute for Democracy and Welfarism.
Simarmata, Salvatore. 2014. Media dan Politik, SIkap Pers terhadap Pemerintahan
Koalisi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Soefihara, Endin AJ. 2005. Merebut Nurani Rakyat. Jakarta: Belantika.
Sumadinata, R. Widya Setiabudi. 2016. Dinamika Koalisi Partai-Partai Politik di
Indonesia. Jurnal Wacana Politik Vol. 1, no. 2 Oktober.
Heywood, Andrew, Key Concepts in Politics, Macmillan Press, Hampshire, 2000

Anda mungkin juga menyukai