Anda di halaman 1dari 14

RISET DALAM ISLAM

BAYANI

Pengetahuan wahyu (revealed knowledge) dalam epistemologi Islam dikenal dengan

istilah epistemologi bayani. Bayani berasal dr b. arab, bayan artinya penjelasan

(eksplanasi). Al-Jabiri, berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus Lisân al-

Arâb–suatu kamus karya Ibn Mandzur dan dianggap sebagai karya pertama yang

belum tercemari pengertian lain--tentang kata ini, memberikan arti sebagai al-fashl

wa infishâl (memisahkan dan terpisah) dan al-dhuhûr wa al-idhhâr (jelas dan

penjelasan). Maknaal-fashl wa al-idhhâr dalam kaitannya dengan metodologi,

sedanginfishâl wa dhuhûr berkaitan dengan visi (ru`y) dari metode bayani. Dalam

bahasa filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai

model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks.[5] Dalam hal ini teks sucilah

yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah khitab. Fungsi akal

hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya.

Dalam pendekatan bayani dikenal ada 4 macam bayan:

1. Bayan al-i'tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu,

yang meliputi :

a) al-qiyas al-bayani baik al-fiqhy, al-nahwy dan al-kalamy; dan

b) al-khabar yang bersifat yaqin maupun tasdiq;

2. Bayan al-i'tiqad, yaitu penjelasan mengenai segala sesuatu yang meliputi

makna haq, makna muasyabbih fih, dan makna bathil;

3. Bayan al-ibarah yang terdiri dari : a) al-bayan al-zahir yang tidak

membutuhkan tafsir; dan b) al-bayan al-batin yang membutuhkan tafsir,

qiyas, istidlal dan khabar; dan


4. bayan al-kitab, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan

pemikiran dari katib khat, katib lafz, katib 'aqd, katib hukm, dan katib

tadbir.

Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka

peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks

yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan

memperkaya ilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.

KARAKTERISTIK EPISTEMOLOGI BURHANI

Dalam memandang proses keilmuan, kaum Burhaniyun bertolak dari cara piker

filsafat di mana hakikat sebenarnya adalah universal. Hal ini akan menempatkan

‘makna” dari realitas pada posisi otoritatif, sedangkan ”bahasa” yang bersifat

particular hanya sebagai penegasan atau ekspresinya. Hal ini nampak sejalan dengan

penjelasan al-Farabi bahwa “makna/’ dating lebih dahulu daripada “kata”, sebab

makna datang dari sebuah pengkopsesian intelektual yang berada dalam tataran

pemikiran atau rasio yang diaktualisasikan dalam kata-kata. Al-Farabi memberikan

pengandaian bahwa seandainya konsepsi intelektual itu letaknya dalam kata-kata itu

sendiri maka yang lahir selanjutnya bukanlah makna-makna dan pemikiran-pemikiran

baru tetapi kata-kata yang baru.

Jadi setiap ilmu burhani berpola dari nalar burhani dan nalar burhan bermula

dari proses abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna,

sedang makna sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan

dimengerti, sehingga di sinilah ditempatkan kata-kata; dengan redaksi lain, kata-


kata adalah sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir di samping sebagai sibol

pernyataan makna.

mayor (al-hadd al-akbar) untuk premis yang pertama dan premis minor (al-hadd al-

ashghar) untuk premis yang kedua, yang kedua-duanya saling berhubungan dan

darinya ditarik kesimpulan logis.

Mengikuti Aristoteles, Al-Jabiri dalam hal ini menegaskan bahwa setiap

yang burhani pasti silogisme, tetapi belum tentu yang silogisme

itu burhani. Silogisme yang burhani (silogisme demonstrative atau qiyah

burhani) selalu bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, bukan untuk tujuan

tertentu seperti yang dilakukan oleh kaum sufistaiyah (sophis). Silogisme (al-

qiyas) dapat disebut sebagai burhani, jika memenuhi tiga

syarat: pertama, mengetahui sebab yang Secara structural, proses yang dimaksud

di atas terdiri dari tiga hal, pertama proses eksperimentasi yakni pengamatan

terhadap realitas; kedua proses abstraksi, yakni terjadinya gambaran atas realitas

tersebut dalam pikiran; ketiga, ekspresi yaitu mengungkapkan realitas dalam kata-

kata.

Berkaitan dengan cara ketiga untuk mendapatkan ilmu burhani di atas,

pembahasan tentang silogisme demonstrative atau qiyas burhani menjadi sangat

signifikan. Silogisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu sullogismos yang merupakan

bentukan dari kata sullegin yang artinya mengumpulkan, yang menunjukkan pada

kelompok, penghitungan dan penarikan kesimpulan. Kata tersebut diterjemahkan ke

dalam bahasa Arab menjadi qiyas atau tepatnya adalah qiyas jama’i yang

karakternya mengumpulkan dua proposisi-proposisi (qadliyah) yang kemudian disebut


premis, kemudian dirumuskan hubungannya hubungannya dengan bantuan terminus

medius atau term tengah atau menuju kepada sebuah konklusi yang meyakinkan.

Metode ini paling popular di kalangan filsuf Peripatetik. Sementara Ibn Rusyd

mendefinisikan demonstrasi dengan ketentuan dari satu argument yang konsisten,

tidak diragukan lagi kebenarannya yang diperoleh dari premis yang pasti sehingga

kesimpulan yang akan diperoleh juga pasti, sementara bentuk dari argument harus

diliputi oleh fakta akali. Jadi silogisme demonstratif atau qiyas burhani yang

dimaksud adalah silogisme yang premis-premisnya terbentuk dari konsep-konsep

yang benar, yang meyakinkan, sesuai dengan realitas (bukan nash) dan diterima oleh

akal.

Aplikasi dari bentukan silogisme ini haruslah melewati tiga tahapan yaitu tahap

pengertian (ma’qulat), tahap pernyataan (ibarat) dan tahap penalaran (tahlilat).

Tahapan pengertian merupakan proses awal yang letaknya dalam pikiran

sehingga di sinilah sebenarnya terjadi pengabstraksian, yaitu merupakan aktivitas

berpikir atas realitas hasil pengalaman, pengindraan, dan penalaran untuk

mendapatkan suatu gambaran. Sebagaimana Aristoteles, pengertian ini selale

merujuk pada sepuluh kategori yaitu satu substansi (jauhar) yang menopang

berdirinya Sembilan aksidensi (‘ard) yang meliputi kuantitas, kualitas, aksi, passi,

relasi, tempat, waktu, sikap dan keadaan.

Tahapan pernyataan adalah dalam rangka mengekspresikan pengertian

tersebut dalam kalimat yang disebut proposisi (qadliyah). Dalam proposisi ini

haruslah memuat unsure subyek (maudlu’) dan predikat (muhmal) serta adanya relasi

antara keduanya, yang darinya harus hanya mempunyai satu pengertian dan
mengandung kebenaran yaitu adanya kesesuaian dengan realitas dan tiadanya

keragu-raguan dan persangkaan.

Untuk mendapatkan satu pengertian dan tiadanya keraguan dan

persangkaan, maka pembuatan pernyataan harus mempertimbangan al-alfadz al-

khamsah yang ada dalam isagoge Aristoteles atau yang biasa disebut dengan lima

konsep universal yang terdiri dari jenis (genus) yakni konsep universal yang

mengandung suatu pengertian yang masing-masing sama hakikatnya, nau’

(spises) yaitu konsep universal yang mengandung satu pengertian tetapi masing-

masing hakikatnya berbeda, fasl (differentia) yaitu sifat yang membedakan secara

mutlak, khas (propirum) atau sifat khusus yang dimiliki oleh suatu benda tetapi

hilangnya sifat ini tidak akan menghilangkan eksistensi benda tersebut dan ard

(aksidensi) atau sifat khusus yang tidak bisa diterapkan pada semua benda.

Tahapan penalaran; ini dilakukan dengan perangkat silogisme. Sebuah

silogisme harus terdiri dari dua proposisi (al-muqaddimatani) yang kemudian disebut

premismenjadi alasan dalam penyusunan premis; kedua, adanya hubungan yang logis

antara sebab dan kesimpulan; dan ketiga, kesimpulan yang dihasilkan harus bersifat

pasti (dlaruriyyah), sehingga tidak ada kesimpulan lain selain itu. Syarat pertama

dan kedua adalah yang terkait dengan silogisme (al-qiyas). Sedang syarat ketiga

merupakan karakteristik silogisme burhani, dimana kesimpulan (natijah) bersifat

pasti, yang tak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian yang lain. Hal ini

dapat terjadi, jika premis-premis tersebut benar dan kebenarannya telah terbukti

lebih dulu ketimbang kesimpulannya, tanpa adanya premis penengah (al-hadd al-

awsath).
Dalam perspektif tiga teori kebenaran, maka kebenaran yang dihasilkan oleh

pola piker burhanitampak ada kedekatannya dengan teori kebenaran koherensi atau

konsistensi. Dalam burhani menuntut penalaran yang sistematis, logis, saling

berhubungan dan konsisten antara premis-premisnya, juga secara benar koheren

dengan pengalaman yang ada, begitu pula tesis kebenaran konsistensi atau

koherensi. Kebenaran tidak akan terbentuk atas hubungan antara putusan dengan

sesuatu yang lain, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan

perkataan lain bahwa kebenaran ditegakkan atas dasar hubungan antara putusan

baru dengan putusan lain yang telah ada dan diakui kebenarannya dan kepastiannya

sehingga kebenaran identik dengan konsistensi, kecocokan dan saling berhubungan

secara sistematis.

STRUKTUR FUNDAMENTAL EPISTEMOLOGI BURHANI

Nash/ Teks/ Wahyu (Otoritas Teks) Al-


1. Origin (sumber)
Akhbar, al-Ijma’ (Otoritas Salaf) Al-’Ilm

al-Tauqifi

2. Methode (proses dan Ijtihadiyyah Istinbathiyyah/

prosedur) Istintajiyyah/ Istidlaliyyah/ qiyasQiyas

(Qiyas al-ghahib ‘ala al-syahid)

3. Approach Lughawiyyah (bahasa), Dalalah

Lughawiyyah

Al-Ashl-al-far’, Istinbathiyyah (pola

4. Theoretical Framework piker deduktif yang berpangkal pada

teks), Qiyas al-Ilah (Fi-kih), Qiyas al-

dalalah (ka-lam), Al-Lafdz-al-Makna, ‘Am-


khash, Mustarak, Haqiqah, Majaz,

Muhkam, Mufassar, Zahir, Khafi, Musykil,

Muj-mal, Mutasyabih

Akal sebagai pengekang / pengatur hawa

5. Fungsi dan Peran Akal nafsu (lihat Lisan al-‘Arab Ibn Man-dzur),

Justifikasi-Repeetitif-Taqlidi (pengukuh

kebenaran/ otoritas teks), Al-‘Aql al-Diniy

Dialektik (Jadaliyyah); al-‘Uqul al

Mtanafisah
6. Type of Argument
Defensif – Apologetik – Polemik –

Dogmatik Pengaruh pola Logika Stonic

(bukan logika Aristoteles)

7. Tolok Ukur Validitas


Keserupaan/ kedekatan antara teks
Keilmuan
(nash) dengan realitas

Infishal (discontinue) = Atomistik

8. Prinsip-Prinsip Dasar Tajwiz (keserbabolehan) = tidak ada

hokum kausalitas, Muqarabah (kedekatan,

keserupaan), Analogi deduktif; Qiyas

9. Kelompok Ilmu-ilmu Kalam (Teologi), Fiqih (Jurisprudensi)/

Pendukung Fuqaha; Ushuliyyun, Nahwu (Grammar);

Balaghah

10. Hubungan Subjek dan


Subjective (Theistic atau Fideistic
Objek
Subjectivism)
Silogisme terdiri dari beberapa komponen, yaitu premis mayor, premis minor, dan

kesimpulan. Di dalam istilah yang digunakan oleh Skolastik, terdapat beberapa

bentuk silogisme :

a. Bentuk pertama, term tengah (middle term) menjadi subyek pada premis mayor

dan menjadi predikat pada premis minor.

Contoh:

1. Semua manusia fana,

(premis mayor). Sokrates adalah seorang manusia, (premis minor)

Sokrates fana. (kesimpulan)

- Model ini disebut Barbara.

2. Tak ada ikan yang rasional. Semua hiu adalah ikan. Tak ada hiu yang rasional.

- Model ini disebut Calerent.

3. Semua manusia rasional.

Sebagian makhluk hidup adalah manusia. Sebagian makhluk hidup rasional.

- Model ini disebut Dani.

4. Tak ada orang Yunani berkulit hitam. Sebagian manusia adalah orang Yunani.

Sebagian manusia tak berkulit hitam.

- Model ini disebut Ferio

b. Bentuk kedua, term tengah (middle term) menjadi predikat pada premis mayor

dan premis minor.

Contoh :

Semua tumbuhan membutuhkan air.


Tidak sarupun benda mati membutuhkan air.

Tidak sarupun benda mati adalah tumbuhan.

c. Bentuk ketiga, term tengah {middle term) menjadi subyek pada premis mayor dan

premis minor.

Contoh :

Setiap manusia mempunyai rasa takut. Tetapi setiap manusia adalah makhluk

hidup. Sebagian makhluk hidup mempunyai rasa takut

BURHANI

Pengetahuan rasional (Rational Knowledge), merupakan epistemologi burhani ;

yakni pengetahuan yang diperoleh dengan latihan rasio atau akal semata, tidak

disertai dengan observasi terhadap peristiwa-peristiwa faktual.

Secara spesifik pengertian epistemologi burhani, dalam bahasa Arab, berasal

dari kata “al-burhan” yang berarti argumen (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah).

Dan distinc (al-fashl), dalam bahasa Inggris adalah demonstration, yang mempunyai

akar bahasa latin dari katademontratio (berarti memberi isyarat, sifat, keterangan,

dan penjelasan). Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani merupakan aktivitas

berfikir untuk menetapkan kebenaran melalui metode penyimpulan (al-istintaj),

dengan menghubungkan presmis tersebut terhadap premis yang lain dan dibenarkan

oleh nalar atau telah terbukti kebenarannya. Sedang dalam pengertian

umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis

Adapun kecakapan untuk berpikir lurus dalam penalaran dibedakan menjadi dua

kegiatan: analitika dan dialektika. Analitika dipakai untuk menyebut cara penalaran

dan argumentasi yang berdasarkan pada pernyataan-pernyataan yang benar, akan

tetapi burhaniadalah aktifitas berpikir secara mantiqi yang identik dengan silogisme
atau al-qiyas al–jami` yang tersusun dari beberapa proposisi. Dengan

demikian, burhani (al-qiyas al-‘ilmi) menekankan tiga syarat, yaitu:

a. Pertama, mengetahui terma perantara yang ‘illah (causa) bagi

kesimpulan (ma’rifat al-hadd al-ausat wa al-natijah);

b. Kedua, keserasian hubungan relasional antara terma-terma dan

kesimpulan (tartib al-`alaqah bayn al-illah wa al-ma’lul), antara terma perantara

dan kesimpulan-kesimpulan sebagai sistematika qiyas; dan

c. Ketiga, natijah (kesimpulan) harus muncul secara otomatis dan tidak mungkin

muncul kesimpulan yang lain. Qiyas ketiga ini yang inheren dengan

epistemologi burhani.

Antara epistemologi bayani dan `irfani, terkesan berseberangan dalam menangkap

wacana masing-masing karena perbedaan episteme. Namun

demikian, episteme keduanya masih dibangun atas nilai al-Qur’an dan hadits.

Meskipun epistemologi Islam di satu pihak membahas masalah-masalah epistemologi

pada umumnya, tetapi di lain pihak, dalam arti khusus filsafat Islam juga

menyangkut pembicaraan mengenai wahyu dan ilham sebagai sumber pengetahuan

dalam Islam; wahyu sebagai sumber primer, sedangkan ilham pengetahuan bagi

epistemologi `irfani.

Karakteristik dan Unsur-unsur Pokok Epistemologi Burhani

Struktur fundamental Epistemologi burhani

1. Origin (sumber) Nash/ Teks/ Wahyu (Otoritas Teks) al-

Akhbar, al-Ijma’ (Otoritas Salaf) Al-’Ilm al-

Tauqifi

2. Methode (proses dan prosedur) Ijtihadiyyah Istinbathiyyah/ Istintajiyyah/


Istidlaliyyah/ qiyasQiyas (Qiyas al-ghahib ‘ala

al-syahid)

3. Approach Lughawiyyah (bahasa), Dalalah Lughawiyyah

4. Theoretical Framework al-Ashl-al-far’, Istinbathiyyah (pola pikir

deduktif yang berpangkal pada teks), Qiyas al-

Ilah (Fi-kih), Qiyas al-dalalah (ka-lam), al-

Lafdz-al-Makna, ‘Am-khash, Mustarak, Haqiqah,

Majaz, Muhkam, Mufassar, Zahir, Khafi, Musykil,

Muj-mal, Mutasyabih

5. Fungsi dan Peran Akal Akal sebagai pengekang / pengatur hawa nafsu

(lihat Lisan al-‘Arab Ibn Man-dzur), Justifikasi-

Repeetitif-Taqlidi (pengukuh kebenaran/

otoritas teks), Al-‘Aql al-Diniy

6. Type of Argument Dialektik (Jadaliyyah); al-‘Uqul al Mtanafisah

Defensif – Apologetik – Polemik – Dogmatik

Pengaruh pola Logika Stonic (bukan logika

Aristoteles)

7. Tolok Ukur Validitas Keilmuan Keserupaan/ kedekatan antara teks (nash)

dengan realitas

8. Prinsip-Prinsip Dasar Infishal (discontinue) = Atomistik

Tajwiz (keserbabolehan) = tidak ada hukum

kausalitas, Muqarabah (kedekatan, keserupaan),

Analogi deduktif; Qiyas

9. Kelompok Ilmu-ilmu Pendukung Kalam (Teologi), Fiqih (Jurisprudensi) Fuqaha;

Ushuliyyun, Nahwu (Grammar); Balaghah


IJBARI

Riset Ijbari adalah penelitian eksperimen. Penelitian ini mengambil alam fisika

sebagai objek penelitiannya; langit, bumi, air, tubuh manusia, dll. Penelitian

eksperimental inilah yang membuat Islam maju dan memimpin dunia pada masa

keemasannya. Tokoh Ibnu Sina di bidang kedokteran, dan al-Khawarizmi di bidang

Optik adalah di antara ilmuwan riset ijbari ini.

JADALI

Riset Jadali adalah riset dengan basis murni logika dan menghasilkan ilmu filsafat.

Ibnu Sina, al-Kinda, Ibnu Rusyd, adalah filosof-filosof muslim yang karya dan buah

fikiran spekulatif (tentu didasari nash-nash agama) mereka dihormati, diapresiasi,

dan dikaji bukan saja komunitas keilmuan Islam, tetapi juga dunia.

IRFANI

Pengetahuan intuitif (intuitive knowledge) ini sama halnya dengan epistemologi

irfani. Dimana pengetahuan ini diperoleh manusia dari dalam dirinya sendiri, pada

saat ia menghayati sesuatu. Epistemologi irfani muncul secara tiba-tiba dalam

kesadaran manusia. Mengenai proses kerjanya, manusia kerap tidak menyadarinya.

Pengetahuan ini merupakan hasil penghayatan pribadi, hasil ekspresi dari keunikan

dan individualitas seseorang, sehingga validitas pengetahuan ini sangat bersifat

pribadi.

Epistemologi irfani disusun dan diterima dengan kekuatan visi imaginatif dalam

pengalaman pribadi seseorang. Kebenaran yang tampak dalam karya seni merupakan

bentuk pengetahuan intuitif, seperti karya penulis besar Shakespeare, Mohammad


Iqbal, al-Ghazali, dan selainnya yang berbicara tentang kebenaran nurani manusia

merupakan hasil kerja intuisi.

Kata irfani merupakan bentuk mashdar dari kata ‫ع‬- ‫ر‬- ‫ف‬ yang semakna

dengan ma’rifah. Dalam Lisanul ‘Arab, kata irfan bermakna al-ilm, ini sejalan dengan

Al-Attas yang mendefinisikan ma’rifah juga bermakna al-

‘ilm.[9] Kata irfan atau ma’rifah dikenal dalam kalangan sufi muslim (al-

mutasawwifah al-islamiyyin) untuk menunjukkan jenis pengetahuan yang

paling luhur dan tinggi yang hadir dalam kalbu melalui kasyaf atau ilham.[10] Kaum

sufi membagi pengetahuan sesuai dengan tingkatannya yaitu; burhaniyah,

bayaniyah,dan irfaniyah, sebagaimana disebut dalam al-Qur’an dimana

kata yaqindipersandingkan dengan kata haq (al-Waqi’ah: 95), ilm (al-Takasur: 5),

dan ain (al-Takatsur: 7).[11] Perbedaan antara al-burhan dan al-irfan,yang pertama

disebut dengan al-hikmah al-bahtsiyah yang berpijak pada argumentasi,

pencermatan dan rasio, sedangkan yang kedua disebut dengan al-Hikmah al-

Isyraqiyyah yang berpijak pada al-kasyaf dan al-isyraq

Perbedaan antara bayani, irfani, dan burhani.

Bayani Irfani burhani

Sumber Teks keagamaan Ilham/intuisi Rasio

Metode Istinbat/Istidlal kasyf Tahlili (analitik)

Pendekatan Linguistik Psikh-Gnostik logika

Tema sentral Ashl-furu` Zahir-batin Essensi-Aksistensi

Kata-makna Wilayah-nubuwah Bahasa-logika

Validasi Korespondensi intersubyektif Koherensi

kebenaran Konsistensi
pendukung Kaum teolog Kaum sufi Para filosof

Ahli fiqih

Ahli bahasa

Anda mungkin juga menyukai