PENYELARASAN METODOLOGI
DALAM PERSPEKTIF AL-JABIRI
Wahib Wahab
Latar Belakang
Epistemologi (Filsafat Pengetahuan) Islam sebagai wilayah diskursus filsafat mencakup
dua pendekatan genetivus subyectivus (menempatkan Islam sebagai subyek) bagi titik
tolak berpikir (starting point) dan genetivus obyectivus (menempatkan filsafat
pengetahuan sebagai subyek yang membicarakan Islam sebagai obyek kajian).
Epistemologi Islam menelaah bagaimana pengetahuan itu menurut pandangan Islam,
bagaimana metodologinya, serta bagaimana kebenaran dapat diperoleh dalam pandangan
Islam atau proposisi yang telah terbukti keabsahannya. Secara leteral, epistemologi
berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan. Terdapat tiga persoalan
pokok dalam bidang ini: pertama, apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Manakah
pengetahuan yang benar itu, dan bagaimana kita mengetahuinya?; kedua, apakah sifat
dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar berada di luar pikiran kita,
dan kalau ada, apakah kita dapat mengetahuinya? Ini adalah persoalan tentang apa yang
kelihatan (phenomenia/appearance) versus hakikat (noumena/essence); ketiga, apakah
pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar
dari yang salah? Ini adalah persoalan mengkaji kebenaran atau verifikasi.
Di penghujung abad pertama Hijriyah, telah terjadi pemindahan ilmu-ilmu kuno dari
Iskandaria, pusat perkembangan filsafat Hermes ke dalam kebudayaan Islam Arab.
Kehadiran ilmu-ilmu nonArab Islam ini mengundang sikap anti pati ulama ahl al-sunnah
awal karena dianggap bertentangan dengan aqidah Islam. Ilmu-ilmu tersebut memasuki
wilayah kebudayaan Islam melalui penerjemahan.
Kemapanan Pemerintahan Islam, terutama pada masa pemerintahan Abbasiyah, memberi
peluang yang luas bagi komunitas Muslim untuk berkenalan dengan kebudayaan luar.
Hal ini atas dukungan Khalifah al-Mansur yang sangat respek terhadap ilmu
pengetahuan. Ia merangsang kegiatan penerjemahan berbagai ilmu pengetahuan ke dalam
bahasa Arab, termasuk filsafat Yunani dan Logika Aristoteles. Bila ditelusuri lebih jauh
bahwa aktifitas kefilsafatan tersebut merupakan kebutuhan niscaya bagi diskursus logika
yang memperoleh tempat di kalangan komunitas Muslim semenjak munculnya golongan
Mu'tazilah ketika mereka harus mempertahankan aqidah Islam terhadap serangan
rivalnya, terutama umat Nasrani. Golongan Mu'tazilah itulah yang mula-mula
mengelaborasikan filsafat Yunani dengan menggunakan Logika Aristoteles. Semangat
pengadopsian filsafat ini muncul pada awal pertumbuhan ilmu kalam yang sebelumnya
didahului dengan semangat kajian nahwu dan fikih, yaitu dengan pengalihbahasaan bukubuku filsafat, terutama filsafat Aristoteles, sehingga tidak dapat dipungkiri adanya
pertemuan kental dengan ke-Tuhan-an Masehi. Sementara itu, Baghdad telah banyak
bersinggungan dengan filsafat Yunani. Ibnu Nadim dalam al-Fihrisat (pada masa
kekuasaan al-Makmun; 811-833.M) banyak sekali mengalihbahasakan tulisan
Aristoteles. Ini merupakan awal gerakan keilmuan yang menduduki posisi puncak dalam
dalam pengertian umum, dan berbeda dari yang lain. Epistemologi tersebut pada abadabad pertengahan menempati wilayah pergumulan kebudayaan Arab Islam yang
mendampingi epistemologi baya>ni> dan `irfa>ni>.
Kehadiran epistemologi di atas, bila ditelusuri dalam wilayah kebudayaan Arab Islam
dengan pendekatan komparatif, baya>ni>, atau`irfa>ni>, maka dapat ditarik benang
merah bahwa epistemologi baya>ni> menekankan kajian dari teks (nas}s}) ijma' dengan
ijtihad sebagai referensi dasarnya dalam rangka menjustifikasi aqidah tertentu; sedangkan
`irfa>ni> dibangun di atas semangat intuisi (kashshf) yang banyak menekankan aspek
kewalian (al-wila>yah) yang inheren dengan ajaran monisme atau kesatuan dengan
Tuhan dan epistemologi burha>ni> menekankan visinya pada potensi bawaan manusia
secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konspetualisasi (al-h}iss, al tajribah wa
muh}a>kamah 'aqli>yah).
Adalah Aristoteles orang yang pertama membangun epistemologi burhani yang populer
dengan logika mantiq yang meliputi persoalan alam, manusia dan Tuhan. Aristoteles
sendiri menyebut logika itu dengan metode analitik. Analisis ilmu atas prinsip dasarnya
baik proporsi h}amli>yah (Categorical Proposition) maupun shart}I>yah (Hypothetical
Proposition) pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan berupa aturan-aturan
untuk menjaga kesalahan berpikir. Wilayah yang menjadi obyeknya meliputi 10
persoalan substansi, yang pertama dan yang sembilan adalah oksiden dengan segala
derivasinya; kuantitas (panjang), kualitas, hubungan (id}afah), tempat atau ruang, waktu,
kepemilikan, fiil (pasi) infi'al (affectif) atau ilmu pengetahuan. Adapun kecakapan untuk
berpikir lurus dalam penalaran dibedakan menjadi dua kegiatan: analitika dan dialektika.
Analitika dipakai untuk menyebut cara penalaran dan argumentasi yang berdasarkan pada
pernyataan-pernyataan yang benar, akan tetapi burha>ni> adalah aktifitas berpikir secara
mantiqi yang identik dengan silogisme atau al-qiya>s al-ja>mi` yang tersusun dari
beberapa anasir (proposisi). Dengan demikian, burha>ni> (al-qiya>s al-'ilmi>)
menekankan tiga syarat, pertama, mengetahui terma perantara yang 'illah (causa) bagi
kesimpulan (ma'rifat al-hadd al-ausat} wa al-nati>jah); kedua, keserasian hubungan
relasional antara terma-terma dan kesimpulan (tarti>b al-`ala>qah bayn al-illah wa alma'lu>l), antara terma perantara dan kesimpulan-kesimpulan sebagai sistematika qiyas;
dan ketiga, nati>jah (kesimpulan) harus muncul secara otomatis dan tidak mungkin
muncul kesimpulan yang lain. Qiyas ketiga ini yang inheren dengan epistemologi
burha>ni>.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa logika Aristoteles lebih memperlihatkan
nilai epistemologi dari pada logika formal. Demikian pula halnya dengan diskursus
filsafat kita dewasa ini yang melihat persoalan alam (alam, Tuhan dan manusia) bukan
lagi persoalan proposisi metafisika karena epistemologi burha>ni> dikedepankan untuk
menghasilkan pengetahuan yang valid dan bangunan pengetahuan yang meyakinkan
tentang persoalan duniawi dan alam. Dinamika kehidupan kontemporer dewasa ini bisa
memilah-milah masing-masing pendekatan epistemologik: baya>ni> dan `irfa>ni> karena
masing-masing memiliki tipikal satu sama lain, dan epistemologi burha>ni> bisa menjadi
pemoles keserasian hubungan antara kedua epistemologi di atas.
manusia tertentu, sedang ilmu mantiq memberikan aturan umum yang berlaku bagi
semua bahasa (pembicaraan) manusia.
Burha>ni>: Silogisme
Apa yang diusahakan oleh al-Farabi diarahkan untuk menyejajarkan konsep-konsep
logika agar dapat diterima oleh kebudayaan Arab Islam yang masih berhadapan dengan
problematika lafal dan makna secara anomali.
Klasifikasi pengetahuan ke dalam dua bagian menurut logika, yakni tas}awwur dan
tas}di>q, tidak dikenal dalam tradisi berpikir baya>ni>. Baya>ni> mempunyai cara
pembagiannya sendiri, misalnya ilmu terbagi menjadi ilmu kuno (klasik) dan ilmu baru,
atau, ilmu d}aru>ri> (otoritatif) dan ilmu yang dicari (kasbi>) dan sebagainya. Tentu ini
merupakan persoalan awal yang merumitkan epistemologi baya>ni> dalam menerima
konsep-konsep logika. Karena itu, al-Farabi terdesak untuk menjelaskan anasir yang
membentuk konsep-konsep tersebut secara baya>ni> sehingga menjadi jelas arti unsurunsur itu dalam proses pembentukan konsep. Hal ini perlu dijelaskan mengingat konsep
merupakan bagian asasi dalam pembentukan silogisme. Pembentukan silogisme
didasarkan atas makna, bukan lafal.
Menurut al-Farabi, silogisme berada pada tataran pemikiran, bukan pada lafal. Bila dalam
pikiran seseorang telah terbentuk konsep-konsep kebenaran, maka secara simultan akan
muncul kebenaran yang lain yang sebelumnya tidak diketahui. Jadi, sesuatu yang
menggiring seseorang mengetahui sesuatu yang tadinya tidak diketahui bukanlah lafal,
tetapi konsep yang tersusun dalam pikiran, sedangkan lafal tersusun dalam lisan.
Seandainya lafal itu sendiri dapat disusun dalam pikiran sedemikian rupa sehingga dapat
melahirkan sesuatu yang lain, maka yang lahir tentu saja bukan konsep atau kebenaran,
tetapi lafal baru yang lain. Maka, jelas bahwa yang tersusun dalam pikiran itu bukanlah
lafal, akan tetapi makna konseptual.
Hal ini jelas berbeda dengan inferensi (istidla>l) dalam tradisi baya>ni>, yang cukup
didasarkan atas lafal, mengeluarkan makna dari lafal seperti orang mengeluarkan air dari
dalam sumur. Dikatakan oleh Aristoteles, burha>n itu tidak tersusun dari ucapan
eksternal tetapi dari ucapan internal.
Burha>ni>: Penerapannya pada Epistemologi Baya>ni>.
Meskipun al-Ghaza>li> yang karena dukungan penguasa menolak filsafat, tetapi tidak
segan-segan ia menunjukkan apresiasinya yang besar terhadap signifikansi logika sebagai
metodologi ilmu pengetahuan. Bisa dikatakan bahwa al-Ghaza>li> adalah orang yang
cukup berjasa dalam penerapan logika dalam bidang pengetahuan bayani. Pada akhirnya
ia lari dalam dunia sufi yang mampu mengakhiri krisis pemikirannya yang akut
(konversi), tetapi ia tetap membela logika sampai akhir hayatnya. Al-Ghaza>li> bahkan
sering mengutip ayat-ayat al-Qur'a>n dengan penjelasan sedemikian logis (baca
Mishka>t al-Anwa>r) sehingga seolah-olah al-Qur'a>n juga menggunakan silogisme
logika dalam berargumentasi. Ini dapat dibuktikan dalam tulisannya tentang us}ul fikih
al-Mustashfa>.
Ulama us}ul sebelum al-Ghaza>li> mengambil premis-premisnya dari ilmu kalam dan
membangun madzhab fiqihnya di atas premis-premis tersebut. Sementara itu, alGhaza>li> ingin merubah tradisi berpikir tersebut. Dalam pendahuluan karyanya, alMustashfa> fi> `Ulu>m Us}u>l Fiqh, ia menulis pokok-pokok pikirannya tentang logika
dengan menegaskan bahwa orang yang tidak menguasainya diragukan kekokohan
ilmunya. Al-Ghaza>li> ketika menulis buku Mi'ya>r al-'Ilm, al-Ghaza>li> membidik
duan tujuan pokok: menjelaskan metode berpikir dan menerangkan cara-cara membuat
analogi (qiya>s), di samping menjelaskan kepada para fuqaha' bahwa cara berpikir dalam
malsaah-masalah fiqih tidak berbeda dari cara berpikir dalam ilmu-ilmu rasional yang
lainnya. Bila ditelusuri bahwa masing-masing wilayah (tidak hanya syari'ah, tetapi juga
kalam dan tasawuf) memiliki mode penerapan qiyas Mode of Analogy, namun demikian
metodenya adalah sama meski wilayahnya berbeda satu sama lain.
Bila diterapkan dalam wilayah ilmu Kalam, maka yang muncul adalah sosok ilmu Kalam
Asy'ari>yah dalam bentuk propaganda yang diformulasikan dalam bentuk qiyas. Premispremis diatur sedemikian rupa sehingga kesimpulan yang muncul adalah meteri yang
dipropagandakan itu sendiri. meski demikian al-Ghaza>li> menyadari betul akan
kesulitan dan kekurangan yang ada pada metode ahli Kalam dalam berargumentasi. Salah
satu diantara faktor mode of thought-nya. Menurut asumsi mereka bahwa bahasa
merupakan otoritas referensial dan lafal lebih utama dari pada pengertian. Kata alGhaza>li> semestinya mereka tahu bahwa lafal-lafal itu adalah istilah-istilah yang tidak
bisa menyebabkan perubahan pada tingkat pemikiran. Ketika ia menyinggung problem
al-H{a>l dalam ilmu Kalam, ia menegaskan bahwa sebenarnya tidak ada artinya
membedakan antara pengertian eksistensi dzat yang mempunyai sifat ilm dan
keberadaannya yang 'Alim. Tentu hal ini sulit dijelaskan bagi orang yang memahaminya
melalui makna yang harus diturunkan dari lafal yang ada.
Al-Ghaza>li> memasukkan logika dalam ilmu Kalam sampai menyentuh aspek
metodenya yang sangat prinsipil di dalamnya, terutama masalah Qiya>s bi al-Sha>hid
'ala al-Ghayb. Menurutnya, tidak tepat mengembalikan yang ghaib kepada yang syahid
kecuali dengan satu syarat, tetapi bila syarat itu terpenuhi maka hilanglah fungsi yang
syahid. Dengan arti kata beristidlal dengan yang syahid untuk menangkap yang ghaib
tidak absah kecuali jika dapat diketahui al-H{ad al-awsat}nya atau 'illatnya. Jika 'lllat itu
bisa ditemukan maka yang syahid itu sudah tidak dibutuhkan lagi, sebaliknya jika tidak
bisa ditemukan maka tidak ada jalan untuk mempertemukan antara yang syahid dan yang
ghaib secara bersamaan.
Tujuan Aristoteles dalam membangun epistemologinya yang kemudian dikenal dengan
istilah logika ini adalah agar ia dapat dijadikan sebagai metode dalam mengembangkan
Ilmu Pengetahuan. Metode ini diperlukan agar orang yang melakukan penyelidikan
terhadap gejala-gejala fenomenologis dapat memperoleh pengetahuan yang benar.
Dengan demikian, maka konstruksi pemikiran diatas tidak dimaksudkan sekedar sebagai
alat untuk mempertahankan aqidah-tertentu. Pembicaraan Aristoteles tentang Filsafat
Ikhtita>m