Disusun Oleh :
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang
Ibadah Sholat Pada Lansia/
Penulis menyadari bahwa proposal ini masih sangat sederhana dan masih
mempunyai banyak kekurangan. Maka dari itu, besar harapan kami agar tulisan ini dapat
diterima dan nantinya dapat berguna bagi semua pihak. Untuk itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat positif membangung demi kesempurnaan proposal ini.
Kelompok B PPN
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Lansia
1. Definisi
Lansia Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lansia yang dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia
60 tahun ke atas. Lebih lanjut Maryam (2008) juga mendefinisikan lansia sebagai
seseorang yang telah berusia lanjut dan telah terjadi perubahan-perubahan dalam
sistem tubuhnya. Namun berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh Orimo
et al. (2006), peneliti asal Jepang, yang menjelaskan bahwa lansia merupakan
orang yang berusia lebih dari 75 tahun. Definisi tersebut berdasar pada hasil riset
yang telah dilakukannya dengan menemukan fakta bahwa:
a. lansia di Jepang yang berusia 65 tahun atau lebih ternyata masih bisa
melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan dan hambatan berarti;
b. arteri serebral pada lansia tampak belum mengalami penuaan dan penurunan
fungsi;
c. lansia penderita diabetes mellitus yang berumur 65 tahun masih menunjukkan
tingkat kemandirian yang tinggi untuk memenuhi kebutuhannya. Tetapi
definisi lansia dari penelitian tersebut memang tidak bisa digunakan secara
global karena faktor budaya dan lingkungan juga berpengaruh terhadap proses
penuaan.
2. Batasan Lansia
WHO dalam Kunaifi (2009) membagi lansia menurut usia ke dalam empat
kategori, yaitu:
a. Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun
b. Lansia (elderly) : 60-74 tahun
c. Usia tua (old) : 75-89 tahun
d. Usia sangat lanjut (very old) : lebih dari 90 tahun
3. Teori Penuaan
Ada empat teori pokok dari penuaan menurut Klatz dan Goldman, (2007), yaitu:
a. Teori Wear and Tear Tubuh, sel mengalami kerusakan karena telah banyak
digunakan (overuse) dan disalahgunakan (abuse).
b. Teori Neuroendokrin.
Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh yaitu
dimana hormon yang dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh
hipotalamus telah menurun.
c. Teori Kontrol Genetik.
Teori ini fokus pada genetik memprogram genetik DNA, dimana kita
dilahirkan dengan kode genetik yang unik, dimana penuaan dan usia hidup kita
telah ditentukan secara genetik.
d. Teori Radikal Bebas.
Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi
akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal
bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak
berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktivitas tinggi, karena
kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi
suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada
molekul lain.
6. Syarat-Syarat Shalat
a. Beragama Islam
b. Sudah baligh dan berakal
c. Suci dari hadas
d. Suci seluruh anggota badan, pakaian dan tempat
e. Menutup aurat, laki-laki auratnya antara pusat dan lutut, sedang wanita
seluruh anggota badannya kecuali muka dan dua belah telapak tangan
f. Masuk waktu yang telah ditentukan untuk masing-masing shalat
g. Menghadap kiblat
h. Mengetahui mana yang rukun dan yang sunat (Rifa’i, 2017)
7. Rukun Shalat
a. Niat
b. Takbiratul ihram
c. Berdiri tegak bagi yang berkuasa ketika shalat fardhu. Boleh sambil duduk
atau berbaring bagi yang sedang sakit
d. Membaca surat Al-Fatihah pada tiap-tiap raka’at
e. Ruku’ dengan thuma’ninah
f. I’tidal dengan thuma’ninah
g. Sujud dua kali dengan thuma’ninah
h. Duduk antara dua sujud dengan thuma’ninah
i. Duduk tasyahhud akhir dengan thuma’ninah
j. Membaca tasyahudd akhir
k. Membaca shalawat Nabi pada tasyahhud akhir
l. Membaca salam yang pertama
m. Tertib: berurutan mengerjakan rukun-rukun tersebut (Rifa’i, 2017).
1)
b.
b. Cara shalat ketika keadaan orang sakit tidak dapat berdiri dan tidak dapat
duduk. Maka shalat orang yang sakit dalam keadaan demikian adalah
mereka boleh mengerjakan shalatnya dengan cara dua belah kakinya
diarahkan ke arah kiblat, kepalanya ditinggikan dengan alas bantal dan
mukanya diarahkan ke arah kiblat. Dengan ketentuan ketika ruku' dan
sujudnya adalah sebagai berikut:
a. Cara mengerjakan ruku'nya adalah cukup mengerjakan kepala ke
muka.
b. Cara sujudnya adalah dengan cara menggerakkan kepala lebih ke
muka dan lebih ditundukkan seperti terlihat pada gambar di bawah
ini.
c. Jika duduk seperti biasa dan berbaring seperti gambar pada cara shalat
orang sakit dengan berbaring miring juga tidak dapat dilakukan, maka
seseorang tersebut boleh mengerjakan shalatnya dengan berbaring dengan
seluruh anggota badan dihadapkan dihadapkan kiblat. Dimana cara
melakukan ruku' dan sujudnya adalah dengan cara cukup menggerakkan
kepala menurut kemampuannya. Seperti terlihat pada gambar di bawah
ini:
Artinya:
(238) “Peliharalah segala sholat-(mu), dan (peliharalah) sholat wusthoo.
Berdirilah karena Allooh (dalam sholatmu) dengan khusyu`.
(239) Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka sholatlah sambil
berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka
sebutlah Allooh (sholatlah), sebagaimana Allooh telah mengajarkan
kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
Apabila ia tidak sanggup untuk berdiri akibat suatu udzur (antara
lain sakit, dan sebagainya) maka ia dapat sholat dengan duduk ataupun
berbaring, sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Al Imaam Al
Bukhoory no: 1117, dari Shohabat ‘Imron bin Hushoin رضي هللا عنه, beliau
berkata:
غير
ِ والعشاء بالمدين ِة من
ِ ب
ِ والمغر، والعصر
ِ الظهر
ِ جمع رسو ُل هللاِ ص َّلى هللاُ عليه وسلَّ ّم بين
مطر
ٍ خوفٍ وَل
Artinya :
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjamak shalat Zhuhur dan
shalat Ashar, dan menjamak shalat Maghrib dan Isya, di Madinah
padahal tidak sedang dalam ketakutan dan tidak hujan” (HR. Muslim no.
705).”
Artinya :
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam suatu kala menjenguk orang
yang sedang sakit. Ternyata Rasulullah melihat ia sedang shalat di atas
bantal. Kemudian Nabi mengambil bantal tersebut dan menjauhkannya.
Ternyata orang tersebut lalu mengambil kayu dan shalat di atas kayu
tersebut. Kemudian Nabi mengambil kayu tersebut dan menjauhkannya.
Lalu Nabi bersabda: shalatlah di atas tanah jika kamu mampu, jika tidak
mampu maka shalatlah dengan imaa` (isyarat kepala). Jadikan kepalamu
ketika posisi sujud lebih rendah dari rukukmu“ (HR. Al Baihaqi dalam Al
Kubra 2/306, dishahihkan Al Albani dalam Shifatu Shalatin Nabi, 78).”
ً فيغمض قليال،فإن كان َل يستطيع اإليماء برأسه في الركوع والسجود أشار في السجود بعينه
ويغمض تغميضا ً للسجود،للركوع
Artinya :
“Jika orang yang sakit tidak sanggup berisyarat dengan kepala untuk
rukuk dan sujud maka ia berisyarat dengan matanya. Ia mengedipkan
matanya sedikit ketika rukuk dan mengedipkan lebih banyak ketika
sujud.”
e. Dibolehkan tidak menghadap kiblat jika tidak mampu dan tidak ada yang
membantu
Menghadap kiblat adalah syarat shalat. Orang yang sakit hendaknya
berusaha tetap menghadap kiblat sebisa mungkin. Atau ia meminta
bantuan orang yang ada disekitarnya untuk menghadapkan ia ke kiblat.
Jika semua ini tidak memungkinkan, maka ada kelonggaran baginya
untuk tidak menghadap kiblat.
Artinya :
Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi menerangkan apa yang
perlu diperbuat oleh orang yang terkena salasul baul : siapa yang terkena
penyakit salasul baul yang berkelanjutan (air kencing yang terus keluar
tanpa bisa ditahan) bila masuk waktu sholat ia melakukan istinja,
mengenakan sesuatu pada kemaluannya yang bisa menahan tetesan kecing
kemudian dia berwudhu dan melaksanakan sholat, beginilah yang ia
lakukan setiap sholat. Yang perlu ditekankan adalah disini bahwa sholat
perlu menggangi popok dengan yang baru dan suci, sehingga tidak
menggunakan yang sudah najis.
C. Thaharoh
1. Hukum Thaharah
Thaharah berarti kebersihan dan kesucian dari berbagai kotoran atau bersih
dan suci dari kotoran atau najis yang dapat dilihat (najis hissi) dan najis ma’nawi
(yang tidak kelihatan zatnya) seperti aib dan kemaksiatan (Imam, 2009).
Sedangkan dalam buku yang lain secara etimologi “thaharah” berarti “kebersihan”
ketika dikatakan saya menyucikan pakaian maka yang dimaksud adalah saya
membersihkan pakaian. Dalam buku Fiqh ibadah secara bahasa ath-
thaharah berarti bersih dari kotoran-kotoran, baik yang kasat mata maupun tidak
(Prof. Whbah, 2010).
3. Jenis-Jenis Air
Air adalah allat utama untuk bersuci. Kalau air tidak ada, barulah boleh
mempergunakan alat bersuci lain yang sah menurut sara’. Dalam kaitannya
sebagai alat untuk bersuci, memakai air dikelompokkan ke dalam 4 kelompok,
yaitu:
a. Air mutlak, yaitu air yang masih murni atu air yang masih dalam wujud
penciptaannya, dimana ia tidak tercampur oleh zat atau sesuatu pun yang
terpisah darinya. Air mutlak ini disebut dengan “thahirun muthahhirun”, yaitu
sesuatu yang suci lagi mensucikan. Air mutlak ini meliputi: (1). Air hujan
(ma’ul nahari). (2). Air sumur (ma’ul bi’ri). (3). Air laut (ma’ul bahari). (4)
Air sungai (ma’un nahari). (5). Air salju (ma’uts tsalji). (6) Air dari mata air
(mau’ul ‘aini). (7) air embun (ma’ul barad). Hadis rasul (yunita)
b. Air Musyammas, yaitu murni (air mutlak) yang dipanaskan dengn matahari di
atas wadah yang terbuat dari logam atau sepuan emas. Air musyammas
hukumnya makruh digunakan untuk bersuci.
c. Air musta’mal, yaitu air yang telah digunakan untuk bersuci, meskipun ia tidak
berubah warna, rasa ataupu baunya. Air ini tidak sah (tidak boleh) digunakan
untuk bersuci.
d. Air mutanajjis, yaitu air yang sudah terkena atau tercemar najis, yang volume
air tersebut kurang dari dua kulah (±216 liter). Tapi jika air tersebut melebihi
dua kulah dan tidakberubah warna, rasa ataupun baunya meskipu terkena najis,
maka air tersebut tetep boleh dipergunakan untuk bersuci. ( Rifa’I, 2017).
4. Wudhu dan Tata Caranya
d. Pembatalan Wudhu
1) Pembatal pertama: Kencing, buang air besar, dan kentut
2) Pembatal kedua: Keluarnya mani, wadi, dan madzi
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya,
menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika
memiliki madzi.
dibedakan dari madzi dan wadi dengan melihat ciri-ciri mani yaitu:
a) baunya khas seperti bau adonan roti ketika basah dan seperti bau
telur ketika kering,
b) airnya keluar dengan memancar,
c) keluarnya terasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemas).
disebut mani. Wanita sama halnya dengan laki-laki dalam hal ini. Namun
disebutkan oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan diikuti oleh Ibnu
Sholah.
yang lebih kuat- termasuk zat yang suci. Cara mensucikan pakaian
yang terkena madzi dan wadi adalah dengan cara diperciki. Sedangkan
wudhu.
Agazali, Muhammad Iqbal. 2010. Cara bersuci dan shalat orang yang sakit.
Indonesia: islam house
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2013. Fiqh
Ibadah (Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji), Penerjemah: Kamran As’at
Irsyady, dkk. Jakarta: Bumi Aksara
Ash-Shilawy, Ibnu Rif’ah. 2009.Panduan Lengkap Ibadah Shalat cetakan pertama.
Yogyakarta: Citra Risalah
Aziz, abdul bin Abdullah bin baz Muhammad bin shaleh al-‘usaimin. 2007.
Tuntutan thaharah dan shalat. Penerjemah : ali makhtum assalamy. Indonesia:
Islam House
Baduwailan, Ahmad Salim dan Hishshah binti Rasyid. 2010. Berobatlah dengan
Shalat dan Alquran cetakan pertama. Solo: Aqwam
Baits, Ammi Nur. 2015. Untukmu Yang Sedang Sakit: Doa & Dzikir Amalan.
Yogyakarta: Yufid Publishing
Departemen Agama RI. 2012. Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung: CV
Diponegoro
Elzaky, Jamal Muhammad. 2011. Mukjizat Kesehatan Ibadah cetakan pertama.
Jakarta: Syuruq
Karim, Muslih Abdul. 2008. Panduan Pintar Shalat. Jakarta: Qultum Media
Mustafa, Bisri. 2007. Menjadi Sehat Dengan Shalat. Yogyakarta: Optimus
Rifa’i, Moh. 2017. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang: PT Karya Toha
Saleh, Amir dan Ahmed Saleh. 2013. Sehat Shalat. Bandung: Salamadani
Sulaiman Rasjid. 2012. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap. Bandung: Sinar Baru
Algensindo
Syafrida dan Nurhayati Zein. 2015. Fiqh Ibadah. Pekanbaru: CV. Mutiara Pesisir
Sumatra
Syaikh Muhammad Fadh & Syaikh Abdul Aziz bin Baz. 2011. Sifat Wudhu &
Shalat Nabi SAW, Penerjemah: Geis Umar Bawazier Jakarta: al-Kautsa’
Syekh Syamsuddin Abu Abdillah. 2010. Terjemahan Fathur Qarib Pengantar
Fiqih Imam Syafi’i. Surabaya : Mutiara Ilmu
Zaitun dan Siti Habiba. 2013. Implementasi Shalat Fardhu Sebagai Sarana
Pembentuk Karakter Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung
Pinang. Jurnal Pendidikan Agama Islam.