Anda di halaman 1dari 32

KEPERAWATAN GERONTIK

LAPORAN PENDAHULUAN DAN TEORI ASUHAN KEPERAWATAN


PADA LANSIA HIPERTENSI DENGAN GANGGUAN POLA TIDUR

Fasilitator:
Riska Rohmawati, S.Kep.Ns., M.Tr.Kep.

Oleh:
Fida Fitriyanah, S.Kep.
1120019172

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunianya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan
laporan praktik Keperawatan Gerontik ini yang alhamdulillah dengan tepat waktu.
Laporan ini berisikan tentang informasi “Laporan Pendahuluan dan Teori
Asuhan Keperawatan pada Lansia Hipertensi dengan gangguan pola tidur”.
Laporan ini di tulis dengan bahasa yang sederhana berdasarkan berbagai
literatur tertentu dengan tujuan untuk mempermudah pemahaman mengenai teori
yang dibahas. Kendati demikian, tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari
bahwa dalam laporan ini terdapat kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu
penulis terbuka dengan senang hati menerima kritik dan saran yang konstruktif
dari semua pihak demi perbaikan dan penyempurnaan laporan ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat memberikan manfaat
bagi semua pihak.

Gresik, 27 Oktober 2020

Penulis
BAB 1
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Konsep Dasar
1. Konsep Dasar Lansia
a. Definisi
Lanjut usia adalah kelompok manusia yang berusia 60 tahun keatas. Pada
lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara
perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas atau infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang terjadi. Oleh karena itu, dalam tubuh akan
menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural yang disebut penyakit
degeneratif yang menyebebkan lansia akan mengakhiri hidup dengan episode
terminal (Sunaryo dkk, 2016)
b. Batasan Umur Lansia
Menurut pendapat beberapa ahli dalam Efendi (2009), batasan-batasan
umur yang mencakup batasan umur lansia sebagai berikut:
1) Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 pasal 1
ayat (2), (3), (4) tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah
seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008).
2) Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat
kriteria berikut: Usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia
(elderly) ialah 60-70 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat
tua (very old) ialah diatas 90 tahun.
3) Menurut Jos Masdani (Psikologi UI) terdapat empat fase, yaitu: pertama (fase
inventus) ialah 24-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah 40-55 tahun, ketiga
(fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase senium) ialah 65 tahun
hingga tutup usia.
4) Menurut Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric age): >65 tahun
atau 70 tahun. Masa lanjut usia (geriatric age) itu sendiri dibagi menjadi tiga
batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun), dan very
old)>80 tahun (Sunaryo dkk, 2016)
c. Tipologi Lansia
Beberapa tipe lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,
lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Sunaryo dkk, 2016).
Tipe tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1) Tipe arif bijaksana.
2) Tipe mandiri.
3) Tipe tidak puas.
4) Tipe pasrah.
5) Tipe bingung.
d. Proses penuaan
Proses penuaan merupakan proses yang berhubungan dengan umur
seseorang. Manusia mengalami perubahan sesuai dengan bertambahnya umur
tersebut. Semakin bertambah umur semakin berkurang fungsi-fungsi organ tubuh.
Hal ini dapat kita lihat dari perbandingan struktur dan fungsi organ antara manusia
yang berumur 70 tahun dengan mereka yang berumur 30 tahun, yaitu berat otak
pada lansia 56%, aliran darah ke otak 80%, cardiac output 70%, jumlah
glomerulus 56%, glomerular filtration rate 69%, vital capacity 56%, asupan O2
selama olahraga 40%, jumlah dari axon pada syaraf spinal 63%, kecepatan
pengantar impuls saraf 90%, dan berat badan 88%. Banyak faktor yang
mempengaruhi penuaan tersebut, sehingga muncullah teoti-teori yang
menjelaskan mengenai faktor penyebab proses penuaan ini (Sunaryo dkk, 2016).
Adapun faktor yang mempengaruhi proses penuaan tersebut dapat dibagi
atas dua bagian. Pertama, faktor genetik, yang melibatkan perbaikan DNA,
respons terhadap stress, dan pertahanan terhadap antioksidan. Kedua, faktor
lingkungan, yang meliputi pemasukan kalori, berbagai macam penyakit, dan stress
dari luar, misalnya radiasi atau bahan-bahan kimia. Kedua faktor tersebut akan
mempengaruhi aktivitas metabolisme sel yang akan menyebabkan terjadinya
stress oksidasi sehingga terjadi kerusakan pada sel yang menyebabkan terjadinya
proses penuaan.
e. Perubahan-perubahan yang Terjadi Akibat Proses Penuaan
1) Perubahan pada semua sistem dan implikasi klinik (Sunaryo dkk, 2016):
a) Sel
Jumlah sel pada lansia lebih sedikit, ukurannya lebih besar, jumlah cairan
tubuh dan cairan intraseluler berkurang, proporsi protein diotak, otot, ginjal,
darah, dan hati menurun. Jumlah sel otak menurun, otak menjadi atrofis beratnya
berkurang 5-10%, dan terganggunya mekanisme perbaikan sel.
b) Perubahan pada Sistem Sensoris
Lansia yang mengalami penurunan persepsi sensori, akan merasa enggan
bersosialisasi karena kemunduran fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki.
Merupakan kesatuan integrasi dari persepsi sensori adalah:
(1) Penglihatan
(a) Terjadinya awitan presbiopi dengan kehilangan kemampuan akomodasi.
Kerusakan ini terjadi karena kerusakan otot-otot siliaris menjadi lebih lemah
dan kendur, dan lensa kristalin mengalami sklerosis, dengan kehilangan
elastisitas dan kemampuan untuk memusatkan penglihatan jarak dekat.
(b) Penurunan ukuran pupilatau miosis pupil terjadi karena sfingkter pupil
mengalami sklerosis.
(c) Perubahan warna dan meningkatnya kekeruhan lensa kristal yang
terakumulasi dapat menimbulkan katarak.
(d) Penurunan produksi air mata.
(2) Pendengaran
(a) Pada telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi sensorineural. Hal ini
terjadi karena telinga bagian dalam dan komponen syaraf tidak berfungsi
dengan baik sehingga terjadi perubahan konduksi.
(b) Pada telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap membran timpani,
pengapuran dari tulang pendengaran, otot dan ligamen menjadi lemah dan
kaku.
(c) Pada telinga bagian luar, rambut menjadi panjang dan tebal, kulit menjadi
lebih tipis dan kering, dan peningkatan keratin.
(3) Perabaan
Perabaan mungkin sistem sensori pertama yang menjadi fungsional
apabila terhadap gangguan pada penglihatan dan pendengaran.
(4) Pengecapan
Penurunan jumlah dan kerusakan papila atau kuncup-kuncup perasa lidah.
(5) Penciuman
Penurunan atau kehilangan sensasi penciuman karena penuaan dan usia.
c) Perubahan pada Sistem Integumen
Pada lansia, epidermis tipis dan rata, terutama yang paling jelas diatas
tonjolan-tonjolan tulang, telapak tangan, kaki bawah, dan permukaan dorsalis
tangan dan kaki. Sedikitnya kolagen yang terbentuk pada proses penuaan dan
adanya penurunan jaringan elastik, mengakibatkan penampilan yang lebih keriput.
Tekstur kulit lebih kering karena kelenjar eksokrin lebih sedikit dan penurunan
aktivitas kelenjar eksokrin dan kelenjar sebasea. Degenerasi menyeluruh jaringan
penyambung disertai penurunan cairan tubuh total, menimbulkan penurunan
turgot kulit. Massa lemak bebas berkurang 6,3% BB per dekade dengan
penambhan massa lemak 2% per dekade. Massa ini berkurang sebesar 2,5% per
dekade.
(1) Stratum Korneum
(a) Kohesi sel dan waktu regenerasi sel menjadi lebih lama.
(b) Pelembaban pada stratum korneum berkurang.
(2) Epidermis
(a) Jumlah sel basal menjadi sedikit, perlambatan dalam proses perbaikan sel,
dan penurunan jumlah kedalaman rate ridge.
(b) Terjadi penurunan jumlah melanosit
(c) Penurunan jumlah sel langerhans sehingga menyebabkan penurunan
kompetensi imun.
(d) Kerusakan struktur nukleus kreatinosit.
(3) Dermis
(a) Volume dermal mengalami penurunan yang menyebabkan penipisan dermal
dan jumlah sel berkurang.
(b) Penghancuran serabut elastis dan jaringan kolagen oleh enzim-enzim.
(c) Vaskularisasi menurun dengan sedikit pembuluh darah kecil.
(4)Subkutis
(a) Lapisan jaringan subkutan mengalami penipisan.
(b) Distribusi kembali dan penurunan lemak tubuh.
(5)Bagian tambahan pada kulit
(a) Berkurangnya folikel rambut.
(b) Pertumbuhan kuku melambat.
(c) Corpus pacini (sensasi tekan) dan corpus meissner (sensasi sentuhan
menurun)
(d) Kelenjar keringat sedikit.
(e) Penurunan kelenjar apokrin.
d) Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal
Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas,
gangguan metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia, perusakan
dan pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon
esterogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormon lain. Tulang-tulang
trabekulae menjadi lebih berongga, mikro-aksitetur berubah dan sering patah, baik
akibat benturan ringan maupun spontan.
(1) Sistem Skeletal
(a) Penurunan tinggi badan secara progresif karena penyempitan didkus
intervertebral dan penekanan pada kolumna vertebralis.
(b) Penurunan produksi tulang kortikal trabekular yang berfungsi sebagai
perlindungan terhadap beban gerakan rotasi dan lengkungan.
(2) Sistem Muskular
(a) Waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang.
(b) Perubahan kolumna vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen dan sendi,
penyusutan dan sklerosis tendon dan otot, dan perubahan degeneratif
ekstrapiramidal.
(3)Sendi
(a) Pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen.
(b) Kekakuan ligamen dan sendi.
(4) Esterogen
Perubahan yang terjadi pada sistem skeletal akibat proses menua, yaitu
penurunan hormon esterogen. Implikasi dari hal ini adalah kehilangan unsur-unsur
tulang yang berdampak pada pengeroposan tulang.
e) Perubahan pada Sistem Neurologis
(1) Konduksi saraf perifer yang lebih lambat.
(2) Peningkatan lipofusin sepanjang neuron-neuron.
(3) Termoregulasi oleh hipotalamus kurang efektif.
f) Perubahan pada Sistem Kardiovaskular
(1) Penebalan dinding ventrikel kiri karena peningkatan densitas kolagen dan
hilangnya fungsi serat-serat elastis.
(2)Jumlah sel-sel peace maker mengalami penurunan dan berkas his kehilangan
serat konduksi yang membawa impuls ke ventrikel.
(3)Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus karena peningkatan
serat kolagen dan hilangnya serat elasti dalam lapisan medial arteri.
(4)Vena meregang dan mengalami dilatasi.
g) Perubahan pada Sistem Pulmonal
(1) Paru-paru kecil dan kendur, hilangnya rekoil elastis, dan pembesaran alveoli.
(2) Penurunan kapasitas vital penurunan PaO2 residu.
(3) Pengerasan bronkus dengan peningkatan resistensi.
(4) Klasifikasi kartlago kosta, kekakuan tulang iga pada kondisi pengembangan.
(5) Hilangnya tonus otot toraks, kelemahan kenaikan dasar paru.
(6) Kelenjar mukus kurang produktif.
(7) Penurunan sensitivitas sfingter esofagus.
(8) Penurunan sensitivitas kemoreseptor.
h) Perubahan pada Sistem Endokrin
(1) Kadar glukosa darah meningkat.
(2) Ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat.
(3) Residu urin didalam kandung kemih meningkat.
(4) Kelenjar tiroid menjadi lebih kecil, produksi T3 dan T4 sedikit menurun, dan
waktu paruh T3 dan T4 meningkat.

i) Perubahan pada Sistem Renal dan Urinaria


Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada ginjal, bladder,
uretra, dan sistem nervus yang berdampak pada fungsi fisiologi terkait eliminasi
urine.
(1) Perubahan pada sistem renal
(a) Membran basalis glomerulus mengalami penebalan, sklerosis pada area fokal,
dan total permukaan glomerulus mengalami penurunan, panjang dan volume
tubulus proksimal berkurang, dan penurunan aliran darah renal.
(b) Penurunan massa otot yang tidak berlemak, peningkatan total lemak tubuh,
penurunan cairan intra sel, penurunan sensasi haus, penurunan kemampuan
untuk memekatkan urine.
(c) Penurunan hormone yang penting untuk absorbsi kalsium dari saluran
gastrointestinal.
(2) Perubahan pada sistem urinaria
Penurunan kapasitas kandung kemih (N: 350-400 mL), peningkatan
volume residu (N: 50 mL), peningkatan kontraksi kandung kemih yang tidak
disadari, dan atopi pada otot kandung kemih secara umum.
j) Perubahan pada Sistem Gastrointestinal
Terjadi perubahan morfologik degeneratif mulai dari gigi sampai anus, antara
lain perubahan atrofi pada rahang, mukosa, kelenjar, dan otot-otot pencernaan.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem gastrointestinal akibat
proses menua.
(1) Rongga mulut
(a) Hilangnya tulang periosteum dan periduntal, penyusutan dan fibrosis pada
akar halus, pengurangan dentin, dan retraksi dari struktur gusi.
(b) Hilangnya kuncup rasa.
(c) Atrofi pada mulut.
(d) Produksi saliva pada lansia telah mengalami penurunan.
(2) Esofagus, Lambung, dan Usus.
(a) Dilatasi esofagus, hilangnya tonus sfingter jantung, dan penurunan refleks
muntah.
(b) Atrofi penurunan sekresi asam hidroklorik mukosa lambung sebesar 11%
sampai 40% dari populasi.
(c) Penurunan mobilitas lambung.
(3) Saluran Empedu, Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas
(a) Pengecilan ukuran hati dan pankreas.
(b) Perubahan proporsi lemak empedu tanpa diikuti perubahan metabolisme asam
empedu yang signifikan.
k) Perubahan pada Sistem Reproduksi dan Kegiatan Seksual
(1) Perubahan pada Sistem Reproduksi Pria
(a) Testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya penurunan
secara berangsur-angsur.
(b) Atrofi asini prostat otot dengan area fokus hiperplasia.
(2) Perubahan pada Sistem Reproduksi Wanita
(a) Penurunan esterogen yang bersirkulasi.
(b) Peningkatan androgen yang bersirkulasi.
2) Perubahan Mental
Pada umumnya lansia mengalami penurunan fungsi kognitif dan
psikomotor. Perubahan mental ini erat sekali kaitannya dengan perubahan fisik,
keadaan kesehatan, tingkat pengetahuan, dan pendidikan serta situasi lingkungan.
Dari segi mental perubahan yang terjadi antara lain sering muncul
perasaan pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan cemas, ada kekacauan
mental akut, merasa terancam akan timbulnya suatu penyakit,takut ditelantarkan
karena merasa tidak berguna lagi, serta munculnya perasaan kurang mampu untuk
mandiri, serta cenderung entrover.
3) Perubahan Psikososial
Masalah-masalah serta reaksi individu terhadapnya akan sangat beragam,
tergantung pada kepribadian individu yang bersangkutan.
a) Pensiun
Nilai seseorang sering dilihat dari produktivitas dan identitas sesuai
peranan pekerjaan. Bila seseorang pensiun, dia akan mengalami kehilangan-
kehilangan.

b) Perubahan Psikososial Lain


Perubahan psikososial lain yang terjadi pada lansia, antara lain
merasa/sadar akan kematian (sense of awarness of morality), perubahan dalam
cara pola hidup (memasuki ranah perawatn gerak lebih sempit), ekonomi akibat
pemberhentian dari jabatan (economy deprivation), meningkatnya biaya hidup
pada penghasilan yang sulit, bertambahnya biaya pengobatan, penyakit kronis dan
keridakmampuan, gangguan syaraf dan pancaindera (timbul kebutaan dan
ketulian), gangguan gizi, rangkaian dari kehilangan (kehilangan dengan teman
atau keluarga), hilangnya kekuatan dan ketegangan fisik, serta perubahan terhadap
gambaran diri dan perubahan konsep diri.
4) Perubahan Spiritual
Ada beberapa pendapat tentang perubahan spiritual pada lansia. Menurut
Maslow (dalam Sunaryo dkk, 2016) bahwa agama danepercayaan makin
terintegrasi dalam kehidupannya. Selanjutnya menurut Muray & Zentner (dalam
Sunaryo dkk, 2016), bahwa kehidupan keagamaan lansia makin matang.

2. Konsep Dasar Hipertensi


a. Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140
mmHg atau tekanan darah diastolik sedikitnya 90 mmHg. Hipertensi tidak hanya
beresiko tinggi menderita penyakit jantung, tetapi juga menderita penyakit lain
seperti saraf, ginjal dan pembuluh darah dan makin tinggi tekanan darah, makin
besar resikonya (Amin H.Nurarif, 2015).
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami
peningkatan tekanan darah diatas normal ditunjukkan oleh angka sistolik (bagian
atas) dan diastolic (bagian bawah) pada pemeriksaan tensi darah menggunakan
pengukur tekanan darah baik berupa cuff air raksa (sphygmomanometer) ataualat
digital lainnya. Tekanan darah normal adalah 120/80 mmHg (Devine, 2012).
Hipertensi adalah keadaan ketika tekanan darah sistolik lebih dari 120
mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 80 mmHg. Hipertensi sering menyebabkan
perubahan pada pembuluh darah, dapat mengakibatkan semakin tingginya tekanan
darah. Oleh sebab itu, pengobatan dini pada hipertensi sangatlah penting, karena
dapat mencegah timbulnya komplikasipada beberapa organ tubuh, seperti jantung,
ginjal dan otak.Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik
lebih dari 120 mmHg dan tekanan darah diastole lebih dari 80 mmHg
(Muttaqin,Arif, 2012).
b. Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa yang dikemukakan US Joint
National Committee of Detection (Aaronson,Philip I.,Ward,Jeremy, 2010)
Tabel 1.1 Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 130 <85
Normal tinggi 130-139 85-89
HT derajat 1 140-159 90-100
Sumber: (Aaronson,Philip I.,Ward,Jeremy, 2010)
c. Jenis Hipertensi
Menurut Aaronson, dkk (2010) jenis hipertensi ada 2 yaitu hipertensi
primer dan hipertensi sekunder.
1) Hipertensi Primer
Hipertensi primer adalah hipertensi yang belum diketahui penyebabnya.
Diderita oleh sekitar 95% orang. Oleh sebab itu, penelitian dan pengobatan lebih
ditujukan bagi penderita esensial. Hipertensi primer diperkirakan disebabkan oleh
faktor-faktor berikut ini:
a) Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan
lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita
hipertensi.
b) Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah umur
(jika umur bertambah maka tekanan darah meningkat), jenis kelamin (pria lebih
tinggi dari perempuan) dan ras (ras kulit hitam lebih banyak daripada putih).
c) Kebiasaan hidup
Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah
konsumsi garam yang tinggi (lebih dari 30g), kegemukan atau makan berlebihan,
stress, merokok, minum alkohol, minum obat-obatan (efedrin, prednisone,
epinefrin).
2) Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder terjadi akibat penyebab yang jelas. Salah satu contoh
hipertensi sekunder adalah hipertensi vascular renal, yang terjadi akibat stenosis
arteri renalis. Kelainan ini dapat bersifat kongenital.
d. Etiologi Hipertensi
Pada umumnya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik.
Hipertensi terjadi sebagai respons peningkatan curah jantung atau peningkatan
tekanan perifer. Akan tetapi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
hipertensi menurut (Padila 2013):
1) Genetik
Respons neurologi terhadap stress atau kelainan ekskresi atau transport Na.
2) Obesitas
Terkait dengan tingkat insulin yang tinggi yang mengakibatkan tekanan darah
meningkat.
3) Stres karena lingkungan.
4) Hilangnya elastisitas jaringan dan arterosklerosis pada orang tua serta
pelebaran pembuluh darah.
Pada orang lanjut usia, penyebab hipertensi disebabkan terjadinya
perubahan elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi
kaku, kemampuan jantung memompa darah, kehilangan elastisitas pembuluh
darah dan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer. Setelah usia 20 tahun
kemampuan jantung memompa darah menurun 1% tiap tahun dan menyebabkan
menurunnya kontraksi dan volume. Elastisitas pembuluh darah menghilang
karena terjadi kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi.
e. Patofisiologi Hipertensi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak dipusat vasomotor pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula
pada saraf simpatis, berlanjut kebawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna
medulla spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat
vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak kebawah melalui
sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron pre-ganglion
melepaskan asetilkolin, akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke
pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan
kontriksi pembuluh darah. Berbagai faktor, seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan vasokonstriktor.
Klien dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak
diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut dapat terjadi. Pada saat bersamaan
ketika saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi,
kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas
vasokontriksi. Medula adrenal menyekresi epinefrin, menyebabkan vasokontriksi.
Korteks adrenal menyekresi kortisol dan steroid lainnya, dapat memperkuat
respons vasokontrikstor pembuluh darah. Vasokontriksi mengakibatkan
penurunan aliran darah ke ginjal,menyebabkan pelepasan renin. Renin yang
dilepaskan merangsang pembentukan angiotensin I, kemudian diubah menjadi
angiotensin II, vasokontriktor kuat pada akhirnya merangsang sekresi aldosteron
dengan korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor
tersebut cenderung mencetuskan hipertensi (Brunner & Suddarth, 2002 dalam
Padila 2013).
f. Manifestasi klinis
Gejala umum yang ditimbulkan akibat menderita hipertensi tidak sama
pada setiap orang, bahkan terkadang timbul tanpa gejala. Secara umum gejala
yang dikeluhkan oleh penderita hipertensi sebagai berikut(Amin Huda dan
Hardhi,2015):
1) Sakit kepala.
2) Rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk.
3) Perasaan berputar seperti tujuh keliling serasa ingin jatuh .
4) Berdebar atau detak jantung terasa cepat.
5) Telinga berdenging.
Corwin (2009) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul
setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa:
1) Nyeri kepala saat terjaga, terkadang disertai mual dan muntah, akibat
peningkatan tekanan darah intracranial.
2) Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi.
3) Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.
4) Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.
Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi, yaitu pusing,
muka merah, sakit kepala, keluar darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk
terasa pegal dan lain-lain (Novianti,2006 dalam Aspiani, Reny Yuli,2014).
g. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang hipertensi meliputipemeriksaan laboratorium rutin
yang dilakukan sebelum memulai terapi bertujuan menentukan adanya kerusakan
organ dan faktor resiko lain arau mencari penyebab hipertensi. Biasanya diperiksa
urinanalisa, darah perifer lengkap, kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula
darah puasa, kolesterol total, HDL, LDLdan pemeriksaan EKG). Sebagai
tambahan dapat dilakukan pemeriksaan lain, seperti klirens kreatinin, protein,
asam urat, TSH dan ekordiografi (Sharif, 2012).
Pemeriksaan diagnostik meliputi BUN / creatinin (fungsi ginjal), glukosa
(DM) kalium serum (meningkat menunjukkan aldosteron yang meningkat),
kalsium serum (peningkatan dapat menyebabkan hipertensi : kolesterol dan tri
gliserit) (indikasi pencetus hipertensi), pemeriksaan tiroid (menyebabkan
vasokontriksi), urinalisa protein, gula (menunjukkan disfungsi ginjal), asam urat
(faktor penyebab hipertensi) EKG (pembesaran jantung, gangguan konduksi), IVP
(dapat mengidentifikasi hipertensi) (Sharif, 2012).
h. Pencegahan
Agar terhindar dari komplikasi fatal hipertensi tindakan pencegahan yang
baik (Stop High Blood Pressure) (Gunawan, 2011) diantaranya :
1) Mengurangi konsumsi garam
2) Menghindari kegemukan
3) Membatasi konsumsi lemak
4) Olahraga teratur
5) Makan banyak buah dan sayuran
6) Tidak merokok dan minum alcohol
7) Latihan relaksasi
8) Berusaha membina hidup yang positif

i. Pathway Aliran darah


Faktor predisposisi: usia, jenis kelamin, merokok, stress, Beban makin cepat
kurang olahraga, genetic, alkohol, konsentrasi garam, kerja keseluruh
obesitas. jantung tubuh
sedangkan
Kerusakan vaskuler Tekanan sistemik darah nutrisi dalam
HIPERTENSI
pembuluh darah sel sudah
mencukupi
Perubahan kebutuhan
Perubahan struktur situasi Krisis situasional
Metode
Defisiensi
Penyumbatan Informasi koping tidak
pengetahuan
pembuluh darah minim efektif
Ganggauan
Resistensi Pola Tidur Ketidakefektifan
Vasokonstriksi pembuluh koping
darah otak Nyeri kepala
Resiko
Gangguan sirkulasi Suplai O2 ke ketidakefektifan
Otak
otak perfusi jaringan
otak

Ginjal Retina Pembuluh darah

Vasokontriksi Spasme arteriol


pembuluh darah ginjal Sistemik Koroner

Risiko cedera Vasokontrik


Blood flow Iskemia miokard
darah Penurunan
Afterload Nyeri
curah
jantung akut
Respon RAA
Fatigue
Kelebihan
Merangsang volume
aldosteron Intoleransi
cairan aktivitas

Retensi Na Edema

Gambar 1.1 Pathway Hipertensi (Nurarif, Amin H. 2015)

j. Penatalaksanaan
Tujuan deteksi dan penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan risiko
penyakit kardiovaskuler dan mortalitas serta morbiditas yang berkaitan. Tujuan
terapi adalah mencapai dan mempertahankan tekanan sistolik di bawah 140
mmHg dan tekanan diastolic di bawah 90 mmHg dan mengontrol faktor risiko.
Hal ini dapat dicapai melalui modifikasi gaya hidup saja, atau dengan obat
antihipertensi. Penatalaksanaan faktor risiko dilakukan dengan cara pengobatan
setara non-farmakologi, antara lain(Mansjoer,2002 dalam Aspiani, Reny
Yuli,2014):
1) Pengaturan diet
Berbagai studi menunjukkan bahwa diet dan pola hidup sehat atau dengan
obat-obatan yang menurunkan gejala gagal jantung dan dapat memperbaiki
keadaan hipertrofi ventrikel kiri. Beberapa diet yang dianjurkan:
a) Rendah garam, diet rendah garam dapat menurunkan tekanan darah pada
klien hipertensi. Dengan pengurangan konsumsi sehingga sangat berpotensi
sebagai anti hipertensi. Jumlah asupan natrium yang dianjurkan 50-100 mmol
atau setara dengan 3-6 gram garam per hari.
b) Diet kaya buah dan sayur.
c) Diet rendah kolesterol sebagai pencegah terjadinya jantung koroner.
2) Penurunan berat badan
Mengatasi obesitas pada sebagian orang, dengan cara menurunkan berat
badan mengurangi tekanan darah, kemungkinan dengan mengurangi beban kerja
jantung dan volume sekuncup. Pada beberapa studi menunjukkan bahwa obesitas
berhubungan dengan kejadian hipertensi dan hipotrofi ventrikel kiri. Jadi,
penurunan berat badan adalah hal yang sangat efektif menurunkan tekanan darah.
Penurunan berat badan (1 kg/minggu) sangat dianjurkan. Penurunan berat badan
dengan menggunakan obat-obatan perlu menjadi perhatian khusus karena
umumnya obat penurun berat badan yang terjual bebas mengandung
simpatomimetik, sehingga dapat meningkatkan tekanan darah, memperburuk
angina atau gejala gagal jantung dan terjadinya eksaserbasi aritmia.
3) Olahraga
Olahraga teratur seperti berjalan, lari, berenang, bersepeda bermanfaat
untuk menurunkan tekanan darah dan memperbaiki keadaan jantung. Olahraga
isotonik dapat meningkatkan fungsi endotel, vasodilatasi periferdan mengurangi
katekolamin plasma. Olahraga teratur selama 30 menit sebanyak 3-4 kali dalam
satu minggu dianjurkan untuk mengurangi tekanan darah. Olahraga meningkatkan
kadar HDL, dapat mengurangi terbentuknya arterosklerosis akibat hipertensi.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Gerontik dengan Hipertensi


1. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah pertama dari proses keperawatan melalui
kegiatan pengumpulan data atau perolehan data yang akurat dapat pasien guna
mengetahui berbagai permasalahan yang ada, (Azmi Alimul, 2010). Hal-hal yang
perlu dikaji pada tahapan ini adalah:
a. Identitas pasien
Hal-hal yang perlu dikaji pada bagian ini yaitu antara lain: Nama, Umur,
Jenis Kelamin, Pendidikan, Agama, Status mental, Suku, Keluarga atau orang
terdekat, Alamat, Nomor Regristasi.
b. Sirkulasi
Gejala: riwayat tekanan darah, hipotensi postural, takikardi, perubahan
warna kulit, suhu dingin.
c. Integritas Ego
1) Gejala: riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, factor stress.
2) Tanda: letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontineu perhatian,
tangisan yang meledak, otot muka tegang, pernapasan menghela, peningkatan
pola bicara.
d. Eliminasi
Gejala: gangguan ginjal saat ini atau yang lalu.
e. Makanan atau Cairan
1) Gejala: makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan tinggi garam,
lemak dan kolesterol.
2) Tanda: berat badan normal atau obesitas, adanya edema.
f. Neurosensori
1) Gejala: keluhan pusing, sakit kepala, berdenyut sakit kepala, gangguan
penglihatan, episode epistaksis.
2) Tanda: perubahan orientasi, penurunan kekuatan genggaman, perubahan
retinal optic.
g. Nyeri atau Ketidaknyamanan
Gejala: angina, nyeri hilang timbul pada tungkai,sakit kepala oksipital
berat, nyeri abdomen.
h. Pernapasan
1) Gejala: dispnea yang berkaitan dengan aktivitas, takipnea, ortopnea, dispnea
nocyural proksirnal, batuk dengan atau tanpa sputum, riwayat merokok.
2) Tanda: distress respirasi atau penggunaan otot aksesoris pernapasan, bunyi
napas tambahan, sianosis.
i. Keamanan
1) Gejala: gangguan koordinasi, cara jalan.
2) Tanda: episode parestesia unilateral transien, hipotensi postural
j. Pembelajaran atau Penyuluhan
Gejala: factor resiko keluarga: hipertensi, aerosklerosis, penyakit jantung,
DM, penyakit ginjal, factor resiko etnik: penggunaan pil KB atau hormone.
k. Riwayat Psikososial
Kaji  respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya  dan penyakit
klien dalam keluarga dan masyarakat. Respon yang didapat meliputi adanya
kecemasan individu dengan rentang variasi tingkat kecemasan yang berbeda dan
berhubungan erat dengan adanya sensasi nyeri, hambatan mobilitas fisik akibat
respon nyeri, dan ketidaktahuan akan program pengobatan dan prognosis
penyakit . Adanya perubahan peran dalam keluarga akibat adanya  gangguan tidur
dan memberikan respon terhadap konsep diri yang maldaptif.
1) Pengkajian Status Fungsional
Pengkajian status fungsional ini meliputi pengukuran kemampuan seseorang
dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, penentuan kemandirian,
mengidentifikasi kemampuan dan keterbatasan klien, serta menciptakan pemilihan
intervensi yang tepat. Pengkajian status fungsional ini melakukan pemeriksaan
dengan instrumen tertentu untuk membuat penilaian secara objektif. Instrumen
yang biasa digunakan dalam pengkajian status fungsional adalah:

a) Indeks katz/aktivitas kehidupan sehari-hari


(1) Bathing
(2) Dressing
(3) Toileting
(4) Transfering
(5) Continence
(6) Feeding
Indeks Katz pada aktivitas kehidupan sehari-hari memfokuskan pada 6
aktivitas sehari-hari seperti yang tertera di atas. Selain ke 6 aktivitas tersebut
indekz ini mengkaji kemampuan individu untuk melakukan secara mandiri.
Misalnya pada individu yang ditempatkan pada posisi indeks seperti
“membutuhkan bantuan untuk berpindah”. Posisi ini memberikan gambaran
definitif pada individu, apakah mereka dapat menggambarkan kemampuannya,
seperti kemampuan untuk makan dan mempertahankan kontinensia tapi
mengalami kesulitan dalam bergerak.
Penilaian didasarkan pada kemampuan pasien untuk melakukan ke 6 hal
yang dikriteriakan di atas namun pada pelaksanaannya perlu beberapa modifikasi
penilaian untuk memastikan status fungsional usia lanjut. (Jurnal kesehatan
masyarakat, 2009).
b) Barthel Indeks
c) Sullivan Indeks Katz
Alat ini digunakan untuk menentukan hasil tindakan dan prognosis pada
lansia dan penyakit kronis. Lingkup pengkajian meliputi keadekuatan enam
fungsi, yaitu mandi, berpakaian, toileting, berpidah, kontinen dan makan, yang
hasilnya untuk mendeteksi tingkat fungsional klien (mandiri/dilakukan sendiri
atau tergantung).
2) Pengkajian Status Kognitif/Afektif
Pengkajian Status Kognitif/Afektif merupakan pemeriksaan status mental
sehingga dapat memberikan gambaran perilaku dan kemampuan mental dan
fungsi intelektual. Pengkajian status mental ditekankan pada pengkajian tingkat
kesadaran, perhatian, keterampilan berbahasa, ingatan interpretasi bahasa,
keterampilan menghitung dan menulis, serta kemampuan konstruksional.
Pengkajian status mental bisa digunakan untuk klien yang beresiko delirium.
Pengkajian ini meliputi Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ),
Mini-Mental State Exam (MMSE), Inventaris Depresi Beck (IDB), Skala Depresi
Geriatrik Yesavage. Berikut akan diuraikan secara singkat aspek pengkajian
tersebut.
3) Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ)
Pengkajian ini digunakan untuk mendeteksi adanya tingkat kerusakan
intelektual instrumen SPMSQ terdiri dari 10 pertanyaan tentang orientasi, riwayat
pribadi, memori dalam hubungannya dengan kemampuan perawatan diri, memori
jauh dan kemampuan matematis. Penilaian dalam pengkajian SPMSQ adalah nilai
1 jika rusak/salah dan nilai 0 tidak rusak/benar.
4) Mini-Mental State Exam (MMSE)
Mini-Mental State Exam (MMSE) digunakan untuk menguji aspek kognitif
dari fungsi mental: Orientasi, registrasi, perhatian, kalkulasi, mengingat kembali,
dan bahasa. Pemeriksaan ini bertujuan untuk melengkapi dan menilai, tetapi tidak
dapat digunakan untuk tujuan diagnostik, namun berguna untuk mengkaji
kemampuan klien.
5) Inventaris Depresi Beck (IDB)
Inventaris Depresi Beck (IDB) merupakan alat pengukur status afektif yang
digunakan untuk membedakan jenis depresi yang mempengaruhi suasana hati.
Instrumen ini berisikan 21 karakteristik: Alam perasaan, pesimisme, rasa
kegagalan, kepuasan, rasa bersalah, rasa terhukum, kekecewaan terhadap
seseorang, kekerasan terhadap diri sendiri, keinginan untuk menangis, mudah
tersinggung, menarik diri, ketidakmampuan membuat keputusan, gambaran tubuh,
gangguan tidur, kelelahan, gangguan selera makan, kehilangan berat badan. Selain
itu, juga berisikan 13 hal tentang gejala dan sikap yang berhubungan dengan
depresi.
6) Skala Depresi Geriatrik Yesavage
Skala Depresi Geriatrik Yesavage atau biasa disebut dengan Geriatric
Depression Scale (GDS) merupakan instrumen yang disusun secara khusus untuk
memeriksa depresi. Instrumen ini terdiri atas 30 atau 15 pertanyaan dengan
jawaban YA atau TIDAK. GDS ini telah diuji kesahihan dan keandalannya.
Beberapa nomer jawaban YA dicetak tebal, dan beberapa nomer yang lain
jawaban TIDAK dicetak tebal. Jawaban yang dicetak tebal mempunyai nilai 1
apabila dipilh. Instrumen GDS dengan 30 item pertanyaan ini dikatakan juga
dengan GDS Long Version, sedangkan yang mengguankan 15 item pertanyaan
biasa disebut GDS Short Version.
b. Diagnosa Keperawatan
Menurut SDKI, 2017 :
1) Gangguan Pola Tidur berhungan dengan Kurang Kontrol Fisik dibuktikan
dengan Mengeluh Sulit Tidur
2) Nyeri Akut berhungan dengan Agen Pencedera Fisiologis dibuktikan dengan
Sulinya Tidur Karena Nyeri Kepala
3) Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
dibuktikan dengan menanyakan masalah yang dihadapi.
c. Intervensi
Intervensi keperawatan menurut Doenges, dkk. (2000), adalah preskripsi
untuk perilaku spesifik yang diharapkan dari pasien dan/tindakan yang harus
dilakukan perawat. Perencanaan tindakan atau intervensi berupa pernyataan
menggunakan kalimat perintah, seperti: Monitor intensitas cemas, laporkan
kualitas tidur yang adekuat, kontrol renspons cemas, rencanakan strategi koping
dalam situasi stres, kaji pengetahuan keluarga, jelaskan mekanisme timbulnya
nyeri, beri kesempatan kelarga bertanya, beri reinforcement positif, ajarkan teknik
untuk mengurangi nyeri, anjurkan olahraga ringan, dan berikan informasi tentang
fasilitas kesehatan. (Sunaryo dkk, 2016).
Perawat mengembangkan rencana pelayanan yang berhubungan dengan
lansia dan hal-hal yang berkaitan. Tujuan, prioritas, serta pendekatan keperawatan
yang digunakan dalam rencana perawatan termasuk didalamnya kepentingan
terapeutik, promotif, preventif, dan rehabilitatif.
Rencana keperawatan membantu klien memperoleh dan mempertahankan
kesehatan pada tingkatan yang paling tinggi kesejahteraan dan kualitas hidup
dapat tercapai, demikian juga halnya untuk menjelang kematian secara damai.
Rencana dibuat untuk keberlangsungan pelayanan dalam waktu yang tak terbatas,
sesuai dengan respons atau kebutuhan klien.
No. Standar Diagnosa Keperawatan Standar Luaran Keperawatan Indonesia Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Indonesia (SDKI) (SLKI) (SIKI)
1. BAB : IV Pola Tidur (L.05045) Terapi Pemijatan (I.082531)
Kategori : Fisiologis
Sub Kategori : aktivitas/Istirahat Definisi: Definisi:
Kode : D.0055 Keadekuatan kualitas dan kuantitas tidur Memberikan stimulasi kulit dan jaringan
Ekspektasi: Membaik dengan berbagai teknik gerakan dan tekanan
Gangguan Pola Tidur tangan untuk meradakan nyeri, meningkatkan
Kriteria Hasil: relaksasi, memperbaiki sirkulasi dan strimulasi
Definisi: 1. Keluhan sulit tidur pertumbuhan dan perkembangan.
Gangguan kualitas dan muantitas 2. Keluhan sering terjaga
tidur akibat faktor eksternal 3. Keluhan tidak puas tidur Tindakan
4. Keluhan pola tidur berubah Observasi
5. Keluhan istirahat tidak cukup 1. Identifikasi kontraindikasi terapi pemijatan
Keterangan: (mis. Penurunan trombosit, gangguan
1 = Menurun integritas kulit, deep vein thrombosis, area
2 = Cukup Menurun lesi, kemerahan atau radang tumor, dan
3 = Sedang hipersensivitas terhadap sentuhan)
4 = Cukup Meningkat 2. Identifikasi kesediaan dan penerimaan
5 = Meningkat dilakukan pemijatan
3. Monitor respons terhadap pemijatan
6. Kemampuan beraktivitas Terapeutik
Keterangan: 1. Tetapkan jangka waktu untuk pemijatan
1= Meningkat 2. Pilih area tubuh yang akan dipijat
2=Cukup Meningkat 3. Cuci tangan
3 = Sedang 4. Siapkan lingkungan yang hangat, nyaman,
4=Cukup Menurun dan privasi
5 = Menurun 5. Buka area yang akan dipijat, sesuai
kebutuhan
Tingkat Keletihan (L.05046) 6. Tutup area yang tidak terpajan (mis.
Definisi: Dengan selimut, seprai, handuk mandi)
Kapasitas kerja fisik dan mental yang tidak 7. Gunakan lotion atau minyak untuk
pulih dnegan istirahat mengurangi gesekan (perhatikan
Ekspektasi : kontraindikasi penggunaan lotion atau
Menurun minyak tertentu terhadap individu)
8. Lakukan pemijatan dengan teknik yang
Kriteria Hasil: tepat
1. Verbalisasi lelah lesu Edukasi
2. Sakit kepala 1. Jelaskan tujuan dan prosedur terapi
3. Gelisah 2. Anjurkan rileks selama pemijatan
4. Frekuensi napas 3. Anjurkan beristirahat setelah dilakukan
Keterangan: pemijatan
1= Meningkat
2=Cukup Meningkat
3 = Sedang
4=Cukup Menurun
5 = Menurun

5. Pola istrirahat
Keterangan:
1= Memburuk
2=Cukup memburuk
3=Sedang
4=Cukup membaik
5=Membaik
2. BAB : IV Tingkat Nyeri (L.08066) Perawatan Nyeri (I.08238)
Kategori : Psikologis
Sub Kategori : Nyeri dan Definisi: Definisi:
Kenyamanan Pengalaman sensorik atau emosional yang Mengidentifikasi dan mengelola pengalaman
Kode : D.0077 berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual sensorik atau emosional dengan onset
atau fungsional dengan onset mendadak atau mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
Nyeri Akut lambat dan berintensitas ringan hingga berat hingga berat dan konsisten.
dan konsisten. Tindakan
Definisi: Observasi
Pengalaman sensorik atau Ekspektasi: Menurun 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
emosional yang berkaitan dengan frekwensi, kualitas, intensitas nyeri
kerusakan jaringan aktual atau Kriteria Hasil: 2. Identifikasi skala nyeri
fungsional, dengan onset 1. Kemampuan menuntaskan aktivitas 3. Identivikasi respon nyeri non verbal
mendadak atau lambat dan 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan
berintegritas ringan hingga berat Keterangan: memperingan nyeri
yang berlangsung kurang dari 3 1 = Menurun 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
bulan. 2 = Cukup Menurun tentang nyeri
3 = Sedang 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
Penyebab 4 = Cukup Meningkat respon nyeri
2. Agen pencedra fisiologis (mis, 5 = Meningkat 7. Identifikasi pengaruh nyeri terhadap
inflamasi, iskemia, kualitas hidup
neoplasma) 2. Keluhan nyeri 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer
3. Agen pencedra kimiawi (mis, 3. Meringis yang sudah diberikan
terbakar, bahan kimia iritan) 4. Sikap protektif 9. Monitor efek samping penggunaan
4. Agen pencedra fisik (mis, 5. Gelisah analgetik
abses amputasi terbakar, 6. Kesulitan tidur Terapeutik
terpotong, mengangkat beban 7. Menarik diri 1. Berikan teknik non farmakologis untuk
berat, prosedur operasi, trauma 8. Berfokus pada diri sendiri mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
latihan fisik yang berlebihan) 9. Diaforesis hypnosis, akupresur, terapi musik,
Gejala dan Tanda Mayor 10.Perasaan depresi (tertekan) biofeedback, terapi pijat, aroma terapi,
a. Subjektif 11.Perasaan takut mengalami cedera teknik imajinasi terbimbing, kompres
1. Mengeluh nyeri berulang hangat atau dingin, terapi bermain)
b. Objektif 12.Anoreksia 2. Kontrol lingkungan yang memperberat
1. Tampak meringis 13.Perineum terasa tertekan rasa nyeri (mis. Suhu ruangan,
2. Bersikap protektif (mis. 14.Uterus teraba membulat pencahayaan, dan kebisingan)
Waspada, posisi 15.Ketegangan otot 3. Fasilitasi istirahat tidur
menghindari nyeri) 16.Pupil dilatasi 4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
3. Gelisah 17.Muntah dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
4. Frekwensi nadi 18.Mual Edukasi
meningkat 1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
5. Sulit Tidur Keterangan: nyeri
1 = Meningkat 2. Jelaskan strategi meredahkan nyeri
Gejala dan Tanda Minor 2 = Cukup Meningkat 3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
a. Subjektif 3 = Sedang 4. Anjurkan menggunakan analgesik secara
(tidak tersedia) 4 = Cukup Menurun tepat
b. Objektif 5 = Menurun 5. Anjurkan teknik non farmakologis untuk
1. Tekanan darah meningkat mengurangi rasa nyeri
2. Pola napas berubah 19.Frekwensi nadi Kolaborasi
3. Nafsu makan berubah 20.Pola napas 1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
4. Proses berfikir terganggu 21.Tekanan darah
5. Menarik diri 22.Proses berpikir
6. Berfokus pada diri sendiri 23.Fokus
7. Diaforesis 24.Fungsi berkemih
25.Perilaku
Kondisi Klinis Terkait 26.Nafsu makan
1. Kondisi pembedahan 27.Pola tidur
2. Cedera traumatis
3. Infeksi Keterangan:
4. Sindroma coroner akut 1 = Memburuk
5. Glaukoma 2 = Cukup Memburuk
3 = Sedang
4 = Cukup Membaik
5 = Membaik
3. BAB : IV Tingkat pengetahuan (L.1211) Edukasi Kesehatan (I.12383)
Kategori : Perilaku
Sub Kategori : Penyuluhan dan Definisi: Kecukupan informasi kognitif yang Definisi: Menganjurkan pengelolaan faktor
Pembelajaran berkaitan dengan topik tertentu resiko hidup bersih serta sehat.
Kode : D.0111 Ekspektasi: Meningkat Tindakan
Observasi
Defisit Pengetahuan Kriteria Hasil: 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan
1. Perilaku sesuai anjuran menerima informasi
Definisi: 2. Verbalisasi minta dalam belajar 2. Identifikasi faktor-faktor yang dapat
Ketiadaan atau kurangnya 3. Kemampuan menjelaskan pengetahuan meningkatkan dan menurunkan motivasi
informasi kognitif yang erkaitan suatu topik perilaku hidup sehat
dengan topic tertentu. 4. Kemampuan menggambarkan Terapeutik
pengalaman sebelumnya yang sesuai 3. Sediakan materi dan media pendidikan
Penyebab dengan topic kesehatan
1. Keterbatasan kognitif 5. Perilaku dengan sesuai pengetahuan 4. Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
2. Gangguan fungsi kognitif kesepakatan
3. Kekeliruan mengikuti anjuran Keterangan: 5. Berikan kesempatan untuk bertanya
4. Kurang terpapar informasi 1 = Menurun Edukasi
5. Kurang minat dalam belajar 2 = Cukup Menurun 6. Jelaskan faktor resiko yang dapat
6. Kurang mampu mengingat 3 = Sedang mempengaruhi kesehatan
7. Ketidaktahuan menemukan 4 = Cukup Meningkat 7. Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
sumber informasi 5 = Meningkat 8. Ajarkan strategi yang dapat digunakan
untuk meningkatkan perilaku hidup sehat
6. Pertanyaan tentang masalah yang
dihadapi Edukasi Diet (I.12369)
Gejala dan Tanda Mayor 7. Presepsi yang keliru terhadap masalah Tindakan:
a. Subjektif 8. Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat Observasi
1. Menanyakan masalah yang 1. Identifikasi kemampuan pasien dan
dihadapi Keterangan: keluarga menerima informasi
b. Objektif 1 = Meningkat 2. Identifikasi tingkat pengetahuan saat ini
1. Menunjukkan perilaku 2 = Cukup Meningkat 3. Identifikasi kebiasaan pola makan saat ini
yang tiak sesuai anjuran 3 = Sedang dan masa lalu
2. Menunjukkan persepsi 4 = Cukup Menurun 4. Identifikasi persepsi pasien dan keluarga
yang keliru terhadap 5 = Menurun tentang diet yang diprogramkan
masalah Terapeutik
5. Persiapkan materi, media, dan alat peraga
Gejala dan Tanda Minor 6. Berikan kesempatan pasien dan keluarga
a. Subjektif Tingkat kepatuhan (L.12110) bertanya
(tidak tersedia) Kriteria Hasil 7. Sediakan rencana makan tertulis, jika perlu
b. Objektif 1. Verbalisasi kemauan mematuhi program Edukasi
1. Menjalani pemeriksaan perawatan atau pengobatan 8. Jelaskan tujuan kepatuhan diet terhadap
yang tidak tepat 2. Verbalisasi mengikuti anjuran kesehatan
2. Menunjukkan perilaku 9. Informasikan makanan yang
yang berlebihan (mis. Keterangan: diperbolehkan dan dilarang
Apatis, bermusuhan, 1 = Menurun 10. Anjurkan mengganti bahan makanan
agitasi, hysteria) 2 = Cukup Menurun sesuai dengan diet yang diprogramkan
3 = Sedang 11. Anjurkan melakukan olahraga sesuai
Kondisi Klinis Terkait 4 = Cukup Meningkat toleransi
1. Kondisi klinis yang baru 5 = Meningkat 12. Rekomendasikan resep makanan yang
dihadapi klien sesuai dengan diet, jika perlu
2. Penyakit akut 3. Resiko komplikasi penyakit atau masalah
3. Penyakit kronis kesehatan

Keterangan:
1 = Meningkat
2 = Cukup Meningkat
3 = Sedang
4 = Cukup Menurun
5 = Menurun

4. Perilaku mengikuti program perawtan


atau pengobatan
5. Perilaku menjalankan anjuran
6. Tanda dan gejala penyakit

Keterangan:
1 = Memburuk
2 = Cukup Memburuk
3 = Sedang
4 = Cukup Membaik
5 = Membaik
c. Implementasi
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan pada
tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas-aktivitas yang
telah dicatat dalam rencana perawatan pasien. Fase implementasi atau
pelaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu validasi rencana keperawatan,
mendokumentasikan rencana keperawatan, memberikan asuhan keperawatan, dan
pengumpulan data.
d. Evaluasi
a. Perawat bertanggung jawab untuk mengevaluasi status dan kemajuan klien
terhadap pencapaian hasil dari tujuan keperawatan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
b. Kegiatan evaluasi meliputi mengkaji kemajuan status kesehatan klien,
membandingkan respons klien dengan kriteria hasil dan menyimpulkan hasil
kemajuan masalah dan kemajuan pencapaian tujuan keperawatan klien.
c. Perawat akan mencatat hasil evaluasi dalam lembar evaluasi dalam lembar
evaluasi atau dalam catatan kemajuan.
d. Dalam menelaah kemajuan klien dalam pencapaian hasil, perawat akan
mencatat salah satu dari keputusan berikut, dalam lembar evaluasi atau dalam
catatan kemajuan pada saat ditentukan untuk melakukan evaluasi:
a) Lanjutkan: Diagnosis masih berlaku, tujuan dan kriteria standar masih
relevan.
b) Direvisi: Diagnosis masih berlaku, tetapi tujuan dan tindakan keperawatan
memerlukan perbaikan.
c) Teratasi: Tujuan keperawatan telah dicapai, dan rencana perawatan tidak
dilanjutkan.
d) Dipakai lagi: Diagnosis yang telah teratasi terjadi lagi.
Evaluasi juga dapat disusun dengan menggunakan format SOAPIE atau
SOAPIER. Format ini digunakan apabila implementasi keperawatan dan evaluasi
didokumentasikan dalam satu catatan yang disebut catatan kemajuan.
S : Adalah hal-hal yang dikemukakan oleh klien secara subjektif setelah
dilakukan intervensi keperawatan.
O : Adalah hal-hal yang ditemui oleh perawat secara objektif setelah dilakukan
intervensi keperawatan.
A : Adalah analisis dari hasil yang telah dicapai dengan mengacu pada tujuan
keperawatan dan kriteria hasil terkait dengan diagnosis.
P : Adalah perencanaan yang akan dilakukan berdasarkan hasil analisis respons
klien.
I : Adalah implementasi dari perencanaan dengan mencatat waktu tindakan dan
kegiatan tindakan keperawatan.
E : Adalah evaluasi hasil tindakan keperawatan yang telah dilakukan dengan
mencatat waktu dan hasil kemajuan yang telah dicapai klien (Sunaryo dkk,
2016).
DAFTAR PUSTAKA

Aaronson, I. Philip and Ward, P. T. Jeremy., 2010. At a Glance Sistem


Kardiovaskuler. Jakarta : EGC.
Arif Gunawan.2011. remaja dan Permasalahannya. Yogyakarta: Hanggar
Kreator.
Arifin, Syarif (2012). Menetakan Gerakan Buruh Depok: Kepik.
Aspiari. Reny (2014) Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik Aplikasi NANDA
NIC NOC Jilid 1. Jakarta: Trans Info Media.
Divine J G.2012.Program Olahraga: Tekanan Darah Tinggi. Yogyakarta: PT
Intan Sejati
Elizabeth J. Corwin.(2009).Buku Saku Patofisiologis Corwin. Jakarta: Aditya
Media.
Keliat, Budi Anna, Heni Dwi Windarwati, Akemat Pawirowiyono, Arsyad Subu.
2015. NANDA Inc. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-
2017, Ed. 10. Jakarta. EGC.

La Ode, Syarif. 2012. Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta: Nuha Medika.

Muttaqin, Arif,2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.


Nurarif, A.H. dan Kusuma. N (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC Jogjakarta:
Medication.
Padila.2013. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.
Sunaryo, dkk. 2016. Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Definisi dan Kriteria hasil Kepreawatan. Jakarta: Dewan Pengurus
PPNI.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.

Anda mungkin juga menyukai