KELOMPOK 5:
NONI NOFIRA
SOSKA YOLANDA
DOSEN PEMBIMBING:
Ns.Yusriana.,M.Kep.Sp.Kep.Kom
PRODI S1 KEPERAWATAN
T.A. 2020/2021
KATA PENGANTAR
Segala ucap syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya beserta segala kemudahan, sehingga tim penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM
PERKEMIHAN PADA LANSIA” dengan sebaik mungkin dan insya Allah
bermanfaat bagi semua pembaca.
Kelompok 5
BAB I
PENDAHULUAN
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan
bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan
dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan
tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka
mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu
fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam
satu sel dan berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada
tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit, proses
tersebut tidak tertandingi.
Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun
mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang
pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses
penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya
daya tahan tubuh , lebih mudah terkena konstipasi merupakan ancaman bagi
integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan
kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang
yang dicintai.
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang
telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan
adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan
adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi
satu sama lain . Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat
digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan
fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan
keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses
kemunduran.
Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental,
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang
normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan
tubuh, dan adanya inkontinensia baik urine maupun tinja merupakan ancaman
bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan
dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-
orang yang dicintai.
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus,
risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan
rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga
akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP LANSIA
a. Pengertian Lansia
Lansia merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai
dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.
Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis (Effendi, 2009).
Lansia adalah seseorang yang telah berusia >60 tahun dan tidak berdaya mencari
nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (Ratnawati,
2017).
Kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa lansia adalah seseorang yang
telah berusia > 60 tahun, mengalami penurunan kemampuan beradaptasi, dan
tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seorang diri.
b. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi lansia menurut Burnside dalam Nugroho (2012) :
1) Young old (usia 60-69 tahun)
2) Middle age old (usia 70-79 tahun)
3) Old-old (usia 80-89 tahun)
4) Very old-old (usia 90 tahun ke atas)
c. Karakteristik Lansia
Karakteristik lansia menurut Ratnawati (2017); Darmojo & Martono (2006) yaitu :
1) Usia
Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, lansia adalah
seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun (Ratnawati, 2017).
2) Jenis kelamin
Data Kemenkes RI (2015), lansia didominasi oleh jenis kelamin perempuan. Artinya,
ini menunjukkan bahwa harapan hidup yang paling tinggi adalah perempuan
(Ratnawati, 2017).
3) Status pernikahan
Berdasarkan Badan Pusat Statistik RI SUPAS 2015, penduduk lansia ditilik dari
status perkawinannya sebagian besar berstatus kawin (60 %) dan cerai mati (37 %).
Adapun perinciannya yaitu lansia perempuan yang berstatus cerai mati sekitar 56,04
% dari keseluruhan yang cerai mati, dan lansia laki-laki yang berstatus kawin ada
82,84 %. Hal ini disebabkan usia harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan
dengan usia harapan hidup laki-laki, sehingga presentase lansia perempuan yang
berstatus cerai mati lebih banyak dan lansia laki-laki yang bercerai umumnya kawin
lagi (Ratnawati, 2017).
4) Pekerjaan
Mengacu pada konsep active ageing WHO, lanjut usia sehat berkualitas adalah proses
penuaan yang tetap sehat secara fisik, sosial dan mental sehingga dapat tetap sejahtera
sepanjang hidup dan tetap berpartisipasi dalam rangka meningkatkan kualitas hidup
sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan data Pusat Data dan Informasi Kemenkes
RI 2016 sumber dana lansia sebagian besar pekerjaan/usaha (46,7%), pensiun (8,5%)
dan (3,8%) adalah tabungan, saudara atau jaminan sosial (Ratnawati, 2017).
5) Pendidikan terakhir
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Darmojo menunjukkan bahwa pekerjaan
lansia terbanyak sebagai tenaga terlatih dan sangat sedikit yang bekerja sebagai
tenaga professional. Dengan kemajuan pendidikan diharapkan akan menjadi lebih
baik (Darmojo & Martono, 2006).
6) Kondisi kesehatan
Angka kesakitan, menurut Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI (2016) merupakan
salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur derajat kesehatan penduduk.
Semakin rendah angka kesakitan menunjukkan derajat kesehatan penduduk yang
semakin baik.
(1) Merasakan atau sadar terhadap kematian, perubahan bahan cara hidup (memasuki
rumah perawatan, pergerakan lebih sempit).
(2) Kemampuan ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan. Biaya hidup meningkat
padahal penghasilan yang sulit, biaya pengobatan bertambah.
(7) Rangkaian kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan keluarga.
(8) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik (perubahan terhadap gambaran diri,
perubahan konsep diri)
2. Psikososial
a. Pengertian Psikososial
Psikososial berasal dari kata psiko dan sosial. Kata psiko mengacu pada aspek
psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan perilaku) sedangkan sosial mengacu
pada hubungan eksternal individu dengan orang-orang di sekitarnya (Pusat Krisis
Fakultas Psikologi UI dalam Yuanita, 2016).
Psikososial merupakan hubungan antara kondisi sosial seseorang dengan kesehatan
mental atau emosionalnya yang melibatkan aspek psikologis dan aspek sosial.
Psikososial menunjuk pada hubungan yang dinamis antara faktor psikis dan sosial,
yang saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain.
b. Teori Perubahan Psikososial Lansia
Teori yang berkaitan dengan perubahan psikososial lansia menurut Aspiani (2014)
yaitu:
1) Teori Psikologi
Menurut Havigurst (1972) Teori ini menyatakan bahwa tugas perkembangan pada
masa tua adalah :
b) Perubahan otot: otot orang yang berusia madya menjadi lembek dan mengendur di
sekitar dagu, lengan bagian atas dan perut.
d) Perubahan pada gigi: gigi menjadi kering, patah, dan tanggal sehingga lansia
kadang-kadang menggunakan gigi palsu.
e) Perubahan pada mata: mata terlihat kurang bersinar dan cenderung mengeluarkan
kotoran yang menumpuk di sudut mata, kebanyakan menderita presbiopi, atau
kesulitan melihat jarak jauh, menurunnya akomodasi karena penurunan elastisitas
mata.
f) Perubahan pada telinga: fungsi pendengaran sudah mulai menurun, sehingga tidak
sedikit yang menggunakan alat bantu pendengaran.
g) Perubahan pada sistem pernapasan: napas menjadi lebih pendek dan sering
tersengal-sengal, hal ini akibat penurunan kapasitas total paru-paru, residu volume
paru
dan konsumsi oksigen nasal, ini akan menurunkan fleksibilitas dan elastisitas paru.
b) Gangguan metabolisme.
d) Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat
kurang.
b) Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi
dan budaya.
A. Pengertian
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus,
risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan
rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga
akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
B. Klasifikasi
C. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan)
abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru
terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia
Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah,
efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet.
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi
saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis
atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi
perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila
terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya
serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif.
Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena
berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang
harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa
diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan
ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas.
Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau
menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis,
maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau
farmakologik yang tepat.
Sistem perkemihan merupakan sistem ekskresi utama dan terdiri atas 2 ginjal (untuk
menyekresi urine), 2 ureter (mengalirkan urine dari ginjal ke kandung kemih),
kandung kemih (tempat urine dikumpulkan dan disimpan sementara), dan uretra
(mengalirkan urine dari kandung kemih ke luar tubuh (Nurachmah & Angriani,
2011).
1. Ginjal
Ginjal terletak secara retroperitoneal, pada bagian posterior abdomen, pada kedua
sisi kolumna vertebra. Mereka terletak antara vertebra torakal keduabelas dan
lumbal ketiga. Ginjal kiri biasanya terletak sedikit lebih tinggi dari ginjal kanan
karena letak hati. Ginjal orang dewasa secara rata – rata memiliki panjang 11 cm,
lebar 5 – 7,5 cm, dan ketebalan 2,5 cm. Hal yang menahan ginjal tetap pada posisi
di belakang peritonium parietal adalah sebuah masa lemak peritoneum (kapsul
adiposa) dan jaringan penghubung yang disebut fasia gerota (subserosa) serta
kapsul fibrosa (kapsul renal) membentuk pembungkus luar dari ginjal itu sendiri,
kecuali bagian hilum. Ginjal dilindungi lebih jauh lagi oleh lapisan otot di
punggung pinggang, dan abdomen, selain itu juga oleh lapisan lemak, jaringan
subkutan, dan kulit (Black & Hawk, 2014).
Bila dibelah bagian dalam, ginjal mempunyai tiga bagian yang berbeda, yaitu
korteks, medula, dan pelvis. Bagian eksternal, atau korteks renal, berwarna terang
dan tampak bergranula. Bagian ginjal ini berisi glomerulus, kumpulan kecil
kapiler. Glomerulus membawa darah menuju dan membawa produk sisa dari
nefron, unit fungsional ginjal (LeMone, 2015).
2. Ureter
Ureter membentuk cekungan di medial pelvis renalis pada hilus ginjal. Biasanya
sepanjang 25 – 35 cm di orang dewasa, ureter terletak di jaringan penghubung
ekstraperitoneal dan memanjang secara vertikal sepanjang otot psoas menuju ke
pelvis. Setelah masuk ke rongga pelvis, ureter memanjang ke anterior untuk
bergabung dengan kandung kemih di bagian posterolateral. Pada setiap sudut
ureterovesika, ureter terletak secara oblik melalui dinding kandung kemih
sepanjang 1,5 – 2 cm sebelum masuk ke ruangan kandung kemih (Black &
Hawks, 2014).
3. Kandung Kemih
Kadung kemih adalah organ kosong yang terletak pada separuh anterior dari
pelvis, di belakang simfisis pubis. Jarak antara kandung kemih dan simfisis pubis
diisi oleh jaringan penghubung yang longgar, yang memungkinkan kandung
kemih untuk melebar ke arah kranial ketika terisi. Peritonium melapisi tepi atas
dari kandung kemih, dan bagian dasar ditahan secara longgar oleh ligamen sejati.
Kandung kemih juga dibungkus oleh sebuah fasia yang longgar (Black & Hawks,
2014).
Uretra adalah sebuah saluran yang keluar dari dasar kandung kemih ke permukaan
tubuh. Uretra pada laki – laki dan perempuan memiliki perbedaan besar. Uretra
perempuan memiliki panjang sekitar 4 cm dan sedikit melengkung ke depan
ketika mencapai bukaan keluar, atau meatus, yang terletak di antara klitoris dan
lubang vagina. Pada laki – laki, uretra merupakan saluran gabungan untuk sistem
reproduksi dan pengeluaran urine. Uretra pada lakui – laki memiliki panjang
sekitar 20 cm, dan terbagi dalam 3 bagian utama.
1. Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi juga
berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum
mampu untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena sistem
neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan
mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi penurunan tonus
otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan kesulitan
dalam pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada manusia usia lanjut berisiko
mengalami konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol
otot sfingter sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008).
2. Diet
3. Cairan
Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal untuk
difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih
pekat(Asmadi, 2008).
4. Latihan fisik
Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus otot
yang baik dati otot-otot abdominal, otol pelvis, dan diagfragma sangat penting
bagi miksi (Asmadi, 2008).
5. Stres psikologi
Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia akan
mengalami diare ataupun beser (Asmadi, 2008).
6. Temperatur
7. Nyeri
Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang
seimbang, maupun nyaman. Oleh karena itu berpangaruh pada eliminasi urine
(Asmadi, 2008).
8. Sosiokultural
9. Status volume
Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam keseimbangan,
peningkatakan asupan cairan dapat menyebabkan peningkatan produksi urine.
Cairan yang diminum akan meningkatakan volume filtrat glomerulus dan eksresi
urina (Potter & Perry,2006).
F. Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis
juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat
yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat
berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung
kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih melalui
penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang
dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang mempersyarafi otot dasar
panggul (Guyton, 1995).
Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah
(2008) yaitu:
H. Pemeriksaan penunjang
1. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
1. Uroflowmeter
1. Cysometry
Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika
pasien berkemih.
1. Urografi ekskretorik
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang
keluar,baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan,
selain itudicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
b. Terapi non farmakologi
- Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya.
- Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula
setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih
setiap 2-3 jam.
- Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi
berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila
ingin berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi
kognitif (berpikir).
c. Terapi farmakologi
d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe
overflow umumnyamemerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan
retensi urin. Terapi inidilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia
prostat, dan prolaps pelvic(pada wanita).
e. Modalitas lain
BAB III