Anda di halaman 1dari 27

KEPERAWATAN GERONTIK

ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM PERKEMIHAN PADA LANSIA

KELOMPOK 5:

ANGGI APRILLIA PUTRI

IHZA MAIDIS SUSANTI

NONI NOFIRA

NOVIA TRI DANDA

SOSKA YOLANDA

DOSEN PEMBIMBING:

Ns.Yusriana.,M.Kep.Sp.Kep.Kom

STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG

PRODI S1 KEPERAWATAN

T.A. 2020/2021
KATA PENGANTAR

Segala ucap syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya beserta segala kemudahan, sehingga tim penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM
PERKEMIHAN PADA LANSIA” dengan sebaik mungkin dan insya Allah
bermanfaat bagi semua pembaca.

Dalam proses penyelesaian makalah ini, tim penulis banyak mendapatkan


dorongan serta bimbingan dari berbagai pihak, karenanya pada kesempatan ini tim
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung ikut membantu
penyusunan tugas ini.
Dengan selesainya makalah sebagai salah satu tugas “Keperawatan
bencana” ini, tim penulis menyadari bahwa makalah penuh dengan kekurangan,
tak ada gading yang tak retak oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan untuk makalah yang lebih baik kedepannya. Dan
akhirnya dengan penuh harapan semoga karya kecil ini bermanfaat juga
menambah wawasan bagi pembaca. Amin yaa rabbal ‘alamin.

Padang, 22 April 2021

Kelompok 5
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan


kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi
dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang
terus menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami
pada semua makhluk hidup.

Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan
bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan
dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan
tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka
mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu
fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam
satu sel dan berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada
tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang  cukup sempit, proses 
tersebut tidak tertandingi.

Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya


daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh.
Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang
sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung
sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan
jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit
demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.

Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun
mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang
pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses
penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya
daya tahan tubuh , lebih mudah terkena konstipasi  merupakan ancaman bagi
integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan
kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang
yang dicintai.

Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang
telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan
adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan
adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi
satu sama lain . Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat
digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan
fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan
keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses
kemunduran.

Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental,
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang
normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan
tubuh, dan adanya inkontinensia baik urine maupun tinja merupakan ancaman
bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan
dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-
orang yang dicintai.

Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering


ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin
berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang
dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan
bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.

Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang


dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu
atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu
yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine bukan penyakit, tetapi
merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta
dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002).

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus,
risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan
rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga
akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP LANSIA

a. Pengertian Lansia
Lansia merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai
dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.
Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis (Effendi, 2009).
Lansia adalah seseorang yang telah berusia >60 tahun dan tidak berdaya mencari
nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (Ratnawati,
2017).
Kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa lansia adalah seseorang yang
telah berusia > 60 tahun, mengalami penurunan kemampuan beradaptasi, dan
tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seorang diri.

b. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi lansia menurut Burnside dalam Nugroho (2012) :
1) Young old (usia 60-69 tahun)
2) Middle age old (usia 70-79 tahun)
3) Old-old (usia 80-89 tahun)
4) Very old-old (usia 90 tahun ke atas)

c. Karakteristik Lansia
Karakteristik lansia menurut Ratnawati (2017); Darmojo & Martono (2006) yaitu :
1) Usia
Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, lansia adalah
seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun (Ratnawati, 2017).
2) Jenis kelamin
Data Kemenkes RI (2015), lansia didominasi oleh jenis kelamin perempuan. Artinya,
ini menunjukkan bahwa harapan hidup yang paling tinggi adalah perempuan
(Ratnawati, 2017).
3) Status pernikahan
Berdasarkan Badan Pusat Statistik RI SUPAS 2015, penduduk lansia ditilik dari
status perkawinannya sebagian besar berstatus kawin (60 %) dan cerai mati (37 %).
Adapun perinciannya yaitu lansia perempuan yang berstatus cerai mati sekitar 56,04
% dari keseluruhan yang cerai mati, dan lansia laki-laki yang berstatus kawin ada
82,84 %. Hal ini disebabkan usia harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan
dengan usia harapan hidup laki-laki, sehingga presentase lansia perempuan yang
berstatus cerai mati lebih banyak dan lansia laki-laki yang bercerai umumnya kawin
lagi (Ratnawati, 2017).
4) Pekerjaan
Mengacu pada konsep active ageing WHO, lanjut usia sehat berkualitas adalah proses
penuaan yang tetap sehat secara fisik, sosial dan mental sehingga dapat tetap sejahtera
sepanjang hidup dan tetap berpartisipasi dalam rangka meningkatkan kualitas hidup
sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan data Pusat Data dan Informasi Kemenkes
RI 2016 sumber dana lansia sebagian besar pekerjaan/usaha (46,7%), pensiun (8,5%)
dan (3,8%) adalah tabungan, saudara atau jaminan sosial (Ratnawati, 2017).
5) Pendidikan terakhir
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Darmojo menunjukkan bahwa pekerjaan
lansia terbanyak sebagai tenaga terlatih dan sangat sedikit yang bekerja sebagai
tenaga professional. Dengan kemajuan pendidikan diharapkan akan menjadi lebih
baik (Darmojo & Martono, 2006).
6) Kondisi kesehatan
Angka kesakitan, menurut Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI (2016) merupakan
salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur derajat kesehatan penduduk.
Semakin rendah angka kesakitan menunjukkan derajat kesehatan penduduk yang
semakin baik.

d. Perubahan pada Lanjut Usia


Menurut Potter & Perry (2009) proses menua mengakibatkan terjadinya banyak
perubahan pada lansia yang meliputi :
1) Perubahan Fisiologis
Pemahaman kesehatan pada lansia umumnya bergantung pada persepsi pribadi atas
kemampuan fungsi tubuhnya. Lansia yang memiliki kegiatan harian atau rutin
biasanya menganggap dirinya sehat, sedangkan lansia yang memiliki gangguan fisik,
emosi, atau sosial yang menghambat kegiatan akan menganggap dirinya sakit.
Perubahan fisiologis pada lansia bebrapa diantaranya, kulit kering, penipisan rambut,
penurunan pendengaran, penurunan refleks batuk, pengeluaran lender, penurunan
curah jantung dan sebagainya. Perubahan tersebut tidak bersifat patologis, tetapi
dapat membuat lansia lebih rentan terhadap beberapa penyakit. Perubahan tubuh terus
menerus terjadi seiring bertambahnya usia dan dipengaruhi kondisi kesehatan, gaya
hidup, stressor, dan lingkungan.
2) Perubahan Fungsional
Fungsi pada lansia meliputi bidang fisik, psikososial, kognitif, dan sosial. Penurunan
fungsi yang terjadi pada lansia biasanya berhubungan dengan penyakit dan tingkat
keparahannya yang akan memengaruhi kemampuan fungsional dan kesejahteraan
seorang lansia.
Status fungsional lansia merujuk pada kemampuan dan perilaku aman dalam aktivitas
harian (ADL). ADL sangat penting untuk menentukan kemandirian lansia. Perubahan
yang mendadak dalam ADL merupakan tanda penyakit akut atau perburukan masalah
kesehatan.
3) Perubahan Kognitif
Perubahan struktur dan fisiologis otak yang dihubungkan dengan gangguan kognitif
(penurunan jumlah sel dan perubahan kadar neurotransmiter) terjadi pada lansia yang
mengalami gangguan kognitif maupun tidak mengalami gangguan kognitif. Gejala
gangguan kognitif seperti disorientasi, kehilangan keterampilan berbahasa dan
berhitung, serta penilaian yang buruk bukan merupakan proses penuaan yang normal.
4) Perubahan Psikososial

Perubahan psikososial selama proses penuaan akan melibatkan proses transisi


kehidupan dan kehilangan. Semakin panjang usia seseorang, maka akan semakin
banyak pula transisi dan kehilangan yang harus dihadapi. Transisi hidup, yang
mayoritas disusun oleh pengalaman kehilangan, meliputi masa pensiun dan
perubahan keadaan finansial, perubahan peran dan hubungan, perubahan kesehatan,
kemampuan fungsional dan perubahan jaringan sosial.
Menurut Ratnawati (2017) perubahan psikososial erat kaitannya dengan keterbatasan
produktivitas kerjanya. Oleh karena itu, lansia yang memasuki masa-masa pensiun
akan mengalami kehilangan-kehilangan sebagai berikut:
a) Kehilangan finansial (pedapatan berkurang)

b) Kehilangan status (jabatan/posisi, fasilitas)

c) Kehilangan teman/kenalan atau relasi

d) Kehilangan pekerjaan/kegiatan. Kehilangan ini erat kaitannya dengan beberapa hal


sebagai berikut:

(1) Merasakan atau sadar terhadap kematian, perubahan bahan cara hidup (memasuki
rumah perawatan, pergerakan lebih sempit).

(2) Kemampuan ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan. Biaya hidup meningkat
padahal penghasilan yang sulit, biaya pengobatan bertambah.

(3) Adanya penyakit kronis dan ketidakmampuan fisik.

(4) Timbul kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial.

(5) Adanya gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan kesulitan.

(6) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.

(7) Rangkaian kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan keluarga.

(8) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik (perubahan terhadap gambaran diri,
perubahan konsep diri)

e. Permasalahan Lanjut Usia


Menurut Suardiman (2011), Kuntjoro (2007), dan Kartinah (2008) usia lanjut rentan
terhadap berbagai masalah kehidupan. Masalah umum yang dihadapi oleh lansia
diantaranya:
1) Masalah ekonomi
Usia lanjut ditandai dengan penurunan produktivitas kerja, memasuki masa pensiun
atau berhentinya pekerjaan utama. Disisi lain, usia lanjut dihadapkan pada berbagai
kebutuhan yang semakin meningkat seperti kebutuhan akan makanan yang bergizi
seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin, kebutuhan sosial dan rekreasi. Lansia
yang memiliki pensiun kondisi ekonominya lebih baik karena memiliki penghasilan
tetap setiap bulannya. Lansia yang tidak memiliki pensiun, akan membawa kelompok
lansia pada kondisi tergantung atau menjadi tanggungan anggota keluarga
(Suardiman, 2011).
2) Masalah sosial
Memasuki masa lanjut usia ditandai dengan berkurangnya kontak sosial, baik dengan
anggota keluarga atau dengan masyarakat. kurangnya kontak sosial dapat
menimbulkan perasaan kesepian, terkadang muncul perilaku regresi seperti mudah
menangis, mengurung diri, serta merengek-rengek jika bertemu dengan orang lain
sehingga perilakunya kembali seperti anak kecil (Kuntjoro, 2007).
3) Masalah kesehatan
Peningkatan usia lanjut akan diikuti dengan meningkatnya masalah kesehatan. Usia
lanjut ditandai dengan penurunan fungsi fisik dan rentan terhadap penyakit
(Suardiman, 2011).
4) Masalah psikososial
Masalah psikososial adalah hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan
sehingga membawa lansia kearah kerusakan atau kemrosotan yang progresif terutama
aspek psikologis yang mendadak, misalnya, bingung, panik, depresif, dan apatis. Hal
itu biasanya bersumber dari munculnya stressor psikososial yang paling berat seperti,
kematian pasangan hidup, kematian sanak saudara dekat, atau trauma psikis.
(Kartinah, 2008).

2. Psikososial

a. Pengertian Psikososial

Psikososial berasal dari kata psiko dan sosial. Kata psiko mengacu pada aspek
psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan perilaku) sedangkan sosial mengacu
pada hubungan eksternal individu dengan orang-orang di sekitarnya (Pusat Krisis
Fakultas Psikologi UI dalam Yuanita, 2016).
Psikososial merupakan hubungan antara kondisi sosial seseorang dengan kesehatan
mental atau emosionalnya yang melibatkan aspek psikologis dan aspek sosial.
Psikososial menunjuk pada hubungan yang dinamis antara faktor psikis dan sosial,
yang saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain.
b. Teori Perubahan Psikososial Lansia
Teori yang berkaitan dengan perubahan psikososial lansia menurut Aspiani (2014)
yaitu:
1) Teori Psikologi

a) Teori Tugas Perkembangan

Menurut Havigurst (1972) Teori ini menyatakan bahwa tugas perkembangan pada
masa tua adalah :

(1) Menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan fisik dan kesehatan

(2) Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan

(3) Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup

(4) Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sebaya

(5) Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan

(6) Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes


Penyesuaian diri yang dilakukan lansia yakni untuk beradaptasi dengan perubahan-
perubahan yang harus dilalui oleh seorang lansia sehingga dapat mencapai tugas
perkembangan yang sesuai.
b) Teori Individual Jung
Kepribadian individu terdiri dari Ego, ketidaksadaran seseorang dan ketidaksadaran
bersama. Kepribadian digambarkan terhadap dunia luar atau kearah subjektif dan
pengalaman-pengalaman dari dalam diri (introvert). Keseimbangan antara kekuatan
tersebut merupakan hal penting bagi kesehatan mental.
c) Teori Delapan Tingkat Kehidupan
Tugas perkembangan pada usia tua yang harus dijalani adalah untuk mencapai
keseimbangan hidup atau timbulnya perasaan putus asa. Teori perkembangan
menurut Erickson tentang penyelarasan integritas diri dapat dipilih dalam tiga tingkat
yaitu pada perbedaan ego terhadap peran perkerjaan preokupasi, perubahan tubuh
terhadap pola preokupasi, dan perubahan ego terhadap ego preokupasi. Pada tahap
perbedaan ego terhadap peran pekerjaan preokupasi, tugas perkembangan yang harus
dijalani oleh lansia adalah menerima identitas diri sebagai orang tua dan mendapatkan
dukungan yang adekuat dari lingkungan untuk menghadapi adanya peran baru
sebagai orang tua (preokupasi). Adanya pensiun dan atau pelepasan pekerjaan
merupakan hal yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang menyakitkan dan
menimbulkan penurunan harga diri.
b. Faktor yang mempengaruhi kesehatan psikososial lansia menurut Kuntjoro (2002),
antara lain:

1) Penurunan Kondisi Fisik


Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya penurunan
kondisi fisik yang berganda (multiple pathology). Menurut Ratnawati (2017)
perubahan fisik terdiri dari:
a) Perubahan pada kulit: kulit wajah, leher, lengan, dan tangan menjadi lebih kering
dan keriput. Kulit dibagian bawah mata berkantung dan lingkaran hitam dibawah
mata menjadi lebih jelas dan permanen. Selain itu warna merah kebiruan sering
muncul di sekitar lutut dan di tengah
tengkuk. Rambut rontok, warna berubah menjadi putih, kering dan tidak mengkilap.

b) Perubahan otot: otot orang yang berusia madya menjadi lembek dan mengendur di
sekitar dagu, lengan bagian atas dan perut.

c) Perubahan pada persendian: masalah pada persendian terutama pada bagian


tungkai dan lengan yang membuat mereka menjadi agak sulit berjalan.

d) Perubahan pada gigi: gigi menjadi kering, patah, dan tanggal sehingga lansia
kadang-kadang menggunakan gigi palsu.

e) Perubahan pada mata: mata terlihat kurang bersinar dan cenderung mengeluarkan
kotoran yang menumpuk di sudut mata, kebanyakan menderita presbiopi, atau
kesulitan melihat jarak jauh, menurunnya akomodasi karena penurunan elastisitas
mata.

f) Perubahan pada telinga: fungsi pendengaran sudah mulai menurun, sehingga tidak
sedikit yang menggunakan alat bantu pendengaran.

g) Perubahan pada sistem pernapasan: napas menjadi lebih pendek dan sering
tersengal-sengal, hal ini akibat penurunan kapasitas total paru-paru, residu volume
paru
dan konsumsi oksigen nasal, ini akan menurunkan fleksibilitas dan elastisitas paru.

2) Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual


Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan
dengan berbagai gangguan fisik seperti:
a) Gangguan jantung.

b) Gangguan metabolisme.

c) Baru selesai operasi : misalnya prostatektomi

d) Kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat
kurang.

e) Penggunaan obat-obatan tertentu, seperti antihipertensi atau golongan steroid.

Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain:


a) Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.

b) Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi
dan budaya.

c) Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.

d) Pasangan hidup telah meninggal.


e) Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya
misalnya cemas, depresi, pikun dan sebagainya.

3) Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan


Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal
pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua,
namun dalam kenyatannya sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan,
kedudukan, jabatan, peran, kegitan, harga diri dan status. Lansia yang memiliki
agenda kerja yang tidak terselesaikan dan menganggap pensiun sebagai sesuatu yang
tidak mungkin.
Pensiun merupakan suatu proses bukan merupakan suatu peristiwa. Orang-orang
lanjut usia yang menunjukkan penyesuaian yang paling baik terhadap pensiun, adalah
mereka yang sehat, memiliki keuangan yang memadai, aktif, lebih terdidik, memiliki
jaringan sosial yang luas yang meliputi kawan-kawan dan keluarga, serta biasanya
puas dengan kehidupannya sebelum mereka pensiun (Santrock, 2012)
4) Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat
Peran merupakan kumpulan dari perilaku yang secara relatif homogen dibatasi secara
normative dan diharapkan dari seseorang yang menempati posisi sosial yang
diberikan. Peran berdasarkan pada pengharapan atau penetapan peran yang
membatasi apa saja yang harus dilakukan oleh individu di dalam situasi tertentu agar
memenuhi pengharapan diri atau orang lain terhadap mereka (Friedman, 2014). Peran
dapat diartikan sebagai seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain.
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan kabur, gerak fisik dan
sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia,
dan sebagainya sehingga menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah
dengan selalu mengajak lansia melakukan aktivitas, selama lansia masih sanggup,
agar tidak merasa diasingkan. Keterasingan yang terjadi pada lansia dapat membuat
lansia semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan dapat muncul
perilaku regresi, seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-
barang tidak berguna, dan merengek-rengek seperti anak kecil sehingga lansia tidak
bisa menjalankan peran sosialnya dengan baik (Kuntjoro, 2007).
B. KONSEP SISTEM PERKEMIHAN PADA LANSIA

A. Pengertian

Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat


sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna.
Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter
dan Perry, 2005). Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan
ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau menetap untuk
mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab inkontinensia dapat berupa
proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan
penggunaan obat narkotik atau sedatif.

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus,
risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan
rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga
akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

B. Klasifikasi

Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat, 2006

1. inkontinensia Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran


dorongan urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa
dorongan yang kuat setelah berkemih.

Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya


terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan
spame kandung kemih (Hidayat, 2006). Pasien
Inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat
menahan kencing segera setelah timbul sensasi
ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor
sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat
kapasitas kandung kemih belum terpenuhi.
1. inkontinensia total Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran
urin yang terus menerus dan tidak dapat
diperkirakan. Kemungkinan penyebab inkontinensia
total antara lain: disfungsi neorologis, kontraksi
independen dan refleks detrusor karena
pembedahan, trauma atau penyakit yang
mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula,
neuropati.
1. inkontinensia stress tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes
dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya
dorongan berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia
stress terjadi disebabkan otot spingter uretra tidak
dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan
meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-tiba.
Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu
batuk, bersin, mengangkat benda yang berat,
tertawa (Panker, 2007).
1. inkontinensia reflex Keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran
urin yang tidak dirasakan.

Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh


adanya kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis).
Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya
dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung
kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung
kemih tidak dihambat pada interval teratur
1. inkontinensia keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran
fungsional urin secara tanpa disadari dan tidak dapat
diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai
dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih,
merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi
kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan
urin

C. Etiologi

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan)
abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru
terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia
Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah,
efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet.

Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi
saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis
atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi
perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila
terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya
serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif.
Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena
berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang
harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa
diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.

Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan
ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas.
Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau
menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis,
maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau
farmakologik yang tepat.

Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang


dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat
jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat.
Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik,
analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE
inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi,
antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan
alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang
disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar
panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause,
usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.

Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan


melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses
persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot
dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan
risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen
pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus
otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan
terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau
kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan
inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami
inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot
dasar panggul (Darmojo, 2009).

D. Anatomi dan Fisiologis

Sistem perkemihan merupakan sistem ekskresi utama dan terdiri atas 2 ginjal (untuk
menyekresi urine), 2 ureter (mengalirkan urine dari ginjal ke kandung kemih),
kandung kemih (tempat urine dikumpulkan dan disimpan sementara), dan uretra
(mengalirkan urine dari kandung kemih ke luar tubuh (Nurachmah & Angriani,
2011).

1. Ginjal
Ginjal terletak secara retroperitoneal, pada bagian posterior abdomen, pada kedua
sisi kolumna vertebra. Mereka terletak antara vertebra torakal keduabelas dan
lumbal ketiga. Ginjal kiri biasanya terletak sedikit lebih tinggi dari ginjal kanan
karena letak hati. Ginjal orang dewasa secara rata – rata memiliki panjang 11 cm,
lebar 5 – 7,5 cm, dan ketebalan 2,5 cm. Hal yang menahan ginjal tetap pada posisi
di belakang peritonium parietal adalah sebuah masa lemak peritoneum (kapsul
adiposa) dan jaringan penghubung yang disebut fasia gerota (subserosa) serta
kapsul fibrosa (kapsul renal) membentuk pembungkus luar dari ginjal itu sendiri,
kecuali bagian hilum. Ginjal dilindungi lebih jauh lagi oleh lapisan otot di
punggung pinggang, dan abdomen, selain itu juga oleh lapisan lemak, jaringan
subkutan, dan kulit (Black & Hawk, 2014).
Bila dibelah bagian dalam, ginjal mempunyai tiga bagian yang berbeda, yaitu
korteks, medula, dan pelvis. Bagian eksternal, atau korteks renal, berwarna terang
dan tampak bergranula. Bagian ginjal ini berisi glomerulus, kumpulan kecil
kapiler. Glomerulus membawa darah menuju dan membawa produk sisa dari
nefron, unit fungsional ginjal (LeMone, 2015).

2. Ureter
Ureter membentuk cekungan di medial pelvis renalis pada hilus ginjal. Biasanya
sepanjang 25 – 35 cm di orang dewasa, ureter terletak di jaringan penghubung
ekstraperitoneal dan memanjang secara vertikal sepanjang otot psoas menuju ke
pelvis. Setelah masuk ke rongga pelvis, ureter memanjang ke anterior untuk
bergabung dengan kandung kemih di bagian posterolateral. Pada setiap sudut
ureterovesika, ureter terletak secara oblik melalui dinding kandung kemih
sepanjang 1,5 – 2 cm sebelum masuk ke ruangan kandung kemih (Black &
Hawks, 2014).

3. Kandung Kemih

Kadung kemih adalah organ kosong yang terletak pada separuh anterior dari
pelvis, di belakang simfisis pubis. Jarak antara kandung kemih dan simfisis pubis
diisi oleh jaringan penghubung yang longgar, yang memungkinkan kandung
kemih untuk melebar ke arah kranial ketika terisi. Peritonium melapisi tepi atas
dari kandung kemih, dan bagian dasar ditahan secara longgar oleh ligamen sejati.
Kandung kemih juga dibungkus oleh sebuah fasia yang longgar (Black & Hawks,
2014).

4. Uretra dan Meatus

Uretra adalah sebuah saluran yang keluar dari dasar kandung kemih ke permukaan
tubuh. Uretra pada laki – laki dan perempuan memiliki perbedaan besar. Uretra
perempuan memiliki panjang sekitar 4 cm dan sedikit melengkung ke depan
ketika mencapai bukaan keluar, atau meatus, yang terletak di antara klitoris dan
lubang vagina. Pada laki – laki, uretra merupakan saluran gabungan untuk sistem
reproduksi dan pengeluaran urine. Uretra pada lakui – laki memiliki panjang
sekitar 20 cm, dan terbagi dalam 3 bagian utama.

 E. Faktor Predisposisi atau Faktor Pencetus

1. Usia

Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi juga
berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum
mampu untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena sistem
neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan
mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi penurunan tonus
otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan kesulitan
dalam pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada manusia usia lanjut berisiko
mengalami konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol
otot sfingter sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008).

2. Diet

Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya, misalnya


jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi
karena kandungan pada jengkol yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang banyak
dapat menyebabkan terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan menyumbat
saluran kemih sehingga pengeluaran utine menjadi terganggu. Selain itu, urine
juga dapat menjadi bau jengkol. Malnutrisi menjadi dasar terjadinya penurunan
tonus otot, sehingga mengurangi kemampuan seseorang untuk mengeluarkan
feses maupun urine. Selain itu malnutrisi menyebabkan menurunnya daya tahan
tubuh terhadap infeksi yang menyerang pada organ pencernaan maupun organ
perkemihan(Asmadi, 2008).

3. Cairan

Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal untuk
difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih
pekat(Asmadi, 2008).

4. Latihan fisik

Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus otot
yang baik dati otot-otot abdominal, otol pelvis, dan diagfragma sangat penting
bagi miksi (Asmadi, 2008).

5. Stres psikologi
Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia akan
mengalami diare ataupun beser (Asmadi, 2008).

6. Temperatur

Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan tubuh


karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut menyebabkan tubuh akan
kekurangan cairan sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi dan
pengeluaran urine menjadi sedikit. Selain itu, demam juga dapat memegaruhi
nafsu makan yaitu terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan intake cairan
(Asmadi, 2008).

7. Nyeri

Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang
seimbang, maupun nyaman. Oleh karena itu berpangaruh pada eliminasi urine
(Asmadi, 2008).

8. Sosiokultural

Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja di masyarakat


Amerika Utara mengharapkan agar fasilitas toilet merupaka sesuatu yang pribadi ,
sementara budaya Eropa menerima fasilitas toilet yang digunakan secara bersama-
sama (Potter & Perry,2006).

9. Status volume

Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam keseimbangan,
peningkatakan asupan cairan dapat menyebabkan peningkatan produksi urine.
Cairan yang diminum akan meningkatakan volume filtrat glomerulus dan eksresi
urina (Potter & Perry,2006).

F. Patofisiologi

Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis
juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat
yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat
berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung
kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).

Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih melalui
penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang
dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang mempersyarafi otot dasar
panggul (Guyton, 1995).

Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang


menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih
berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang
timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan
karena usia sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan
kerusakan dapat mengganggu kondisi antara kontraksi kandung kemih dan 
relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung kemih akan
menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).

G. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah
(2008) yaitu:

1. Ketidaknyamanan daerah pubis


2. Distensi vesika urinaria
3. Ketidak sanggupan untuk berkemih
4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)
5. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya
6. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih
7. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

H. Pemeriksaan penunjang

1. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.

1. Uroflowmeter

Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu


bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.

1. Cysometry

digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan


mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal, dan
reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.

Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika
pasien berkemih.

1. Urografi ekskretorik

Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan


fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.

1. Kateterisasi residu pascakemih

Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah


urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.

Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller adalah


mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis,  mengontrol
inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,medikasi, latihan otot pelvis dan
pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :

a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih

Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang
keluar,baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan,
selain itudicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
b. Terapi non farmakologi

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia


urin,seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi,
dan lain-lain.Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :

-          Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu


berkemih)dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7
x/hari.

-          Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya.

-          Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula
setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih
setiap 2-3 jam.

-          Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai


dengankebiasaan lansia.

-          Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi
berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila
ingin berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi
kognitif  (berpikir).

c. Terapi farmakologi

Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:

-          antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine

-          Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu


pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
-          Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau
alfa kolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi
diberikan secara singkat.

d. Terapi pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe
overflow umumnyamemerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan
retensi urin. Terapi inidilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia
prostat, dan prolaps pelvic(pada wanita).

e. Modalitas lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang


menyebabkaninkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi
lansia yang mengalamiinkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter,
dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan bedpan

- kelainan neurologi (medulla spinalis)

- penyumbatan saluran urin (obat2an, tumor)

-otot detrusor tdk stabil/ bereaksi berlebihan

- ingin kencing mendadak, dimalam hari

 
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS SISTEM PERKEMIHAN PADA


LANSIA

Anda mungkin juga menyukai