Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

LAPORAN PENDAHULUAN ASKEP PADA NY. A DENGAN DIABETES MELITUS DI


GEDUNG GRAHA 293

Oleh :

Sri Yani

181144010208

AKADEMI KEPERAWATAN ANDALUSIA

JAKARTA 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT karena atas limpahan rahmat,
ridha, dan karuni_Nya laporan Praktik Kerja Lapangan (PKL) dapat diselesaikan tepat waktu.
Shalawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu menjadi
teladan bagi umatnya.

Laporan kegiatan PKL ini merupakan bentuk pertanggungjawaban tertulis atas


terlaksananya kegiatan PKL. Durasi kegiatan kurang lebih 2 minggu mulai senin, 15 Maret 2021
sampai dengan hari jum’at 26 Maret 2021. Praktek Kerja Lapangan (PKL) merupakan tahapan
yang harus dijalani mahasiswa program D3 Keperawatan sebgai syarat Kelulusan.

Kelancaran kegiatan PKL tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik secara langsung
maupun tidak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang
membantu:

1. Ns. Arozamati W. Lase, M.Kep selaku pembimbing praktek klinik dari Akademi
Keperawatan Andalusia Tangerang.
2. Pembimbing dan paramedic di gedung Graha 293 Kota Tangerang atas waktu dan
bimbingan yang sangat membantu menyelesaiakn laporan ini.
3. Para sahabat saya yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan praktik klinik ini.
4. Orang tua saya yang telah mendukung saya baik secara material maupun moral agar saya
senantiasan berjuang menyelesaiakan bejuang menyelesaikan laporan praktek klinik ini.

Laporan ini menjelaskan aktivitas PKL yang diselesaikan praktikan. Selama berada di Gedung
Graha 293 Kota Tangerang. Semoga laporan PKL ini dapat memberikan manfaat berupa
inspirasi dan motivasi bagi pembaca. Saya menyadari dalam proses pembuatan laporan masih
terdapat banyak kesalahan, oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi
perbaikan laporan kami selanjutnya.

Tangerang,18 Maret 2021

Sri Yani
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


A. Definisi Lansia
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua bukanlah
suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan
perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam
menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh, seperti didalam Undang-Undang
No 13 tahun 1998 yang isinya menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional
yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
UndangUndang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang makin
membaik dan usia harapan hidup makin meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin
bertambah. Banyak diantara lanjut usia yang masih produktif dan mampu berperan aktif
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Upaya peningkatan
kesejahteraan sosial lanjut usia pada hakikatnya merupakan pelestarian nilai-nilai
keagamaan dan budaya bangsa.
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi di dalam kehidupan
manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari
suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan
proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak,
dewasa dan tua (Nugroho, 2006).
B. Batasan Lansia
Batasan lansia menurut beberapa sumber;
1. WHO (1999) menjelaskan batasan lansia adalah sebagai berikut:
a. Usia lanjut (elderly) antara usia 60-74 tahun,
b. Usia tua (old) 75-90 tahun, dan
c. Usia sangat tua (very old) adalah usia >90 tahun.
2. Depkes RI (2005) menjelaskan bahwa batasan lansia dibagi menjadi tiga katagori,yaitu:
a. Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun,
b. Usia lanjut yaitu 60 tahun ke atas,
c. Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke atas dengan
masalah kesehatan.
C. Ciri ciri Lansia

Ciri ciri lansia adalah sebagai berikut:

1. Lansia merupakan periode kemunduran.


Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis.
Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia. Misalnya lansia
yang memiliki motivasi yang rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan
mempercepat proses kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki
motivasi yang tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.
2. Lansia memiliki status kelompok Minoritas
Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap lansia
dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya lansia yang lebih senang
mempertahankan pendapatnya maka sikap sosial di masyarakat menjadi negatif, tetapi
ada juga lansia yang mempunyai tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap sosial
masyarakat menjadi positif.
3. Menua membutuhakan perubahan peran.
Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan
atas dasar tekanan dari lingkungan. Misalnya lansia menduduki jabatan Perubahan peran
tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam segalsosial di
masyarakat sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak memberhentikan lansia
sebagai ketua RW karena usianya.
4. Penyesuaian buruk pada lansia
Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung mengembangkan
konsep diri yang buruk sehingga dapat memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk.
Akibat dari perilakuan yang buruk itu membuat penyuseuain diri lansia menjadi buruk
pula. Contoh; Lansia yang tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan untuk
pengembalian keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi inilah yang
menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat tersinggung dan bahkan
memiliki harga diri yang rendah.
D. Perkembangan Lansia
kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan
degeneratif Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia
di dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan. Lansia merupakan
istilah tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua
(tahap penuaan). Masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada
masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit
sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap penurunan). Penuaan
merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel,
yang mengalami penurunan pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf
dan jaringan tubuh lainnya. Dengan kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih
rentan terhadap berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang
dewasa lain. Untuk menjelaskan penurunan pada tahap ini, terdapat berbagai perbedaan
teori, namun para ahli pada umumnya sepakat bahwa proses ini lebih banyak ditemukan
pada faktor genetik.
E. Permasalahan Lansia di Indonesia
Jumlah lansia di Indonesia tahun 2014 mencapai 18 juta jiwa dan diperkirakan
akan meningkat menjadi 41 juta jiwa di tahun 2035 serta lebih dari 80 juta jiwa di tahun
2050. Tahun 2050, satu dari empat penduduk Indonesia adalah penduduk lansia dan lebih
mudah menemukan penduduk lansia dibandingkan bayi atau balita.
Sedangkan sebaran penduduk lansia pada tahun 2010, Lansia yang tinggal di
perkotaan sebesar 12.380.321 (9,58%) dan yang tinggal di perdesaan sebesar 15.612.232
(9,97%). Terdapat perbedaan yang cukup besar antara lansia yang tinggal di perkotaan
dan di perdesaan. Perkiraan tahun 2020 jumlah lansia tetap mengalami kenaikan yaitu
sebesar 28.822.879 (11,34%), dengan sebaran lansia yang tinggal di perkotaan lebih
besar yaitu sebanyak 15.714.952 (11,20%) dibandingkan dengan yang tinggal di
perdesaan yaitu sebesar 13.107.927 (11,51%). Kecenderungan meningkatnya lansia yang
tinggal di perkotaan ini dapat disebabkan bahwa tidak banyak perbedaan antara rural dan
urban.
Kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan lansia menurut UU Kesejahteraan
Lanjut Usia (UU No 13/1998) pasa 1 ayat 1: Kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan
dan penghidupan sosial baik material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa
keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap
warga negara untuk mengadakan pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial yang
sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak dan
kewajiban asasi manusia sesuai dengan Pancasila. Pada ayat 2 disebutkan, Lanjut Usia
adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas. Dan mereka
dibagi kepada dua kategori yaitu lanjut usia potential (ayat 3) dan lanjut usia tidak
potensial (ayat 4). Lanjut Usia Potensial adalah lanjut usia yang masih mampu
melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa.
Sedangkan Lanjut Usia Tidak Potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya mencari
nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. Bagi Lanjut Usia Tidak
potensial (ayat 7) pemerintah dan masyarakat mengupayakan perlindungan sosial sebagai
kemudahan pelayanan agar lansia dapat mewujudkan dan menikmati taraf hidup yang
wajar. Selanjutnya pada ayat 9 disebutkan bahwa pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial
adalah upaya perlindungan dan pelayanan yang bersifat terus-menerus agar lanjut usia
dapat mewujudkan dan menikmati taraf hidup yang wajar.
Lanjut usia mengalami masalah kesehatan. Masalah ini berawal dari
kemunduran selsel tubuh, sehingga fungsi dan daya tahan tubuh menurun serta faktor
resiko terhadap penyakit pun meningkat. Masalah kesehatan yang sering dialami lanjut
usia adalah malnutrisi, gangguan keseimbangan, kebingungan mendadak, dan lain-lain.
Selain itu, beberapa penyakit yang sering terjadi pada lanjut usia antara lain hipertensi,
gangguan pendengaran dan penglihatan, demensia, osteoporosis, dsb.
Data Susenas tahun 2012 menjelaskan bahwa angka kesakitan pada lansia tahun
2012 di perkotaan adalah 24,77% artinya dari setiap 100 orang lansia di daerah perkotaan
24 orang mengalami sakit. Di pedesaan didapatkan 28,62% artinya setiap 100 orang
lansia di pedesaan, 28 orang mengalami sakit.
Tabel 1.1 Sepuluh penyakit terbanyak pada lansia tahun 2013

Prevalensi Menurut Kelompok Umur


No Jenis Penyakit
55-64 th 65-74 th 75 th +
1. Hipertensi 45,9 57 63,8
2. Artritis 45 51 54,8
3. Stroke 33 46 67
4. Peny. Paru obstruksi 5,6 8,6 9,4
kronis
5. DM 5,5 4,8 3,5
6. Kanker 3,2 3,9 5
7. Peny. Jantung koroner 2,8 3,6 3,2
8. Batu ginjal 1,3 1,2 1,1
9. Gagal jantung 0,7 0,9 1,1
10. Gagal ginjal 0,5 0,5 0,6
Sumber : Kemenkes RI, Riskesdas, 2013

Berdasarkan Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, upaya pemeliharaan


kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif
secara sosial maupun ekonomis. Selain itu, Pemerintah wajib menjamin ketersediaan pelayanan
kesehatan dan memfasilitasi kelompok lansia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif, hal
ini merupakan upaya peningkatan kesejahteraan lansia khususnya dalam bidang kesehatan.
Upaya promotif dan preventif merupakan faktor penting yang harus dilakukan untuk mengurangi
angka kesakitan pada lansia. Untuk mencapai tujuan tresebut, harus ada koordinasi yang efektif
antara lintas program terkait di lingkungan Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi.

Kebijakan Kementerian Kesehatan dalam pelayanan kesehatan melalui penyediaan sarana


pelayanan kesehatan yang ramah bag lansia bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan
lansia supaya lebih berkualitas dan berdaya guna bagi keluarga dan masyarakat. Upaya yang
dikembangkan untuk mendukung kebijakan tersebut antara lain pada pelayanan kesehatan dasar
dengan pendekatan Pelayanan Santun Lansia, meningkatkan upaya rujukan kesehatan melalui
pengembangan Poliklinik Geriatri Terpadu di Rumah Sakit, dan menyediakan sarana dan
prasarana yang ramah bagi lansia.Kesadaran setiap lansia untuk menjaga kesehatan dan
menyiapkan hari tua dengan sebaik dan sedini mungkin merupakan hal yang sangat penting.
Semua pelayanan kesehatan harus didasarkan pada konsep pendekatan siklus hidup dengan
tujuan jangka panjang, yaitu sehat sampai memasuki lanjut usia.

Pendapat lain menjelaskan bahwa lansia mengalami perubahan dalam kehidupannya


sehingga menimbulkan beberapa masalah. Permasalahan tersebut diantaranya yaitu :

1. Masalah Fisik
Masalahyang hadapi oleh lansia adalah fisik yang mulai melemah, sering terjadi
radang persendian ketika melakukan aktivitas yang cukup berat, indra pengelihatan yang
mulai kabur, indra pendengaran yang mulai berkurang serta daya tahan tubuh yang
menurun, sehingga sering sakit.
2. Masalah Kognitif (Intlektual)
Masalah yang hadapi lansia terkait dengan perkembangan kognitif, adalah
melemahnya daya ingat terhadap sesuatu hal (pikun), dan sulit untuk bersosialisasi
dengan masyarakat di sekitar.
3. Masalah Emosional
Masalah yang hadapi terkait dengan perkembangan emosional, adalah rasa ingin
berkumpul dengan keluarga sangat kuat, sehingga tingkat perhatian lansia kepada
keluarga menjadi sangat besar. Selain itu, lansia sering marah apabila ada sesuatu yang
kurang sesuai dengan kehendak pribadi dan sering stres akibat masalah ekonomi yang
kurang terpenuhi.
4. Masalah Spiritual
Masalah yang dihadapi terkait dengan perkembangan spiritual, adalah kesulitan
untuk menghafal kitab suci karena daya ingat yang mulai menurun, merasa kurang tenang
ketika mengetahui anggota keluarganya belum mengerjakan ibadah, dan merasa gelisah
ketika menemui permasalahan hidup yang cukup serius.

F. Tujuan Pelayanan Pada Lansia

Pelayanan pada umumnya selalu memberikan arah dalam memudahkan petugas


kesehatan dalam memberikan pelayanan sosial, kesehatan, perawatan dan meningkatkan
mutu pelayanan bagi lansia. Tujuan pelayanan kesehatan pada lansia terdiri dari :
1. Mempertahankan derajat kesehatan para lansia pada taraf yang setinggi-tingginya,
sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan.
2. Memelihara kondisi kesehatan dengan aktifitas-aktifitas fisik dan mental
3. Mencari upaya semaksimal mungkin agar para lansia yang menderita suatu penyakit
atau gangguan, masih dapat mempertahankan kemandirian yang optimal.
4. Mendampingi dan memberikan bantuan moril dan perhatian pada lansia yang berada
dalam fase terminal sehingga lansia dapat mengadapi kematian dengan tenang dan
bermartabat.

Fungsi pelayanan dapat dilaksanakan pada pusat pelayanan sosial lansia, pusat informasi
pelayanan sosial lansia, dan pusat pengembangan pelayanan sosial lansia dan pusat
pemberdayaan lansia.

G. Pendekatan Perawatan Lansia


Pendekatan perawatan pada lansia adalah sebagai berikut:
A. Pendekatan Fisik
Perawatan pada lansia juga dapat dilakukan dengan pendekatan fisik melalui
perhatian terhadap kesehatan, kebutuhan, kejadian yang dialami klien lansia semasa
hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih dapat
dicapai dan dikembangkan, dan penyakit yang dapat dicegah atau progresifitas
penyakitnya.
Pendekatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia dapat dibagi 2 bagian:
1. Klien lansia yang masih aktif dan memiliki keadaan fisik yang masih mampu
bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga dalam kebutuhannya sehari-hari ia
masih mampu melakukannya sendiri.
2. Klien lansia yang pasif, keadaan fisiknya mengalami kelumpuhan atau sakit.
Perawat harus mengetahui dasar perawatan klien lansia ini, terutama yang
berkaitan dengan kebersihan perseorangan untuk mempertahankan kesehatan.
B. Pendekatan Psikologis

Perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan edukatif


pada klien lansia. Perawat dapat berperan sebagai pendukung terhadap segala sesuatu
yang asing, penampung rahasia pribadi dan sahabat yang akrab. Perawat hendaknya
memiliki kesabaran dan ketelitian dalam memberi kesempatan dan waktu yang cukup
banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar lansia merasa puas. Perawat harus
selalu memegang prinsip triple S yaitu sabar, simpatik dan service. Bila ingin mengubah
tingkah laku dan pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat bisa melakukannya
secara perlahan dan bertahap.

C. Pendekatan Sosial
Berdiskusi serta bertukar pikiran dan cerita merupakan salah satu upaya perawat dalam
melakukan pendekatan sosial. Memberi kesempatan untuk berkumpul bersama dengan
sesama klien lansia berarti menciptakan sosialisasi. Pendekatan sosial ini merupakan
pegangan bagi perawat bahwa lansia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang
lain. Dalam pelaksanaannya, perawat dapat menciptakan hubungan sosial, baik antar
lania maupun lansia dengan perawat. Perawat memberi kesempatan seluas-luasnya
kepada lansia untuk mengadakan komunikasi dan melakukan rekreasi. Lansia perlu
dimotivasi untuk membaca surat kabar dan majalah.
H. Prinsip Etika Dalam Pelayanan Lansia
Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada lansia adalah
(Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :
1. Empati: istilah empati menyangkut pengertian “simpati atas dasar pengertian yang
dalam”artinya upaya pelayanan pada lansia harus memandang seorang lansia yang
sakit dengan pengertian, kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami
oleh penderita tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak
berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over protective dan belas-kasihan. Oleh
karena itu semua petugas geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan patologik
dari penderita lansia.
2. Non maleficence dan beneficence. Pelayanan pada lansia selalu didasarkan pada
keharusan untuk mengerjakan yang baik dan harus menghindari tindakan yang
menambah penderitaan (harm). Sebagai contoh, upaya pemberian posisi baring yang
tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu dengan derivat
morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan merupakan contoh berbagai hal
yang mungkin mudah dan praktis untuk dikerjakan.
3. Otonomi yaitu suatu prinsip bahwa seorang individu mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak
tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut berdasar pada
keadaan, apakah lansia dapat membuat keputusan secara mandiri dan bebas. Dalam
etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?) oleh
pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk
melindungi penderita yang fungsional masih kapabel (sedangkan non-maleficence
dan beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang inkapabel). Dalam berbagai
hal aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang
menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu keputusan (misalnya seorang
ayah membuat keputusan bagi anaknya yang belum dewasa).
4. Keadilan: yaitu prinsip pelayanan pada lansia harus memberikan perlakuan yang
sama bagi semua. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita secara wajar
dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan.
5. Kesungguhan hati: Suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang diberikan
pada seorang lansia.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan keluarga dengan masalah utama
Kostipasi pada Ny A di Dinas Sosial Tangerang.
1.3 Tujuan studi kasus
1. Tujuan Umum
Diperoleh pengalaman nyata dalam melaksanakan asuhan keperawatan Gerontik dengan
masalah utama Kostipasi pada Ny A di Dinas sosial Tangerang.
2. Tujuan Khusus
a. Menerapkan proses keperawatan meliputi Pengkajian, Diagnosa Keperawatan
Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi Kasus asuhan keperawatan gerontik dengan
masalah utama Kostipasi pada Ny. A di Dinas sosial Tangerang .
b. Mendokumentasikanasuhan keperawatan gerontik dengan masalah utama Konstipasi
pada Ny. A di Dinas Sosial Tangerang.
c. Mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan Gerontik dengan masalah utama Konstipasi pada Ny. A di Dinas Sosial
Tangerang.
1.4 Manfaat studi kasus
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya
kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan kadang-
kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar (NIDDK, 2000).
Konstipasi adalah suatu keluhan, bukan penyakit (Holson, 2002;Azer, 2001). Pada
umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan
terdapat variasi yang berlainan antara individu (Azer,2001). Penggunaan istilah
konstipasi secara keliru dan belum adanya definisi yang universal menyebabkan lebih
kaburnya hal ini (Hamdy, 1984). Sedangkan batasan dari konstipasi klinik yang
sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah feses pada kolon, rektum atau keduanya
yang tampak pada foto polos perut (Harari, 1999).
Para tenaga medis mendefinisikan konstipasi sebagai penurunan frekuensi buang
air besar, kesulitan dalam mengeluarkan feses, atau perasaan tidak tuntas ketika buang air
besar. Studi epidemiologik menunjukkan kenaikan pesat konstipasi berkaitan dengan usia
terutama berdasarkan keluhan penderita dan bukan karena konstipasi klinik. Banyak
orang mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar setiap hari. Sering ada
perbedaan pandangan antara dokter dan penderita tentang arti konstipasi (cheskin dkk,
1990).

2.2 EPIDIOMOLOGI
Sekitar 80% manusia pernah menderita konstipasi dalam hidupnya dan konstipasi
yang berlangsung singkat adalah normal (ASCRS, 2002). Menurut National Health
Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh
menderita konstipasi terutama anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas. Hal ini
menyebabkan kunjungan ke dokter sebanyak 2.5 juta kali/tahun dan menghabiskan dana
sekitar 725 juta dolar untuk obat-obatan pencahar (NIDDK, 2000).
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Terjadi
peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30-40 % orang di atas 65 tahun mengeluhkan
konstipasi (Holson, 2002). Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas usia 65 tahun
merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar (Cheskin, dkk 1990). Di
Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh mendrita konstipasi dan lebih
banyak pada wanita dibanding pria (Robert-Thomson, 1989). Suatu penelitian yang
melibatkan 3000 orang usia lanjut usia di atas 65 tahun menunjukkan sekitar 34% wanita
dan 26% pria meneluh menderita konstipasi (Harari, 1989).

2.3 ETIOLOGI
Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari penumpukan sensasi saraf, tidak
sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan dalam menanggapi sinyal untuk
defekasi. Konstipasi merupakan masalah umum yang disebabkan oleh penurunan
motilitas, kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus otot.
Faktor-faktor risiko konstipasi pada usia lanjut:
1. Obat-obatan: golongan antikolinergik, golongan narkotik, golongan analgetik,
golongan diuretik, NSAID, kalsium antagonis, preparat kalsium, preparat besi,
antasida aluminium, penyalahgunaan pencahar.
2. Kondisi neurologik: stroke, penyakit parkinson, trauma medula spinalis,
neuropati diabetic.
3. Gangguan metabolik: hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroidisme.
4. Kausa psikologik: psikosis, depresi, demensia, kurang privasi untuk BAB,
mengabaikan dorongan BAB, konstipasi imajiner
5. Penyakit-penyakit saluran cerna: kanker kolon, divertikel, ileus, hernia,
volvulus, iritable bowel syndrome, rektokel, wasir, fistula/fisura ani, inersia
kolon.
6. Lain-lain: defisiensi diet dalam asupan cairan dan serat, imobilitas/kurang
olahraga, bepergian jauh, paska tindakan bedah perut.

2.4 PATOFISIOLOGI
Defekasi merupakan suatu proses fisiologi yang menyertakan kerja otot-otot polos
dan serat lintang, persarafan, sentral dan perifer, koordinasi sisitem reflek, kesadran yang
baik dan kemampuan fisik untuk mencari tempat BAB.

Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke
rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula rektum yang diikuti
relaksasi sfingter anus interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses yang spontan,
terjadi refleks kontraksi refleks anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang
dilayani oleh syaraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan
sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, dan rektum mengeluarkan isinya
dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan
dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani.baik persyarafan simpatis dan para
simpatis terlibat dalam proses ini.

Patogenesis konstipasi bervariasi macam-macam, penyebabnya multipel, mencakup


beberapa faktor yang tumpah tindih, motilitas kolon tidak terpengaruh dengan
bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan
perjalanan saluran cerna. Pengurangan respon motorik sigmoid disebabkan karena
berkurangnya inervasi instinsik akibat degenerasi pleksus myenterikus, sedangkan
pengurangan rangsang saraf pada otot polos sirkuler menyebabkan memanjangnya waktu
gerakan usus. Pada lansia mempunyai kadar plasma beta- endorfin yang meningkat,
disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiat endogen di usus. Ini dibuktikan dengan
efek konstipasif sediaan opiat karena dapat menyebabkan relaksasi tonus otot kolon,
motilitas berkurang dan menghambat refleks gaster-kolon. Terdapat kecenderungan
menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan usia khususnya
pada wanita. Pada penderita konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk
mengeluarkan feses yang kecil dan keras, menyebabkan upaya mengejan lebih keras dan
lebih lama. Hal ini berakibat penekanan pada saraf pudendus dengan kelemahan lebih
lanjut.

2.5 MANIFESTASI KLINIS


Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah: (ASCRS, 2002)
1. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB
2. Mengejan keras saat BAB
3. Massa feses yang keras dan sulit keluar
4. Perasaan tidak tuntas saat BAB
5. Sakit pada daerah rectum saat BAB
6. Rasa sakit pada daerah perut saat BAB
7. Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam
8. Menggunakan bantuan jari-jari intuk mengeluarkan feses
9. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB

1.1 PENATALAKSANAAN
1.1.1 Tata laksana non farmakologi
a. Cairan
Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi. Kecuali ada
kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk minum sekurang
kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari) untuk mencegah dehidrasi.
Asupan cairan dapat dicapai bila tersedia cairan/minuman yang dibutuhkan di
dekat pasien, demikian pula cairan yang berasal dari sup,sirup, dan es. Asupan
cairan perlu lebih banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi
jantungnya stabil.
b. Serat
Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna menurunkan waktu transit
(transit time). Pada orang lanjut usia disarankan agar mengkonsumsi serat skitar
6-10 gram per hari. Ada juga yang menyarankan agar mengkonsumsi serat
sebanyak 15-20 per hari. Serat berasal dari biji-bijian, sereal, beras merah, buah,
sayur, kacang-kacangan. Serat akan memfasilitasi gerakan usus dengan
meningkatkan masa tinja dan mengurangi waktu transit usus. Serat juga
menyediakan substrat untuk bakteri kolon, dengan produksi gas dan asam lemak
rantai pendek yang meningkatkan gumpalan tinja. Perlu diingat serat tidaklah
efektif tanpa cairan yang cukup, dan dikontraindikasikan pada pasien dengan
impaksi tinja (skibala) atau dilatasi kolon. Peningkatan jumlah serat dapat
menyebabkan gejala kembung, banyak gas, dan buang besar tidak teratur terutama
pada 2-3 minggu pertama, yang seringkali menimbulkan ketidakpatuhan obat.
c. Bowel training
Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah lupa untuk buang air
besar. Hal tersebut akan menyebabkan rektum lebih mengembang karena adanya
penumpukan feses. Membuat jadwal untuk buang air besar merupakan langkah
awal yang lebih baik untuk dilakukan pada pasien tersebut, dan baik juga
diterapkan pada pasien usia lanjut yang mengalami gangguan kognitif. Pada
pasien yang sudah memiliki kebiasaan buang air besar pada waktu yang teratur,
dianjurkan meneruskan kebiasaan teresebut. Sedangkan pada pasien yang tidak
memiliki jadwal teratur untuk buang air besar, waktu yang baik untuk buang air
besar adalah setelah sarapan dan makan malam.
d. Latihan Jasmani
Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang sederhana tetapi
bermanfat bagi orang usia lanjut yang masih mampu berjalan. Jalan kaki satu
setengah jam setelah makan cukup membantu. Bagi mereka yang tidak mampu
bangun dari tampat tidur, dapat didudukkan atau didudukkan atau diberdirikan
disekitar tempat tidur. Positioning bagi pasien usia lanjut yang tidak dapat
bergerak, meninggalkan tempat tidurnya menuju ke kursi beberapa kali dengan
interval 15 menit, adalah salah satu cara untuk mencegah ulkus dekubitus. Tentu
saja pasien yang mengalami tirah baring dapat dibantu dengan menyediakan toilet
atau komod dengan tempat tidur, jangan diberi bed pan. Mengurut perut dengan
hati-hati mungkin dapat pula dilakukan untuk merangsang gerakan usus.
e. Evaluasi penggunaan obat
Evaluasi yang seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu dilakukan untuk
mengeliminasi, mengurangi dosis, atau mengganti obat yang diperkirakan
menimbulkan konstipasi. Obat antidepresan, obat Parkinson merupakan obat yang
potensial menimbulkan konstipasi. Obat yang mengandung zat besi juga
cenderung menimbulkan konstipasi, demikian obat anti hipertensi (antagonis
kalsium). Antikolinergik lain dan juga narkotik merupakan obat-obatan yang
sering pula menyebabkan konstipasi.

1.1.2 Tata laksana Farmakologi


a. Pencahar pembentuk tinja (pencahar Bulk/ Pencahar Laxative)
Pencahar bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di pasaran. Sediaan yang
ada merupakan bentuk serat alamiah non-wheat seperti pysilium dan isophagula
husk, dan senyawa sintetik seperti metilselulosa. Bulking agent sistetik dan serat
natural sama-sama efektif dalam meningkatkan frekuensi dan volume tinja. Obat
ini tidak menyebabkan malabsorbsi zat besi atau kalsium pada orang usia lanjut,
tidak seperti bran yang tidak diproses. Pencahar bulk terbukti menurunkan
konstipasi pada orang usia lanjut dan nyeri defekai pada hemoroid. Sama halnya
dengan serat, obat ini juga harus diimbangi dengan asupan cairan.
b. Pelembut Tinja
Docusate seringkali direkomendasikan dan digunakan oleh orang lanjut usia
sebagai pencahar dan sebagai pelembut tinja. Docusate sodium bertindak
sebagaisurfaktan, menurunkan tegangan permukaan feses untuk membiarakan air
masuk dam memperlunak feses. Docusate sebenarnya tidak dapat menolong
konstipasi yang kronik, penggunaannya sebaiknya dibatasi pada situasi dimana
mangedan harus dicegah.
c. Pencahar Stimulan
Senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia lanjut. Senna
meningkatkan peristaltik di kolon distal dan menstimulasi peristaltik diikuti
dengan evakuasi feses yang lunak. Pemberian 20 mg senna per hari selama 6
bulan oleh pasien berusia lebih dari 80 tahun tidak menyebabkan kehilangan
protein atau elektrolit. Senna umumnya menginduksi evakuasi tinja 8-12 jam
setelah pemberian. Orang usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama
yakni sampai dengan 10 minggu sebelum mencapai kebiasaan defekasi yang
teratur. Pemberian sebelum tidur malam mengurangi risiko inkontininsia fekal
malam hari dan dosis juga harus ditritasi berdasarkan respon individu. Terapi
dengan Bisakodil supositoria memiliki absorbsi sistemik minimal dan sangat
menolong untuk mengatasi diskezia rectal pada usia lanjut. Sebaiknya diberikan
segera setelah makan pagi secara supositoria untuk mendapatka efek refleks
gastrokolik. Penggunaan rutin setiap hari dapat menyebabkan sensasi terbakar
pada rectum, jadi sebaiknya digunakan secara rutin, melainkan sekitar 3 kali
seminggu.
d. Pencahar Osmolar
Pencahar hiperosmolar terdiri atas laktulosa disakarida dan sorbitol. Di dalam
kolon keduanya di metabolisme oleh bakteri kolon menjadi bentuk laktat, aetat,
dan asam dengan melepaskan karbondioksida. Asam organik dengan berat
molekul rendah ini secara osmotic meningkatkan cairan intraluminal dan
menurunkan pH feses. Laktulosa sebagai pencahar hiperosmolar terbukti
memperpendek waktu transit pada sejumlah kecil penghni panti rawat jompo yang
mengalami konstipasi. Laktulosa dan sorbitol juga sama-sama menunjukkan
efektifitasnya dalam mengobati konstipasi pada orang usia lanjut yang berobat
jalan. Sorbitol sebaiknya diberikan 20-30 selama empat kali sehari. Glikol
polietelin merupakan pencahar hiperosmolar yang potensial yang mengalirkan
cairan ke lumen dan merupakan zat pembersih usus yang efektif. Gliserin adalah
pencahar hiperomolar yang dugunakan hanya dalam bentuk supositoria.
e. Enema
Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi kolon; hasil yang
kurang baik biasanya karena pemberian yang tidak memadai. Enema harus
digunakan secara hati-hati pada usia lanjut. Pasien usia lanjut yang mengalami
tirah baring mungkin membutuhkan enema secara berkala untuk mencegah
skibala. Namun, pemberian enema tertentu terlalu sering dapat mengakibatkan
efek samping. Enema yang berasal dari kran (tap water) merupakan tipe paling
aman untuk penggunaan rutin, karena tidak menghasilkan iritasi mukosa kolon.
Enema yang berasal dari air sabun (soap-suds) sebaiknya tidak diberikan pada
orang usia lanjut.

BAB III
TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 KASUS

a. Identitas Diri
Nama : Atieh
Umur : 61 tahun
Alamat : Karawaci Tanah Cepe, Tangerang
Pendidikan : SD
Jenis Kelamin :Perempuan
Suku : Sunda
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Kawin
Tanggal masuk Panti : Tahun 2018
Tanggal Pengkajian : 17 maret 2021

b. Status Kesehatan saat ini:


Klien mengeluh susah BAB sejak 8 hari yang lalu

c. Riwayat Kesehatan Terdahulu


Klien mempunyai riwayat Hipertensi

d. Riwayat Kesehatan Keluarga


Tidak ada

e. Pengkajian status Fungsional dengan pemeriksaan index Kats


Tabel 1; Pemeriksaan kemandirian lansia dengan index Katz

skor Kriteria
A Kemandirian dalam hal makan, minum, berpindah,
ke kamarkecil, berpakaian dan mandi
B Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari hari,
kecuali satu dari fungsi tersebut.
C Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari hari,
kecuali mandi dan satu fungsi tambahan.
D Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari
hari,kecuali mandi, berpakaian dan satu fungsi
tambahan.
C Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari hari,
kecuali mandi, berpakaina, ke kamar kecil, dan
satu fungsi tambhan
F Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari hari,
kecuali berpakaian,ke kamar kecil, dan satu fungsi
fungsi tambahan.
G Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari hari,
kecuali mandi dan satu fungsi tambahan
Lain- Tergantung pada sedikitnya dua fungsi, tetapi
lain tidak dapat diklasifikasikan sebagai C,D,E atau F

Pengkajian status kognitif

Benar salah No Pertanyaan


 01 Tanggal berapa hari ini?
 02 Hari apa sekarang?
 03 Apa nama tempat ini?
 04 Dimana alamat anda?
 05 Berapa umur anda?
 06 Kapan anda lahir? (Minimal Tahun)
 07 Siapa presiden Indonesia sekarang?
 08 Siapa presiden Indonesia sebelumnya?
 09 Siapa nama ibu anda?
 10 Kurang 3 dari 20dan tetap pengurangan 3 dari
setiap angka baru, semua secara menurun.
TOTAL NILAI= 5 (kerusakan intlektual sedang)

Kesalahan 0-2 : Fungsi Intlektual Utuh


Kesalahan 3-4 : Kerusakan Intlektual Ringan
Kesalahan 5_7 : Kerusakan Intlektuan Sedang
Kesalahan 8-10 : Kerusakan Intlektual Berat.

f. Pemeriksaan Fisik
Daerah pemeriksaan Fisik
Keadaan umum :
Kesadaran : Compos Metis
TB-BB : 154,47
Tanda Vital
Tekanan Darah :131/64mmHg
Nadi : 67x/menit
Suhu : 36 oC
Respirasi : 20x/menit
Kepala-Rambut :inspeksi: Rambut bersih,warna sebagian putih
sebgaian hitam
Palpasi: rambut halus,mudah rontok

Mata : inspeksi: simetris,terlihat cekung,adanya kantung


mata
Palpasi: sklera adikterik,
Hidung : inspeksi: simetris,warna kulit sama dengan yang
lain,tidak ada lesi,tidak ada sumbatan
pendarahan,tidak ada tanda tanda infeksi
Palpasi: tidak ada bengkak dan nyeri tekan.
Telinga : inspeksi: bentuk simetris,intregritas kulit
bagus,tidak ada tanda tanda infeksi kulit,
pendengaran kurang/gangguan pendengaran.
Palpasi: tidak ada nyeri tekan
Mulut : inspeksi: mukosa bibir lembab warna agak pink,
Palpasi: gigi sudah tidak lengkap,tidak ada
pendarahan pada gusi,langit langit utuh dan tidak
ada tanda tanda infeksi.
Leher inspeksi: warna intregritas/normal,bentuk
simetris,tidak ada benjolan.
Palpasi: tidak ada nyeri, tidak ada pembesaran
gondok.
Auskultasi: bising pembuluh darah.
Dada : inspeksi: simetris antara dada kanan dan kiri,warna
kulit sama dengan warna kulit lain,tidak ada
pembengkakan/benjolan,tidak ada kelainan
Perkusi: paru (,irama regular)
Auskultasi: suara nafas vaskuler
Abdomen : inspeksi: Pembesaran abdomen
Palpasi: Perut terasa keras
Auskultasi: Bising usus tidak terdengar
Perkusi: Redup
Genetalia :
Ekstremitas atas :
Ekstremitas bawah :
3.2 Analisa Data

No Data Diagnosa Keperawatan

1. DS: Pasien mengatakan Konstipasi berhubungan dengan pola


susah buang air besar sejak 8 defeksi tidak teratur.
hari yang lalu.
DO: Pasien terlihat pegah
feses dengan konsistensi
keras mengejan saat defeksi

DS: pasien mengatakan


tidak nafsu makan
2. DO: Pasein tampak gelisah Perubahan nutrisi kurang dari
pasien sering mengeluh kebutuhan berhubungan dengan
susah BAB hilangnya nafsu makan.

DS: Pasien mengatakan


3. nyeri perut/begah Nyeri akut berhubungan dengan
DO: Pssein terlihat lemas, akumulasi feses keras pada abdomen.
lesu

3.3 Diagnosa Keperawatan

1. Konstipasi berhubungan dengan pola defeksi tidak teratur.

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan.

3. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.


3.4 Intervensi

Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan


Keperawatan Umum Khusus
Ansietas b/d Setelah 1. Kaji pengetahuan pasien
Kurangnya dilakukan 3x24 2.
pengetahuan jam

Nyeri akut b/d 1 minta pasien untuk menilai


akumulasi feses nyeri atau ketidaknyaman pada
keras pada skala 0-10
abdomen 2 berikan informasi tentang
nyeri.
3 ajarkan tekhink nafas dalam.
4 beritahu jika sedang nyeri
kompres dengan air hangat pada
bagian yang nyeri.
Perubahan 1. Atur diet serat 24 jam
nutrisi kurang 2 Pantau masukan dan
dari kebutuhan pengeluaran dan berat badan
b/d hilangnya secara periodilk.
nafsu makan. 3 . Kaji pola makan pasien
4.Kaji minum pasien
5. Kaji aktivitas fisik

3.5 Implementasi Kepearawatan


Hari : Kamis

Tanggal : 18 Maret 2021

Implementasi I

No Diagnosa Implementasi Paraf


Keperawatan
1. Perubahan nutrisi1. Mengkaji minum Pasien
kurang dari kebutuhan S:
b/d hilangnya nafsu Pasien mengatakan banyak minum air putih
makan. O:
Disediakan air minum 1 L dapat dihabiskan dalam
waktu 4 jam
2. Mengkaji pola makan
S:
Pasien mengatakan tidak nafsu makan.
O:
Pasien terlihat tidak menghabiskan makannya.
3. Menganjurkan minum banyak
S:
Pasien mengatakan suadah habis 1 botol (650 ml)
dalam waktu 7jam
O:
1 botol minum dengan ukuran 1 L
4. Mengkaji aktivitas fisik
S: Pasien mengatkan dapat beraktivitas sehari hari
dengan bantuan menggunakan tongkat.
O:
Pasien terlihat sering jalan jalan pindah pindah
tempat duduk.
5. Menganjurkan Untuk olahraga
S:
Pasien mengatakan selalu mengikuti senam
bersama
O:
Pasien terlihat aktiv mengikuti senam bersama.
2. Ansietas b/d 1. Memberi edukasi terkait penyakitnya
Kurangnya S:
pengetahuan. Psien mengatakan cemas dengan penyakitnya
O:
Penkes terkait penyakitnya yang diderita.

3. Nyeri akut b/d 1. Kaji skala nyeri


Akumulasi feses keras S :
pada abdomen Pasien mengatakan perut sakit pada saat mules
O:
Pasien tampak gelisah
2. Meminta pasien untuk menunjukan skala nyeri
dari 1_10
S:
Pasien mengatakan nyeri diangka 5
O:
Pasien tampak bingung.
3. Mengedukasi jika terjadi nyeri segera komperes
dengan air hangat.
S : Pasien mengatakan jika nyeri pada saat perut
mules pada pagi hari.
O : Pasien tampak gelisah

Hari : Jum’at

Tanggal : 19 Maret 2021

Implementasi II

No Diagnosa Implementasi Paraf


Keperawatan
1. Perubahan nutrisi1. Mengkaji minum pasien
kurang dari kebutuhan S:
b/d hilangnya nafsu Pasien mengatakan sudah minum air sesuai
makan. anjuran
O:
Pasein terlihat taat terhadap anjuran
2. Mengkaji Aktivitas fisik pasien
S:
Pasien mengatakan sehabis sholat subuh nyuci
bajunya
O:
Pasien terlihat menjemur pakaian diluar
3. Mengkaji pola makan
S:
Pasein mengatakan tidak terlalu suka dengan sayur
dan buahnya
O:
Pasien hanya makan makan dengan lauknya saja,
sayur sama buahnya tidak dimakan Cuma dicicipi
aja.
2. Nyeri akut b/d 1. Mengkaji skala nyeri
akumulasi feses keras S :
pada abdomen Pasein mengatakan sedikit bersukarng nyerinya.
O:
Pasien tampak agak lega
2. Meminta pasien untuk menunjukan skala nyeri
1_10
S:
Pasien mengatkan di angka 4 (Sedang)
O:
Pasien tampak lebih tenang

Hari : Senin

Tanggal : 22 maret 2021

Implementasi III

No Diagnosa Implementasi Paraf


1. Perubahan nutrisi 1. Mengkaji minum pasien
kurang dari kebutuhan S:
b/d hilangnya nafsu Pasien mengatakan sudah terbiasa dengan anjuran
makan minum yang telah diberikan.
Pasein mengatakan sudah BAB
O:
Pasien terlihat menghabiskan minumannya
Konsistensi feses normal
2. Mengkaji pola makan
S:
Pasien mengatakan makannya habis satu porsi
beserta sayur dan buahnya
O:
Pasein terlihat menghabiskan makanan yang telah
disediakan baik sayur maupun buah.

2. Nyeri akut b/d 1. Mengkaji skala Nyeri


Akumulasi feses keras S :
pada abdomen Pasien mengatakan sudah lega perutnya sudah
tidak sakit lagi
O:
Pasien tampak senang
2. Meminta pasien untuk mengukur skala nyeri
1_10
S : Pasien mengatakan di angka 1
O:
Pasien tampak lebih seger
Evaluasi Keperawatan

Hari :

Tanggal :

Diagnosa
Hari/Tanggal Evaluasi Paraf
Keperawatan
Perubahan
nutrisi kurang
dari kebutuhan
b/d Hilangnya
nafsu makan
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pengkajian

Asuhan keperawatan pad Ny.A selama 3x24 jam mulai tanggal 18 maret
2021 sampai Kamis 23 maret 2021 di Dinas social Kota Tangerang. Data yang
ditemukan pada Ny. A mengeluh susah BAB, nyeri tertusuk pada bagian perut .

4.2 Perencanaan

Dalam perencanaan penulis melihatr dan menyesuaikan dengan fasilitas


yang disediakan oleh Dinas Sosial Kota Tangerang. Hal ini dilakukan agar
tindakan yang diberikan dapat membatu mengatasi masalah hal tersebut maka
penulis merencanakan sesuai dengan teori dan memotivasi pasien sesuai deilingan
masalah yang ditemukan
.
4.3 Pelaksanaan / Implementasi

Dalam pelaksaan ini penulis berorientasi pada rencana tindakan yang telah
dibuat seblumnya. Tindakan tersebut dialkukan dengan mempertimbangkan bahwa
pasien belum memahami tentang penyakit kostipasi, perawatan serta pencegahan
yang dapat dilakukan oleh pasien. Penulis mengharapkan agar pasien mendapatkan
pelayanan kesehatan sehingga dapat membantu menyelesaikan masalah yang
dihadapi.

4.4 Evaluasi

Setelah menyelesaikan tahap pelaksanaan / implementasi, maka penulis


memilih bahwa masalah yang dihadapi oleh pasien yaitu masalah teratasi.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.5 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, penulis dapat menarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Setelah melakukan pengkajian terhadap keluarga pasien Ny A,
penulis memperoleh hasi atau data yang mengarah pada
masalah Ny. A yaitu penyakit konstipasi.
2. Diagnosa keperawatan keluarga yang ditemukan pada
keluarga yang terjadi pada Ny. A yang menderita Konstipasi
adalah sebagai berikut :
a. Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d
Hilangnya nafsu makan.
b. Nyeri akut b/d Akumulasi feses keras pada abdomen
c. Ansietas b/d Kurangnya pengetahuan.
3. Dalam menyusun rencana keperawatan keluarga Ny. A yang
menderita Konstipasi, penulis menggunakan format yaitu
pengumpulan data,masalah di mana intervensi yang
diterapkan mencangkup semua kriteria dalam penerapan
rencana keperawatan sesuai dengan teori.
4. Implemntasi / tindakan keperawatan terhadap Ny. A yang
menderita Konstipasi, penulis melakukan implementasi
keperawatan pasien yang sesuai teori yaitu : Memberikan
pendidikan kesehatan terkait penyakitnya (Konstipasi),
menganjurkan pada pasien minum, menganjurkan pasien
makan sesuai dengan diet yang dianjurkan, dan memotivasi
pasienuntuk kesembuhan pasien untuk berobat ke pelayanan
kesehatan.
5. Evaluasi
Setelah menyelesaikan tahap evaluasi, maka penulis memilih
bahwa masalah yang dihadapi oleh keluarga yaitu teratasi.

5.2 Saran

1. Dalam upaya peningkatan kesehatan pasien pemberian


informasi melalui pendidikan kesehatan sangat diperlukan.
2. Dalam melakukan pemeriksaan fisik pasien yang
bermasalah sebaiknya diperlukan adanya pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan laboratorium.
3. Untuk memperoleh hasil evaluasi sesuai dengan kriteria dan
tujuan yang ditetapkan, diperlukan waktu pelaksanaan asuhan
keperawatan keluarga yang berkesinambungan dan fasilitas
yang sesuai dengan kebutuhan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai